NovelToon NovelToon

Bahasa CintaMu

Sisa Orang, Aku Makan

"Mas, mas Gibran!" teriak seorang anak laki-laki berlari tergesa-gesa ke arah Gibran yang sedang mencari rumput untuk makan kambing milik bapaknya dan untuk di jual.

"Ada apa, Don?" tanya Gibran sambil mengusap keringatnya di kening.

"Anu mas, itu. Bapakmu mas." kata anak laki-laki bernama Gendon, dengan pakaian lusuhnya, dan berlari tanpa alas kaki.

"Bapakku kenapa Don?" tanya Gibran dengan wajah cemas.

"Bapak mu kesurupan mas." kata Gendong.

"Apa? Kesurupan?" Gibran seolah tak percaya.

"Iya mas. Kena sawan manten katanya." jawab Gendon.

"Udah dikasih pertolongan belum?" tanya Gibran sambil memanggul rumputnya, Gibran segera pulang ke rumah untuk melihat keadaan bapaknya.

"Belum mas, tapi tadi kata mbok Yati, mau dipanggilkan wong pinter dulu mas." jawab Gendon.

"Ya sudah, aku pulang sekarang." kata Gibran tergesa pulang sambil membawa rumput yang dia dapat.

Sesampainya di rumah, Gibran melihat seorang dukun sedang menangani bapaknya yang sedang tidak sadarkan diri. Dia melihat simboknya menangis berpelukan dengan adik satu-satunya, yaitu Gendis.

"Kok bapak bisa kaya gitu mbok. kenapa?" tanya Gibran kepada simboknya.

"Gibran? Kamu sudah datang?" mbok Yati langsung memeluk putranya dengan menangis. Gibran mencoba menenangkan simboknya, dengan mengelus punggung mbok Yati.

Tak berapa lama kemudian, bapak Gibran sudah mulai tenang, tidak lagi mengamuk dan memukuli dirinya sendiri.

"Bapak saya kenapa ki?" tanya Gibran pada Ki Cipto, orang yang dikenal sebagai dukun di desanya.

"Bapakmu kena sawan manten. Sudah tak kasih pager supaya sawan itu tidak kembali lagi." jawab Ki Cipto.

"Terimakasih Ki." kata mbok Yati.

"Sama-sama yu. Pokoknya, nanti kalau ada apa-apa sama bojomu lagi, jangan sungkan panggil aku yo." kata Ki Cipto.

"Iya ki." jawab mbok Yati.

Saat ki Cipto akan keluar rumah, ki Cipto melihat Gendis berdiri di ambang pintu.

"Ini. siapa?" tanya ki Cipto sambil menunjuk Gendis. Seketika Gibran yang tadinya terfokus dengan kondisi bapaknya, menoleh ke arah ki Cipto yang menanyakan Gendis.

"Anak saya ki. Adiknya Gibran." jawab mbok Yati.

"Lhoh, mbakyu sudah punya anak gadis to ternyata? Cantik sekali. Siapa namamu nduk?" tanya ki Cipto.

"Gendis ki." jawab Gendis menunduk malu.

"Oh, ya. Gendis. Nama yang cantik, secantik orangnya." puji ki Cipto dengan tatapan nakalnya, dari ujung rambut sampai ujung kaki Gendis. Dan hal itu diketahui oleh Gibran, tangan Gibran sudah mulai mengepal, rasanya ingin menghajar aki-aki genit itu. Tetapi kemudian dia urungkan, karena ki Cipto sudah melangkah pergi meninggalkan rumahnya.

"Le, Bran." panggil mbok Yati.

"Ya bu?" jawab Gibran.

"Ibu minta tolong sama kamu ya le." kata mbok Yati tak enak hati.

"Minta tolong apa bu?"

"Gantiin bapakmu di rumah hajatan kampung sebelah. Bapakmu sudah dibayar, kalau tidak diteruskan pekerjaannya kan ya ga enak to le? Nanti kalau uangnya diminta lagi bagaimana? Sedangkan uangnya sudah dipakai kemarin." kata mbok Yati.

"Aku bu? Gantiin bapak? Nyuci piring maksudnya?" tanya Gibran tak percaya.

"Iya le. Lha bapakmu keadaannya kaya gitu, ga memungkinkan kalau buat melanjutkan pekerjaannya. Ibu masih harus lanjut buruh lagi di sawah, ini tadi ibu tinggal dulu pas dikabari bapakmu kena sawan." kata mbok Yati.

Gibran tampak berfikir kerasa.

"Nyuci piring di tengah pasemuan orang hajatan? Apa kata orang coba? Aku kan masih muda, ganteng pula. Mau ditaruh mana mukaku? Bakal malu banget aku. Pasti para pemuda pemudi sinoman bakal mempermalukan aku nantinya." batin Gibran.

"Ibu harus balik ke sawah. Kamu gantiin bapakmu ya le, ibu mohon. Kalau engga, nanti kita harus mengganti uang yang sudah dipakai bapakmu kemarin." kata mbok Yati sambil bersiap pergi ke sawah.

"Hem." jawab Gibran masih tak bergeming.

"Masa' iya aku cuci piring? Di tengah hajatan pula? Hhhh." keluh Gibran di depan bapaknya yang masih terlelap karena pengaruh mantra dari ki Cipto tadi.

"Mas, udah sana. Berangkat, nanti keburu di cariin lho." kata Gendis menyuruh kakaknya berangkat ke tempat hajatan.

"Hem." jawab Gibran dengan wajah super bete.

"Biar Gendis aja yang jagain bapak." kata Gendis.

"Kalau ada apa-apa sama bapak, langsung panggil mas ya." pesan Gibran.

"Ya mas."

💞💞💞

Sesampainya di tempat hajatan, Gibran dengan setengah hati mengambil alih semua tugas bapak nya yang bekerja sebagai tukang cuci piring. Sejak Gibran dan Gendis masih kecil, pak Parto memang sudah menjadi buruh cuci piring di mana-mana. Dan sudah menjadi hal biasa bagi Gibran dan Gendis memakan sisa orang yang dibawakan bapaknya. Dahulu, Gibran sangat senang jika bapak nya pulang membawa makanan enak, seperti daging ayam, daging sapi, atau telur semur sisaan. Karena bagi mereka, itu adalah makanan mahal dan memang jarang mereka mendapatkannya.

Dahulu, Gibran sangat senang dengan profesi bapaknya, karena dengan begitu, bapaknya bisa mendapatkan banyak uang dan makanan enak. Namun tidak untuk saat ini, Gibran sangat membenci pekerjaan bapaknya ini. Dia merasa sangat malu jika harus menggantikan pekerjaan bapaknya. Tetapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain, karena Gibran sendiri juga tidak mempunyai uang untuk mengembalikan uang yang sudah diberikan kepada bapaknya.

"Mas Gibran?" sapa seorang gadis cantik saat membawa piring kotor ke tempat dia berkecimpung dengan semua yang harus dia beresi saat itu juga.

"Eh, Sekar." jawab Gibran dengan meringis kuda sambil menahan malu yang sangat.

"Kamu kenapa di sini?" tanya Sekar ramah.

"Iya, ini aku gantiin bapak. Bapakku sakit. Jadi ga bisa nerusin kerjaannya." jawab Gibran sambil terus menggosok beberapa piring kotor dengan sabun cuci piring.

"Ya ampun Bran, kamu tu anak baik sekali ya. Sayang banget sama bapakmu, sampe kamu rela gantiin pekerjaan bapakmu kaya gini. Aku jadi salut sama kamu Bran." kata Sekar dengan penuh senyuman.

Sekar adalah kembang desa di desa sebelahnya Gibran, tempat Gibran mencuci piring saat ini. Sekar adalah anak seorang perangkat desa, lebih tepatnya anak Carik, atau sekdes. Dia cantik, dan berperawakan menarik, tinggi semampai dengan rambut hitam panjang, kulit kuning langsat dan lesung pipit di pipi kanan nya. Sekar memang terkenal ramah dan santun, dia tidak sombong, dan tidak suka membeda-bedakan orang dari kastanya. Sehingga, banyak pemuda baik dari desanya maupun desa lain yang juga tertarik dengan kembang Desa ini.

"Ehem, ehem. Ternyata ada artis nyasar di kubangan Lumpur sabun nih?" ejek seorang pemuda yang memang terkenal sebagai anak juragan sapi, bernama Dikto.

"Dikto, kamu nih apa-apaan sih?" kata Sekar dengans sedikit marah.

"Lhoh, emang iya kan, ni cowok yang sok kegantengan, sok jadi artis di kampung sebelah, ternyata, dia cuma seorang babu! Hahaha." cerca Dikto.

Plak!

"Dikto stop. Ga sepantasnya kamu ngomong kaya gitu sama Gibran!" kata Sekar marah sambil menampar Dikto.

"Aw...Awas aja lo Bran, gara-gara elo, pipi mulus gue kena tampar Sekar. Liat aja pembalasan gue nanti!" ancam Dikto yang tidak terima atas tamparan Sekar.

"Eh, maaf Dik, bukan gitu maksudku. Eh, kan aku yang salah, jangan salahin Gibran dong." kata Sekar mencoba meraih tangan Dikto, tetapi ditampik oleh Dikto dengan kasar.

"Liat aja nanti!" ancam Dikto tanpa menghiraukan kata-kata Sekar.

Sekar merasa bersalah atas sikapnya yang kasar terhadap Dikto yang akhirnya membuat Gibran yang menjadi tambah masalah.

"Maafin aku ya Bran." kata Sekar penuh sesal.

"Santai aja." jawab Gibran santai sambil terus menyelesaikan pekerjaannya. Lalu Sekar melanjutkan aktivitasnya sebagai pemudi untuk menjadi sinoman di acara hajatan itu. Sedangkan Gibran akhirnya sudah berhasil menyelesaikan semua tugasnya hingga senja tiba.

💞💞💞

Hai reader tercinta, ini adalah karya Dede yang baru ya. Cerita ini adalah unggahan kisah nyata di jaman dahulu, tetapi author bikin bahasa indonesia, agar tidak terlalu banyak menterjemahkan bahasanya. Sebenarnya kisah ini terjadi di tanah jawa tengah, sehingga semua bahasanya harusnya berbahasa jawa. Dan kisah ini Author sadur, dengan kisah yang menarik, dan unik. Semoga Reader suka ya. Ikuti terus cerita Bahasa CintaMu, ada maksud apa di setiap bahasa manusia? Cari jawabannya di cerita ini ya. love you😘

Sosok Seorang Gibran

Sore itu Gibran sudah menyelesaikan tugasnya, dan diapun berkemas untuk pulang setelah mendapat upah dari sang pemilik acara. Gibran memasukkan beberapa lembar uang upah milik bapaknya ke dalam saku celananya, dan dia juga membawa beberapa makanan dan bahan pokok yang diberikan pemilik acara untuk oleh-oleh keluarganya di rumah.

"Terimakasih banyak ya mas Gibran, sudah membantu kami. Wah, kami ga tau deh kalau ga ada mas Gibran tadi, kami harus nyari tukang cuci piring ke mana lagi." kata sang tuan rumah.

"Iya pak, sama-sama." jawab Gibran santun.

"Saya bangga sama anda mas Gibran, masih muda tapi sangat peduli dengan orangtuanya. Salam buat bapak ibu di rumah ya mas." kata tuan rumah.

"Ya pak. Nanti saya sampaikan. Kalau begitu, saya permisi dulu pak." kata Gibran.

Lalu Gibranpun pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda tuanya. Namun, saat sampai di jalan persawahan yang sepi, Gibran tiba-tiba di hadang oleh segerombolan pemuda yang tak asing bagi Gibran. Siapa lagi kalau bukan musuh bebuyutannya, dibawah kepemimpinan anak juragan Sapi, Dikto.

"Berhenti!" kata seorang anak buah Dikto mengentikan Gibran.

Gibran tanpa kata pun berhenti sesuai permintaan si Panjul, anak buat Dikto.

"Kamu, udah bikin aku malu di depan umum." hardis Dikto sambil menunjuk Gibran dengan penuh kebencian.

"Apa maumu?" tanya Gibran santai.

"Menghabisimu!" kata Dikto penuh Amarah.

Sebuah pukulan hampir mendarat di wajah Gibran dari tangan Dikto, namun dengan gesitnya, tangan Gibran menangkis tangan Dikto. Kemudian Gibran di keroyok anak buah Dikto, bugh bugh, baku hantam tiga lawan satu tak bisa dielakkan. Gibran terus membalas pukulan demi pulukan dari anak buah Dikto, hingga akhirnya Dikto berbuat curang dengan membawa sebuah botol minuman keras, di pukulan di tengkuk Gibran, hingga akhirnya Gibran tersungkur.

Brugh...

Disaat yang sama, ada seorang bapak-bapak yang melihat kejadian itu, langsung meneriaki mereka untuk menghentikan aksi mereka, namun terlambat. Dikto dan kedua anak buahnya segera pergi meninggalkan Gibran yang tersungkur menahan sakit.

"Mas, kamu baik-baik saja?" tanya seorang bapak-bapak itu berlari ke arah Gibran dan membantu Gibran untuk berdiri.

"Iya pak, saya baik-baik saja. Terimakasih pak, sudah menolong saya." kata Gibran santun.

"Saya antar pulang mas." tawar bapak itu.

"Tidak perlu pak, terimakasih. Saya bisa sendiri." kata Gibran sambil berjalan sempoyongan.

"Mas yakin bisa sendiri?" tanya si bapak.

"Iya pak."

"Terimakasih bapak sudah menolong saya." kata Gibran.

"Siapa namamu mas?" tanya si bapak.

"Gibran pak." jawab Gibran.

"Lain kali hati-hati ya mas Gibran. Adu otot satu banding tiga itu tidak mudah. Apalagi mereka membawa senjata." kata si bapak.

"Ya pak." jawab Gibran.

"Saya Gito." kata si bapak memperkenalkan diri.

"Oh, ya pak."

"Ehm, mas Gibran tau rumahnya pak Carik?" tanya Pak Gito.

"Maksud bapak, carik Joyo?" tanya Gibran.

"Iya. Sekdes desa ini."

"Tau pak. Bapak mau ke sana?" tanya Gibran.

"Iya mas. Tapi saya lupa-lupa ingat. Karena sudah lama tidak berkunjung ke sana" kata pak Gito.

"Baik pak, mari saya antarkan." kata Gibran ramah.

Gibran pun menaiki sepedanya, sedangkan pak Gito menaiki motor legend nya. Sesampainya di rumah pak Joyo, Gibran langsung pamit pulang.

"Terimakasih banyak ya mas Gibran." kata pak Gito.

"Sama-sama pak. Maaf, saya harus segera pulang, khawatir kalau ibu saya mencemaskan saya." kata Gibran.

"Baik mas. Terimakasih ya sekali lagi."

Gibran pun segera pergi dari rumah pak Joyo, sedangkan pak Gito menatap punggung Gibran dengan kebanggaan tersendiri.

"Wo...Mas Gito udah sampe sini to?" sapa pak Joyo.

"Eh, iya mas." jawab pak Gito.

"Sama siapa mas? Sendirian aja?" tanya pak Joyo.

"Dari rumah sih sendiri, tapi tadi saya minta tolong sama mas-mas warga sini, katanya sih rumahnya ga jauh dari sini." kata Pak Gito.

"Oh...ya ya. Aku pikir kamu bakal nyasar." kata pak Joyo.

"Ya kalau ga ada mas nya tadi, ya mungkin aku bakal nyasar mas." kata Gito.

"Ya wis, ayo duduk."

"Nduk, Sekar." panggil pak Joyo pada putrinya

"Ya pak?" jawab Sekar yang sudah berdiri di dekat bapaknya.

"Tolong buatkan kopi panas buat pak Gito ya nduk." pinta pak Joyo.

"Baik pak." jawab Sekar.

"Anakmu sudah gadis ya mas." kata Gito.

"Iya, sudah. Sekar sekarang memang sudah masuk SMA." kata Pak Joyo.

"Oh ya, pantesan."

"Lha anakmu, bukannya juga sudah besar mas?" tanya pak Joyo.

"Ya, begitulah." jawab pak Gito.

"Sampe sekarang, cuma bikin bapaknya pusing saja." keluh pak Gito.

"Sabar."

"Saya tu malah terkesan sama pemuda yang mengantar saya tadi lho mas." kata Pak Gito.

"Siapa?"

"Namanya Gibran." saat pak Gito menyebut nama Gibran, Sekar keluar dengan membawa dua cangkir kopi panas untuk pak Gito dan pak Joyo.

"Gibran?" tanya Sekar.

"Iya nduk, kamu mengenalnya?" tanya pak Gito.

"Dia teman Sekar paklik."

"Gibran, siapa to nduk?" tanya pak Joyo.

"Lhah, kamu ga kenal? Katanya dia juga tinggal di daerah sini." kata pak Gito.

Pak Joyo menggeleng.

"Mas Gibran itu tidak tinggal di sini paklik. Dia itu warga kampung sebelah." kata Sekar.

"Oh, pantesan, aku ga kenal." kata pak Joyo.

"Iya. Bapak kan kenal nya cuma sama anak-anaknya para juragan dan anak-anaknya para tokoh masyarakat. Kalau mas Gibran ini, seorang pemuda dari keluarga rakyat biasa." jawab Sekar.

"Sekar mengenalnya? Tau rumahnya?" tanya pak Gito.

"Sekar ga terlalu deket sih paklik sama dia. Tapi Sekar sedikit banyak tau kepribadiannya dan tau rumahnya." jawab Sekar.

"Dia orangnya pendiam paklik, cerdas, dan dia itu sangat menghormati orang yang lebih tua. Bahasanya santun, dan satu hal lagi yang paklik pasti kagum sama dia." kata Sekar.

"Apa nduk?"

"Mas Gibran itu bukan tipe laki-laki yang suka minum minuman keras paklik, dia juga tidak suka merokok. Orangnya kalem banget." kata Sekar berbicara penuh kekaguman.

"Wah, sepertinya nduk Sekar ini tau banyak tentang mas Gibran. Jangan-jangan..." tebak pak Gito.

"Yo jangan." lanjut pak Joyo.

"Kalau kamu naksir sama dia, bapak ga akan setujui." kata pak Joyo.

"Lhoh, kenapa mas?" tanya Gito heran.

"Mereka tidak se kasta. Kasta mereka beda jauh. Itu anak yang kamu maksud, anaknya mbok Yati, tukang tape itu kan? Anak orang miskin yang tadi bapaknya ngamuk-ngamuk di hajatan?" tebak pak Joyo.

"Lhoh, apa iya itu mas?"

"Bapak kalau menilai seseorang jangan dari latar belakang orangtuanya dong." protes Sekar.

"Ndak usah banyak bicara, sudah sana. Kamu masuk. Lanjutkan kegiatanmu." perintah pak Joyo pada putrinya.

Sekarpun menurut dan masuk ke dalam rumah dengan muka manyun dan tak suka dengan perlakuan bapaknya.

Disisi lain, pak Gito justru semakin penasaran dengan sosok Gibran, pemuda yang dimaksud Sekar. Kapan waktu, Pak Gito ingin mengajak pemuda itu ngobrol banyak. Siapa tau bisa untuk membantunya menyelesaikan masalahnya. Begitu pikir pak Gito.

Tamu Pagi

Sesampainya di rumah, Gibran langsung menyerahkan bahan makanan pokok yang dititipkan sang pemilik acara tadi kepada ibunya. Dan menyerahkan tambahan upah itu kepada ibunya juga. Gibran mendekati bapaknya,

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini le?" tanya pak Parto.

"Yah, gitu lah pak." kata Gibran dengan wajah lesu.

"Kamu dipermalukan?" tanya pak Parto.

"Ya...gitulah. Sudahlah, yang penting bapak cepet sembuh." kata Gibran sambil memijit tangan bapaknya yang masih terbaring di dipan.

"Bapak, berhenti aja ya jadi buruh cuci piring." pinta Gibran.

"Kenapa le? Kamu ga siap gantiin bapak lagi?" tebak pak Parto.

"Bukannya gitu pak..."

"Kamu malu? Jadi buruh cuci piring, gantiin bapak mu?" tanya mbok Yati menyela ucapan Gibran.

Gibran hanya diam. Sesungguhnya dia sangat malu, tapi dia tak sanggup mengatakan hal itu kepada bapaknya, khawatir kalau bapaknya sedih mendengar ucapannya.

"Hal yang wajar, ketika seorang pemuda tampan sepertimu, berkecimpung di air kotor dengan tumpukan piring kotor merasa Malu. Ibu mengerti le." kata mbok Yati mengelus punggung putranya.

"Tapi sudah menjadi kebiasaan warga, kalau punya hajat, orang yang diminta untuk cuci piring itu bapakmu." kata mbok Yati.

"Le...Bran." panggil pak Parto.

"Kamu sudah dewasa. Kamu sudah saatnya bisa membantu mencari uang untuk kebutuhan keluargamu. Kalau hanya mengandalkan menjual rumput saja, itu tidak seberapa le." kata pak Parto.

"Maksud bapak?" tanya Gibran.

"Jika suatu saat nanti ada orang mengajakmu merantau ke luar dari desa ini, ikutlah le. Laki-laki itu harus berani mati, demi berjuang menafkahi keluarga." kata pak Parto.

"Tapi pak..." sergah mbok Yati.

"Biarlah anak lanang kita ini mencari pengalaman di luar bu. Biarkan dia belajar hidup jauh dari keluarganya, dia itu laki-laki. Harus berani." kata pak Parto.

Mbok Yati hanya terdiam, sebenarnya mbok Yati berat melepas anak laki-lakinya yang belum lama di khitan itu pergi jauh darinya. Naluri seorang ibu, ada banyak kekhawatiran jika anaknya jauh dari dirinya.

💞💞💞

Tok tok tok

"Permisi." salam seseorang dari luar rumah Gibran.

Gendis membuka pintu utama, dan melihat sosok perempuan cantik dengan rambut panjang yang tak asing baginya.

"Ya? Eh...mbak Sekar?" kata Gendis terkejut karena adanya Sekar di rumahnya.

"Iya dek." jawab Sekar sambil tersenyum.

"Mau cari siapa ya mbak?" tanya Gendis.

"Ehm, mas Gibrannya ada dek?" tanya Sekar.

"Mas Gibran? Ehm, mas Gibrannya belum pulang mbak. Baru ke sawah." jawab Gendis.

Tampak Sekar menoleh ke seorang laki-laki paruh baya disampingnya.

"Kira-kira, pulangnya jam berapa ya mbak?" tanya laki-laki itu.

"Kalau tadi sih bilang, rencananya mau ikut kerja tukang bangunan pak, jadi kemungkinan sebentar lagi juga pulang." jawab Gendis.

"Oh, ya sudah, kami tunggu mas Gibran saja sampai pulang." kata laki-laki itu.

"Oh, ya silakan masuk pak. Bisa ditunggu dulu, maaf tepatnya berantakan." kata Gendis.

"Sebentar ya pak, mbak, saya tinggal dulu." kata Gendis undur diri. Sedangkan Sekar dan laki-laki itu duduk di dipan yang berada di teras rumah pak Parto.

Tak berapa lama kemudian, Muncul sosok laki-laki paruh baya yang keluar dari gubuk sederhana itu.

"Selamat pagi. Pak, mbak." sapa pak Parto.

"Eh, selamat pagi pak." jawab Sekar sambil menyambut uluran tangan pak Parto, begitupun dengan laki-laki itu yang juga menyambut uluran tangan pak Parto untuk berjabat tangan.

"Silakan duduk pak, mbak. Maaf, tempatnya seadanya." kata pak Parto.

"Ah, tidak masalah pak. Tempat sederhana, yang penting nyaman pak." jawab laki-laki itu.

"Ehm, ini kok njanur gunung, ada putrinya pak Carik, mbak Sekar ya?" Tanya pak Parto.

"Iya pak." jawab Sekar ramah.

"Ehm, maaf, bapak ini...siapa ya? Sepertinya bukan warga sini ya?" tanya pak Parto.

"Oh, iya pak. Perkenalkan, saya Gito, saya temannya pak carik Joyo, bapaaknya nduk Sekar." jawab pak Gito.

"Oh, ya. Ehm maaf sebelumnya, ini kalau boleh saya tau, ada apa ya mbak Sekar dan pak Gito ini mencari anak saya Gibran, apakah Gibran membuat masalah? atau..." tanya pak Parto cemas, karena gubuk mereka kedatangan orang tak dikenal.

"Oh, tidak pak, tidak ada masalah. Mas Gibran kan anak yang baik, dia tidak mungkin membuat masalah. Justru kedatangan kami kemari ini, karena kami mau minta tolong sesuatu sama putra bapak, Gibran." kata pak Gito.

"Minta tolong? Minta tolong apa ya pak?" tanya pak Parto.

Belum sempat pak Gito menjawab, Gendis sudah datang membawakan nampan berisi tiga gelas teh hangat untuk tamunya.

"Maaf mbak Sekar, bapak, dianggurin. Ini hanya ada air teh, silakan diminum." kata Gendis sopan.

"Ya ampun dek, malah jadi ngerepotin lho." kata Sekarang sungkan.

"Tidak apa-apa mbak, tidak repot. Hanya air saja. Maaf, hanya disuguh anggur, nganggur." kata pak Parto sambil tersenyum getir.

"Tidak apa-apa pak, malah kami terimakasih sudah dibuatkan minum." kata Sekar.

"Nduk, Gendis, mas mu kok belum pulang, coba kamu susuli dia ke sawah ya." perintah pak Parto.

"Ya pak."

"Santai saja pak, tidak buru-buru kok, kami tunggu saja sampai mas Gibran pulang." kata pak Gito.

"Oh, ya pak. Maaf, karena saya masih belum mampu ke sawah, jadilah anak laki saya yang mengerjakan sawah." kata pak Parto.

Saat Gendis bersiap dengan sepedanya akan menyusul Gibran, ternyata Gibran sudah muncul di pelawangan halaman rumahnya.

"Ada motor, ada tamu ya?" batin Gibran saat akan memarkirkan sepedanya di sebelah rumahnya.

"Selamat pagi." sapa Gibran sambil masuk ke teras.

"Selamat pagi mas." jawab Sekar dan Gito bersamaan.

"Eh, mbak Sekar. Ada apa ini kok tumben?" tanya Gibran sambil melepas capingnya.

"Saya cuma nganter paklik Gito kok mas." jawab Sekar sambil tersenyum malu.

"Oh, pak Gito? Bapak yang tadi malam nolongin saya ya?" tanya Gibran sambil mengingat-ingat.

"Iya mas, benarm" jawab pak Gito.

"Oh, ya. Silakan duduk pak. Wah, ada apa ini pak Gito ke gubuk kami, maaf pak, kondisi rumahnya seperti ini." kata Gibran yang sungkan dengan kondisi rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu dan papan.

"Ah, tidak masalah mas, yang penting kenyamanan nya." jawab pak Gito.

"Ehm, baru pulang dari sawah ya mas?" tanya pak Gito berbasa basi.

"Ah, ya cuma lihat-lihat saja pak. Karena bapak sakit, jadi tadi saya hanya mencangkul sedikit saja daripada tidak ada kegiatan, ya hitung-hitung sambil olahraga." jawab Gibran.

"Kata adiknya mas Gibran, mas Gibran nanti mau kerja bangunan juga ya?" tanya pak Gito lagi.

"Oh, iya pak. Tapi ya...beginilah pak, cuma kerja serabutan. Kebetulan aja ada yang ngajakin jadi kernet, jadi ya saya terima aja. Daripada nganggur." jawab Gibran.

"Ehm, begitu? Ehm...begini mas. Kedatangan saya ke sini, saya tu ada maksud untuk minta tolong sama mas Gibran." kata pak Gito.

"Minta tolong? Minta tolong apa pak?" tanya Gibran.

"Ehm, jadi, saya tu sebentar lagi mau hajatan mas. Sedangkan saya punya usaha yang baru saja dirintis dan mulai ramai oleh pelanggan, rasanya sayang kalau saya tutup, karena saya harus mengurus hajatan saya. Makannya, saat nduk Sekar cerita tentang kepribadian mas Gibran, saya jadi tertarik untuk mengajak mas Gibran membantu saya merintis usaha saya." kata pak Gito.

"Memang usahanya apa pak? Masalahnya, saya tu... tidak bisa baca dan menulis lho pak." kaya Gibran jujur.

"Oh, begitu? Tapi...angka uang, mas Gibran mengerti kan?" tanya pak Gito.

"Oh, kalau itu tau pak. Anak kecil saja tau, masak saya tidak tau pak." jawab Gibran sambil tertawa.

"Hahaha, yah yang penting itu mas. Kalau mas Gibran mau, besok lusa mas Gibran saya ajak ke Jakarta, saya punya usaha jualan bakso di sana. Mas Gibran bisa ikut saya dan bantu-bantu saya di sana." kaata pak Gito.

"Oh, begitu? Siap pak, dengan senang hati, saya akan ikut pak, saya akan membantu pak Gito." jawab Gibran mantab.

"Bagus. Baiklah, saya tunggu besok ya mas. Besok kita berangkat dari rumah saya." kata pak Gito.

"Tetapi saya tidak tau rumah bapak."

"Nanti biar diantar nduk Sekar. Siap to nduk?" tanya pak Gito menoleh ke arah sekar.

"Siap paklik." jawab Sekar.

Lalu kesepakatan sudah disetujui, Sekar dan pak Gito mencicipi teh hangat buatan Gendis lalu pamit pulang, saat keperluannya sudah dirasa cukup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!