NovelToon NovelToon

Aku Bukan Pelakor

Bab 1

Guncangan lembut terasa sedikit mengganggu saat seorang wanita bertubuh semampai itu sedang sibuk memoleskan foundation pada wajah oval seorang pengantin wanita di dalam sebuah kamar kru kabin yang berada di dalam kapal pesiar. Kamar yang cukup luas itu terlihat mewah dengan dilengkapi ornamen-ornamen yang terbuat dari marmer hingga membuatnya seperti berada di hotel bintang lima. Ruangan tersebut didominasi oleh warna cokelat muda, mulai dari pembatas setiap kamar, selimut, hingga langit-langit di atasnya. Sementara gorden yang terbuka menampilkan gulungan ombak dan awan putih yang menggantung di luar dengan sangat cantik. 

“Kamu tidak terganggu dengan guncangannya, ‘kan? Tidak apa lakukan pelan-pelan saja, lagi pula acaranya masih satu jam lagi,” kata sang mempelai wanita pada make-up artist-nya yang bernama Clarisa Evelyn. 

Evelyn tersenyum seraya mengambil bedak yang sesuai dengan tone kulit sang pengantin yang seputih susu agar tampak flawless. “Tidak masalah. Aku masih bisa mengerjakannya dengan baik. Guncangan ini tidak mengganggu sama sekali,” jawabnya dengan lembut. 

Wanita itu mulai membuka bedak dengan skin tone ivory yang cocok diaplikasikan pada wajah yang cenderung cerah. Setelah selesai, ia mulai mengambil beberapa lipstik dengan pilihan warna toasted brown, coral, peach, dan nude. Tak langsung ia mengaplikasikannya dengan cepat, melainkan Evelyn tampak memperhatikan terlebih dahulu final make-up yang diberikan untuk menggunakan warna lipstik apa yang sesuai. 

“Apa kamu mau memilih warna lipstik? Ada dua pilihan, toasted coral dan nude,” ujar Evelyn menawarkan. 

Wanita itu menautkan kedua alisnya, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak terlalu mengerti. Lebih baik pilihkan saja. Biasanya aku cenderung menyukai warna merah, tapi untuk saat ini aku tidak mau menggunakan warna itu,” jawabnya, lalu tertawa kecil. 

“Ah baiklah, nude akan menjadi warna yang sempurna,” putusnya seraya membuka tutup lipstik dan mulai melukiskannya pada bibir tebal berisi wanita itu. 

Tangannya terlihat begitu sangat terampil hingga tak pernah gagal untuk memberikan kesan sebelum dan sesudah yang sempurna. “Nah, sekarang sudah selesai. Kamu boleh melihat hasilnya. Jika merasa ada yang kurang, jangan ragu untuk bilang padaku. Aku pasti akan melakukan lebih baik lagi,” kata Evelyn seraya memandang mempelai wanita itu. 

“Aku percaya padamu.” Wanita itu bangkit, lantas berjalan ke arah kaca persegi panjang yang berdiri di sudut ruangan. 

Dari belakang, Evelyn melihat bahwa wanita itu mengembangkan bibirnya seakan puas dengan servis yang dilakukan oleh Evelyn padanya. “Ini adalah pengaplikasian make-up yang sempurna. Aku senang menggunakan jasamu karena ini sangat memuaskan. Terima kasih sudah melakukannya dengan baik,” pujinya seraya berbalik menghadap Evelyn. 

“Senang bekerjasama denganmu juga.” Evelyn tersenyum lega. 

Tugasnya sudah selesai dan sebentar lagi acara akan dimulai. Saat mempelai wanita itu sedang dipakaian gaun pengantin oleh salah satu fashion style, Evelyn membereskan barang-barangnya dan memasukkan semua make-up pada tas miliknya yang cukup besar. Ia berpamitan pada mereka untuk ke geladak kapal lebih awal.

Kedua kaki jenjangnya menaiki tangga satu per satu dengan cepat meski beberapa kali ia tampak kebingungan, tetapi pada akhirnya Evelyn menemukan tempatnya juga. Orang-orang penting terlihat sudah duduk-duduk sembari berbincang dengan sesama koleganya menunggu acara yang sebentar lagi akan dimulai. Untuk menghindari keramaian, Evelyn berjalan ke sisi lain geladak yang tidak terlalu penuh oleh para tamu undangan. 

Angin terasa sangat kencang begitu ia sampai di sini. Suara gulungan ombak bertambah keras sementara hamparan air terlihat begitu luas terbentang di bawahnya. Sejauh mata memandang hanya terlihat sekumpulan air yang membiru dan benar-benar terlihat cantik di matanya. 

“Cantik. Aku harus mengabadikannya.” Evelyn menaruh tas di bawah, sementara kedua tangannya sibuk mengarahkan ponsel untuk merekam keadaan di sekitarnya. 

Ini adalah pengalaman pertamanya menaiki kapal atau bisa dikatakan mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan dirinya untuk berada di tengah laut bersama orang-orang penting yang hadir untuk menyaksikan upacara pernikahan. 

“Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” tegasnya pada diri sendiri. 

Setelah merekam kurang lebih tiga kali dan memotret pemandangan di sana hingga memakan ruang yang cukup banyak, kali ini Evelyn mulai memfokuskan pandangannya pada setiap gulungan ombak yang seakan datang menghampirinya. Rambut miliknya bergerak-gerak oleh angin yang kuat, sementara kedua tangannya memegang pembatas besi dengan kuat agar tidak terganggu oleh guncangan.

Sekitar lima belas menit kemudian acara baru dimulai. Mempelai pria dan wanita duduk bersebelahan di depan puluhan tamu. Evelyn masih tetap berdiri memperhatikan gulungan ombak, lagi pula ia hanya make-up artist dan tidak diundang oleh pasangan itu.

“Tadi aku diberitahu sama pihak kapal, bahwa hari ini akan terjadi badai besar. Kita harus cepat-cepat turun atau tenggelam jika tetap di sini,” bisik seorang wanita. 

“Apa kamu tidak salah dengar?” Wanita lain yang berada di sebelahnya tampak terkejut. 

“Benar, aku tidak berbohong. Aku tidak akan berbohong tentang bencana alam,” jelasnya. 

Evelyn refleks merasa resah. Keringat dingin mulai terasa mengucur di dahi dan lehernya. Tangannya terasa begitu dingin bahkan ia merasa bahwa kedua kakinya sulit digerakkan karena gusar luar biasa. Akan terjadi badai besar? Saat ia memutuskan hendak berlari ke bawah, ombak besar mulai menerpa hingga mengguncang kapal yang dinaikinya.

Tidak tahu akan melakukan apa, dengan sangat refleks Evelyn langsung memeluk seorang pria yang sejak tadi berada di sebelahnya dengan perasaan yang ketakutan. Pria tadi yang semula tengah melamun itu sontak terkejut dengan pelukan Evelyn yang tiba-tiba. 

“Kamu—” Pria itu kebingungan dan ingin bertanya kenapa? Namun merasa bahwa pelukan wanita itu begitu kuat, akhirnya ia memilih untuk mengangkat tangannya dan mulai mengusap bahu Evelyn berusaha menenangkan. “Ehm, kamu ketakutan, ya? Tidak apa, semuanya akan kembali baik-baik saja. Tidak perlu takut,” hiburnya dengan lembut. “Aku tidak yakin badai itu akan terjadi saat ini juga, tapi lebih dari itu berdoa saja agar semua yang berada di dalam kapal ini selamat hingga kembali ke rumah,” lanjutnya. 

Evelyn mulai terasa tenang, ucapan yang didengarnya seakan sebuah mantra yang bisa dengan cepat mentralisir jantungnya yang semula berdetak dengan sangat cepat. Pikirannya mulai tenang seakan tersapu oleh angin lautan. Namun dari mana ia mendengar suara itu? Evelyn mulai mengerjapkan matanya beberapa kali saat baru saja tersadar bahwa kedua tangannya melingkar pada pinggang seseorang. 

Langkahnya mundur, lalu mulai mendapati dada seorang pria berkemeja putih tepat di depannya. Ia menelan saliva susah payah kemudian mulai memberanikan diri untuk mendongak. Kedua mata Evelyn menatap pria asing bermata cokelat terang yang kini juga menatapnya. 

“Ehm, maaf. Aku benar-benar tidak sengaja. Aku benar-benar minta maaf.” Wajah Evelyn merah merona dan tanpa berminat menunggu jawaban pria itu, ia langsung berbalik pergi terlampau malu dengan sikapnya sendiri. 

“Sial, lebih baik setelah ini aku tidak keluar rumah selama seminggu.” 

 

Bab 2

Acara selesai tepat dua jam setelah insiden Evelyn menabrak seseorang. Ia hendak turun setelah memastikan bahwa tak ada barang-barangnya yang tertinggal di deck kapal. Usai memastikan bahwa semua barang bawaannya sudah lengkap, wanita itu berjalan menuju tangga bersamaan dengan gerombolan tamu yang juga turun menuju lantai bawah. 

Awan yang semula tampak putih sekarang terlihat abu-abu tua. Hujan diperkirakan turun tak lama dari ini. Banyak orang yang terlihat panik, tetapi beberapa dari tamu masih ada yang terlihat santai menyantap hidangan pesta di kursi gelandang seakan keadaan baik-baik saja. 

“Ah, orang-orang itu seperti tidak punya rasa takut. Mereka begitu tenang melihat fenomena alam yang aneh ini,” desis Evelyn seraya berjalan cepat hendak menuruni tangga. “Berada di atas benar-benar mengerikan, aku harus segera turun dan menyelamatkan diri,” tegasnya pada diri sendiri. 

Ia terasa orang-orang mulai berjalan tanpa memperhatikan yang lain, tubuhnya yang cukup kurus terdorong-dorong hingga beberapa kali membuatnya harus memegang besi samping tangga agar mencegahnya untuk tidak jatuh. Hingga saat kakinya hendak turun pada anak tangga keempat, seseorang dari belakang terasa mendorongnya dengan kuat hingga pegangan Evelyn terlepas dan hampir terjatuh jika seseorang tidak menariknya ke belakang. 

“Ah Tuhan, aku masih hidup? Orang-orang tadi benar-benar brutal,” umpatnya pelan. 

Jantunganya terasa mencelus begitu menyadari bahwa ia selamat dan tidak terinjak-injak. Evelyn menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang telah menariknya, kedua matanya menatap lelaki yang kali ini tak asing lagi. Laki-laki pemberi mantra yang dipeluknya di gelandang, kali ini menyelamatkan hidupnya. 

“Maaf, lagi-lagi aku merepotkan kamu. Aku benar-benar merasa diselamatkan kali ini. Sekali lagi terima kasih,” katanya seraya melepaskan genggaman pria itu dan ia langsung memutuskan pergi. 

--

Pukul sembilan pagi, Evelyn yang menggunakan dress putih corak bunga-bunga kecil sudah sampai di depan gedung yang telah dipadati oleh banyak tamu undangan. Kali ini ia datang pada pesta pernikahan temannya. Terlihat sebuah papan bunga besar di depan pintu dengan tulisan ‘Glen and Olivia’. 

Kedua kakinya yang terbalut widgest hitam melangkah ke dalam saat janji suci tengah diikrarkan. “Ah, Oliv, maaf aku telat. Lalu lintas benar-benar tak bisa diprediksi dengan baik,” sesalnya dengan pelan. 

Melihat kursi yang kosong, Evelyn memilih untuk langsung duduk di sana sembari menunggu untuk maju ke depan. Hari ini ia diundang oleh temannya untuk menyumbangkan sebuah lagu meskipun ia sendiri belum menentukan judul apa yang pantas dibawakan pada sebuah pesta pernikahan. 

Setelah janji suci telah terikar, para tamu mulai berjalan ke depan untuk megucapkan selamat pada pasangan pengantin di depan. Evelyn langsung bangkit, memastikan lagi bahwa dandanannya masih rapi hingga akhirnya ia berjalan ke depan dengan penuh percaya diri.

“Hei Evelyn, aku kira kamu tidak datang ke sini,” sambut Olivia yang sekarang berdiri tepat di samping Glen. 

Evelyn tersenyum. “Tidak mungkin aku tidak datang ke pesta pernikahan kalian. Tapi tadi ada insiden yang membuat aku harus datang terlambat, biasalah, lalu lintas tidak bisa diterka, jadi aku telat. Aku minta maaf, ya,” kata Evelyn seraya menyalami tangan Olivia dengan ramah. 

“Tidak apa-apa, yang lebih penting dari itu kamu baik-baik saja,” jawabnya. 

“Nah, karena kamu telat bagaimana kalau kamu menyanyikan satu lagu untuk kami? Hitung-hitung itu adalah hadiah pesta pernikahan kami,” usul Glen tiba-tiba. 

“Boleh, aku akan menyanyikan satu lagu untuk kalian.” Tanpa pikir panjang, Evelyn langsung menerima tawaran itu. 

Saat ini ia mulai mengambil mic yang berada di dekat meja. Huru-hara keadaan di dalam gedung yang semula ramai perlahan sepi, seakan suara keramaian barusan ditelan oleh lubang hitam yang entah ada di mana. Seorang gitaris, drummer, dan pianis sudah berada di panggung kecil karena sebelumnya Olivia dan Glen memang mengundang band indie. 

Sekali lagi Evelyn mengecek microphone-nya, lalu mulai tersenyum ke arah para tamu undangan yang telah berhasil dicuri perhatiannya.  

“Selamat siang, perkenalkan saya Evelyn. Di sini saya ingin menyanyikan lagu Perfect milik Ed Sheeran. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pasangan pengantin yang memberikan waktunya kepada saya untuk memberikan sedikit hiburan pada para tamu di sini. Semoga apa yang akan saya bawakan nanti dapat menjadi hiburan yang tidak terlupakan,” ucap Evelyn. 

“I found a love, for me

Darling, just dive right in and follow my lead

Well, I found a girl, beautiful and sweet

Oh, I never knew you were the someone waiting for me….”

Suara Evelyn mulai memenuhi ruangan bersamaan dengan suara alunan gitar dan piano yang menyempurnakannya. Pandangan para tamu undangan tak lepas dari wanita yang memiliki suara lembut itu. Senyumnya tak pernah pudar, kedua matanya tak lepas memandang tamu undangan yang membisu di tempat-tempat seakan waktu berhenti hanya untuk Evelyn. 

“I don't deserve this

You look perfect tonight….”

Hingga hampir lima menit, Evelyn menghentikan nyanyinya dan detik berikutnya langsung disambut riuh tepuk tangan hingga membuat mata wanita itu berbinar. Ia tak menyangka bahwa akan mendapatkan sambutan sebaik ini oleh para pendengarnya. 

“Terima kasih, terima kasih telah mendengarkan,” ucap Evelyn dengan tulus. 

Wanita itu baru saja hendak mengembalikan microphone di meja meski suara tepuk tangan belum kunjung reda karena ada yang memintanya untuk menambah lagu. Namun seketika tepuk tangan itu berubah menjadi teriakan dan langkah kaki yang berlarian begitu benda-benda di dalam ruangan mulai berjatuhan dan gedung terasa bergetar kuat. 

“Gempa. Ada gempa! Semua keluar dan tetap tenang,” teriak seseorang. 

Bukannya langsung pergi, Evelyn sebaliknya mematung di tempat menyaksikan gelas-gelas dari meja yang mulai berjatuhan dan cairan-cairan minuman yang semula di dalam menjadi berceceran. Kakinya sulit untuk digerakkan, trauma akan bencana alam beberapa tahun lalu menyisakan ruang menyakitkan yang tak bisa dihilangkan.  

“Tidak, tidak sekarang. Evelyn, ayo bergegas pergi,” lirihnya pada dirinya sendiri. 

Orang-orang sudah mulai keluar meninggalkan gedung sementara bayangan kelam tentang hancurnya rumah-rumah dan bangunan di sekitarnya berhasil membuat wanita itu terduduk lemas. Detik berikutnya saat ia ingin meraih kaki meja untuk bangkit, cahaya gelap seakan menghantamnya hingga membuatnya jatuh pingsan di depan. 

“Wanita itu—” Juan, seorang lelaki yang pernah dipeluk Evelyn di gelandang kapal menatapnya. Sejak tadi ia memang berada di sana untuk menghadiri pesta pernikahan ini. 

Setelah menoleh ke kanan dan kiri memastikan bahwa tak ada orang lain selain ia sendiri, akhirnya pria itu bergegas mendekati Evelyn dan mengangkat tubuhnya untuk dibawanya keluar dari gedung tersebut. Pikirnya ia tak tega jika membiarkan wanita itu berada di sana walau ia tahu bahwa gedung ini cukup kuat, tetapi meninggalkan Evelyn bukan pilihan tepat.

“Aku harus segera membawanya ke tempat aman,” tegas Juan dengan penuh keyakinan. 

Bab 3

Wanita itu masih terlelap di atas ranjang dan belum sadar hingga sekarang. Namun ketika senja perlahan muncul, tangannya terlihat bergerak dan kedua matanya pun tampak mulai terbuka dengan sangat perlahan seperti seseorang yang baru terbangun dari komanya.

Kedua mata hitam gelap itu mendapati ruangan serba putih yang sangat asing. “Aku di mana?” lirihnya seraya menyapu seluruh ruangan di sana tetapi ia tak menemukan jawabannya. 

“Tidak! Tolong, aku di mana? Tolong, aku tidak mau mati! Seseorang tolong aku,” teriaknya dengan lantang. 

Saking kerasnya suara teriakan Evelyn, Juan yang semula berada di ruang sebelah sedang bermain catur dengan temannya, langsung meninggalkan permainan itu dan berlari menuju kamar di mana Evelyn tidur di dalamnya. Lelaki itu terlihat sangat cemas, wajahnya tersirat kekhawatiran yang dalam saat langkahnya mendekat ke arah Evelyn. 

Melihat seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya, Evelyn tersentak luar biasa. Kedua matanya membulat sempurna menyadari lelaki yang sudah dua kali menolongnya dan sekarang berdiri di dekatnya. Dunia ini terlalu sempit atau mereka saja yang ditakdirkan untuk selalu bertemyu? Evelyn belum menemukan jawabannya. Namun yang pasti lagi-lagi pria itu selalu datang di waktu yang tepat saat Evelyn membutuhkan pertolongan. Ia bak malaikat yang selalu mengerti waktu kedatangan. 

“Kamu ada apa di sini?” tanya Evelyn. 

“Kenapa kamu harus bertanya tentangku, bukannya kamu harus bertanya tentang dirimu sendiri? Apa kamu sudah baikan?” tanya Juan. 

Evelyn merasakan bahwa kepalanya masih cukup berat, tetapi ia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya dan duduk dengan perlahan. 

“Hati-hati, kalau kondisimu masih tidak enakan, lebih baik istirahat lagi,” sarannya. 

“Tidak, aku baik-baik saja,” ujarnya seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. 

“Tadi saat di pesta sempat terjadi gempa dan aku lihat kamu pingsan begitu saja saat orang lain berusaha menyelamatkan diri. Kalau boleh tahu kamu kenapa? Maksudku, itu cukup aneh. Seharusnya kamu juga menyelamatkan diri seperti yang lain. Kalau bangunan roboh dan tidak ada orang di sana, itu akan membahayakan nyawamu.” Juan berkata seraya mendudukkan dirinya di dekat ranjang tidur Evelyn. 

“Apa kamu yang sudah menolongku?” tanya Evelyn memastikan. 

Juan mengangguk. “Tidak usah dipikirkan.”

“Terima kasih, lagi-lagi aku merepotkan kamu,” ucap Evelyn dengan perasaan yang tidak enakan. 

Bagaimana pun ia sudah merepotkan pria itu berkali-kali. Benar menurutnya bahwa pria di depannya tersebut bak malaikat yang selalu menolongnya. Andai tidak ada Juan, mungkin Evelyn akan tersadar di bawah bangunan yang sekitarnya sudah berantakan tak tertolong. Setiap kali kejadian tentang bencana alam memenuhi pikirannya, selalu saja kepalanya mulai berat begitu pun tadi malam. Ia sangat syok dan tidak bisa berpikir jernih. 

“Ada kenangan buruk di masa lalu?” tanya Juan seakan mengerti. 

Evelyn mengangguk. Kedua matanya yang semula sayu sekarang tampak kosong seperti sedang berkelana jauh ke belakang. “Aku selalu takut dengan bencana alam, khususnya gempa. Menurutku itu adalah hal yang mengerikan. Aku memiliki trauma yang besar tentang kenangan buruk ini. Kedua orang tuaku meninggal tertimpa reruntuhan dan aku masih bisa mengingat bagaimana saat itu Ayah berteriak padaku untuk segera berlari, padahal aku tidak ingin melakukannya,” ucap Evelyn pelan-pelan. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya meluncur juga bagai bah yang mengalir deras membashi kedua pipinya yang putih. 

“Begitupun dengan Ibu, mereka memintaku untuk pergi agar aku selamat sementara mereka memasrahkan hidupnya pada semesta. Maka dari itu aku tidak pernah bersahabat dengan bencana alam dan selalu takut karena gempa telah menewaskan kedua orang yang aku sayang. Lihatlah, sekarang aku tidak bisa menatap wajab Ayah dan Ibu lagi. Aku benar-benar tidak punya kesempatan untuk mengabdi pada mereka lagi.” Kali ini wanita itu mulai terisak mengingat masa lalunya yang sangat suram. 

Juan merasa iba melihat wanita di depannya. Perlahan, ia bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Evelyn. Terlihat ia mulai mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala Evelyn dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengusapnya juga dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. 

Evelyn membalas pelukan pria itu. Kedua tangannya melingkar di pinggang Juan, dan tangisnya mulai mengencang saat telah menemukan sandaran di dada Juan yang menurutnya sangat nyaman. Evelyn tak peduli jika air matanya membasahi kaus yang Juan kenakan, karena yang ada di pikirannya saat ini hanya ingin mencari ketenangan. 

“Tidak usah takut lagi, sekarang ada aku di sini. Semua orang memiliki ketakutannya sendiri, masa lalu terkadang memang menakutkan tetapi kamu harus bisa untuk melawannya,” hibur Juan dengan tulus. 

Evelyn masih terisak di pelukannya, terlampau merasa nyaman dengan apa yang Juan lakukan. Satu tangannya yang mengusap kepala Evelyn membuat wanita itu ingin berlama-lama dipeluk oleh pria tak dikenal itu. Namun sepertinya bukan hanya Evelyn yang merasa nyaman, Juan pun merasa bahwa sekarang tubuhnya terasa hangat dan kepalanya tidak sumpek seperti biasanya. Aneh, keduanya merasakan hal sama yang tak diketahui apa namanya. 

Sekitar sepuluh menit saat Evelyn mulai tenang, wanita itu melepaskan pelukannya. Juan menatap Evelyn dengan pandangan yang lembut. “Aku akan ambil makanan di depan, lebih baik kita makan dulu, bagaimana?” tanyanya. 

Evelyn mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya. 

Juan mengangguk, berbalik lalu keluar untuk mengambil makanan sementara Evelyn masih duduk di ranjangnya dengan perasaan yang sudah lebih baik. Meski bayangan orang tuanya masih betah menguasai memori, tetapi saat bersama pria itu memori tersebut tidak terlalu menyakitkan. 

“Nah, ini makanannya. Hanya tinggal cumi sambal matah dan nasi. Tapi katanya ini sangat enak, aku belum mencobanya tapi temanku sangat suka makanan dari resto depan,” ujar Juan seraya masuk membawa nampan berisi dua piring makanan dan dua gelas air putih. 

Evelyn tersenyum. Juan menaruh nampan di atas nakas, lalu mengambil satu piring untuk diberikan pada Evelyn dan piring lainnya adalah bagian miliknya. “Coba kamu makan, menurutmu enak tidak?” kata Juan. 

Evelyn mengangguk. Ia mulai menyuapkan satu sendok nasi dan cumi matah ke dalam mulutnya dan mengunyahnya perlahan. “Ehm, ini enak. Ini masakan yang sangat enak,” pujinya dengan mata yang berbinar. 

Juan yang sedang mengunyah makanan miliknya pun tersenyum. “Temanku memang punya selera yang bagus untuk memilih restoran,” balasnya. 

Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit, Evelyn dan Juan sudah menghabiskan makanannya hingga bersih. “Ehm, ngomong-ngomong siapa namamu? Aku lupa belum menanyakan ini, padahal kamu udah menolongku cukup sering,” tanya Evelyn seraya menaruh piring kotornya di nampan. 

“Namaku Juan. Kalau kamu?” Juan berbalik tanya. 

“Wah nama yang bagus, Juan. Kalau aku, namaku Clarisa Evelyn, kamu bisa memanggilku dengan sebutan Evelyn,” jawab Evelyn. 

Juan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Evelyn,” lirihnya. 

“Ah, kalau gitu aku pamit pulang. Terima kasih untuk hari ini.” Evelyn langsung turun dari ranjang tidurnya karena ia merasa sudah lama sekali meninggalkan tempat tinggalnya. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!