"Pih... " Isak tangis seorang wanita paruh baya memenuhi ruang tengah sebuah rumah yang terletak di pinggir gunung sebuah desa yang begitu terpencil jauh dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan.
"Sabar Mih.. Nanti Pipih akan cari Andiri dan membawanya kembali pulang." Sahutnya tegas sambil memeluk erat istrinya.
Jauh di lubuk hatinya menyimpan rasa marah, kecewa dan sedih berkecamuk jadi satu. "Dimana kamu Dini.. " Gumamnya dalam hati sambil terus memeluk istrinya yang masih menangis memikirkan Andini yang sudah tiga hari pergi dari rumah.
"Pokoknya Mimih ga mau tau. Kamu harus menemui pria itu siang ini sepulang sekolah! Makanya nanti jangan terlambat pulang."
"Dini kan sudah bilang gak mau Mih.. Dini ingin meneruskan sekolah ke SMEA. Lagipula sekarang Dini kan masih kelas tiga SMP, belum kepikiran untuk... itu Miih.. " Andini merengek pada Ibunya sambil menatap Ibunya tak kuasa meneruskan kata-katanya.
Bulir air mata mulai terlihat di sudut mata gadis belia berambut panjang yang memakai bando warna merah dengan seragam putih biru yang dia kenakan. Sambil mengenakan sepatu, Andini menunggu jawaban Ibunya yang masih terus membisu.
Tapi Bu Salamah tidak menghiraukan putrinya. Bu Salamah fokus ke penggorengan yang ada di depannya. Setiap pagi Bu Salamah harus sudah memasak menyediakan makanan buat pekerja perkebunan milik suaminya.
Andini beranjak dari kursi makan yang berada tidak jauh dari Bu Salamah yang asik memasukan kayu bakar ke dalam tungku.
"Dini berangkat sekolah dulu Mih." Sambil meraih tangan Ibunya. Setelah mencium punggung tangan Bu Salamah, Andini berangkat ke sekolah berjalan kaki menempuh jarak kurang lebih 3 kilo untuk sampai ke terminal angkutan kota.
Setiap hari Andini berangkat ke sekolah selepas subuh mengingat jarak yang di tempuh dengan jalan kaki begitu jauh. Belum lagi dari terminal ke sekolah harus naik angkutan umum selama 15 menit. Dan ini Andini lakukan semenjak dari kelas satu Sekolah Menengah Pertama.
Sepanjang jalan Andini hanya menundukan wajahnya sesekali menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Air mata yang terus mengalir membasahi pipinya yang kuning langsat yang menjadi saksi kesedihan Andini dalam seminggu terakhir ini yang terus-terusan di bujuk Ibunya untuk menikah setelah lulus Sekolah Menengah Pertama.
Andini putri ketiga dari pasangan suami istri Pak Husein dan Bu Salamah.
Mereka termasuk keluarga terpandang di kampungnya.
Pak Husein di kenal tegas berwibawa begitu di segani oleh penduduk sekitar sebagai ketua kuwu. Sedangkan Bu Salamah sebagai ibu rumah tangga yang di kenal ramah dan baik hati, sehingga banyak orang yang menyukainya.
Andini anak ketiga di keluarga Pak Husein bahkan perempuan pertama yang berhasil meneruskan sekolah hingga ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Cita-cita Andini begitu menggebu ingin meneruskan sekolah ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Setelah itu Andini memimpikan bangku kuliah di kejuruan Ariyanti.
Andini tidak menghiraukan semua teman sebayanya sudah berkeluarga bahkan ada yang sudah memiliki anak.
"Pokonya aku harus melanjutkan sekolah sebisa mungkin bagaimanapun caranya." Gumamnya dalam hati Andini sambil terus berjalan tanpa sedikitpun mengangkat kepalanya. Hanya menunduk sambil teringat obrolan orangtuanya.
"Pih, masih ingat adik sepupu kita yang ada di kota." kata Bu Salamah sore itu sambil menikmati secangkir teh hangat.
"Iya. Kenapa tiba-tiba membicarakan dia Mih?" Jawab Pak Husein sambil menyantap pisang goreng hangat buatan isterinya.
"Bagaimana kalau kita terima saja laki-laki yang dia sodorkan untuk putri kita Andini?"
"Tapi Mih.. Andini masih sekolah. Belum lulus Mih." Sahut Pak Husein sambil meneguk teh hangat yang sudah ada di depannya.
"Mimih tahu Pih. Setidaknya kita terima saja dulu. Kita minta dia untuk menunggu Andini sampai lulus. Bukankah hanya tinggal enam bulan anak kita lulus sekolahnya Pih. Lagipula semua teman-teman Andini di kampung kita sudah berumahtangga semuanya Pih."
Dengan antusias Bu Salamah menyampaikan pada suaminya tentang keinginannya agar putri ketiganya segera menikah.
"Jangan sampai orang-orang di kampung kita membicarakan Andini yang belum menikah hingga saat ini. Mimih ga mau putri kita di sebut perawan tua." lanjut Bu Salamah tanpa menunggu sepatah katapun keluar dari mulut suaminya.
Pak Husein hanya bisa menatap istrinya yang duduk tepat di depannya. Helaan nafas saja yang keluar dari mulut Pak Husein.
"Din.."
"Ya..!" Andini beranjak dari tempat duduknya menatap orang yang menpuk bahunya dengan tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanya.
"Rima. Ah kamu ngagetin aja. Ada apa?" tanya Andini pada sahabatnya yang bernama Rima.
"Yakin kamu belum mau pulang? Kamu sudah tiga hari tidak pulang ke rumah Din. Kasian orangtuamu pasti sekarang lagi kebingungan harus mencari kamu kemana."
Andini tertunduk bingung.
"Biarkan aku disini semalam lagi Rim. Aku juga takut pulang kerumah. Pipih sama Mimih pasti memarahiku." Sahut Andini.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tak tertahankan lagi bulir air matanya menetes.
Rima hanya bisa memeluk sahabatnya yang sudah di kenal semenjak mereka masuk ke Sekolah yang sama.
"Rim.. Kamu kan tahu aku pengen sekali meneruskan ke SMEA. Mimih sama Pipih malah menyuruhku menikah dengan laki-laki pilihan mereka." Lanjut Andini menahan tangisnya dalam pelukan sahabatnya itu.
"Aku tahu Din ini pasti berat. Aku juga bingung ga bisa bantu. Malah aku berharap kita bisa satu sekolah lagi. Tapi aku mau ke SMA."
Andini makin terisak mendengar sahabatnya dengan begitu yakin akan melanjutkan sekolahnya.
"Kenapa orangtuaku ga seperti orangtua Rima ya Allah." Dalam hati Andini meracau penuh dengan kesedihan.
"Rim, aku iri sama orangtua kamu yang mau mengerti dan bolehin kamu terus sekolah. Aku bayangin nikahan aja udah seperti mau muntah." Sambil bergidik Andini mengusap-usap bahunya sendiri.
"Hihi iya." jawab Rima sambil tertawa kecil.
"Terus nanti punya anak udah ga bisa ngapa-ngapain ya Din." Lanjut Rima seolah terkesan memanas-manasi.
"Udah ah Rim. Ga usah bayangin kesitu aku makin takut tahu." tegas Andini seraya duduk di kursi.
Rima pun turut duduk di samping sahabatnya itu.
Lama mereka berdua termenung asik dengan lamunannya masing-masing.
"Ah..." Andini berdiri menghadap sahabatnya. "Aku punya ide Rim."
"Kamuuuu... Ngagetin aja." Setengah melebarkan matanya Rima berdiri memandang Andini.
Sementara itu di rumah orangtuanya Andini terlihat seolah tidak ada kehidupan disana.
"Bu.. Harus kemana lagi kami mencari Andini. Kita sudah mendatangi semua sanak saudara tapi tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan Andini." Tutur Ibu Salamah yang tengah berada di rumah oraangtuanya.
"Andini pasti pulang Sal, Ibu yakin. Tapi satu pesan Ibu jangan marahi Andini ketika tiba di rumah."
Jawab Ibu Imas penuh penegasan. Salamah hanya mengangguk sambil menyeka bulir-bulir bening yang membasahi sudut matanya.
"Tidak ada salahnya sebagai orangtua menuruti apa yang menjadi keinginan anak. Apalagi Andini hanya ingin melanjutkan sekolah." Sambung Ibu Imas sambil menyodorkan secangkir teh hangat tak lupa juga dengan kue cemilan sebagai pelengkap.
"Tapi Buu..."
"Sudah Salamah kita turuti saja kemauan Andini. Ibu yakin Andini pasti bisa menyelesaikan sekolahnya. Tak baik juga memaksanya menikah jika Andini menolak sampai pergi dari rumah berhari-hari. Bukankah ini akan menjadi kebanggaan keluarga kita jika Andini berhasil melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi. Lupakan soal menikahkan Andini. Lagipula kita ini keluarga cukup terpandang. Mampu untuk menyekolahkan Andini. Biarkan Andini menyusul Surya. Tidak baik juga Andini melangkahi kakak laki-lakinya"
Panjang lebar Ibu Imas menasehati anaknya.
Salamah hanya diam membisu tak menjawab satu katapun terhadap Ibunya itu.
"Ada benarnya juga yang dikatakan Ibu. Kenapa aku tidak kepikiran Surya." Dalam hati Bu Salamah meracau sambil menimbang-nimbang perkataan Ibunya.
"Rim, sepulang sekolah nanti aku ga balik ke rumahmu ya."
Andini membuka pembicaraan pada sahabatnya. Disaat jam istirahat mereka selalu menghabiskan waktu di perpustakaan.
"Kok mendadak Din, mau kemana?"
Wajah serius Rima tampakan tepat di depan wajah Andini penuh dengan rasa penasaran.
"Wajahmuuu.. " Andini mendorong wajah Rima agar sedikit menjauh dari hadapannya.
"Serius Din kamu mau kemana."
Andini terus sibuk membuka lembaran buku yang di pegangnya seolah tak mendengar apa yang di katakan sahabatnya itu.
"Din...!" Bentak Rima meriah buku yang di pegang Andini dan meletakannya di atas meja.
"Jawab Din kalau kamu ga balik ke rumahku.. Terus kamu mau balik ke mana?" Tegasnya penuh ke khawatiran.
Rima mendudukan Andini di kursi dengan mendorong pundak sahabatnya itu agar terduduk. Rima pun turut duduk di kursi yang ada di hadapan Andini.
"Din..! Denger ga sih apa yang ku bilang!"
Rima membentak Andini yang hanya menatap dirinya tak bergeming.
"Iya Rim aku denger." Sahut Andini tersenyum.
"Aku ga tuli kok, kamu ga usah teriak-teriak ah."
"Ya terus kenapa kamu diem aja." Rima cemberut sambil melilitkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Aku balik ke rumah nenek."
"Kamu yakin." pungkas Rima sambil memegang punggung tangan Andini di atas meja.
Andini mengangguk yakin. Dia tahu sahabatnya Rima sangat mengkhawatirkan dirinya.
"Jangan khawatir Rim, aku pasti balik ke rumah nenek." Sahut Andini sambil membalas balik memegang punggung tangan sahabatnya.
"Rim, makasih ya udah bolehin aku nginep di rumah kamu selama empat hari ini. Sampaikan terimakasihku buat mama papamu. Aku juga minta maaf ga pamit langsung sama mama papa kamu. Mereka begitu baik selama aku disana."
"Iya Din. Ga apa-apa kok, nanti aku sampein." Jawab Rima setengah memotong ucapan Andini.
"Aku pasti balik lagi ke rumahmu Rim. Aku kan harus ngomong langsung ke mama papamu. Sekaligus pamitan. Walau telat."
Andini tersenyum lebar pada Rima. Sedikit mentertawai kata-katanya semdiri.
"Baiklah..." Rima pindah duduk ke samping Andini.
"Din, kenapa kamu ga balik ke rumah pipih sama mimih. Kenapa mesti ke rumah nenek?"
Muka penasaran Rima kembali membuat Andini tersenyum. Reflex Andini mengibaskan tisyu ke wajah sahabatnya itu. "Mukamuuu.. Haha. Coba ada cermin.." Andini tertawa kecil melirik kiri kanannya mencari cermin
"Kenapa dengan cermin Din."
"Ya kalau ada cermin aku bisa tunjukin muka penasaranmu kaya badut.. Hiii." Andini menutup mulutnya menahan tawa.
Rima tersenyum mendengar ejekan sahabatnya sambil garuk-garuk kepala.
"Udah ah! Bilang sama aku ke..na..paaa kamu ga balik ke rumah pipih mimih. Jelas ga Din omongan aku." Tegas Rima sambil mencondongkan badannya mendekati Andini.
"Baiklaaaah... Bu Rimaaa." Andini mendorong pundak Rima supaya menjauh dari depan mukanya.
"Aku ga balik ke rumah orangtuaku karena aku masih takut di marahin sama pipih dan mimih. Jadi aku pengen ketemu sama Oma dulu sebelum aku balik kerumah. Pengen nanyain orangtuaku nyari ga ke rumah Oma. Nah teruuss... Aku mau denger apa kata Oma saat pipih sama mimih aku datang ke Oma, mereka bicara apa aja sama Oma. Gitu Rimaaaa." Jelas Andini panjang lebar
"Ooooo...." Sahut Rima melongos tidak mengerti maksudnya Andini.
"Nah aku juga mau minta tolong lagi sama Oma buat nganterin aku balik ke rumah. Jadi kalau nanti aku di marahin kan ada Oma jadi marahnya mimih sama pipih ga akan semarah gimanaaa gitu..." Andini menjelaskan sambil menatap wajah sahabatnya yang setia mendengarkan apa yang di sampaikan Andini.
"he ehm." Rima menganggukan kepalanya karena sudah mengerti apa yang dimaksud sahabatnya itu.
"Tapi Din.." ucapan Rima tertahan sambil menatap kasian sahabatnya itu
"Tapi apa." Jawab Andini penasaran.
"Gimana kalau mimih pipihmu tetep maksa kamu nikah." Rima mengerutnya keningnya seperti tak sabar untuk mendengar jawaban Andini.
"Makanya itu aku pengen ke Oma dulu. Pengen denger dulu apa yang mimih sama pipih aku bicarakan dengan Oma."
Andini menghela nafasnya dan menghembuskannya begitu panjang seolah ingin melepaskan beban berat di dalam dadanya.
"Nah.. Kalau aku udah tau. Nanti aku bisa balik ke rumahku atau balik ke rumahmu. Kamu ga keberatan kan Rim?" Andini menatap dalam wajah Rima.
"Ga!" Tegas Rima. "Terus maksudnya itu balik kesana atau kerumahku itu gimana.." lanjut Rima masih dalam kebingungannya.
"Jadi gini Rim.." Andini kembali menghembuskan nafasnya begitu dalam.
"Kalau misal orangtuaku tetep pengen jodohin aku. Ya aku langsung balik kerumahmu sampe mimih pipih ngijinin aku ngelanjutin sekolah. Tapi kalau mereka mau nurutin kemaunku, ya aku langsung ke rumah mimih pipih sama Oma. Begitu Riiim..." Jelas Andini sambil tersenyum penuh keterpaksaan.
"Kenapa balik lagi kerumahku kalau mimih pipihmu bolehin kamu lanjut sekolah?" tanya Rima bingung.
"Ya ampun Rimaaa..." Andini mencondongkan wajahnya kehadapan Rima.
"Tadi kan aku udah bilang. Aku pasti balik lagi ke rumah kamu, aku harus bilang langsung pamitan ke mama papa kamu... Walau telat hihi."
Andini menutup mulutnya kembali menertawai kata-katanya sendiri.
"Aku juga mesti ngucapin makasih atas kebaikan mama papamu selama aku disana kan gitu Rim." Sambung Andini sambil beranjak dari kursi karena bel istirahat telah berbunyi tanda semua murid harus kembali masuk kedalam kelas masing-masing.
Rima mengikuti langkah Andini setengah berlari agar bisa berjalan berdampingan. Rima menggandeng tangan Andini menuju kelas sambil berucap. "Semua akan baik-baik aja ya, aku doain mimih pipihmu bisa ngabulin apa yang jadi maunya kamu."
Andini mengangguk sambil tersenyum penuh kekhawatiran. Dalam hati dia berdoa berharap orangtuanya bisa mengurungkan niatnya untuk menikahkannya setelah lulus sekolah.
Rima berjalan berjingkrak jingkrak disamping sahabatnya itu sambil terus menggandeng tangannya.
TRRIIIING.. TRIIIING.. TRIIING
Bel sekolah kembali berbunyi tiga kali tanda jam belajar usai. Semua murid dengan bergegas membereskan semua buku dan alat tulis yang ada di atas mejanya maisng-masing setelah di persilahkan pulang oleh guru-gurunya.
Begitupun Andini dan Rima seolah berlomba bersama teman-temannya untuk saling mendahului keluar dari kelas. Merekapun berlari bersamaan menuju pintu kelas. Semua teman-temannya sudah begitu hafal terhadap kedekatan mereka berdua yang seolah tak mau dipisahkan satu sama lain walau hanya satu detikpun.
Persahabatan yang sudah dijalinnya selama hampir tiga tahun. Membuat mereka seolah seperti saudara kandung yang bisa saling merasakan jika salah satu diantara mereka sedang sedih maupun bahagia.
Dimana ada Andini disitu pasti ada Rima. Dimana ada Rima disitu pasti ada Andini. Tidak pernah sekalipun mereka bertengkar. Begitulah keindahan persahabatan diantara keduanya, penuh pengertian dan penuh kasih sayang satu sama lainnya.
"Din nanti aku temenin sampe rumah Oma ya."
Keinginan Rima untuk menemani sahabatnya itu mendapat anggukan dari Andini.
"Tapi Rim nanti kamu agak jauhan sampai kerumah kamunya." Andini setengah meyakinkan Rima akan menemaninya sampai ke rumah Omanya.
"Gapapa Din. Nanti di pertigaan aku jalan ke kanan aja biar bisa bareng kerumah Oma. Dari rumah Oma kamu nanti aku pakai angkutan umum." Tegas Rima sambil melirik wajah sahabatnya itu.
"Ya udah kalau gitu ayo temenin, aku malah seneng." Jawab Andini tersenyum lebar sambil menggandeng pundak sahabatnya itu.
Merak terus berjalan sambil bergandengan sesekali terdengar mereka tertawa cekikikan. Sepanjang jalan mereka mengobrol seolah tak habis topik untuk mereka perbincangkan selama dalam perjalanan.
Tak terasa tibalah mereka di depan rumah Omanya Andini. Rumah sederhana tapi begitu resik dan bersih terlihat jelas dari pinggir jalan.
"Rim udah sampe rumah Oma. Yuuk.. Mampir dulu." ajak Andini sambil menarik tangan sahabatnya itu.
"Engga ah Din."
"Eh kenapa ga mampir." Andini heran menatap wajah Rima.
"Aku khawatir nanti Oma ngomelin aku karena bareng kamu. Pasti Oma bakal tau selama ini kamu nginep di rumah aku." Jawab Rima berdiri mematung tak mau bergerak walaupun Rima menarik tangannya.
Rima tersenyum melihat kekhawatiran nampak jelas diwajah sahabatnya itu.
"Tenang Rim, Oma tau kok sejak awal kalau aku diem di rumah kamu selama ini. Makanya ga ada yang nyari ke rumah kamu." Jelas Andini dengan tegas ingin menghilangkan kekhawatiran sahabatnya itu.
"Oma, Dini sebaiknya tinggal dulu di rumah Rima selama beberapa hari kedepan. Berangkat sekolah dari sana." Rengek Andini pada Omanya yang begitu sangat menyayangi Andini dan mendukung apa yang menjadi keinginan cucunya itu.
"Tapi Nak, kasian mamimu nanti pasti sedih Dini ga pulang ke rumah." sahut Omanya sambil mengelud-elus rambut panjang andini yang menjuntai lurus rapi hingga mendekati pinggang.
"Oma.. Kalau Dini ga ngelakuin ini. Mimih pasti maksa terus untuk nikah nikah nikah. Dini kan ga mau Oma. Dini ga kepikiran buat itu." Rengeknya sambil menatap memohon terhadap Omanya agar mengijinkan Andini untuk tinggal dirumah temannya sebagai bentuk penolakan terhadap kemauan orangtuanya.
"Baiklah kalau begitu Oma ijinkan. Tapi..." Ibu Imas menghela nafas panjang.
Andini hanya menatap kedua bola mata neneknya berharap cemas menunggu apa yang akan disampaikan nenek kesayanganny yang begitu baik terhadap Andini.
"Kamu harus jaga diri, jangan bikin ulah dirumah Rima. Bantu-bantu pekerjaan rumah disana. Jaga sholatnya dan tidak boleh keluar rumah setelah sepulang sekolah sebaiknya gunakan untuk belajar."
Panjang lebar Ibu Imas menasehati cucunya tak lepas tangannya terus mengelus rambut panjang Andini dengan penuh kasih.
Andini mendengarkan dengan seksama semua apa yang disampaikan Omanya. Sampai akhirnya Andini mengangguk penuh ketegasan untuk meyakinkan Omanya kalau Dia akan menuruti semua nasehat Omanya. Andini tersenyum menatap Omanya seraya berkata lirih penuh kasih.
"Makasih Oma.. Dini beruntung punya Oma"
"Iya sayang." Ibu Imas memeluk erat cucunya sambil berdoa dalam hatinya berharap kalau anak dan menantunya mengurungkan niatnya untuk menikahkan Andini di usia yang masih sangat belia, hanya karena takut di perbincangkan sebagai perawan tua.
"Tapi Oma satu lagi." Andini melepaskan pelukannya kembali menatap manja neneknya
"Oma janji kalau mimi pipih nanti mau nyari Dini ke rumah Rima. Oma bilang pura-pura, kalau Oma udah nyuruh orang nyari Dini kesana dan ga ada Dini di rumah Rima. Biar nanti mimih sama pipih ga akan nyari Dini kesana."
Kembali Andini setengah memohon neneknya untuk mendukung setiap ucapannya. Ibu Imas mengangguk tegas sambil tersenyum.
Falsback off
"Kenapa kamu ga bilang dari awal Diiinnnn.. kalau Oma kamu tau selama ini kamu nginep di rumahku."
Setengah cemberut Rima menampakan wajah kesal pada sahabatnya itu.
"Iya maaf Rim. Kan namanya juga sandiwara. Ga boleh ada yang tau." Jawab Andini sambil menarik tangan Rima.
Masih sedikit cemberut Rima mengikuti langkah sahabatnya yang menarik tangannya untuk ikut masuk ke rumah Ibu Imas.
"Lain kali kamu jangan umpetin apapun dari aku Din. Aku kan jadi kesel." Rima menggerutu tanpa melirik sedikitpun terhadap Andini.
"Iya maaf. Aku janji ga akan bo'ong apapun sama kamu Rim. Jangan marah ya." Andini merangkul bahu sahabatnya.
Rima kembali tersenyum. Merekapun terus berjalan bergandengan menuju rumah Omanya Andini.
"Assalamuallaikum..." Rima dan Andini mengucap salam hampir bersamaan.
"Waalaikumsalam..." Terdengar suara Ibu Imas samar-samar membalas salam dari kejauhan.
Ibu Imas yang berada di halaman belakang sedang mengangkat jemuran, bergegas menuju ruang depan untuk membukakan pintu untuk cucunya yang sudah empat hari Dia khawatirkan.
Begitu pintu terbuka. "Omaaaaa." teriak Andini seraya merangkul tubuh wanita paruh baya itu.
"Dini kangen Oma." Pelukan Dini makin erat saat merasakan elusan hangat tangan Omanya di pucuk kepalanya.
"Oma juga kangen sayang." sahut Ibu Imas sambil memeluk erat tubuh mungil cucu kesayangannya itu sambil melirik Rima dan melempar senyum pada sahabat cucunya itu.
"Oma." angguk Rima membalas senyum Ibu Imas.
Andini melepas pelukannya ketika mendengar suara Rima. Andini hampir lupa telah mengajak sahabatnya untuk masuk. Dia membalikan badannya tersenyum pada Rima dan meraih tangan sahabatnya itu agar mendekat.
Rima meraih tangan Ibu Imas dan mencium punggung tangannya yang sudah terlihat sedikit keriput.
"Oma sehat." tanya Rima
"Alhamdulillah Nak Rima, Oma sehat. Bagaimana dengan Nak Rima... Mama sama Papanya juga apa kabar?" sahut Ibu Imas balik bertanya pada Rima.
"Alhamdulillah Oma semuanya pada sehat"
"Syukurlah." Ibu Imas kembali menebar senyum sebagai bukti atas keramahan Ibu Imas.
"Ya sudah yuuk masuk." Ajak Ibu Imas kepada mereka berdua.
Ibu Imas masuk kedalam di ikuti Andini dan Rima yang saling melempar senyum satu sama lain.
Terlebih Rima, Dia merasa lega ternyata benar apa yang di katakan Andini kalau Oma sahabatnya itu tidak akan memarahinya.
"Kalian duduk dulu." Ibu Imas menunjuk sofa kecil di ruang tengah yang menghadap ke lemari televisi ukuran 16".
Rima dan Andini pun menghempaskan tubuhnya bersamaan ke atas sofa yang di tunjuk Ibu Imas.
"Ini minum." tiba-tiba Ibu Imas sudah menyodorkan baki berisi dua gelas susu dan meletakannya diatas meja yang ada di hadapan Andini dan Rima.
"Makasih Oma. Padahal ga udah repot-repot." Rima menatap wajah Ibu Imas yang tak lepas selalu tersungging senyum di bibirnya dan selalu menujukan keramahan diwajahnya.
Itulah keluarga Andini, mulai dari Oma dan Opanya hingga kedua orangtuanya pun terkenal baik dan ramah pada semua orang. Apalagi mereka merupakan keluarga yang cukup dikenal.
"Tidak apa-apa Nak. Oma ga merasa direpotkan." Pungkas Ibu Imas sambil tersenyum bahagia.
"Iya Oma tapi lain kali suruh saja Rima kedapur untuk bikin sendiri." Rima menyahut dan membalas senyuman Oma sahabatnya itu.
Itulah Rima, sebagai gadis belia yang begitu santun dan penuh pengertian. Senyum yang melebar di wajahnya yang sedikit oval dengan rambut bergelombang sebawah bahu. Semakin menonjolkan wajah manisnya dengan kulit yang sedikit gelap dibandingkan dengan Andini yang memiliki kulit kuning langsat.
Ibu Imas hanya membalas Rima dengan anggukan dan senyuman. Ibu Imas membalikan badannya melangkah menuju dapur sambil membawa baki.
Di dapur Ibu Imas kembali sibuk mempersiapkan makan siang untuk mereka bertiga.
Nasi dan lauk pauk sudah tertata rapi diatas meja makan yang terletak di ruang dapur. Berhadapan dengan tungku yang masih sedikit ada kayu bakar yang menyala.
Sementara itu kedua gadis belia masih duduk di atas sofa sambil menonton televisi.
"Dini.. Rima... Sini ke dapur." Panggil Oma setengah meninggikan suaranya.
Andini dan Rima beranjak dari tempat duduknya dan menghambur berlari ke dapur setelah mendengar Ibu Imas memanggil nama mereka.
"Iya Oma... " Suara Andini dan Rima bersamaan menyahut pangilan Ibu Imas.
"Sini duduk. Kita makan dulu, kalian pasti sudah lapar."
"Iya Oma. Dini udah lapar banget ini." sahut Andini.
"Apalagi ada sayur asem buatan Oma pasti uueeenak..." Puji Andini sambil melirik sayur asem diatas meja makan sambil tersenyum.
Sementara itu Rima sedikit malu-malu untuk duduk dikursi yang sudah disediakan Ibu Imas.
Mengetahui hal itu Ibu Imas mengelus punggung Rima.
"Ayo Nak Rima tidak usah sungkan. Bukankah selama beberapa hari ini cucu Oma merepotkan Nak Rima."
Rima tersenyum lalu duduk di samping Andini.
"Nak Rima juga sudah Oma anggap cucu sama seperti Andini. Jadi jangan sungkan ya sama Oma. Oma senang melihat persahabatan kalian."
Ucapan Ibu Imas membuat Rima tersenyum senang. Dan Rima meraih piring yang sudah di isikan nasi oleh Ibu Imas.
Ini bukan kali pertama Rima berkunjung ke rumah oma sahabatnya itu. Sudah tidak terhitung entah keberapa kalinya.
Tapi Rima selalu menunjukan rasa sungkannya karena Dia begitu menghormati Ibu Imas sebagai sosok seorang nenek yang penyayang dan penuh pengertian. Bahkan Ibu Imas sering mengatakan kalau Rima juga dianggap cucunya sendiri.
Sambil mengambil piring satunya lagi buat Andini. Ibu Imas melanjutkan kata-katanya.
"Nak Rima. Oma sangat berterimakasih karena selama beberapa hari ini, Nak Rima beserta keluarga sudah menerima cucu Oma untuk tinggal disana."
"Iya Oma.." sahut Rima lirih.
"Nanti sampaikan ya terimakasihnya Oma, ke Mamah dan Papahnya Nak Rima. Suatu hari nanti Oma pasti berkunjung ke rumah Nak Rima.
"Baik Oma. Pasti Rima sampaikan ke Mama Papa." Jawab Rima tersenyum sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Gimana cucu Oma selama tinggal disana."
"Maksud Oma." jawab Rima seraya menoleh wajah Oma, kemudian menoleh wajah Andini yang ada di sampingnya.
"Maksud Oma, Apa Dini nakal selama di rumah Rima? Mau bantu-bantu pekerjaan Nak Rima atau hanya duduk diam." lanjut Oma sambil fokus menyuapkan sendok ke dalam mulutnya.
" Oooh... Itu Oma." Sahut Rima sambil mengunyah.
Setelah menelan makanannya Rima melanjutkan kata-katanya. Dia tahu Oma sahabatnya itu menunggu penjelasan darinya.
"Dini ga nakal Oma kan sudah besar." lanjut Rima sambil tersenyum melirik Andini yang masih acuh tak acuh dengan pembicaraan mereka.
"Dini selalu bantuin Rima kok Oma, setiap pagi sebelum berangkat Dini yang cuci piring. Rima nyapu semua ruangan." Kalimat Rima terhenti karena sudah tidak sabar ingin melahap sayur asem yang sudah siap santap diatas sendok yang Rima pegang.
"Sepulang sekolah, kita makan siang Oma. Istirahat sebentar. Lalu Dini kembali yang cuci piring. Rima mengepel deh. Sorenya kita belajar terus mengaji. Setelah sholat Isya kita nonton televisi Oma. Soalnya ada sinetron kesayangan kita. Ga mau terlewat."
Panjang lebar Rima menjelaskan sambil tersenyum ketika menyampaikan pada kalau mereka tidak mau melewati sinetron kesayangan setiap malamnya.
Oma tersenyum sambil manggut-manggut mendengar penjelasan sahabat cucunya itu.
Sementara Andini masih tetap diam tidak sedikitpun nimbrung pembicaran Rima bersama Omanya. Andini seolah fokus makan, melahap semua hidangan yang ada di piringnya sampai habis tak tersisa.
Rima dan Oma hanya sesekali melirik Andini.
"Syukurlah kalau cucu oma mengerti selama tinggal di rumah Nak Rima." sahut Ibu Imas sambil berdiri membawa piringnya ketempat cuci piring.
Ibu Imas langsung mencuci piring dan gelas bekas makan dan minumnya sendiri lalu meletakkannya ke rak pengering. Ibu Imas tidak menghiraukan Rima yang melarang Ibu Imas mencuci piringnya sendiri. Karena nanti akan mencucikannya untuk Oma sahabatnya itu.
"Sudah tidak apa-apa. Oma sudah biasa. Biar nanti kalian juga cuci piring dan gelas masing-masing ya."
"Baik Oma." Sahut Rima.
Andini hanya tersenyum melirik sahabatnya itu yang sedang menghabiskan makanan di mulutnya.
Andini tahu betul kebiasaan dirumah Omanya yang sudah menerapkan sejak lama. Jika setelah makan harus mencuci langsung alat makan yang dipakai oleh masing-masing anggota keluarga.
Maka dari itu, dapurnya selalu tertata rapi dan tidak pernah ada cucian perabotan yang numpuk.
Kebiasaan inipun diterapkan dirumahnya Andini semenjak Andini masih kecil.
Berbeda dengan kebiasaan di rumah Rima. Jika anggota keluarga tidak pernah mencuci piring sehabis makan. Maka tugas Rimalah untuk mencuci piring, untuk membantu meringankan pekerjaan Ibunya.
Akan tetapi ketika Andini tinggal di rumah Rima, Andini tidak merasa kaku saat harus membantu Rima mencuci piring. Karena sepulang dari sekolah Andini pun mempunyai tugas mencuci semua piring bekas makan para pekerja perkebunan Pipihnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!