Pagi hari yang tidak terlalu cerah, dengan kabut yang sangat tebal. Membuat seorang gadis berseragam sekolah terlihat gelisah. Dia sedang menunggu mobil angkutan umum untuk pergi ke sekolahnya. Hembusan angin yang semeliwir membuat cadarnya bergoyang-goyang.
"Ya Allah, ini kenapa lama sekali sih mobil? Udah jam berapa nih?" ucapnya, sambil melihat ke jalan raya sebelah timur. Untuk memastikan mobilnya sudah datang atau belum.
Aisyah Al Hakim, adalah Putri ke-4 dari pasangan Muhammad Al Hakim dan Khadijah Ramadhani. Dia siswi kelas XII disekolah Swasta. Yaitu, Sekolah Menengah Atas Swasta Islamiyah.
Dia tidak diizinkan mondok oleh Bapaknya, yang lebih dikenal Pak Ahmad. Dia sangat terkenal dia Desanya, karena keluarganya adalah Petani Padi dan Peternak Ikan yang terkenal di Desanya.
Hanya saja itu dulu, beda dengan sekarang, yang usaha Taninya mengalami penurunan setelah Bapaknya yang bernama Al Hakim meninggal.
Karena kurangnya dalam pendidikan agama, membuat ke-empat saudaranya saling berebut harta warisan.
Hingga akhirnya, dia hanya kebagian satu empang didepan rumahnya, tanah yang lumayan luas yang menjadi tempat tinggalnya, beberapa petak kebun, dan Sawah.
Saat itu, Ahmad sedang memberi makan pelet kepada ikan muzair dan ikan mas yang diternaknya. Lalu Istrinya Khadijah atau yang lebih dikenal Dija menghampirinya.
"Pak? Ini ikannya udah besar-besar belum?" tanya Dija, sambil melihat ke arah ikan-ikan yang berkerumun sedang berebut makanan.
"Lumayanlah bu, tapi gak terlalu besar banget. Ini kan baru tiga bulan."
"Iya pak, tadi aku ditelpon bu RT. katanya, Bu Haji mau beli ikannya 10 Kg."
"Subhanallah, banyak sekali bu."
"Kan mau ada tamu dirumahnya pak. Katanya, anaknya yang sulung mau pulang."
"Oh. Yang kuliahnya di Madinah itu bu?"
"Iya pak. Dia kan udah lulus. Emang bapa gak pernah ngobrol sama Pak Haji, kalau ke Mesjid?"
"Ah nggak pernah bu, malu atuh bu. Bapa cuma ngobrol sama Petani lagi, malu kalau ngobrol sama Pak Guru mah."
"Tapi kan orang nya ramah pak,"
"Ramah bu, dermawan juga. Tiap hari pegawainya bawain makanan untuk orang di Mesjid."
"Iya tuh bapa tahu. Bapa mah pemalu sih, bukannya gabung aja kalau lagi ngobrol."
"Ibu apaan sih, bapa gak enak bu."
"Hem. Kalau aku waktu ketenu sama bu haji, dia muji-muji terus si Ais pak. Bu haji suka nanyain terus, katanya sring bertemu Ais tapi wajahnya belum lihat lagi semenjak Ais pake cadar. Cuma lihat pas lagi smp aja."
"Bu haji nya juga ternyata,"
"Kenapa emang pak?"
"Teman bapa suka pada ngejailin bu, katanya Pak Haji, mau jadiin Aisy menantu."
"Alhamdulillah pak, anak kita empat-empatnya selalu dapat pujian dari orang, karena cantik-cantik. Yang terakhir si Ais nih, tapi dia mah mirip bapa banget. Dia jarang cerita, kalau ngobrol juga secukupnya."
"Iya bu, yaudahlah bu nanti aja ngobrolnya. Ibu telponin dulu bu Rt, jadi gak mesen ikannya. Kalau jadi, nanti biar dianterin Pak Abdul. Suruh bawa motor kita aja, kaki bapa masih sakit. Gak kuat ditanjakannya."
"Iya pak. Yaudah aku masuk dulu deh." Dija pun pergi meninggalkan Ahmad.
.
.
Aisy sudah berada didalam mobil, dia terlihat sedang bersiap-siap untuk turun.
Tak lama kemudian, mobil pun berhenti. Lalu dia, memberikan tiga ribu uang, untuk membayarnya.
Saat dia akan menyebrang, tiba-tiba berhenti juga mobil Elf. Dan terlihat seorang siswi turun dari mobil tersebut. Aisy hanya meliriknya sebentar.
Ketika dia akan melangkahkan kaki, tiba-tiba siswi yang turun tadi memanggilnya.
"Aisyah tungguin!"
Disekolah
Saat mereka berdua sudah sampe disekolah, tiba-tiba semua orang riuh dan saling bercakap-cakap membicarakan sesuatu.
"Ukhty Ais? Tunggu dulu!" ucap Amina, menarik tangan Ais yang akan duluan masuk ke kelas.
"Apa ukh?" Ais menatap sahabatnya itu dari balik cadarnya.
"Tunggu sebentar!" Amina menghampiri suara seorang perempuan yang sudah dikenalnya.
"Afwan, apa akan ada acara lagi disekolah ini?" tanya Amina penasaran.
"Laa. Katanya besok kita akan ada penyambutan Ustadz baru, terus pemilik sekolah ini juga mau datang." ucap salahsatu siswi yang bernama Raina.
"Wah. Asyik dong, hari bebas." ucap Aisy sumeringah.
"Emang iya besok dibebasin?"
"Laa ukhty min, mana ada sih hari bebas. Besok kan sabtu, sepertinya sekitar jam 8an doang deh. Jadi gak belajar di jam pertama doang."
"Oh yaudaha deh. Syukron ya infonya, kita duluan dulu ke kelas."
"Iya iya, oh iya ukhty Ais?"
"Kenapa ukhty Rin?"
"Tadi ana ketemu sama Ustadz Alvin, katanya hp anty gak aktif. Beliau datang telat katanya, soalnya mau ngurusin kelas XI yang mau Olimpiade dulu. Jadi, anty disuruh handle beliau."
"Oh, yaudah deh. Untung aja semalam ana sudah belajar."
"Anty udah faham modul yang dibagiin Ustadz Alvin kemarin?"
"Insya Allah, ukhty."
"Syukur deh, soalnya nanti anty harus jelasin ke teman-teman. Anty pasti bisa, anty soal Biologi mah kan jangan ditanya." ucap Raina, menyipitkan matanya.
"Alhamdulillah, hihi. Biologi iya, tapi kalau bahasa arab, qur'an hadits mah. Haduh, yeng puyeng puyeng. Harus Exstra banget." ucap Aisy.
"Yes. Kalau bisa sih, kita skip-skip aja belajar bahasa arab tuh." Timpal Amina.
"Ah tapi besok kan tetap aja harus belajar, jam kedua kan kita belajar lagi. Malah yang harus diskip besok, belajar sejarah. Ah sedih, padahal paling seru." ucap Raina.
"Ah seru belajarnya, apa seru karena ustadz Ganteng yang ngajarnya?" Goda Amina.
"Wah ukh, kalau masalah ustadz Riza ganteng mah, ustadz Alvin lebih ganteng kayanya." Puji Aisy.
"Naam benar tuh. Single lagi." ucap Amina.
"Menang di manis sih hihi. Ustadz Riza juga masih single, tapi emang udah mau nikah sih. Ah tapi kan,"
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Suara seorang wanita yang akan mengaji, dari sumber suara.
Amina dan Aisy, akan berlari karena itu adalah tanda akan diadakannya sholat duha berjama'ah. Namun, Raina menarik kedua tas mereka.
"Apa ukh?" Mereka kembali mendekat.
"Sebelum Aqad nikah terjadi, ana masih ada kesempatan mencintai Ustadz Riza." tatapan tajam Raina bergantian melirik Aisy dan Amina.
"Hadeuuuuh kirain kenapa, heuh. Come on lah!" Ajak Aisy sholat duha, dan mereka pun pergi.
Nb: Khusus saat disekolah, mereka dilarang menggunakan panggilan Aku/saya/kamu. Mereka harus menggantinya dengan Ana/Anty/Ukhty/Akhi. Termasuk kepada Guru Laki-laki atau Guru Perempuan, yakni Ustadz/Ustadzah.
.
.
Sementara di Jakarta, tepatnya di Bandara Soekarno Hatta. Terlihat Pesawat merek Saudi Arabia baru saja landing. Lalu satu-satu dari para penumpang itu turun.
Namun, yang menjadi pusat perhatian adalah beberapa orang pria yang parasnya masih sangat terlihat muda dan kharismatik. Gaya rambut yang membuat mereka terlihat cool, menyempurnakan wajahnya menjadi fress dan bersinar.
Masing-masing dari mereka menggeret koper, dan yang membuat mereka semakin berbeda dari yang lainnya. Mereka semua memakai sweeter yang sama, dengan celana diatas mata kaki semua (cingkrang).
"Yaa Ustadz Ashraf? Apa anta mau langsung pulang ke Surabaya?" tanya Adrian.
"Laa ustadz. Kita barengan sama yang lain untuk mampir ke UPIA (Universitas Pengetahuan Islam Arab)."
"Na'am. Apa ustadz akan beristirahat di Hotel dulu? Yang lain sepertinya sudah pergi."
"Laa ustadz. Ana akan langsung ke Restorant dulu, lalu pergi ke Mesjid. Nanti ke UPIA biar janjian sama yang lain." Melihat jam.
"Yausdah, kalau begitu bareng sama ana saja ustadz. Ana tidak nginap di Hotel. Keluarga di rumah sudah nunggu ana. Jadi, setelah dari UPIA ana langsung pulang."
"Afwan, min aina anta yaa ustadz?" Ashraf memegang pundak Adrian.
"Ana min Bogor ustadz." Adrian tersenyum, yang membuat pesona ketampanannya semakin memancar.
"Hem. Kalau tidak keberatan, biarkan ana ikut ustadz dulu. Abi dan Umi masih di Mekah, mereka sedang umrah." ucap Ashraf menghela nafas.
"Keberatan gak yah?" Canda Adrian, menaikan alisnya.
"Serius ustadz."
"Hehe. Tadinya ana mau ngajak anta malah, makanya ana tadi tanya-tanya ustadz mau pergi kemana. Sebenarnya itu kode, ana ingin ajak anta mampir ke rumah ana."
"Massya Allah. Apa disana ada yang spesial? Apa anta punya Pondok?"
"Bukan ana ustadz, abi yang punya. Abi mendirikan SMA Islamiyah. Insya Allah, ajarannya sesuai sunnah. Disana ada yang mondok, ada juga yang pulang pergi."
"Massya Allah. Sepertinya kalau punya pondok seperti itu, anta bisa cepat nikah ustadz." Goda balik Ashraf.
"Setelah mumet belajar, sepertinya iya. Haha. Tapi sepertinya ustadz pun seperti itu."
"Na'am. Sebenarnya ana ngebet sekali nikah, saat masih di UPIA. Hanya saja, abi suruh ana melanjutkan kuliah dulu di Madinah." Ashraf tersenyum.
"Yasudah. Tafadhol ustadz, jika mau duluan menikah. Hehe. Sekarang sudah mendapat gelar Lc,MA."
"Alhamdulillah. Kalau tidak keberatan, anta carikan ana satu santriah disana."
"Massya Allah. Kita akan kesana, anta bebas memilih." Mereka pun tertawa.
Dan tak terasa, mereka sudah sampe di sebuah tempat makan. Yang masih berada di Area Bandara. Mereka pun memutuskan untuk makan dulu.
Beberapa jam kemudian di Universitas Pengetahuan Islam dan Arab.
Saat itu, Adrian, Ashraf, dan beberapa kawannya yang baru lulus sedang berjalan-jalan melihat asrama yang dulu mereka tempati. Lalu mereka jalan lagi ke beberapa ruangan, saat itu mereka langsung disapa oleh beberapa Gubes(Guru Besar) yang ada disana.
Mereka langsung bercakap-cakap menggunakan bahasa arab.
"Kayfahaluk fi almadinat almunawarat?" tanya Gubes.
"Hasana ustadz, Alhamdulillah" ucap salahsatu dari mereka.
"Sayid kayf tasheur eindama tatakharaju saeid?" Gubes bertanya sambil tersenyum.
"Hunak shueur ustadz lamastuh." jawab Ashraf.
"Baed hadha 'iilaa 'ayn 'ant dhahbi?"
"Ashraf wa'ana sanaeud ealaa alfawr 'iilaa Bogor." jawab Adrian.
"Wasanaeud 'iilaa alfunduq. Ghadan adhhab 'iilaa almanzil liwalidayk" jawab yang lain.
"Asrie ladayk zawjatan. Litakun 'akthar sihatan mithl muealimika." Gubes berkata dengan bangga dan menaikan alisnya.
"Aamiin." jawab mereka semua sambil tertawa.
"Kun hadhiran fi altariqi. kun sadiqan fi eamalik , astamira fi makhafat allahi. yatadhakaru! yajib 'an yazala mutawadiean , almarid almarid. Assalamu'alaikum." Gubes tersebut, berlalu sambil menaikan satu tangannya.
Artinya:
"Bagaimana keadaan kalian di madinah?"
"Baik ustadz. Puji syukur kepada Allah."
"Rasanya udah lulus gimana?"
"Senang, ada rasa terharu ustadz."
"Setelah ini kalian akan kemana?"
"Saya dan Ashrap akan langsung pulang ke Bogor."
"Dan kita akan kembali ke Hotel. Besok baru akan pulang ke orang tua."
"Cepatlah punya istri biar lebih sehat seperti guru kalian ini."
"Aamiin." Mereka semua tertawa.
"Hati hati dijalan. Jujur lah dalam bekerja, terus bertakwa kepada allah. Ingat! harus tetap rendah hati, sabar sabar sabar. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kalian." Gubes berlalu, untuk kembali ngajar.
Mereka berdua pun berpamitan kepada kawan-kawannya. Sedih terlihat diraut wajah mereka, bertahun-tahun menimba Ilmu di Negri orang bukanlah hal yang mudah.
Terlebih lagi mereka, selain harus menahan rindu dengan orang tua, saudara, ataupun sobat. Mereka juga harus ekstra keras untuk belajar. Tapi yang disalutkan dari mereka, saat diantare mereka ada yang bisa kuat untuk menahan untuk tidak menikah dahulu.
Boleh aja menikah, karena menikah sambil menimba ilmu tidak ada larangannya. Hanya saja, kebanyakan yang menimba ilmu disana, mereka belum menikah.
Dan saat mereka sudah lulus, tidak sedikit dari mereka yang langsung menikah. Ntah karena bertemu jodoh saat kuliah, dijodohkan oran tua, dicomblangkan, atau tak sengaja bertemu di tempat mereka bekerja atau mengajar.
.
.
Saat itu, Aisyah dan Aminah baru saja keluar dari sekolah. Tidak banyak yang keluar, hanya mereka dan beberpa orang saja. Siswa dan Siswi yang berjumlah hampir 600 itu. 75% nya tinggal di Asrama.
Tiiid tiiid
Tiba-tiba klakson mobil berbunyi, merekapun berjalan lebih ke pinggir. Tetapi tiba-tiba, klalson mobil itu berbunyi lagi. Karena penasaran, mereka pun melihat ke arah mobil tersebut.
"Cieeee ehm. Ustadz Alvin." Amina menyenggol Ais. Sedangka Ais, sendiri hanya menunduk.
Tiiiid tiiid
Karena Ustadz Alvin terus membunyikan mobilnya, akhirnya dengan perasaan malu. Aisyah dan Aminah menghampiri mobil tersebut.
Kaca mobil pun dibuka oleh Alvin.
"Kalian kenapa?" tanya Alvin mengerutkan keningnya.
"Ustadz tadi klason terus, mau apa? Pasti ada perlu sama Aisyah kan?" Celetuk Amina, PD.
Alvin sendiri melirik sebentar ke arah Aisyah, yang masih mematung dan terdiam.
"Tuh kan, malah dilirik-lirik." Goda Amina, menyenggol Aisyah
"Ukhty min, jangan kaya gitu malu tahu." ucap Aisyah melirik ke Alvin.
"Gak apa-apa." Alvin tersenyum ke arah Aisyah.
Tiba-tiba, seorang penjaga sekolah teriak
"Sudah ustadz, maaf tadi saya dipanggil Ustadz Malik." teriaknya.
Merekapun melirik ke arah petugas itu, yang masih dengan posisi habis mendorong gerbang. Karena, gerbang sekola hanya dibuka selebar jalan untuk motor.
Aisyah dan Amina pun melirik ke arah Alvin. Begitu juga dengan Alvin, yang melirik ke arah Aisyah dan Amina bergantian.
Lalu Aisyah, dan Amina saling tatap. Tak lama kemudian, mereka pergi berari. Sedangkan, Alvin hanya tertawa kecil dan menggelegkan kepalanya.
"Maluuuuuuuu! Asliii malu banget, Aminah." teriak Aisyah dibalik cadarnya, sambil ngos-ngosan.
"Hahaahaa. Asli. Asli." Aminah hanya tertawa.
"Wajah kamu mau disimpan dimana itu? Pasti udah ikutan GR kan?" Ledek Aminah.
"Hah kesel, lagi pas banget kita dipinggir mobilnya ya." Aisyah mendengus.
"Tapi benar loh, kirain klakson ke kita. Tahunya ke Pak Edi, suruh bukain gerbang ahahaa. Ada aja yang lucu." ucap Amina.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!