Hi, perkenalkan namaku Florence Jhon Austin. Bersekolah di salah satu SMA terkenal di New York. Aku hanya punya seorang kakak laki-laki, kedua orang tuaku meninggal saat aku lahir. Dan ini adalah kisah hidupku. Flo.
Aku terbangun dengan keringat yang membasahi hampir seluruh baju kaos polos putih besar yang kupakai untuk tidur. Well, bukannya aku tidak punya gaun tidur seperti kebanyakan gadis remaja pada umumnya. Entahlah, aku hanya merasa lebih nyaman.
Kembali ke mimpiku. Sebenarnya itu bukan mimpi yang menyeramkan seperti film horror Hollywood. Itu hanya mimpi yang selalu ku mimpikan hampir di setiap malam tidurku sejak aku berumur 10 tahun.
Hampir enam tahun sudah aku bermimpi hal yang sama. Tidakkah itu aneh? Tentu saja aneh. Karena di umur seusiaku biasanya gadis biasa bermimpi tentang cowok ganteng atau setidaknya guru ganteng mereka. Setidaknya bukan seperti mimpiku yang terus berada dalam adegan reruntuhan kota kami New York. Bagaimana bisa gadis seumuranku terus bermimpi kota tempat ia tinggal runtuh?
Pertama kali aku bermimpi hal tersebut aku menceritakan semuanya pada kakakku Gerald, kupikir ia akan tertawa dan kemudian memberitahuku bahwa itu hanya bunga tidur. Tapi yang kudapatkan adalah pelototan matanya yang seolah terkejut dengan penuturan ku.
Sejak hari itu aku tidak pernah mengungkit mimpi itu lagi. Walau aku selalu mengalami mimpi itu lagi, dan lagi. Aku tidak punya ibu atau ayah untuk sekedar bercerita tentang mimpiku. Mereka sudah tiada sejak aku baru lahir. Aku hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang bahkan sangat jarang berada dirumah. Ia pun terkesan sangat dingin padaku.
Aku bangun dari ranjang mencari alas kaki, kemudian berjalan pelan menuju pintu kamar. Aku membukanya dengan sangat perlahan meminimalisir bunyi yang akan dihasilkan ketika pintu itu dibuka. Ku tengok pintu kamar di seberangku, kamar kakakku terkunci rapat. Aku berjalan pelan menuruni tangga melangkahkan kaki menuju dapur.
Aku lapar! Kubuka kulkas perlahan dan mencoba peruntungan, siapa tahu ada makanan yang bisa langsung dimakan. Well, beruntungnya kami memiliki Joanna maid yang selalu bersahaja. Ia meninggalkan sup iga sapi dikulkas. Yeay! I love you Joanna!
Dengan sedikit keahlian memasak ku yang sangat sedikit aku pun menyalakan kompor elektrik Joanna dan memanaskan sup itu sebentar.
Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama akhirnya aku bisa duduk dengan satu mangkuk sup iga sapi dan menyantapnya dengan lahap di meja makan yang terbilang sangat besar untuk dua orang penghuni. Tentu saja, karena dulu tempat ini berisi tiga orang atau tepatnya empat orang ditambah bayi kecil aku dan mungkin saja akan bertambah seiring berjalannya waktu. Tapi takdir berkata lain.
Okay, berhenti mengenang masa lalu. Aku mengerjapkan mata menahan air mata yang hampir menetes. Aku tidak mengerti mengapa kakakku, sepertinya sangat membenciku. Dengan satu suapan terakhir aku menelan kuah sup iga sapi Joanna yang sangat lezat.
Aku berdiri dan meletakkan mangkok kosong ku ditempat cuci piring kemudian berbalik. Namun seketika beringsut mundur terkejut, karena Gerald kakakku sedang berdiri menatapku dengan awas.
"Kamu belum tidur?" ia bertanya dengan tampang acuhnya sembari berlalu dari hadapanku, membuka kulkas dan mengambil air botol dingin dan meminumnya.
"Aku... aku sudah tidur, hanya saja terbangun karena lapar" well, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah aku ucapkan dihadapan kakakku seumur hidupku.
Ia berhenti meneguk airnya kemudian menatapku.
"Kamu tidak bermimpi buruk?" Ia bertanya seolah bertanya hal biasa "Apa hari ini hari senin?"
Aku bingung mau menjawab apa. Kalau saja orang di depanku ini bukan kakakku. Aku akan berkata, ya aku mimpi buruk dan kemudian orang itu akan memelukku dan mengatakan "Its ok, everything is will gonna be ok".
"Tidak" tapi hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
Ia menyerngit, namun kemudian memasang tampang biasa. Entah mengapa aku selalu merasa kakakku seolah bisa membaca pikiranku atau mungkin perasaanku saja.
Ia kembali meneguk airnya sampai habis. Aku berniat kembali kekamar. Namun ia kembali berbicara.
"Lusa ulang tahunmu bukan?"Ia kembali bertanya. Mau tak mau aku berhenti dan kemudian menatapnya dengan sedikit rasa bangga. Hei? Setidaknya dia mengingat hari ulang tahunku?
"Ya" aku kembali menjawab singkat.
"Kamu menginginkan sesuatu?" Ia bertanya dengan tampang yang aku tahu ia hanya sedang mencoba berbasa-basi.
Setelah kuingat lagi tahun-tahun sebelumnya ia tidak pernah bertanya bukan? Dan aku tidak pernah sekalipun berharap apapun darinya. Walau begitu setiap tanggal 28 Januari aku kan menemukan sebuah kado kecil didepan pintuku dan kemudian aku tidak akan melihat wajah kakakku selama seminggu lebih. Dan anehnya, itu selalu terjadi setiap kali tanggal ulang tahunku tiba.
Pasti kalian menganggap hidupku sangat menyedihkan bukan? Well, aku juga merasa seperti itu. Maksudku, apa mungkin dia marah padaku sejak aku lahir? Apa dia menganggap bayi kecil yang baru lahir adalah penyebab kematian kedua orang tuanya? Entahlah, hanya kadang aku ingin berteriak didepan wajahnya dan menangis.
Jika memang dia marah padaku cobalah untuk menjelaskan semuanya bukan? Atau ia ingin aku pergi dari hidupnya? Untuk itu sepertinya aku tidak bisa. Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak punya orang lain selain kakakku ini. Bibi? Paman? Aku tidak pernah mendengar kata itu dalam hidupku.
Kembali ke kakakku, ingin rasanya aku menjawab " Ya, aku menginginkan kamu menjadi kakakku sebenarnya, dan berhenti menganggapku tidak ada". Well, tapi itu hanya ada dalam pikiranku.
"Tidak, aku tidak menginginkan apapun" sahutku lagi. Aku memang irit bicara dengan kakakku. Entah mengapa aku merasa tidak bisa menjangkaunya. Ia di depanku sekarang, tapi aku merasa begitu jauh dariku.
"Eummhh, baiklah kalau begitu" Ia kembali berpaling dan mencari entah apa didalam kulkas. Aku pun berbalik dan kemudian berlalu dari sana melangkahkan kakiku dengan berat menuju kamar.
Sesampainya di kamar aku meringkuk di dalam selimut tebal ku, menangis. Hei, aku bukan super girl yang tidak bisa meneteskan air mata, aku juga kadang menangis. Okay ralat, sering.
Maksudku, tidak bisakah lebih menyedihkan lagi hidupku? Demi Tuhan aku bersyukur.
Tapi kadang kadang, aku berharap bisa bertukar kehidupan dengan orang yang hidupnya sederhana namun memiliki keluarga yang lengkap dan menyayangiku dengan sepenuh hati.
Aku ingin seperti Evelyn...walau kakaknya bloon kelewatan. Yang jelas dia sayang dengan adik cantiknya . Well, walaupun pada kenyataannya dia juga iri sama aku. Kayaknya tidak cuma Evelyn.
"Aduhh... kamu hoki banget punya kakak ganteng kayak Gerald."
"Boleh tidak Gerald buat aku aja?"
Mereka tidak tahu saja bagaimana Gerald memperlakukan ku. Yang pasti aku berani bertaruh tidak akan ada yang mau diposisi aku sekarang.
Sudahlah, biarkan saja. Aku berhenti menangis. Capek tahu. Sesaat kemudian ngantuk menyerangku. Dan aku pun tertidur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
... ...
Hidup adalah pilihan, apapun yang terjadi hal itu sudah kamu sanggupi sebelum lahir ke dunia ini. Jika pada akhirnya hidupmu sangat berat, itu artinya kamu adalah orang yang kuat.
Lagi-lagi mimpi itu. Aku kembali merasa tercekik. Semua orang berlarian. Mereka menabrak ku. Menginjak ku. Karena apa? Mereka tidak melihatku! Aku kehabisan nafas. Gedung-gedung di sampingku mulai runtuh. Dan...
Aku terbangun! Terengah-engah. Seluruh baju kaos ku basah karena keringat. Okay... aku menarik nafas. Tenggorokanku kering! Lama aku duduk berdiam diri.
Dia sedang tidur beberapa saat lalu dan bermimpi. Tepatnya mimpi adiknya yang bisa ia rasakan.
Aku lapar!
Itu adalah isi pikiran adik cantikku yang malang,Flo . Aku kembali menarik nafas berat. Dia selalu bermimpi hal yang sama, mimpi yang selalu dialaminya sejak kecil. Kenapa aku bisa merasakannya? Karena dia adalah setengah nyawaku. Ya, soulmate ku. Jangan bingung. Nanti kalian akan mengerti.
Aku beranjak dari ranjang, berniat mengambil minum untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokan ku dan itu artinya aku akan bertemu flo, dan itu bukan berarti aku keberatan untuk bertemu dengannya. Hanya saja aku tidak ingin melihat sinar matanya yang selalu terkejut melihatku, seolah aku adalah bahaya besar dan bukannya kakak kandungnya.
Harus kuakui, aku memang bukan kakak yang baik. Aku memang selalu menghindarinya. Tapi itu bukan karena aku membencinya, hanya saja aku tidak bisa terlalu lama berdekatan dengannya sebelum ia berumur 16 tahun, Kalian bingung?
Ya, keluarga kami memang membingungkan. Dulu sekali sebelum adikku lahir, sebenarnya ia tidak ada harapan hidup. Ibu adalah seorang peramal dan ayahku seorang penyihir. Well, jangan membayangkan wajah seorang ibu dengan kalung besar panjang serta bola kristal dan seorang penyihir pria dengan sapu terbang serta tongkat sihirnya. Mereka seperti orang tua normal, sungguh.
Ya, walaupun sangat berbeda. Karena ibu biasa tidak bisa meramalkan seorang bayi perempuan lahir dari rahimnya yang kelak akan menyelamatkan kota tempat ia berada dengan segala konsekuensinya. Bayi itu akan lahir dengan balasan nyawa kedua orang tuaku, tapi ia akan lahir tanpa kekuatan apapun. Bahkan ibuku meramalkan kemungkinan ia hidup sangat kecil. Dan aku tidak akan membiarkan pengorbanan orang tuaku sia-sia. Jadi aku memberikan setengah nyawaku untuknya.
Dan itu sebabnya aku belum bisa terlalu lama didekatnya, karena tubuhku melemah jika terlalu lama dekat dengannya. Apalagi setiap umurnya bertambah, kekuatan di tubuhnya seakan mencari setengah jiwanya dan itu adalah aku. saat umurnya 16 tahun, baru tubuhnya bisa menerima kekuatan dari setengah jiwa yang kuberikan untuknya, dan saat itu tiba aku akan menjelaskan semuanya padanya, itu artinya lusa.
Itu artinya aku tidak perlu memberinya hadiah secara diam-diam dan aku tidak perlu berjauhan dengannya selama seminggu seperti ulang tahunnya yang sudah-sudah. Dan aku akan memberitahunya seluruh rahasia yang ku sembunyikan darinya selama ini.
Sesampainya di dapur kulihat Flo sedang menaruh sesuatu ditempat cuci piring. Dia habis makan?
Kamu belum tidur?" Aku bertanya sembari berlalu dari hadapannya, Ya Tuhan adikku kelaparan? Batinku sembari menatap sekilas mangkuk di pencucian kemudian membuka kulkas dan mengambil air botol dingin dan meminumnya.
"Aku... aku sudah tidur, hanya saja terbangun karena lapar" Jawabnya dengan nada yang sangat kentara gugup.
Aku berhenti meneguk air kemudian menatapnya.
"Kamu tidak bermimpi buruk?" Tanyaku sambil lalu hanya ingin memastikan.
Ia terlihat bingung mau menjawab apa, namun aku mendengar isi pikirannya.
Kalau saja orang di depanku ini bukan kakakku. Aku akan berkata, ya aku mimpi buruk dan kemudian orang itu akan memelukku dan mengatakan "Its ok, everything is will gonna be ok".
"Tidak" tapi hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya. Adikku yang malang.
Aku mencoba terlihat biasa dan kemudian menghabiskan air di tanganku. Ia berbalik dengan pelan. Aku ingin bicara padanya lebih lama. Hei...tunggu.
"Lusa ulang tahunmu bukan?" Aku kembali bertanya. Mau tak mau ia berhenti dan kemudian menatapku dengan sedikit senyum tersungging.
"Ya" ia kembali menjawab singkat, tidak bisa kah lebih canggung dari ini?
"Kamu menginginkan sesuatu?" Tanyaku, namun kemudian menyadari kebodohan ku.
Bagaimana bisa ada orang mau memberi hadiah bertanya seperti itu? Teringat waktu sebelum sebelumnya dimana aku selalu menaruh hadiah di depan kamarnya saat pagi menjelang, tanpa kartu ucapan dan kemudian menghilang selama seminggu.
Well, seminggu yang sangat menyakitkan tepatnya. Markeva wakil kepala Forecaster Academy sekolah peramal dimana aku adalah pemiliknya lah yang mengobati luka-luka yang timbul di tubuhku saat momen itu terjadi.
Luka-luka itu seperti ada silet yang membelah kulitku, dan jangan pernah tanyakan bagaimana sakitnya. Ya, bisa dibilang itu adalah karma dari sikap lancang ku membagi jiwa untuk adikku.
"Tidak, aku tidak menginginkan apapun" ia pun menjawab dengan kalimat yang membuatku merasakan sedikit kekecewaan di dalam hatiku.
"Eummhh, baiklah kalau begitu" jawabku pasrah sembari membalikkan badan berpura-pura mencari sesuatu.
Iapun berlalu meninggalkanku. Tidak bisakah hidup kami lebih normal dari ini?
Kenapa dia begitu acuh padaku. Apa aku bukan adik kandungnya? Apa dia menyalahkan ku atas meninggalnya orang tua kami? Pikir Flo.
Adikku yang malang, pikirannya selalu saja bisa menusuk hatiku. Percayalah, hatiku perih mendengarnya. Bersabarlah flo, sebentar lagi semuanya akan menjadi jelas. Janjiku.
Aku berjalan kembali menuju kamarku. Aku bisa mendengar dengan sangat jelas tangisan tak bersuara adikku. Lagi-lagi aku membuatnya menangis.
Aku sangat prihatin dengan adikku semata wayang itu. Di usia remajanya sekarang tak pernah sedikitpun aku mendengar pikirannya berbicara tentang lelaki. Tidakkah ia menyukai lelaki di sekolahnya?
Aku menyekolahkannya di SMA favorit se New York...tentunya untuk sementara sampai umurnya 16 tahun tepatnya lusa. Tapi ia tidak pernah memikirkan tentang sekolahnya.
Ia naik bus ke sekolah setiap hari dan pulang naik bus juga. Bukannya kami tidak memiliki mobil. Banyak malah.
Tapi memang begitulah fasilitas sekolah elite itu. Dan itu salah satu opsi yang kusukai sebenarnya. Karena dengan begitu aku bisa merasa aman jika adikku sekolah.
Kembali ke masalah lelaki. Aku yakin banyak lelaki yang menyukainya. Mengingat wajahnya yang cantik. Tapi kenapa aku tidak pernah mendengar pikirannya memikirkan lelaki. Ia hanya memikirkan ku dengan semua tingkah lakuku yang selalu menjauhinya. Adikku yang malang.
Percayalah, aku sangat ingin menjadi kakak yang normal untuknya. Bukan kakak yang selalu saja keceplosan membalas isi pikirannya daripada perkataannya.
Well, itu sering terjadi sebenarnya. Dan aku khawatir ia tahu. Bahwa aku bukanlah kakak normal seperti orang lain. Aku peramal. Aku pembaca pikiran. Dan aku penyihir. Tidak bisakah lebih aneh lagi?
Tapi aku mencintai diriku. Aku selalu bersyukur atas segala apa yang Tuhan berikan padaku. Meskipun sepertinya Tuhan marah padaku, karena aku sangat lancang membagi jiwaku untuk adikku. Maafkan aku Tuhan. Tapi memang semestinya itu yang kulakukan. Demi adikku dan demi kami, demi kota kami. NEW YORK
Flo terbangun tepat pukul 06.00 pagi dan dengan berat hati melangkahkan kaki kekamar mandi. Mungkin air hangat bisa membuat suasana hatinya lebih baik. Ia harus menjalani hari yang membosankan di sekolahnya yang menurutnya sangat membosankan.
Well, mungkin bagi sekian orang sekolahnya terlihat wow karena bergengsi dan di idamkan oleh setiap murid di kota New York.
Mungkin Flo bukan salah satu dari segelintir murid yang menyukai sekolah yang lebih mirip hotel bintang Lima itu dengan semua murid dan tingkah lakunya yang lebih tepat dikatakan seorang putra putri kerajaan daripada murid SMA pada umumnya.
Flo hanya punya satu teman di kelas. Dan itu karena ia sama pendiam nya seperti flo. Bukan berarti flo murid yang pantas dikucilkan.
Semua orang tahu seberapa besar kekayaan kakaknya, dan juga ia tidak bisa dikatakan miskin.
Yang ingin berteman dengannya banyak, tapi yang tulus hanya Lily teman sebangku flo. Dia anak yang supel ramah dan apa adanya. Dia bukan ratu drama seperti Evelyn yang manja kelewatan. Dia satu-satunya teman Flo.
Kembali ke realita, flo sudah selesai memakai seragam sekolah dan menengok sekali lagi ke cermin. Matanya bengkak, lagi.
Flo melangkah lesu keluar kamar menuju pantry dan duduk dengan malas di kursi dengan meja makan yang penuh dengan berbagai macam hidangan sarapan.
Ia mengambil roti panggang dan telur mata sapi setengah matang kemudian mengapitnya dengan roti panggang lainnya dan mulai mengunyah dengan perlahan.
Dimana Gerald? Ia tak pernah sekalipun makan dengan Flo. Dan untuk itu flo tak tahu alasannya.
Baru setengah roti ia makan, ia sudah mulai bosan.
"Oke katakanlah aku tidak bersyukur. Aku sangat tidak mood sekarang." Ujar Flo berbicara pada dirinya sendiri kemudian mengambil segelas susu cokelat hangat meneguknya sampai tetes terakhir.
Flo menunggu bus jemputan dengan setengah hati. Tak beberapa lama kemudian bus sekolah itu melintas di depan Flo dan berhenti. Dengan patuh flo masuk ke dalam bus dan mengambil tempat duduk di samping Lily tentu saja.
"Hei..." sapa Lily.
"Hei..." balas flo sembari duduk disampingnya.
"Hari yang membosankan, heh?" Tanya Lily dengan wajah mengulum senyum. Lily sangat cantik. Siapapun bisa melihatnya. Tapi sikapnya yang pendiam membuat para lelaki yang ingin mendekatinya menjadi segan.
"Heummh... begitulah!" Jawab flo sembari mengedikkan bahu.
Ia tersenyum dan mengalihkan pandangannya kedepan. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam.
Bus terus melaju menjemput teman sekelas mereka yang lain, hingga tak terasa sampai kedepan gerbang sekolah.
"Besok ulang tahunmu?" Tanya Lily sembari menyamakan langkah kecilnya dengan langkah lebar flo di koridor sekolah.
Flo berhenti dan menatapnya bingung.
"Dari mana kamu tahu?" Tanya flo menyelidik.
Karena flo rasa ia tidak pernah memberi tahu siapapun.
"Kamu lupa, kamu yang memberitahunya padaku?" Jawabnya sedikit gagap.
Flo menyerngitkan dahi. Bernarkah? Aku sama sekali tidak ingat. Tapi ya sudahlah. Memangnya apa pentingnya? Tohh aku juga tidak peduli. Pikir Flo.
"Entahlah, mungkin aku lupa" jawab Flo seadanya.
Mereka kembali berjalan be iringan dalam diam. Sesampainya di kelas mereka duduk dengan tenang sampai Mr.Arnold masuk dan mulai mengoceh tentang sejarah Inggris. Tidak bisakah lebih hari ini membosankan lagi.
Selang beberapa lama dering bel berbunyi. Teman sekelas flo dengan sekejap menghilang entah kemana. Flo masih setia duduk bersama Lily yang membuka bekal kentang goreng dan ayam crispy nya.
"Kamu tidak makan?" Lily bertanya sembari menyuap kentang ketiganya.
Flo menggeleng dan refleks memegang perut.
"Tidak, aku masih terlalu kenyang" sahutnya sekenanya.
Flo terbiasa sarapan diwaktu pagi. Well, walaupun tidak punya orang tua bukan berarti tidak ada yang memperhatikan asupan makannya.
Hanya saja ia terlalu malas untuk sekedar berjalan ke kantin. Untungnya Flo tidak perlu sendiri dikelas. Karena Lily selalu saja membawa bekal dan menyantapnya di kelas. Zaman sekarang masih saja ada yang bawa bekal. Pikir Flo.
Selang beberapa menit kemudian datang Demico anak kelas X-2 yang selalu saja mengganggu flo. Ok dia ganteng. Tapi kelakuannya yang sok itu bikin eneg. Pikir Flo malas.
"Hai...baby girl? Kamu tidak keluar?" Ia bertanya pertanyaan yang selalu dia tanyakan.
Flo hanya menatapnya kemudian kembali sibuk dengan buku sejarah Inggris yang sama sekali tidak menggugah niat untuk membaca.
"Oh...come on, baby girl sampai kapan kamu akan cuek padaku seperti ini? Apa kamu tahu? Di luar sana banyak sekali perempuan yang ingin kencan denganku." Demico kembali menyombongkan dirinya.
Flo menatapnya jengah.
"Dan aku bukan salah satunya!" Jawab Flo sembari mendelik padanya.
"Benarkah? Baiklah. Mari kita lihat nanti" katanya sembari berbalik santai meninggalkan kelas kami. Sungguh menyebalkan.
...***...
Flo memasuki rumah dengan gontai, besok adalah hari ulang tahunnya. Apakah ia senang? Tentu tidak. Karena apa? Karena ia tahu kakaknya akan pergi lama. Dan entah mengapa ia merasa sepertinya untuk kali ini akan berbeda atau malah lebih parah lagi. Entahlah.
Namun dugaannya salah. Baru dua langkah ia menginjakkan kaki dari pintu utama, suara bariton kakaknya terdengar.
"Flo"... Seru nya dengan sorot mata yang entah apa artinya.
"Hay..." sahut flo dengan suara tercekat.
"Bagaimana harimu?" tanya dia dengan canggung.
" Emhh...baik" hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Flo sembari perlahan menaiki anak tangga, menuju kamarnya yang damai.
Ia tidak mengerti kenapa setiap kali di tegur oleh kakaknya sendiri, ralat kakak kandungnya sendiri bisa se gugup ini? Come on flo...
Selesai bersih bersih dan makan malam yang masih seorang diri, ia kembali mendekam di kamar....scroll scroll handphone, buka aplikasi tutup lagi. Sungguh sangat membosankan.
Ya Tuhan...bisakah hidup lebih membosankan dari ini? Pikirnya kesal. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Flo sudah menguap untuk yang entah ke berapa kalinya. Dengan perasaan gundah..akhirnya ia tertidur. Tidur yang lelap setelah berhari hari tidur tidak nyenyak.
***
New York City tepat pukul 00.00 tanggal 28 Januari 2023 tepat hari ulang tahunnya yang ke 16 Florence Jhon Austin terbangun disebuah labirin. Hei bukankah ia tidur dirumah nya?
Kembali ke labirin. Flo berjalan dan terus berjalan namun labirin itu tidak ada akhirnya. Ia panik. Tentu saja. Siapa yang tidak panik terbangun di tempat entah berantah seperti ini ditengah malam larut seperti ini. Ia terus berjalan hingga menemukan pintu yang menyala terang. Ia mendekat, mecoba menyentuh daun pintu itu. Namun, pintu itu seketika terbuka.
Flo seketika terpana. Di depannya berdiri sebuah gedung tinggi yang lebih mirip istana dengan gaya modern. Namun ia salah! Ia perhatikan lagi sekelilingnya. Banyak anak remaja seusianya atau lebih tua satu atau dua tahun darinya.
Well, ini sekolah? Tapi ada yang lebih aneh. Bukankah di luar tadi malam? Lalu kenapa disini siang yang begitu terik? Wow, ini pasti mimpi bodohnya. Pikir Flo. Ia segera berpaling, namun suara bariton yang sangat dikenalnya menyerukan namanya.
"Flo" panggil suara itu.
Flo tertegun dan segera berpaling. Dan ia terpana di depannya adalah Kakaknya, Gerald.
Masih tertegun, flo berusaha mencubit pipinya..come on Flo bangun! Pikirnya.
"Kamu tidak sedang bermimpi saat ini." Gerald mendekat.
Untuk pertama kalinya flo bisa merasa sedekat itu dengan Gerald, aneh. Flo mundur selangkah. Membuat Gerald menyerngit. Ia terdiam. Sembari menghembuskan napas panjang ia maju mendekat dan memegang tangan adiknya. Adiknya satu satunya.
"Happy birthday, baby..." Gerald menahan genangan air mata yang berlomba untuk keluar.
"Kakak..." ucap flo teredam pelukan erat gerald. Untuk pertama dalam hidup nya flo di peluk kakaknya Gerald. Perasaan sakit hatinya selama ini dengan kejamnya merongrong keluar secara bersamaan. Ia menangis tersedu sedu, tidak peduli berpuluh puluh pasang mata sedang menatap mereka dengan penasaran.
"Tempat apa ini?" Tanya flo mencicit.
Gerald memberi jarak di antara mereka sembari menatap wajah sembab adiknya.
"Ini sekolah dan akan menjadi tempat tinggal mu dari sekarang". Ucapnya dengan penuh penekanan.
"Sekolah? maksudnya?" Flo bertanya dengan penuh rasa penasaran.
"Nanti kamu akan tau, untuk saat ini...ikutilah semua kata kataku." Ucap Gerald sembari memisahkan diri.
"Dan perkenalkan ini Abigail, yang akan mengajarimu segala sesuatu hal tentang sekolah ini, tepatnya ia adalah mentor kamu flo." Ucap Gerald sembari mundur selangkah memperlihatkan wajah cantik seorang perempuan yang sudah sangat flo kenal, bedanya ia tidak pakai kacamata...dia cantik dan hampir sempurna, sangat jauh dengan seorang yang ia kenal dengan sosok yang sama.
Flo masih tertegun, sampai Lily menyapa nya dengan canggung.
"Hai..."
Apalagi ini?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!