Namaku Ainsley Aaric. Mahasiswi di universitas terkenal Amerika. Seorang gadis yang selalu dihina sebagai kutu buku aneh selama hidupnya. Yah, aku mendapat julukan itu sejak lama. Sebenarnya aku tak tahu, motif apa yang membuatku menjadi bahan ejekan mereka. Tapi ya ... kau tahu? Aku selalu berpikir bahwa mereka mungkin iri padaku. Hahaha, kenapa aku menjadi sangat percaya diri seperti ini? Hah, sudahlah.
Kembali lagi ke topik kutu buku. Setelah melihat hasilnya sekarang, kurasa aku berhak tertawa atas ejekan mereka yang iri padaku. Pasalnya aku kini menikmati hasil dari kerja kerasku dulu. Aku telah merasakan beasiswa di universitas yang menjadi incaran para pelajar, untuk meneruskan pendidikannya. Jika ditanya tentang tujuan apa aku berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, jawaban pastinya tentu saja untuk mengurangi biaya sekolah.
Kau tahu? Bisa dititik ini bukanlah perkara yang mudah. Aku harus meninggalkan kampung halaman dan jauh dari keluarga yang menyayangiku. Tapi mengingat kejadian buruk di masa lalu, adakalanya aku merasa lega telah menjauh dari desa mungil itu.
Untuk keadaanku sekarang, seringkali aku merasa terpuruk karena beberapa hal. Rasanya sungguh menyiksa, ketika kau tahu dirimu hidup sendiri di negara orang, dan dihadapkan pada suatu masalah yang membuatmu pening untuk mencari jalan keluar. Tapi untungnya ketenangan sesekali hinggap di hatiku. And yeah ... itu cukup membantu untuk merilekskan pikiran ini.
Aku akan menceritakan sedikit kisah pilu hidupku ini pada kalian. Dimulai dari meninggalnya orang tuaku saat aku berusia 5 tahun. Yah, siapa sangka? Ketika melakukan perjalanan bisnis ke Amerika, Tuhan malah merenggut nyawa ayah dan ibuku.
Dugaan saat itu mobil dalam kecepatan yang tinggi. Remnya mengalami kerusakan yang parah. Dan beberapa hal pada mesinnya telah diubah, bahkan tidak sesuai dengan standar aman.
Jika kau berpikir kejadian yang menimpa orang tuaku itu murni kecelakaan biasa, jawabanmu salah besar. Hanya saja, kasus mereka tak pernah terpecahkan. Pihak kepolisian juga tak bisa mengungkap fakta sebenarnya. Aku menduga masalah ini pasti berkaitan dengan bisnis ayah.
Kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Karena aku telah menyelidiki semua hal yang sangat mencurigakan bagiku. Bayangkan saja, dalam waktu lima hari perusahaan ayahku langsung jatuh ke tangan Arnold William. Padahal setelah melihat latar belakangnya, pria ini adalah orang yang paling membenci kedua orang tuaku.
Well, itulah alasanku bisa sampai sejauh ini. Aku ingin mengambil kembali apa yang menjadi milik orang tuaku. Jika benar kejadian itu adalah sebuah konspirasi, aku tak akan tinggal diam. Perbuatan keji harus segera diakhiri. Dan akan kupastikan, orang yang terlibat di dalamnya, akan mendapatkan balasan setimpal.
Baiklah, ayo kembali pada kehidupanku saat ini. Aku tinggal di sebuah apartemen, yang telah di beli oleh pihak universitas. Tempat ini dirombak menjadi asrama kedua bagi para mahasiswanya. Jika di benakmu muncul pertanyaan kenapa tidak direnovasi saja menjadi apartemen mewah atau sejenisnya? Artinya kebingungan yang kau rasakan, sama sepertiku pada awal-awal bersekolah di sini.
Dan jawaban yang kutemukan adalah, kampusku sudah mengelola dua apartemen yang sangat mewah. Inilah sebabnya pihak universitas hanya membuat gedung yang hampir bangkrut itu, menjadi sebuah asrama. Meskipun begitu, fasilitas yang diberikan sudah sangat memadai.
Di sini aku hanya menempati kamar ini sendiri. Aku tidak punya teman satu kamar? Yah, itulah kenyataannya. Penyebabnya cukup unik menurutku. Sebagian besar mahasiswi di sini menjauhiku. Sebenarnya aku sangat bersyukur karena tak perlu berbagi kamar dengan orang lain. Tapi alasan mereka membenciku sangat tidak masuk akal.
Aku bahkan tak mengenal orang-orang yang menjauhiku. Aku hanya mendengar alasan mereka mengucilkanku karena rumor buruk ayah dan ibu. Jadi ya ... mimpi saja aku bisa mendapat teman satu kamar. Terkadang aku merasa kehidupan di dunia ini sangat tak adil. Kebaikan lebih mudah dilupakan, daripada rumor yang sudah menyebar ke mana-mana.
Baiklah, mari kita lupakan masalah itu sejenak, karena tugas rumahku telah menanti. Kau tahu? Aku adalah tipe orang yang selalu menyusun buku sesuai dengan jadwal. Hanya saja, seusai pembelajaran selesai, terkadang aku meletakkannya tak sesuai posisi awal. Alhasil semuanya acak-acakan sekarang.
Acapkali diriku dibuat kesal karena hal ini. Saking banyaknya jurnal yang tersimpan, aku menjadi lupa di mana meletakkannya. Aku sering kesulitan mencari buku yang benar-benar kubutuhkan saat itu juga.
Tiba-tiba saja ponselku berdering ketika aku membersihkan buku-buku lama yang berdebu. Begitu mengangkatnya, hanya isak tangis dari nenek yang aku dengar. Sebenarnya ada apa ini? Aku benar-benar bingung. Sebelum menjawabnya, aku terdiam sejenak.
“Halo ... Nenek?” tanyaku cemas. Aku pucat memikirkan kemungkinan yang tak ingin kudengar.
“Ainsley ... kakekmu ... dia ...“ ucapan nenek terhenti. Dia tak melanjutkannya lagi. Ia hanya menangis terisak-isak. Ketidakmampuannya untuk memberikan berita itu padaku, membuat dadaku semakin terasa sesak.
“Kakek kenapa, Nek? Tolong katakan yang benar. Jangan membuatku berpikiran yang tidak-tidak,” pintaku, agar nenek melanjutkan ucapannya. Perasaanku menjadi tidak enak mendengar semua ini. Tapi aku tidak boleh berpikiran negatif terlebih dulu.
“Kakekmu ... sudah tiada,” tutur nenek. Aku terhuyung ke belakang dan menabrak sisi ranjang. Derit besi penyangganya berbunyi, begitu aku terduduk lemas di atas busa pengantar tidurku ini.
“Aku ... tunggu aku di sana. Jika berhasil mendapatkan izin, aku akan mengabarimu lewat pesan teks,” ujarku pada nenek. Tanpa basa basi lagi, aku mematikan teleponnya. Tubuhku mematung cukup lama di atas ranjang. Pandanganku menjadi kosong, seperti orang linglung.
Kenapa semuanya menimpa diriku? Mengapa harus orang-orang yang kusayangi? Bagaimana bisa takdir begitu kejam padaku? Aku ingin menangis. Tapi kesedihan yang bercampur amarah ini, membuat air mataku tak bisa keluar.
Pikiranku sudah memerintahkan untuk segera bangun dan berdiri dengan tegak. Tapi Rasa pedih ini terlanjur menjalar di sekujur tubuh dan membuat kakiku terasa membeku. Cukup lama membuat suasana hatiku membaik seperti semula. Sesekali embusan napas yang berat keluar dari mulut kecilku.
Setelah mampu berdiri, aku berjalan keluar dari kamar dengan lemas. Beruntung masih ada jam kuliah sore di kampus. Kuharap rektor sombong itu masih berada di kantornya.
Bagaimanapun juga, aku adalah mahasiswa yang masuk karena beasiswa. Bagi orang-orang sepertiku ini, sulit untuk meminta ijin jika ada acara yang tidak bisa kami tinggalkan. Semoga aku mendapat pengecualian karena acara berkabung.
Setelah menemui dan menjelaskan alasan kepulanganku pada rektor, aku diperbolehkan pulang. Walaupun hanya 3 hari, bagiku sudah cukup baik. Aku langsung mengabari nenek karena berhasil mendapatkan izin.
Sesampainya di asrama, aku mengemasi pakaian secukupnya, dan langsung membeli tiket pulang ke Inggris. Aku memilih menggunakan taksi daripada bus untuk mempersingkat waktu. Perasaanku campur aduk kali ini.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Menatap ke luar jendela dengan pandangan yang kosong. Kejadian serupa juga terjadi ketika aku menaiki pesawat. Aku merasa seperti ruangan hampa. Pikiranku melayang ke mana-mana.
Mataku melihat jauh ke bawah dari jendela. Semuanya terasa seperti mimpi bagiku. Untungnya, suara batuk orang di sampingku membuat kesadaran ini kembali
Sialnya, jantungku berdebar hebat karena gelegar suara itu. Aku meraup seluruh wajahku dengan kedua tangan ini. Seperti sebuah keharusan, embusan napas yang berat keluar begitu saja ketika otakku dihantam kenyataan pahit. Uniknya orang di sampingku ini malah melirikku dengan tatapan sinis. Sungguh membuatku kesal.
Seharusnya jika malu mengucapkan kata maaf, jangan menatapku dengan mata seperti itu. Untung saja dia orang tua, jika tidak aku akan memelototinya kembali. Mentang-mentang lebih berumur, ia menjadi semena-mena pada yang lebih muda.
"Huh". Kini aku berpaling menatap jendela yang penuh titik-titik kecil warna-warni. Perjalanan ini sangat lama dan membuatku lelah. Seharusnya aku menikmati pemandangan indah yang terpampang di sepanjang penerbangan. Tapi mataku memilih untuk terpejam. Meskipun begitu, aku malah masuk ke dunia mimpi dan bertemu dengan seorang pangeran tampan.
Apa dia akan menciumku? Perasaan mendebarkan ini sungguh terasa nyata. Bibirku telah manyun bersiap menerima kecupannya. Tapi ... suaranya tidak seperti seorang laki-laki jantan.
“Nona? Bangunlah. Kita telah sampai di tempat tujuan."
“Ahhhhh!” teriakan ini memekikkan telingaku sendiri karena kaget. Ternyata suara itu milik seorang pramugari cantik. Pantas saja terdengar aneh di mimpiku tadi. “Maaf-maaf, aku ... sungguh tidak bermaksud seperti itu. Terima kasih telah membangunkanku. Permisi.”
Sungguh malunya diriku. Ingin rasanya menutupi wajahku dengan plastik keresek hitam. Kelakuan bodohku ini, lagi-lagi datang tanpa diundang. Kemungkinan besar pramugari itu mengira aku sudah tak waras.
Turun dari pesawat, aku langsung mencari taksi. Tapi nasib berkata lain, aku tak menemukannya. Dan bus pun menjadi pilihan terakhirku.
Jika menggunakan kereta, setelah turun aku harus mencari kendaraan lain lagi. Sungguh tidak efektif. Untuk menaiki bus, aku harus berjalan sekitar 500 meter dari bandara. Angkutan umum yang kugunakan ternyata telah sesak oleh para penumpang. Dengan sangat terpaksa, aku harus berteman dengan keadaan ini.
Turun dari bus, aku berjalan mendekati pintu rumah nenek. Aku sedikit kaget dengan keadaan di sekitar sini. Sudah begitu sepi? Apa artinya jasad kakek telah dikuburkan? Rupanya aku telat untuk mengikuti upacara kematian kakek.
Tok, tok, tok ....
Aku mengetuk pintu lebih pelan. Yah, aku menyadari bahwa aku ini terlalu ceroboh. Maka dari itu, sebisa mungkin aku menghindari masalah yang akan terjadi. Di sini masih dalam keadaan duka, tidak lucu jika aku mengacaukan semuanya.
“Sebentar,” ujar seseorang dari dalam rumah. Setelah pintu terbuka, hanya kesedihan yang tergambar di wajah nenek. Dia terdiam sejenak setelah melihatku.
“Nenek, aku pulang. Maaf kepulanganku ini terlambat dan tidak bisa mengikuti upacara pemakaman kakek,” ujarku, memeluk nenek. Aku menenggelamkan kepala ini di pundaknya. Akhirnya air mataku mengalir tanpa terkendali.
“Tak apa, Ainsley. Memang tak ada acara pemakaman.” Nenek mengucapkan kata-kata itu dengan pelan. Setelah pikiranku mencari opini dari ucapannya, seluruh tubuhku bergetar hebat.
“Apa maksudmu, Nek?” tanyaku tak percaya. Aku melepas pelukanku dan melotot ke arahnya. Jika semua itu hanya leluconnya saja, aku tak akan berbicara pada nenek selama diriku di sini.
“Robert ... jasadnya hilang,“ ujar nenek pelan. Dia menggenggam erat tanganku sambil menitikkan air mata.
“Bagaimana ... bagaimana bisa!” teriakku. Suaraku kian meninggi karena shock. "Mengapa itu terjadi pada kakek? Kenapa hanya diam dan menangis, Nek? Aku akan melaporkan hal ini pada polisi,” tuturku panik. Aku berusaha melepaskan genggaman nenek yang terlalu kuat.
“Tidak, Ainsley! Berhenti memberontak dan melawanku! Aku sudah melaporkannya kepada pihak kepolisian. Tapi mereka tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Sehingga kasus ini ditutup,” jelas nenek, menatapku tajam.
Aku diam membisu. Jatuh merosot ke tanah dengan pandangan mata yang kosong. Aku tak bisa berpikir jernih sekarang. Rasanya ingin sekali menghancurkan sesuatu agar emosiku tersalurkan. Dadaku terasa sakit dan sesak. Dengan bantuan nenek, aku dipapah untuk kembali berdiri dengan kokoh. Dia mengantarku untuk duduk di sofa ruang tamu.
“Ainsley, aku tahu kau teramat menyayangi kakekmu. Aku pun begitu. Tapi kita tak bisa memaksakan pihak mana pun untuk tetap menyelidiki kasus ini,” jelas nenek padaku. Aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan itu. Badanku kaku, bahkan untuk menggerakkan jari-jari pun tak bisa.
Nenek pergi meninggalkanku di ruang tamu. Aku termenung lagi dalam kesendirian ini. Memikirkan nasib kakekku yang begitu mengenaskan. Bagaimana kronologi kejadiannya? Mengapa sampai jasadnya menghilang?
Apa ada sebuah konspirasi yang bertujuan membuat semua keluargaku sengsara? Kemungkinan besar, pelakunya memiliki dendam dengan kakek. Semua opini ini selalu berputar-putar di dalam otakku.
“Ainsley," panggil nenek. Dia menepuk pundakku sambil menyodorkan sebuah cangkir kecil. “Minumlah coklat panas ini. Kau bisa lebih tenang nantinya."
“Nenek, bagaimana kronologi kematian kakek? Sepertinya dia tak memiliki riwayat penyakit apa pun?” Begitu sadar dari lamunan, pertanyaan inilah yang pertama kali terucap oleh mulutku.
“Dia meninggal di hutan saat mencari kayu bakar. Sekujur tubuhnya dipenuhi bekas luka cabikan. Sebelum keluar dari sana, aku melihatnya tergeletak lemas di bawah pohon. Setelah aku kembali ke dalam hutan dengan banyak bantuan, jasad Robert menghilang.” Penjelasan nenek kali ini seperti menjurus pada penyerangan hewan buas. Tiba-tiba dia berdiri, dan berjalan menuju kamarnya sambil menggumam. “Aku lelah, Ainsley. Aku ingin beristirahat. Sebaiknya kau juga begitu."
“Baik, Nek.” Setelah nenek menutup pintu kamarnya, aku menjadi teringat satu hal. Sewaktu kecil dulu, aku pernah melihatnya di hutan dengan seekor serigala putih.
Karena masih berumur 5 tahun, dengan polosnya aku berpikir itu hanya hewan peliharaannya saja. Ketika aku bertanya pada nenek, jawabannya juga sama persis seperti yang aku pikirkan.
Apabila dugaanku benar, mustahil jika jejaknya tak ditemukan. Seharusnya ada bekas darah yang menempel di rumput. Tapi kenapa polisi tidak menemukan apa pun? Artinya ini bukan ulah hewan buas. Kemungkinan besar ini ulah manusia. Aku harus segera mencari tahu.
Tak terasa, Waktu berlalu begitu cepat. Sudah tiga hari ini aku menemani nenek di rumah. Dan kini saatnya untuk pulang ke Amerika. Namun tak ada satu pun bukti yang aku temukan di sekitar sini. Jujur saja aku tak tega untuk meninggalkannya sendirian.
Walaupun rasa penasaran ini terus mendesak hatiku, peraturan harus tetap kupatuhi. Aku tak ingin mendapat sanksi dari universitas dan mengacaukan segalanya. Tanganku langsung merogoh ponsel dari saku celana untuk menelepon bibi. Semoga dia mau menyerahkan pekerjaannya pada Richard untuk sementara waktu.
Sebenarnya bibiku telah menjenguk nenek kemarin. Tapi malamnya dia harus pergi lagi untuk bekerja. Sungguh wanita yang sibuk, bukan?
Namanya Alaina Robert. Dia adalah adik kandung ibuku satu-satunya. Ia tak pernah tinggal di sini. Pekerjaannya memang tak bisa ditinggalkan dengan sesuka hati. Rasa tanggung jawab yang besar pada mendiang suaminya, membuat bibi menjadi seperti itu.
Paman Jackson Claire adalah seorang pengusaha sukses yang memulai bisnisnya dari nol, hingga jaya seperti sekarang. Suami bibi meninggal pada saat anaknya-Richard Claire-memasuki usia 5 tahun. Dan kini, istrinya yang mengurus seisi perusahaan itu.
Singkat cerita aku dan Richard mempunyai kenangan menyedihkan saat berumur 5 tahun. Hanya saja, banyak orang tertipu dengan sosok saudaraku yang satu ini. Di depan publik ia begitu menggemaskan dengan wajah polosnya.
Tapi sebenarnya dia adalah set4n kecil yang menyebalkan. Kenapa? Karena aku adalah korban nyata dari kelakuan buruknya itu.
Nada sambung sudah terdengar di telinga. Tak lama kemudian, dia mengangkat teleponku. Semoga saja Richard bisa menggantikan bibi untuk menjaga perusahaannya sementara waktu.
“Halo. Ada apa, Ainsley?” tanya bibi.
“Bibi, bisakah kau datang ke rumah? Nenek membutuhkanmu sekarang. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Petang nanti aku harus berangkat,” pintaku.
“Ah, itu. Aku memang berniat untuk ke rumah petang nanti. Perusahaan akan dipegang oleh Richard. Sekarang aku bebas menemui ibu tanpa terikat pekerjaan. Pulanglah. Jika terlalu lama di sini, kau bisa ketinggalan penerbangan,” jelas bibi.
“Baik, Bi. Kutunggu kabar selanjutnya. Aku akan berpamitan pada nenek.” Setelah menyelesaikan ucapanku, bibi menutup teleponnya.
Baiklah, aku sudah meminta bantuan bibi. Selanjutnya aku harus berpamitan pada nenek. Waktuku semakin sedikit di sini. Bagaikan dikejar sesuatu yang tak kasad mata. Inilah risiko bagi seseorang yang mengenyam pendidikan jauh di luar negaranya.
Perjalanan dari sini ke Amerika memakan banyak waktu. Aku begitu payah dalam mengatur waktu. Rasa hangat rumah inilah yang membuatku lupa akan beban hidup selama mengenyam pendidikan di luar negeri.
Dadaku mulai terasa sesak sekarang. Penyakit lamaku muncul lagi. Ketika panik, hal semacam itu selalu terjadi padaku. Dan akhirnya aku merasa kesulitan untuk bernapas.
Melihat nenek sedang duduk di sofa, hatiku semakin sakit. Dia menyeruput secangkir kopi miliknya dengan sangat lamban. Pandangan matanya pun kosong. Kurasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Lalu, bagaimana caranya untuk menyampaikan niatku ini? Aku tidak tega untuk berpamitan dengannya.
Aku menghampirinya dengan hati-hati kemudian duduk secara perlahan di dekatnya. “Nenek," panggilku. Dengan spontan dia menatapku. Tapi beberapa detik kemudian dia memalingkan wajahnya kembali. "Aku ... tak bisa terlalu lama di sini.”
Mataku mulai terasa pedih karena menahan tangis yang tak ingin kuperlihatkan padanya. Tapi dia tak mengeluarkan reaksi apa pun saat aku berbicara. Hanya terdiam tanpa menatap ke arahku. Apalagi yang harus kukatakan padanya?
“Aku harus kembali. Pihak universitas sudah berbaik hati padaku, dengan memberi izin untuk berkabung. Dan jujur saja, jauh di dalam hatiku ini, aku ingin selalu menemanimu, Nek,” celetukku, sambil menggenggam kedua tangannya.
Dengan sangat tiba-tiba, dia menoleh ke arahku dan tertawa. "Hahaha, dasar bodoh. Pulanglah, tak usah khawatirkan diriku. Aku tak masalah jika kau pulang sekarang. Peraturan tetap peraturan, bukan? Kabari saja diriku saat kau sampai di sana."
“Baik, Nek. Sampai jumpa. Aku sayang padamu.” Senyumku seketika mengembang melihatnya tertawa. Setidaknya dia masih bisa begitu tegar walaupun hatinya sedang terluka. Ia tak mau melihatku gelisah di saat aku meninggalkannya
Aku juga harus semangat lagi dan jangan sampai membuat dia kecewa. Kini diriku berlari keluar rumah, sambil melambaikan tangan padanya. Sungguh lega melihat reaksi nenek seperti itu.
Kaki kecilku harus bergerak cepat sekarang. Ketinggalan penerbangan bukan hal yang lucu, kan? Sesampainya di bandara, aku langsung bergegas menunjukkan boarding pass-ku.
Akhirnya aku bisa duduk di kursi ini dengan nyaman. Pemandangan dari atas sini terasa menakutkan. Aku mencoba untuk tetap fokus dan tidak melamun.
Tapi setelah beberapa menit menatap titik-titik kecil di bawah, pandanganku menjadi kosong. Aku kembali memikirkan tragedi meninggalnya kakek yang begitu mengenaskan. Mengapa tak ada seorang pun yang berhasil menemukan jasadnya?
“Aw!” pekikku. Saking seriusnya melamun, kepalaku terantuk kaca jendela. Lagi-lagi aku bertindak bodoh. Lebih baik kugunakan untuk tidur saja. Semoga aku tidak bermimpi aneh seperti kejadian waktu itu.
Aku merasakan lelah yang teramat sangat. Tidurku sangat lelap kali ini. Akhirnya aku dibangunkan kembali oleh salah satu pramugari yang bertugas. Rupanya aku sudah kembali ke Amerika dengan selamat.
Keadaanku begitu lusuh ketika turun dari pesawat. Sebenarnya cukup memalukan. Tapi ... ya, sudahlah. Tak ada waktu lagi untuk merapikannya. Aku ingin cepat-cepat sampai di asrama dan tidur dengan pulas. Beruntung malam ini banyak taksi yang beroperasi. Sehingga aku tak perlu terlalu lama menunggu.
Sesampainya di asrama, aku meminta izin untuk masuk. Sepertinya semua orang sudah tertidur pulas. Aku juga harus secepatnya beristirahat.
Ketika masuk ke dalam kamar, aku merasakan sesuatu yang cukup mengacaukan mood-ku malam ini. Kenapa lantai ruanganku cepat sekali berdebu? Padahal baru tiga hari aku meninggalkannya. Tapi karena terlalu lelah, kubiarkan saja seperti ini.
Malam itu aku tertidur dengan lelap. Beruntung pagi ini sudah terasa agak segar kembali. Rutinitasku setiap hari adalah bekerja paruh waktu dan berangkat kuliah.
Aku bekerja di sebuah tempat bersantai yang cukup keren di daerah sini. Namanya orange cafe. Pemiliknya adalah orang tua Jason Alston. Dan aku cukup tertarik dengan anak bosku itu.
Tapi ketertarikanku ini tak lebih dari sebuah rasa kagum. Dan tentu saja, aku cukup sadar diri untuk bermimpi memilikinya. Dia sudah dijodohkan dengan wanita yang bernama Jennifer Chloe. Jadi meskipun aku benar-benar menyukai Jason, rasanya tak mungkin untuk bersaing dengan perempuan gil4 itu.
Meskipun Jennifer Chloe adalah wanita yang memiliki segalanya, tapi sifatnya sangat buruk terhadap semua orang. Bersikap sombong, keras kepala, dan suka menghardik siapa pun yang berani mendekati Jason.
Bahkan gadis yang sengaja Jason dekati sendiri pun, Jennifer berani mengancamnya. Ia tak suka jika prianya itu, dekat dengan perempuan selain dirinya. Padahal semua orang tahu, Jason tak pernah menyukai Jennifer.
Dan aku adalah salah satu korban Jennifer. Setelah desas-desus kedekatanku dengan Jason menyebar, wanita itu mulai mengawasiku. Tanpa kuduga, Jennifer datang untuk mengancamku.
Sejujurnya aku tak terlalu menanggapi ocehannya. Bahkan telingaku sempat terkena radiasi karena mendengar hal itu. Tapi beberapa ucapan terakhirnya membuatku sedikit terguncang.
Dia mengatakan, "Ayahku adalah rektor di kampusmu. Dia memiliki banyak koneksi penanam saham terbesar di universitas. Aku bisa membuatmu kehilangan beasiswa, dan mendepakmu keluar dari sana dengan berbagai cara.”
Setelah Jennifer mengucapkannya, aku segera memutar otak untuk mencerna kalimat tersebut. Kesimpulannya, dia telah menyelidiki seluruh kehidupanku di kampus. Lalu, informasi apalagi yang sudah ia dapat?
O, ya. Kenapa aku bisa lupa? Berita kematian orang tuaku pasti lebih menarik baginya. Difitnah melakukan korupsi gaji karyawan di perusahaannya sendiri. Kemudian memilih bunuh diri, karena takut menerima hukuman dari para penggugat.
Aku benar-benar tak mengerti. Keuntungan apa yang mereka dapat dengan menyebarkan berita ini? Perusahaan itu dibangun dengan kerja keras kedua orang tuaku. Bagaimana bisa ayah menjatuhkan nama baiknya sendiri?
Bualan seperti ini sudah lama menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak? Perusahaan ayahku adalah salah satu bisnis yang paling sukses kala itu di Amerika.
Dan kini, Jennifer membuat beasiswa sekolah sebagai alat untuk mengancamku. Aku mengakui bahwa dia adalah wanita yang pantang mundur dan cukup gil4. Diriku tak ingin masa depan yang telah ditata rapi hancur hanya karena cinta. Terlebih lagi, aku tak ingin menambah beban pikiran nenek.
Sudah hampir jam 8 pagi. Sebaiknya aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Jika terlambat satu detik saja, kata-kata pedas akan keluar dari mulut Jennifer.
Tempat itu memang milik orang tua Jason. Tapi ayah Jennifer adalah penanam saham terbesar di orange cafe. Dengan keadaan seperti ini, kalian pasti akan tahu cerita selanjutnya, jika aku tetap menyukai Jason.
Terkadang aku tertawa puas melihat Jennifer selalu diacuhkan oleh Jason. Saat berpapasan denganku, dia selalu saja menunjukkan sikap manja pada pria kesayangannya. Dan bodohnya lagi, kelakuannya itu sukses membuatku jengkel.
Tapi aku tak ingin menunjukkan kemarahanku padanya. Itu hanya membuatnya merasa menang. Kurasa mataku bisa katarak jika terus melihat tingkah menyebalkan Jennifer setiap hari.
Tempat kerjaku tak jauh dari asrama. Hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di sana. Cafe itu berada di seberang jalan raya.
Dinding dan pintu depannya, terbuat dari kaca tebal yang bisa dilihat dari sisi mana pun. Terlihat sangat cantik dengan sebuah taman mini sebagai pemanis tampilan luarnya.
Begitu masuk ke dalam cafe, aku melihat sorot mata yang tajam tertuju padaku. “Hah! Aku akan menyaksikan drama kecil lagi. Ainsley berperan sebagai Cinderella, dan Jennifer sebagai ibu tiri,” gerutuku.
Mulut kecil wanita itu memang sangat mungil dan imut, tapi setiap kalimat yang keluar darinya seperti racun ular berbisa. Jennifer menabrakku sambil tersenyum sinis. “Ups! Sepertinya aku telah menabrak seseorang. Em, siapa, ya? Oh, ternyata si Payah ini yang aku tabrak.”
“Jennifer! Sebenarnya apa maumu! Aku tak menemui atau mendekati pria pujaanmu! Mengapa kau masih saja menggangguku!” bentakku. Selama ini aku sudah mengalah padanya. Tapi selalu saja masalah yang mendatangiku.
“Kau memang tidak mendekatinya. Tapi saat kau menghilang dari hadapanku dan Jason, maka aku akan lebih tenang,” tukas Jennifer. Dia melayangkan senyum mengerikan seperti Joker.
“Dasar kau! Bukannya aku sudah menjauhi Jason? Apa bagimu itu belum cukup, hah?” Aku berusaha menahan semua ini agar emosiku tak semakin meluap.
Alis Jennifer tiba-tiba bertaut. “Kau marah padaku, ya? Oh, tidak! Jangan seperti itu, kau membuatku takut, Ainsley."
“Apa?” Aku menaikkan satu alis ini karenanya. Parasnya memang cantik, tapi sifatnya sungguh munafik. Ekspresinya yang seolah-olah takut tapi sebenarnya menghina itu, benar-benar membuatku jijik. “Berhentilah bermain-main denganku. Masih banyak pekerjaan yang menungguku di belakang sana.”
Saat aku berjalan meninggalkan Jennifer, tiba-tiba saja dia berteriak sambil menabrak dan mencengkeram lengan kiriku. Ia terjatuh, tapi aku juga didorong olehnya. Ternyata wanita ini membuat drama murahan lagi.
“Aw! Ainsley, aku tahu kau tidak suka padaku. Tapi tolong jangan siksa aku seperti ini,” ujar Jennifer dengan suara lantang.
O, astaga. Dia juga berpura-pura menangis? Aktingnya sungguh memukau. Dia benar-benar nekat membuatku jatuh ke dalam keadaan yang sulit. Aku hanya bisa menjerit di dalam hati saja. Semua orang memandangku dengan sinis karena perbuatan nenek sihir itu.
Ayo Ainsley, pikirkan jalan keluar yang bisa membuat Jennifer merasakan perbuatannya juga. Dalam keadaan gugup aku selalu memegang lengan kiriku. Terlebih lagi tanganku ini berdenyut nyeri, karena wanita itu sempat mencengkeramnya cukup kuat.
Tunggu dulu, hal yang baru saja kupikirkan ini, bisa kugunakan sebagai bumerang baginya. Maaf, aku melakukannya karena kau memulai lebih dulu. Situasinya sangat membahayakan nama baikku.
“Jennifer, apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kau menyayatkan kuku panjangmu ke lenganku?” ujarku sambil menangis. Beruntung aku menggunakan baju lengan pendek. Jadi alasanku tidak terlalu janggal.
Badanku bergetar hebat karena membohongi diri sendiri. Hanya dengan cara ini aku bisa meminta izin untuk pulang dan menghindari kejadian yang lebih buruk lagi.
“Apa?” teriak Jennifer dengan raut wajah kesal.
Tanpa mencari tahu kebenarannya, semua orang kini beralih memandang Jennifer yang duduk di lantai. Sebenarnya, kuku tanganku ini berlumuran darahku sendiri. Tapi sebelum mereka menyadari hal yang sesungguhnya, aku segera meninggalkan tempat itu.
Akhirnya aku terbebas dari keadaan yang membuatku nekat berpikir gila. Kini aku bisa meminta izin pulang karena lenganku berdarah. Tiba-tiba saja Jason datang dan memberiku pertanyaan yang macam-macam.
“Ainsley, apa yang terjadi? Kenapa lenganmu berdarah? Apa kau terluka karena Jennifer? Ayo kuantar kau berobat jika tidak-“
“Cukup Jason! Aku bisa pulang sendiri dan ini bukan urusanmu. Tak ada hubungannya dengan siapa pun. Aku lelah. Aku izin pulang lebih awal,” aku memotong ucapan Jason dengan cepat. Selesai berbicara, aku langsung pergi meninggalkan semua orang dan pulang ke asrama.
Tamat sudah riwayatku. Jennifer pasti tak akan tinggal diam atas semua yang kulakukan padanya. Sepertinya beasiswaku lagi yang menjadi bahan ancamannya. Aku terkapar lemas di lantai sambil merasakan perih karena luka yang kubuat sendiri.
Selang beberapa menit, aku berusaha bangun untuk mengambil kotak P3K yang tersimpan di laci meja. Tubuhku begitu lemas melihat darah yang mengalir dari sela-sela jari tangan yang menutupinya. Apalagi aroma anyir yang keluar begitu menusuk hidungku. Aku terhuyung ke belakang dan terduduk di tepi ranjang dengan kasar.
Beberapa helai tisu basah kuambil untuk membersihkan darah yang tengah asik mengalir ria. Setelah kurasa cukup, aku langsung memberi obat merah dan membalut lukaku dengan perban. Rasa lemas mulai menjalar di sekujur tubuhku. Kini diriku memejamkan mata dan menenggelamkan kepala di atas tumpukan bantal. Berharap esok hari tak akan sesakit ini.
Cuitan burung-burung kecil membangunkanku dari tidur panjang malam itu. Sayangnya bukan hanya tubuhku yang terbangun, rasa sakitku juga begitu. Nyeri dan perih mulai menyerang lenganku. Ingin beranjak dari tempat tidur pun seperti tak mampu lagi.
Terpaksa aku harus tetap merebahkan diri di atas tempat tidur selama beberapa menit. Ini adalah keadaan yang paling kubenci. Aku berdiam diri sampai panas yang dipancarkan sang surya menusuk kulitku.
Karena tak bisa menunggu lagi, aku memaksa bangun. Dan hasil yang kudapat adalah rasa sakit yang terus menggila setiap kali bergerak. Jika kau bisa melihatku sekarang, pergerakanku menuju kamar mandi seperti seekor siput yang mengejar makanannya. Rasanya sudah berjalan secepat mungkin, tapi kenyataannya tidak begitu.
Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk mandi, kini waktunya bersiap-siap untuk pergi kuliah. Aku terhenti dan meringis kesakitan ketika hendak mencomot tas yang ada di atas meja. Aku benar-benar melupakan lukaku yang hampir terbuka karena balutan perbannya lepas terkena air.
Tanpa basa basi lagi, aku mengambil obat merah, perban, dan sebuah plester dari kotak p3k. Aku menghampiri meja rias dan duduk di sana. Sambil menatap cermin, diriku mengobati luka ini dengan benda-benda yang kupersiapkan tadi.
Selesai dengan semua itu, aku bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Sungguh merepotkan memiliki luka ini. Tersentuh sedikit saja, rasa nyeri yang kurasakan.
Hari ini adalah UAS terakhir untuk naik ke semester tiga. Sebagian besar buku materi yang kuperlukan sudah masuk ke dalam tas. Tapi ada beberapa yang kubawa dengan tangan kananku. Kuharap semuanya berjalan dengan lancar. Aku tak ingin membuat kesalahan hanya karena rasa sakit yang datang tiba-tiba.
Kelas akan dimulai sekitar 15 menit lagi. Aku cepat-cepat keluar dari asrama menuju kampus. Tiba-tiba saja fokusku terpecah. Lamunan muncul di dalam pikiranku. Entah apa yang aku pikirkan sekarang.
Berjalan pun menjadi limbung. Tiba-tiba saja seseorang menabrakku. Lebih tepatnya di lengan yang terluka. Rasa nyeri membuyarkan lamunan ini. Sambil meringis kesakitan, aku langsung melihat sekelilingku. Meskipun jalanan ramai orang yang berjalan kaki, tapi jarak kami cukup jauh satu sama lain. Kemungkinan menabrak sesama pejalan kaki sangat kecil, bukan? Ya ... terkecuali aku sendiri yang melakukan kesalahan itu.
Aku mengabaikan pikiran yang membuatku banyak membuang waktu. Kucoba fokus kembali, dan berjalan di trotoar yang tak terlalu ramai. Karena tak memakai jam tangan, aku menjadi khawatir akan terlambat masuk. Begitu sampai di kelas, pengawas sudah berada di dalam. Hampir saja terlambat.
“Baik semuanya. Ujian dimulai 5 menit lagi. Siapkan alat tulis kalian. Selain itu mohon letakkan di dalam tas,” ujar pengawas, sambil membagi kertas ujian.
“Baik,” jawab para mahasiswa serentak.
Ujian dimulai dengan sangat tenang. Aku memperhatikan mereka semua mengerjakan soal tanpa ada raut wajah ragu dan cemas sedikit pun. Asal kau tahu saja, rata-rata murid beasiswa di kampusku memiliki IQ yang tinggi. Dan aku masih tergolong orang beruntung yang berhasil masuk di sini. Ya, meskipun kemampuanku masih jauh di bawah mereka.
Mengerjakan ujian bersama mereka adalah hal yang paling membuatku merinding. Itu terjadi karena kami semua bersaing untuk mendapatkan nilai yang baik. Tujuannya tak lain untuk mempertahankan beasiswa. Ini seperti arena berburu di alam liar. Berbagai macam pemburu karnivora memperebutkan satu-satunya mangsa yang tersisa, untuk bertahan hidup.
Masih tersisa 30 menit lagi sebelum ujian usai. Karena gugup, aku tak bisa berhenti memainkan pena di jariku. Satu jam telah terlewati. Akhirnya ujianku selesai. Lembar jawab ditinggal di atas meja.
Para mahasiswa pun pulang untuk beristirahat. Begitu pula diriku. Sungguh hari yang melelahkan. Beban hidupku semakin terasa karena jam satu siang nanti aku harus bekerja. “Hah! Si4l! Kepalaku pusing lagi” gerutuku.
Sampailah diriku di depan gedung asrama. Seperti yang aku perkirakan. Berdesak-desakan lagi dengan para mahasiswa lainnya. Pikiran itu memenuhi otakku begitu pintu lift mulai terbuka. Apa aku harus berjalan saja? Mataku melirik ke arah tangga yang tak jauh dari tempatku berdiri. Dari lantai satu sampai tiga, ternyata sama penuhnya seperti di sini. Akhirnya aku mengurungkan niatanku tadi.
Sebenarnya asrama telah menyediakan empat lift dan beberapa tangga sebagai alternatif. Tapi saat memasuki masa ujian, tempat ini terlihat seperti lautan manusia. Gedung ini bisa terlihat lebih longgar ketika para mahasiswanya keluar-masuk secara bergantian.
Gedung asrama hanya mencapai lantai tiga. Meskipun begitu, tempat ini sangat luas. Fasilitasnya juga bagus. Satu kamar bisa menampung dua orang. Beruntung sekali aku hanya seorang diri. Jadi terasa seperti di rumahku sendiri.
Begitu memasuki lift, aku melihat empat orang yang tertawa gembira menyingkirkan beberapa mahasiswa untuk menerobos ke dalam. Jarakku dengan para manusia itu awalnya cukup dekat. Tapi untungnya ada beberapa orang yang memberikanku batas agar tak bertemu langsung dengan mereka. Sepertinya nasibku memang selalu buruk.
Tawa Nysa, Ayumi, Carel, dan Lydia hampir menggema di setiap sudut lift ini. Tapi tak ada satu pun yang berani menghentikannya. Ingin sekali aku menampar mereka satu per satu jika mengingat kenangan waktu itu. Semua berawal dari kerja kelompok yang sering diberikan dosenku dulu.
Tugas-tugas semacam ini adalah ajang yang menyenangkan bagi mereka untuk merundungku. Padahal aku saja tak tahu, kesalahan apa yang membuatku selalu dipersulit oleh beberapa orang gil4 itu. Aku sering bernegosiasi dengan dosen yang memberi tugas supaya tidak perlu satu kelompok dengan mereka.
Tapi orang-orang itu tak kalah akal juga rupanya. Setiap usahaku hampir berhasil, mereka selalu membuat drama yang mengancam nama baikku. Sungguh pengalaman yang pahit. Untung saja belakangan ini aku tidak mendapatkan perlakuan buruk lagi.
Aku hanya bisa menghembuskan napas yang berat setiap kali mengingat kejadian buruk itu. Kurasa tidur lebih awal akan membuatku lebih tenang. Lagi-lagi kepala dan tanganku berdenyut sakit. Keadaan ini sungguh menyiksaku.
Saat pintu lift terbuka, aku membiarkan mereka pergi terlebih dulu. Setelah itu, barulah aku yang berjalan keluar dengan langkah yang cepat. Ingatan yang sejenak melintas membuat seluruh tubuhku terasa panas.
Setelah sampai di tempat tujuan, aku membuka pintu kamarku dengan sangat kasar. Bahkan ketika menutupnya kembali, bunyi gebrakan terdengar menggema di setiap sudut ruangan ini. Kakiku berjalan dengan cepat ke arah tempat tidur untuk segera menjatuhkan diri di atasnya.
Derit besi penyangga pun tak luput dari pendengaranku, setelah mendarat dengan sempurna di tumpukan bantal. Tapi nasib sial menimpaku lagi. Ketika mataku terpejam, jam weker berdering dengan keras.
“Urgh! Ada apa lagi ini! Aku hanya ingin beristirahat sebentar saja. Kenapa waktu berlalu begitu cepat? Jam tidurku habis hanya untuk mengantre menaiki lift.” Benar-benar membuatku naik darah dengan cepat. Dering benda kecil ini sangat menjengkelkan. Membuatku kaget setengah mati.
“Si4l! Kepalaku menjadi pusing!” Rasa kantukku sudah tidak tertahankan lagi. Jika saja ada yang melihatku dengan keadaan seperti ini, pasti aku dijadikan bahan olok-olok beberapa mahasiswi di kampus.
Sejujurnya, aroma bantal ini selalu mengajakku untuk tertidur lagi. Tapi aku harus bersiap-siap mandi dan berdandan secepat mungkin. Telat sedetik saja akan membuat Jennifer mengomel tak karuan.
Perpindahan shift-ku berlaku saat jam satu siang nanti. Beruntung aku mengatur alarm 30 menit sebelum waktu kerjaku. Jadi aku masih memiliki kesempatan agar tidak terjebak dalam drama konyol Jennifer. “Ayolah Ainsley! Bangun, bangun, bangun,” aku terus menggumam, sambil menepuk pipiku sendiri agar cepat tersadar.
Aku beranjak dari tempat tidur, dan melangkah dengan malas menuju kamar mandi. Kakiku terhenti saat melewati cermin. Mataku melirik ke arah pantulan wajah ini.
Aku menyengir sinis melihat diriku sendiri. Ternyata kantung mataku berwarna ungu kehitaman. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi.
Kelihatannya dandananku harus sedikit tebal untuk menutupinya. Selesai mandi dan memakai baju, aku langsung menggunakan riasan untuk menutupi kantong mata ini. Aku perlu 10 menit untuk melakukannya.
Keluar dari asrama, aku menarik napas dalam-dalam. Menyiapkan mental yang kuat untuk menghadapi badai besar nanti. Semoga saja pertemuanku dengan nenek sihir itu tidak terlalu cepat.
Aku paham betul siapa dirinya. Wanita lic1k itu tak suka kekalahan. Apalagi kemarin aku berhasil lolos dari cengkeramannya.
Begitu masuk ke dalam cafe, bunyi lonceng pintu menyambutku. Aku segera masuk ke dapur untuk menghindari Jennifer. Sejujurnya aku tidak takut pada wanita itu, tapi kejutan yang dia berikan selalu berhasil membuatku shock.
Situasi kemarin saja membuat jantungku terasa copot dari tempatnya. Ditambah lagi aku harus berusaha lebih keras untuk menjauhi Jason. Dia terus-menerus mencariku. Kebodohannya itu membuatku semakin terjerembap dalam keadaan tak menguntungkan ini.
Aku sangat pening merasakan semuanya. Tapi aku harus bisa bertahan. Karena mencari pekerjaan paruh waktu dengan gaji yang lumayan banyak seperti ini, begitu sulit.
Uang yang terkumpul dari bekerja biasanya kupakai untuk biaya sewa, biaya sehari-hari, dan keperluan tugas kampus. Walaupun aku memakai beasiswa, tapi hal itu tak digunakan untuk membayar keperluan sehari-hari, bukan? Jadi berusaha dengan kerja paruh waktu adalah jawaban tepat dari masalahku ini.
“Hai. Ainsley, bagaimana kuliahmu tadi? Bukankah hari ini ujian terakhirmu telah usai? Kenapa jalanmu agak limbung? Kau sakit?” tanya Kayla.
“Ah, iya. Hari ini ujian telah usai. Ya, aku memang sedikit pusing karena tak punya waktu untuk beristirahat. Saat mataku baru saja terpejam, jam weker sudah berbunyi. Terpaksa aku bangun dengan keadaan lusuh begini. Kau tahu sendiri bagaimana konsekuensinya, jika kita terlambat satu detik saja.”
“Hitungan detik hanya berlaku bagimu. Untuk kami, peraturannya berbeda lagi, ok."
“Hah!” dengusku kesal. “ Ya, ya. Cukup paham! Bagi mereka yang bermasalah dengan wanita itu, perlakuannya pun akan berbeda. Lebih kejam,” ujarku sinis, melirik ke arah Kayla.
“Hahaha sudahlah,” tawa Kayla mengudara begitu melihat lirikanku tadi. “Ayo bekerja. Pelanggan sudah menunggu. Setidaknya kau tidak terlambat, iya, kan?” Kayla menyengir sambil menepuk pundakku. Ia pergi mengantarkan pesanan pelanggan setelah mengucapkan kalimat yang membuatku sedikit kesal.
Aku balas menyengir dengan sorot mata yang tajam. Ternyata Kayla masih saja terkekeh melihat ekspresiku ini. Hatiku benar-benar lelah menghadapi perlakuan nenek sihir itu.
Untungnya aku tipe orang yang bisa bersabar. Jika tidak memikirkan masalah beasiswa, pasti aku sudah membuat perhitungan dengan Jennifer dan keluar dari tempat ini. Keadaanku masih terjepit di sini. Aku tak bisa bertindak gegabah dalam menghadapinya. Meskipun aku tahu, hatiku selalu memberontak karena perbuatan Jennifer.
“Ainsley, pesanan datang. Cepat kau bawakan semuanya ke meja nomor 21,” ujar Justin, memberikan daftar pesanan padaku.
“Baik.” Tanpa basa-basi lagi diriku mengambil apa yang dipesan oleh meja nomor 21. Tapi sayangnya langkah kakiku terasa berat mengingat apa yang akan kuhadapi setelah ini.
Tampaknya Jennifer belum menunjukkan batang hidungnya padaku. Tapi ini cukup membuatku lega. Semoga saja aku tak bertemu dengannya sampai jam kerjaku habis.
“Permisi Tuan, Nona. Ini pesanan kalian selamat menikmati makanan dan minuman kami,” ujarku sambil membungkuk. Aku berbalik dan pergi dengan cepat menuju dapur.
Tanpa kuduga, ada yang menarik tanganku masuk ke dalam ruangan gelap yang dingin. Hampir saja aku berteriak tapi orang itu menutup rapat mulutku. Untuk berontak saja, aku tak bisa. Dia terlalu kuat.
“Tolong diamlah, Ainsley. Ini aku Jason,” bisik Jason padaku. Kurasa jarak wajah kami terlalu dekat. Embusan napasnya menerpa wajahku. Dia membawaku ke dalam ruang pendingin makanan.
“Jason kau ... kenapa membawaku ke sini? Bagaimana jika ada yang melihat? Tolong jangan memperburuk keadaan," tukasku.
“Tidak ada yang tahu kita di sini. Lagi pula semua lampu di sini sudah kumatikan. Jadi tolong pelankan suaramu. Kau selalu menghindariku karena seseorang mengancammu, kan? Maka dari itu, aku menarikmu kemari. Aku ingin mengajakmu makan malam dan membicarakan apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Jason, memegang pundakku.
“Maaf, Jason. Aku tak punya waktu. Dan tidak ada yang mengancamku sama sekali.” Betapa munafiknya diriku mengatakan hal ini dengan lancar. Maafkan aku Jason.
“Aku tahu ini pasti ulah Jennifer bukan?”
“Tidak! Kau salah. Berhentilah menebak dan biarkan aku keluar!”
“Berhenti! Jangan melangkah keluar. Jika ini ulah Jennifer aku bisa-“
“Jika kau tahu, berhentilah membuatku selalu dalam masalah!” aku menghentikan ucapan Jason dengan cepat.
“Ainsley, berapa kali aku harus katakan. Aku mencintaimu. Sungguh!” Jason menatapku dengan mata indahnya itu. Meskipun teriakannya sangat menyebalkan di telingaku, tapi hati ini masih saja memihak dirinya.
Apa yang aku pikirkan? Aku harus cukup sadar jika diriku tidak pantas untuk pria yang ada di depanku ini. Hatiku terasa begitu sakit sekarang.
“Cukup! Kau salah jika jatuh cinta padaku. Aku ... apa kau ingin aku bertengkar dengan kekasihku, hah? Minggir. Sudah waktunya jam istirahat. Jangan ganggu diriku lagi.” Aku berbalik meninggalkan Jason di dalam ruang pendingin makanan.
“Aku tak percaya kau sudah memiliki kekasih, Ainsley!” Jason berteriak saat aku meninggalkannya di tempat itu. Bunyi dentuman yang sangat tiba-tiba membuatku sedikit terkejut. Sepertinya dia memukul tembok ruangan ini dengan keras. Sungguh pria bodoh. Melukai dirinya sendiri juga tak akan mengubah apa pun.
Maafkan aku Jason. Terpaksa harus bersikap kasar padamu. Aku tak ingin mendapat masalah yang lebih serius lagi dengan Jennifer. Karena dia terus mengancam beasiswaku.
Ketika jam istirahat karyawan tiba, selera makanku menjadi hilang. Akhirnya aku hanya memainkan ponsel sampai waktunya habis. Sungguh malang nasibku. Ketika kembali bekerja, aku malah berpapasan dengan Jennifer. Akhirnya aku mendapat ocehan konyol lagi darinya.
“Berhenti.”
“Ada apa, Jennifer? Mengapa kau-“
“Berhentilah berpura-pura. Aku tahu kau mencoba menggoda Jason bukan!” Jennifer menyergah ucapanku dengan cepat.
“Aku sungguh tidak menggodanya. Dia sendiri yang mendatangiku.”
“Cukup!” bentak Jennifer, menarik rambutku. "Jika kau masih ingin beasiswamu selamat, Jaga sikap dan bicaramu! Kau pikir masih bisa lolos dariku? Jangan mimpi!"
“Aku tidak berani macam-macam padamu, Jennifer. Sungguh! Tolong lepaskan tanganmu dari rambutku,” pintaku, merintih kesakitan.
“Baik kupegang kata-katamu, Ainsley," ujar Jennifer, melepas cengkeramannya.
Setelah kejadian itu, aku selalu bersembunyi bila Jason mencariku. Saat jam kerja berakhir pun, aku selalu menghindari bertatap muka dengan Jason.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!