"Ini upahmu."
Wanita itu, menerimanya dengan semangat. Senyumannya merekah melihat amplop yang begitu tebal.
Pria yang berada di hadapannya hanya tersenyum kecil. Lalu memukul wanita itu dengan amplop yang ia pegang. "Jika kau sesenang itu melihat uang. Seharusnya kau lebih bersemangat bekerja!"
Wanita itu mengusap keningnya, kesal dengan perlakuan pria yang berada di hadapannya. "Baiklah. Aku akan lebih rajin."
Pria itu menyerahkan amplopnya, lalu pergi meninggalkan wanita yang tengah bahagia itu.
"Mengapa mendapatkanmu itu susah sekali? Bahkan, aku harus berkeringat di malam hari demi mendapatkan dirimu!" celotehnya tak jelas. Dia memasukkan uangnya pada tas ransel, kemudian berjalan di tengah malam, sendirian.
Wanita itu menatap langit malam yang begitu indah. Matanya terpesona melihat bintang-bintang yang berkelip di tengah kegelapan. "Sampai kapan aku harus hidup seperti ini? Aku pikir, kehidupan setelah SMA adalah yang terbaik, namun kenyataan yang kuhadapi malah sebaliknya."
Wanita itu menundukkan kepalanya. Berusaha tersenyum disaat matanya mulai berkaca-kaca. "Rasanya lelah untuk mengeluhkan semuanya. Beban yang tak terlihat ini, terasa berat untuk kuhadapi."
Beginilah dia. Ketika dirinya sendiri, ia akan mengungkapkan semuanya. Bercerita sendiri, seolah melepaskan semua yang dipendamnya. Wajar bukan jika merasa lelah? Tak ada salahnya, jika harus menenangkan pikiran.
Tiba-tiba, deringan ponsel membuatnya tersadar. Dengan cepat, ia mengangkatnya, belum sempat mengatakan apapun, ia sudah mendapatkan teriakkan.
[ "Mengapa, kau lama sekali?! Aku sudah lama menunggumu!" ]
Dengan gugup, wanita itu menjawab. "T-tunggu! Aku akan segera ke sana."
Wanita itu, segera mematikkan sambungannya. Dia langsung berlari sekencang mungkin, ada rasa takut dibenaknya. Dia tak ingin, membuat siapapun kecewa, ia tak sanggup jika harus menerima sebuah kebencian dari siapapun.
***
"Ini untukmu."
Pria itu tersenyum tipis. Dia mengelus rambut pacarnya dengan lembut. "Kamu yang terbaik. Aku sangat menyangimu. Maaf, karena membentakmu di telepon."
Sierra tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Aku mengerti, aku harap kamu menggunakan uang itu dengan baik."
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Dia ingin memeluk wanitanya itu, namun Sierra menolaknya dengan sopan. "Maaf."
"Seharusnya, aku yang meminta maaf. Aku lupa, jika kamu tak mau disentuh, sebelum menikah."
Sierra, tersenyum kecil. Pacarnya, memang perhatian. Dia, selalu menurut saat dirinya meminta apapun.
"Tetapi, aku berharap. Suatu saat nanti, kita akan menikah, aku ingin membangun rumah tangga bersamamu," ucapnya tiba-tiba, membuat Sierra keheranan. Mengapa, Maldi mengatakan seperti itu? Tak biasanya, lelaki itu membicarakan pernikahan.
Maldi sedikit kesal, melihat ekspresi Sierra yang tak merespon. "Mengapa, eskpresimu seperti itu? Apa, kau tak ingin menikah denganku?"
Sierra menggelengkan kepalanya. Dia gemas, melihat wajah pacarnya yang terlihat lucu. "Ayolah, mana mungkin, aku menolak menikah denganmu?"
Maldi tersenyum tipis. "Maaf, Aku tak bisa menemanimu. Aku, masih ada urusan." Maldi berdiri dari duduknya, ia memasang wajah menyesal.
Sierra ikut berdiri. Ia tersenyum manis. "Tidak apa-apa. Jika itu memang penting, aku tak bisa mencegahmu."
"Aku, pergi." Maldi berbalik badan. Pria itu pergi di tengah keramaian. Sierra hanya memandangnya, ingin berteriak menyuruhnya kembali, tapi tak bisa.
***
"Nona Sierra, kenapa baru pulang?"
Sierra tersenyum kikuk. "Bibi, tidak akan memberitahu Bunda kan?"
Sang pembantu itu mengangguk patuh. "Nyonya Besar dan Nona Serla sedang tidak ada di rumah. Jadi mereka tidak akan tahu, jika Nona pulang tengah malam."
"Ini, sudah larut malam. Tetapi mengapa, mereka belum pulang?" tanya Sierra keheranan. Wanita berusaha mengingat tentang sesuatu. Hari ini, tak ada yang spesial, tak ada acara apapun.
"Maaf, Nona. Saya kurang tahu."
"Tidak apa-apa. Kalau begitu Sierra pergi ke kamar dulu."
***
Pagi yang cerah membuat Sierra terbangun dari tidurnya. Wanita itu mengkerutkan keningnya mendengar sesuatu. Dengan cepat, Sierra bangun dan bergegas keluar kamar.
"Apa, yang salah dari diriku?! Mengapa, dia tak pernah sekalipun melirikku?!"
Sierra terkejut, melihat barang-barang yang berserakan. Bahkan pecahan kaca pun tergeletak di lantai.
"Sayang. Jangan begini ya? Masih banyak lelaki lain yang lebih baik dari dia. Bunda mohon, jangan menyakiti diri sendiri!"
Sierra menguap, melihat drama pagi ini. Adiknya ini memang ratu drama, dia suka sekali membuat orang lain lelah dengan tingkahnya.
Serla tak mendengar, dia terus menangis sambil melemparkan barang. "Aku, tak suka jika keinginanku tak terwujud! Pokoknya, Serla ingin dia!"
Savia atau Sang Bunda kebingungan, dia tak tahu harus membujuk Serla bagaimana lagi. Matanya, menoleh pada pintu, tempat dimana seseorang yang berdiri dan hanya menonton.
"Sierra, mengapa diam saja? Cepat, tolong Bunda!"
"Mengapa, kita harus repot? Dia sudah 18 tahun! Dia, seharusnya tahu, harus bersikap bagaimana!"
"Kau, jangan ikut campur!" sentak Serla yang tak suka dengan ucapan Kakaknya.
"Aku, juga tak mau ikut campur! Apalagi mencampuri seseorang yang lebay sepertimu, sangat memuakkan!"
"Sierra!"
Sierra menoleh pada Bundanya, wanita itu terdiam melihat wajah Bundanya.
"Bunda mohon, jangan memperumit."
Serla tersenyum tipis. Dia senang melihat wajah Sierra yang menahan amarah.
Sierra berjalan ke arah lemari kaca, hal itu membuat Bundanya maupun Serla terkejut.
Sierra membuka lemari kaca, mengambil sesuatu yang paling berharga bagi Serla. Tanpa banyak kata, Sierra melemparkan benda itu dengan tenaga.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Serla menghampiri benda kesayangannya, perempuan itu menangis sesenggukan. Dia memeluknya erat, seolah tak mau kehilangan.
"Apa maumu, Sierra?" tanya Sang Bunda yang berusaha sabar. Sebenarnya, dirinya juga terkejut melihat tindakan Sierra yang gegabah.
"Seharusnya, kau tak tinggal di sini! Aku menyesal, karena pernah memintamu tinggal bersama kami," terang Serla yang masih menangis. Benda ini sangat berharga karena ini adalah bukti dari semua kerja kerasnya.
Sierra, tak merasa bersalah. Dia malah melipatkan tangannya. "Menurutku, benda itu tak cocok denganmu! Kasar dan egois! Sikap mana yang mencerminkan menjadi panutan? Para penggemarmu, tak tahu betapa buruknya sikap idola mereka yang selama ini dibangga-banggakan!"
"Lantas, apa kau lebih baik dariku? Kau, tak lebih dari seorang pembunuh!"
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di ruangan mewah ini. Semua orang terdiam, tak ada satupun yang berteriak. Namun suara tamparan itu terdengar kembali.
PLAK!
Sierra, menoleh ke samping. Tangannya memegang pipinya yang terasa panas. Ini masih kurang! Rasa sakit ini, tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Sierra mengatupkan bibirnya, mata hitamnya menoleh ke depan, dimana ibunya memeluk adiknya dengan erat. Tak, bisakah ibunya lebih memperhatikannya?
"Sierra. Maafkan Bunda! Bunda tak sengaja!"
Betulkah? Apakah, itu tulus? Mengapa, Bundanya meminta maaf sambil memeluk adiknya? Seolah, ia tak begitu berharga dibanding Serla.
"Aku juga sakit, Bun. Kenapa, Bunda selalu lebih perhatian pada Serla? Di sini, masih ada aku, yang selalu ingin diperhatikan."
Savia, mengelus punggung Serla yang tengah menangis. "Seharusnya, kamu jangan membentak adikmu, apalagi sampai menamparnya. Dia masih kecil, mentalnya terlalu lemah."
Sierra tersenyum kecut, lantas bagaimana dengan dirinya? Apa, mentalnya baik-baik saja? Mengapa, semua orang menganggapnya tak mempunyai masalah apapun.
Memang, semua ini berawal karena kesalahannya. Namun, pembalasan ini terlalu berat baginya, dirinya tak bisa menanggung semuanya sendirian, disaat semua orang mengacuhkannya.
Sierra, belum keluar kamar. Setelah, kejadian kemarin membuatnya malas untuk bertemu ibunya maupun adiknya.
Karena terlalu bosan, perempuan itu menyalakan televisi yang ada di kamar megahnya. Bibirnya cemberut melihat beberapa siaran tv yang membosankan, namun saat ingin menekan tombol mati, sebuah iklan tayang, membuatnya kesal bukan main.
"Kenapa, kemarin dia marah-marah? Padahal, sekarang dia menjadi ambassador dari produk terkenal! Seharusnya, dia senang dan bangga, ini malah membuat keributan!"
Jujur, Sierra iri pada adiknya yang selalu membuat ibunya bangga, lain dengan dirinya yang mempunyai pekerjaan tak jelas, bahkan begitu memalukan.
Adiknya begitu terkenal, ribuan penggemar selalu mendukungnya, itupun membuat Sierra berkecil hati saat melihat keluarganya yang begitu peduli pada Serla.
"Apa, aku salah alamat ya? Mungkin sebenarnya, Tuhan ingin mengirimku ke rahim lain, tetapi malah tersesat ke rahim Bunda."
Fakta, bahwa keluarganya populer membuatnya tak percaya diri. Neneknya dulu seorang aktris, makanya dia begitu senang saat Serla mengikuti jejaknya. Kakeknya seorang dokter, dan ibunya juga mantan seorang model.
"Lalu? Bagaimana denganku? Aku hanya seorang pemalas yang masih mencari jati diri." Bahkan, dirinya hanyalah seseorang yang lulusan SMA.
Suara, ketukkan pintu membuatnya tersadar dari lamunan.
"Bunda akan pergi, mengantar Serla ke lokasi syuting! Sebaiknya, renungkan perbuatanmu! Jangan, keluar dari kamar sebelum kami kembali!"
"Apa, sekarang aku dikurung?" lirihnya pelan. Sierra merebahkan tubuhnya, dia ingin tidur setengah jam, sebelum beraksi.
***
Sierra membuka mataya, matanya membulat melihat jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Secepat mungkin, perempuan itu bergegas mandi dan berganti pakaian.
Setelah selesai, matanya menulusuri setiap sudut kamar, mencari benda yang cocok. Ketemu! Sebuah pot bunga yang berukuran sedang.
Dengan sekuat tenaga, Sierra membanting pot bunga itu ke kaca balkon. Pecah, suara kaca itu begitu nyaring membuat telinganya berdengung. Sierra sengaja memilih kamar di lantai satu ini, tak tinggi dan di balkon pun ada tangga menuju taman.
Suara orang berlarian terdengar, Sierra dengan cepat keluar dan berlari menuruni tangga. Sampai di taman, ia memanjat pagar yang tinggi itu. Dirinya tak begitu tomboy, namun pandai memanjat karena semasa kecil ia sering memanjat pohon milik tetangga.
"Yes, berhasil!"
Sierra masuk ke dalam mobil hitam yang mungkin sudah menunggunya, ia masuk karena mengenal nomor mobil hitam itu.
"Apa, aku dalam masalah?"
"Ya, kau dalam masalah."
Sierra menelan salivanya kuat-kuat. Perempuan itu sedikit gugup. Jantungnya pun berdetak begitu cepat.
Pria yang sedang menyetir itu, terkekeh kecil. "Jangan takut, kau akan mendapatkan pekerjaan baru."
"Aku, tak mau!"
"Mengapa?"
"Dengan pekerjaan itu saja, aku sudah lelah! Aku memang tak tahu, ini pekerjaan apa, yang jelas itu bukan sesuatu yang baik," ungkap Sierra.
"Jika, kau tahu itu tak baik, Mengapa, masih menjalaninya?"
"Karena aku butuh uang!" sahut Sierra spontan.
"Jangan setengah-setengah, lakukan secara menyeluruh, lagipun dosanya juga tetap sama."
Sierra melipatkan tangannya, ia kesal menatap seseorang yang selalu jadi prantara gajihnya.
"Kita, sampai!"
"Apa, aku akan baik-baik saja?"
Pria itu hanya mengangguk saja.
"Apa, kau serius? Aku takut, nanti pulang tinggal nama saja."
Pria itu hanya tersenyum tipis, lalu meninggalkannya. Sierra mengikutinya di belakangnya, dia berlindung di punggung pria itu.
"Dimana dia?"
"Di belakangku."
Tubuh Sierra memang mungil, lagipula ia berlindung di tubuh seseorang yang bertubuh besar, makin tidak terlihat.
"Keluar!"
Sierra terkekeh canggung, di sini sepertinya hanya dia seorang perempuan. Sudah dua kali dirinya ke sini, tetapi masih belum terbiasa dengan suasana di tengah para lelaki yang memiliki wajah yang seram.
"Ikut, ke ruanganku!"
Ingin menolak, tetapi salah satu dari mereka menatapnya tajam, seolah jika dirinya mengatakan tidak, maka nyawanya akan terancam.
Sierra mencoba patuh, dia masuk ke ruangan yang terdapat beberapa barang mewah.
"Kau, dipecat!"
Sierra langsung melototkan matanya, ini tak boleh terjadi. "Mengapa, Bu? Eh, Pak? Aduh... Maksudnya kenapa Bos."
Ini bukan salahnya! Siapa suruh bosnya memakai topeng putih dan memakai suara samaran. Sierra kan jadi bingung sendiri, lagipula ia termasuk orang yang pelupa, jadi agak sulit mengingat sesuatu jika tak berpikir keras.
"Aku, telah menemukan seseorang untuk menggantikanmu. Dia, gesit tidak sepertimu yang selalu terlambat."
Sierra menundukkan kepalanya, pekerjaannya memang sangat mudah tapi sedikit sulit karena tempatnya selalu jauh dan dirinya hanya difasilitasi sepedah. Memang, keterlaluan.
"Jadi, aku harus bagaimana? Apa, aku harus menjadi penganguran lagi?"
"Tidak, aku memiliki dua pekerjaan bagus untukmu."
"Apa, itu?"
"Apa, kau bisa mengendarai mobil?"
"Tentu saja!"
"Baiklah, Kevino akan memberitahumu soal pekerjaan ini!"
Sierra menghela nafas. Mengapa, dia harus ke sini jika ujung-ujungnya Kevino sendiri yang akan menjelaskannya?
"Baiklah, aku akan pergi."
Sierra berjalan cepat ke arah Kevino, ia berusaha menahan takut saat beberapa pria menatapnya horor.
Sierra duduk di samping Kevino, dia mengaitkan tangannya di lengan pria itu. Kevino adalah orang paling dekat dengannya, ditambah dia juga paling tampan di sini.
"Bagaimana, dengan pekerjaanku?"
"Apa, kau serius? Lebih baik, kau mundur saja. Ini adalah kesempatan bagus, kau bisa lari sebelum semuanya semakin rumit."
"Jika, aku lari. Aku, tak akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar! Kau, juga tahu. Aku hanya lulusan SMA, akan begitu sulit mendapatkan pekerjaan dengan cepat!" jelas Sierra. Ia tak peduli, jika suaranya terdengar para lelaki seram itu, yang jelas dirinya harus mendapatkan pekerjaan.
"Tidak! Aku tak akan membiarkanmu mengambil pekerjaan ini!"
Kevino berlari keluar meninggalkan Sierra yang ketar-ketir. Perempuan itu tersenyum tipis kepada mereka. Berusaha tenang. "Misi, om."
Sierra berlari ke arah pintu. Ia tak mau di sini terlalu lama. Perempuan itu mengejar Kevino yang masuk ke dalam mobil.
Sierra, masuk ke dalam mobil. Ia berusaha menenangkan Kevino yang terlihat marah. "Aku mohon, aku sangat membutuhkan pekerjaan ini."
Kevino tak menjawab. membuat Sierra semakin kesal.
Dengan keras, Sierra berteriak. "Terserah! Aku, tak peduli persetujuanmu! Kau setuju, atau tidak, aku akan tetap melakukannya! Lagi pula, bos sendiri yang memintaku!"
"Kau salah! Dia, sendiri yang memintaku untuk membuatmu tak terlibat lagi. Kau, sudah tahu terlalu banyak. Jika semakin nekat, hidupmu akan lebih berbahaya!"
Sierra menahan tangisnya. Entahlah, rasanya ingin menjabak rambut Kevino sekarang juga, dan berteriak padanya jika dia sudah dewasa, dia akan berusaha menanggung konsekuensinya.
"Lebih baik, kau kembali pada keluargamu. Bangun kambali rasa sayang mereka padamu," jelas Kevino yang menyalakan mobil.
Sierra mulai terisak. "Lantas, apa kau ingin aku terus menjadi patung dalam keluarga sialan itu?! Apa bedanya, aku di sini dan di sana? Semua masalah, tak akan berhenti menyerangku, dimanapun aku berada."
Kevino tak menjawab. Matanya fokus ke depan.
Sierra menangis. Perempuan itu tak bisa menahannya lagi. Tiba-tiba suara ponsel mengalihkan perhatiannya, ada sebuah pesan!
Maldi: [ "Aku membutuhkan uang. Bisakah kau, membantuku sayang?" ]
Sierra menutup matanya. Menahan rasa sesak yang menghantam dadanya. Bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan disaat uangnya belum terlalu cukup.
Sierra berjalan dengan mengendap-endap. Matanya menelusuri sekitar, memastikkan tak ada siapapun yang memergokinya.
Senyuman manis terukir di bibir mungilnya. Ia senang, sepertinya tak ada satu orang pun di rumah ini. Dia pun mempercepat langkahnya untuk segera pergi ke kamar.
Tangannya memegang gagang pintu, mendorongnya secara pelan, dan bersiap meneriakkan sesuatu. "Aku, be--"
"Dari, mana kamu?!"
Apa-apaan ini, pikir Sierra.
"Sedang, apa kalian di kamarku?"
Sang Bunda, terdengar menghela nafas. "Bunda bertanya, kamu dari mana saja? Bukankah, Bunda menyuruhmu untuk tetap di kamar?"
"Em, aku... Aku ada urusan."
"Kau, berbohong!"
Sierra melotot tajam ke arah seseorang yang paling ia benci, siapa lagi kalau bukan Serla. "Jangan, sok tahu! Kau tak tahu apapun soal urusanku!"
"Kau, hanya seorang pengangguran, bagaimana kau bisa memiliki urusan?"
"Kau--"
"Sudah, jangan berdebat lagi!" seru Sang Bunda yang sudah lelah dengan perdebatan kedua putrinya. "Tak bisakah kalian berdamai sebentar saja?"
Sierra melipatkan kedua tangannya. Ia pun menyahut. "Aku sudah berusaha, tetapi putri bungsumu selalu saja mencari gara-gara!"
"Kau seorang Kakak, seharusnya, selalu mengalah pada adiknya!" teriak Serla yang tak mau kalah.
Sierra memutarkan matanya. Demi apapun, ia tak bisa mengalah lagi, sudah terlalu banyak ia merelakan sesuatu untuk Serla yang serakah.
"Sierra, tolong nanti jelaskan tentang perlakuanmu ini. Saat ini, Bunda tak ingin marah-marah, jadi tolong sekali saja kamu menurut."
"Baiklah."
Savia menghela nafas panjang, sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu yang sangat penting. "Besok, para staf dari acara 'daily' akan datang ke rumah. Mereka, akan mewawancarai kegiatan Serla. Jadi, Bunda mohon jaga sikap kamu, jangan membuat masalah seperti tahun lalu!"
Sierra menahan tawanya, ketika mengingat kejadian itu, wajah tertekan Serla membuatnya terhibur.
Serla mencebikkan bibirnya kesal. Dia memutar matanya malas melihat Sierra menahan tawa. Sungguh, menjengkelkan, pikirnya.
"Dan, satu lagi. Jangan mencari perhatian siapapun!" sentak Serla.
Sierra tersenyum miring. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat Serla khawatir. Ini akan menyenangkan jika, dirinya mencari tahu.
"Lebih baik, kau tak ada di rumah saja! Akan, lebih aman jika kau tak ada!" lanjut Serla.
"Jangan, jika Sierra tak ada. Publik, akan berfikir macam-macam. Kamu tak ingat, bagaimana para netizen itu mengkritikmu, karena perdebatan kalian?"
Serla terdiam. Benar, apa yang dikatakan Bundanya. Dirinya sempat terpuruk karena komentar mereka yang begitu menyakitkan.
Sierra menyilangkan tangannya. Dia memandang Serla dengan tatapan datar. "Benar, lakukan perintah Bunda. Bunda baik sekali, karena begitu peduli padamu, bahkan sangat hati-hati pada kepopuleranmu."
"Sierra, Bunda--"
"Kalian, sudah selesai bukan? Aku ingin istirahat."
Serla langsung keluar dari kamar. Sang Bunda masih terdiam. Namun melihat wajah Sierra yang lelah membuatnya mengurungkan niat berbicara dengan putrinya itu, beliau pun pergi dari kamar.
Sierra langsung mengunci pintunya, perempuan itu duduk di balik pintu sambil menenggelamkan wajahnya di tumpuan tangan.
Semuanya, karena salahnya. Keluarganya, hancur karena perlakuannya kan? tetapi, ia sudah meminta maaf, dan sudah berusaha untuk memperbaiki, namun masih tak ada perubahan.
Sierra menyeka air matanya, ia mencari ponselnya, mencari sebuah kontak yang sudah lama tak ia hubungi.
Berdering! Syukurlah, tak ganti nomor. Namun senyumannya hilang, saat panggilan pertamanya ditolak. Sierra tak menyerah. Dia terus berusaha menelopon.
["Kenapa, menelepon?"]
Sierra ingin berteriak senang, namun ia menahannya. "Aku, sangat merindukanmu."
["Jangan beromong kosong! Aku, tak ada waktu!"]
Sakit? Ya, memang. Tapi, tak sebanding dengan rasa rindunya.
"Aku sangat merindukanmu, ayah. tak bisakah, ayah menanyakan kabarku? Bagaimana hariku, dan bagaimana Bunda memperlakukanku, dengan tidak adil." Yap! Sierra ingin mencurahkan segalanya. Ia sudah tak
tahan menahan semuanya sendirian.
["Dan jika, kau tinggal bersamaku. Hidupmu akan jauh lebih menderita. Aku, tak akan segan menamparmu, atau bahkan membunuhmu!"]
Sierra malah terkekeh pelan. "Bunuhlah! Aku, tak akan keberatan."
["Kau, memang tak pernah berubah! Kau masih seorang anak kecil yang pernah membuat hidupku hancur!"]
"Yah, akulah pembunuh yang selalu kalian benci."
Panggilan terputus. Ayahnya mematikkan sambungannya.
"Aku sangat menyanginya, sampai tak ingin dunia menyakitinya," ucap Sierra dengan tatapan kosong.
***
Pagi pun tiba, rumah Sierra pun sudah ramai oleh orang-orang entertainment.
Sierra juga sudah siap, dia berdandan rapi agar terlihat lebih sopan. Saat, ingin keluar, sebuah pesan masuk ke ponselnya, layarnya menyala memperlihatkan pesan yang muncul.
Sierra mengambilnya, dan membacanya.
Maldi: ["Kenapa, kau mengabaikanku?"]
Sierra menelan salivanya, dia lupa membalas pesan. Jari-jarinya, pun mulai menari, mencoba menjelaskan.
Me: ["Maaf, aku lupa membalas pesanmu. Kamu, butuh berapa?"]
Balasan, pun masuk.
Maldi: ["Sedikit, hanya lima juta. Kamu, pasti ada kan?"]
Tanpa banyak berfikir, Sierra langsung mengiyakan, perempuan itu lupa jika keuangannya sudah menipis.
Seorang pembantu pun, masuk ke dalam kamar Sierra, memberitahunya, jika ibunya memanggilnya.
***
Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia, melongo melihat begitu banyak orang yang berkeliaran di rumahnya, sekarang rumah megahnya ini seperti sebuah pasar yang diserbu kumpulan ibu-ibu.
"Sungguh, menyebalkan," lirihnya pelan, namun wajahnya menampilkan ekspresi ramah saat beberapa orang menyapanya.
"Sierra!"
Perempuan itu, menoleh pada ibunya, lalu mengahmpirinya.
"Perkenalkan, ini Sierra Rosaline. Dia kakak Serla."
"Yah, kami sudah pasti mengenalnya," jawab Sang Produser, sambil tersenyum aneh.
Sierra diam-diam, memutar matanya. Dia paham betul, arti senyuman Itu.
"Baiklah, apa anda sudah siap, melakukan sebuah wawancara?" tanya sang Produser.
"Mengapa, aku harus terlibat?" tanya Sierra yang keheranan.
Savia, memegang tangan Sierra. "Yah, Sierra sudah siap."
Perempuan, itu ingin membrontak, namun ibunya sudah menariknya.
Sierra didudukkan di kursi, perempuan itu ingin bangkit, namun ibunya menahannya.
"Tenang saja, ini tidak gratis."
Sierra berhenti membrontak setelah mendengar bisikkan dari ibunya.
Serla pun datang, gadis itu duduk di sampingnya. Sierra melototkan matanya, dia membisikkan sesuatu pada Serla. "Mengapa, kau di sini? Aku, tak sudi jika harus diwawancarai denganmu!"
"Sayangnya, itulah kebenarannya," sahut Serla.
Perempuan itu, menghela nafas. Dia merasa lemas.
"Oke, baiklah. Kita akan mulai."
"Tunggu, bukankah aku harus membaca skripsinya dulu, sebelum mulai?" ungkap Sierra.
Beberapa staf tertawa kecil, bahkan Serla pun menertawakannya, sambil mendekatkan mulutnya pada telinga Sierra.
"Kau bersikap seperti seorang publik figur. Jangan, bertingkah konyol lagi, atau kau hanya akan mempermalukan diri sendiri."
Sierra berusaha sabar, dia menahan tangannya, yang ingin memukul wajah Serla.
"Tidak perlu. Kami hanya akan menanyakan pertanyaan yang mudah," jelas sang produser.
"Baiklah."
Syuting pun dimulai, Sierra berusaha untuk tidak menguap, saat dirinya hanya dijadikan sebuah patung.
"Oke, pertanyaan berikutnya pada Sierra Rosaline. Sang Kakak dari Serla Alodie."
Sierra tersenyum lebar, ia berusaha menjaga imagenya, ya walaupun sudah lama tercemar.
"Saya akan membacakan, salah satu komentar, yaitu bagaimana perasaanmu, saat Serla terpuruk?"
'Senang' itu yang ingin ia ucapkan, namun dirinya harus menahannya.
"Seperti seorang Kakak pada umumnya, aku akan merasa sedih. Perasaanku pun, ikut sakit melihat Serla menangis."
'Tapi, bohong,' lanjut Sierra dalam hati.
"Saya, terharu mpendengarnya, kasih sayang kakak pada adiknya sangatlah indah," terang seorang perempuan, yang bertugas sebagai host.
"Oke, saya bacakan komentar selanjutya, 'ada banyak rumor yang menyebutkan jika kasih sayang mereka palsu' bagaimana pendapat anda, mengenai komentar ini?"
Sierra tersenyum manis. "Aku, tak peduli tentang pendapat orang lain. Terserah, mereka ingin beranggapan bagaimana, yang jelas aku sangat menyayangi keluargaku, aku tak segan melawan siapapun untuk melindungi keluargaku."
"Woah, saya sangat terharu mendengar jawaban anda. Saya jadi ingin memiliki seorang Kakak."
Sierra hanya tersenyum. Lain dengan Serla yang mematung.
"Oke, pertanyaan terakhir. Ini khusus untuk, kalian berdua. Pertanyaannya... Bagaimana kasus pembunuhan lima tahun yang lalu? Apa ditutup begitu saja?"
Sierra maupun Serla terdiam, mereka membeku tak bergeming. Pertanyaan ini sangatlah sulit, pertanyaan yang memiliki ribuan luka didalamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!