NovelToon NovelToon

Cinta Di Penghujung Ramadan

Bab 1. Kirana

Senja mulai naik ke singgasana. Membiaskan rona jingga yang nampak memanjakan mata. Suasana pun semakin ramai saja dengan kuda-kuda besi yang membelai jalanan ibu kota. Sebagai pertanda jika saat ini merupakan waktu pulang kerja.

Kirana, wanita berusia dua puluh lima tahun itu terlihat  sedang duduk di salah satu kafe yang berada di pusat kota. Lokasi kafe yang tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, selalu menjadi tempat persinggahan sementara sampai suasana jalan dapat kembali seperti semula. Tentunya suasana jalanan yang terbebas dari kemacetan dan segala macam hiruk pikuknya. Sesekali, wanita berambut hitam legam sedikit bergelombang itu nampak menikmati suasana jalanan dari balik kaca.

Barisan kendaraan melaju perlahan. Para pengemudi berupaya keras untuk membebaskan diri kemacetan. Suara klakson-klakson kendaraan pun terdengar bersahutan. Seakan tidak sabar untuk bisa segera lepas dari kemacetan yang menimbulkan kepenatan.

"Ran,ini sudah jam pulang kantor. Mengapa kamu masih sibuk dengan laptopmu?"

Mira sang sahabat dekat, berjalan menghampiri Kirana dengan membawa dua cup vanilla latte di tangannya. Aroma perpaduan kopi espresso dengan susu full cream itu nyatanya bisa mengalihkan perhatian Kirana. Ia yang sebelumnya fokus dengan layar empat belas inchi di hadapannya, kini ia tautkan pandangannya ke arah Mira. Senyum tipis pun terbit di bibir tipisnya.

"Aku lembur Mir, barangkali akhir bulan ini aku mendapatkan bonus besar karena didaulat menjadi karyawan paling rajin. Meski jam kantor telah usai, namun aku masih sibuk dengan laptopku."

Lirih tawa Kirana sedikit terdengar merembet masuk ke dalam indera pendengaran. Wanita itu meraih cup vanilla latte yang berada di hadapan dan mulai menyesapnya perlahan. Seketika, suasana hati nan rileks dapat ia rasakan.

Mira juga ikut tergelak pelan. "Apakah orang seperti kamu ini pantas memburu bonus besar di akhir bulan? Aku rasa, kamu tidak memerlukan itu Ran."

Kirana menyipitkan mata. Memandang penuh tanda tanya wajah sahabat dekatnya ini. "Memang aku kenapa Mir? Aku juga seorang karyawan di tempat kita bekerja. Jadi aku rasa, aku memiliki hak yang sama untuk ikut berburu bonus bulanan."

Mira semakin terkekeh geli. Mendengar seorang Kirana ikut berburu bonus di akhir bulan rasanya sangat lucu sekali. Padahal sebelumnya, Kirana pernah bercerita bahwa ia bekerja hanya untuk sekedar melepaskan diri dari kejenuhan yang hakiki.

 

"Kamu adalah orang berada dan serba kecukupan, Kiran. Tanpa harus bekerja lembur pun kamu tidak akan pernah kekurangan. Apakah pantas kalau kamu ikut berburu bonus bulanan?"

Kirana berdecak pelan seraya menggeleng-gelengkan kepala. Meski dirinya berasal dari keluarga yang serba berkecukupan, namun wanita itu tetap berupaya untuk berdiri di atas pijakan kakinya. Tidak ingin terlalu bergantung kepada harta milik orang tua.

"Cckkckkkk  ... kamu ini, selalu saja seperti itu Mir. Mengaggapku lebih. Padahal aku sama denganmu dan juga orang lain."

Mira semakin dibuat gemas dengan mimik wajah sahabatnya ini. Bibir mengerucut, pipi sedikit menggembung layaknya ikan buntal semakin membuat wanita ini terlihat lucu sekali. Namun inilah salah satu sifat Kirana yang Mira sukai. Meski kehidupan Kirana begitu sempurna dengan materi yang dimiliki, sahabatnya ini tetap rendah hati.

"Baiklah jika kamu masih ingin sibuk berkutat dengan pekerjaan kantor. Namun jika akhir bulan nanti bonus yang kamu dapatkan banyak, jangan lupa untuk berbagi dengan kaum dhuafa seperti aku ini, Ran," ujar Mira dengan disisipi gelak tawa.

"Hmmmm  ... baiklah. Aku akan menyisihkan sedikit rezeki yang aku dapatkan untuk berbagi dengan kaum dhuafa sepertimu, Mira," ucap Kirana dengan mimik wajah meyakinkan dan diselingi degan kekehan kecil pula.

Sepasang sahabat itu nampak mengobrol penuh keakraban. Gelak tawa yang terlihat dari kejauhan seakan mempertegas bahwa keduanya larut dalam kehangatan. Berbagi rasa dan berbagi cerita tentang kehidupan.

Kemacetan yang terjadi di luar sana, perlahan mulai terurai. Kendaraan mulai melaju dengan kecepatan tinggi yang sebelumnya melaju dengan landai. Seolah ingin segera tiba di rumah untuk kembali berkumpul dengan sanak famili.

Surya semakin tenggelam di ufuk barat. Goresan tinta langit warna jingga di cakrawala nampak memeluk erat. Hendak berpamitan dengan melambaikan tangan kepada bumi layaknya perpisahan antara kedua sahabat. Menyerahkan singgasananya untuk sang dewi malam yang akan berjaga semalaman yang juga memiliki tugas yang sama berat.

Sayup kumandang adzan Maghrib mulai terdengar di telinga. Menjadi pengingat bagi kaum muslim untuk bersegera menunaikan kewajibannya. Bersujud untuk menyembah Sang pemilik alam semesta beserta seluruh isinya.

Kirana menutup laptop yang berada di hadapan. Memasukkan kembali ke dalam tas yang ia bawa dan bermaksud untuk berpamitan. Kembali ke rumah di mana kedua orang tuanya telah menunggu kepulangannya dengan segenap kerinduan.

"Mir, aku pulang dulu ya. Mumpung jalan sudah tidak macet."

"Sudah adzan, apa tidak sebaiknya kamu shalat terlebih dahulu Ran? Sehingga saat di jalan, kamu merasa tenang?"

Kirana menggeleng pelan. "Tidak Mir. Aku langsung pulang saja. Nanti kalau aku shalat, keburu macet lagi jalanan ini. Kamu tahu sendiri bukan seperti apa Jakarta itu?"

"Tapi Ran, kita mengerjakan shalat tidak sampai setengah jam. Jadi mari, kita shalat terlebih dahulu. Di kafe ini juga tersedia tempat untuk shalat kok."

Mira tiada henti berupaya untuk membujuk Kirana. Meski ia tahu bahwa Kirana memang tidak terlalu taat dalam beribadah namun ia masih belum menyerah untuk mengajak sahabatnya ini untuk selalu ingat akan kewajibannya. Ia yakin suatu saat nanti, pintu hati sahabatnya ini akan terbuka.

Lagi-lagi Kirana menggelengkan kepala. "Tidak Mir. Kalau kamu ingin shalat, shalat lah. Tapi aku pulang lebih dahulu ya. Aku khawatir jika jalanan macet lagi."

Mira hanya bisa terperangah tiada percaya mendengar alasan Kirana. Wanita itu justru lebih takut terkena macet di jalan daripada dosa yang tercatat karena telah meninggalkan shalatnya. Sungguh, sangat sulit untuk ia cerna di akal sehatnya.

"Tapi Ran  ...."

Ucapan Mira terpangkas saat Kirana berjalan mendekat ke arahnya. Wanita itu sedikit membungkukkan badan untuk bisa memeluk tubuh Mira yang masih setia duduk di kursinya. Cium pipi kanan dan cium pipi kiri tidak lupa ia berikan untuk Mira.

 "Aku pulang dulu ya Mir. Dadah..."

Tanpa basa-basi Kirana melenggang pergi meninggalkan Mira yang masih berada di dalam mode terdiam seribu bahasa. Tak selang lama, kesadarannya pun mulai kembali sepenuhnya.

Mira melabuhkan pandangannya ke arah luar kaca. Nampak, Kirana sudah memasuki mobil dan mulai memacu laju kendaraannya. Perlahan, bayangan mobil itu mulai menghilang ditelan oleh ramai jalanan ibu kota.

"Aku hanya bisa berdoa semoga suatu hari nanti kamu akan menemukan jalan hidayahmu, Ran. Kamu wanita sempurna. Wajahmu cantik, hatimu baik dan pastinya itu semua akan bertambah sempurna jika kamu taat akan perintah Rabb-mu."

Mira bermonolog lirih. Sembari melangitkan pinta semoga Yang Maha membolak-balikan hati membukakan pintu hidayah untuk sahabat terkasih. Mira beranjak dari posisi duduknya. Ia pastikan tidak ada satupun barang yang tertinggal di meja. Ia ayunkan tungkai kakinya ke arah musholla untuk menunaikan kewajibannya.

 

 

Bab 2. Keluarga Sempurna

Mobil sedan putih  mendarat sempurna di depan halaman luas sebuah rumah mewah bergaya klasik eropa. Tak selang lama muncul dari balik kemudi seorang wanita muda dengan menenteng tas di lengan tangan kirinya. Sedang di tangan kanannya, ia menenteng kantong plastik bening yang berisi martabak manis yang tercium aroma nikmatnya. Empat puluh lima menit berada di jalan, pada akhirnya ia tiba di rumah tercinta.

 

Sepasang telapak kaki berbalut flat shoes itu menyusuri lantai berlapis marmer yang menghiasi. Di sisi kanan kiri nampak pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi. Seakan menjadi tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali. Di depan teras, sudah ada seorang wanita yang menyambut kepulangan Kirana ini.

"Papa dan mama sudah pulang Bik?"

Kirana menyapa Sumi yang merupakan asisten rumah tangga di kediamannya. Wanita berusia setengah abad yang sudah sejak puluhan tahun lalu menjadi orang kepercayaan sang mama. Bahkan, Sumi merupakan seseorang yang sejak dulu ikut merawat dan mengasuh Kirana. Tak heran, jika Sumi sudah Kirana anggap seperti ibu kedua.

"Sudah Non. Bapak dan ibu juga belum lama tiba di rumah."

Kirana menyunggingkan sedikit senyumnya. Ia ulurkan kantong plastik bening yang ia bawa ke arah Sumi. "Ini untuk Bibik dan pak Dirman."

"Apa ini Non?" tanya Sumi dengan dahi sedikit mengernyit.

"Ini martabak manis rasa cokelat kacang kesukaan Bik Sumi dan pak Dirman. Lekas dimakan ya Bik, mumpung masih hangat!"

Hati Sumi menghangat. Selalu mendapatkan perlakuan baik dari majikannya, membuat wanita itu merasa betah mengabdikan diri bertahun-tahun bekerja di rumah ini. Dengan penuh rasa syukur, Sumi menerima pemberian Kirana.

 "Terima kasih banyak ya Non."

 "Sama-sama Bik. Kalau begitu, aku masuk dulu ya."

 "Baik Non."

Kirana kembali mengayunkan tungkai kaki. Memasuki area ruang tamu dengan sofa-sofa mewah yang mendominasi. Sofa dengan kualitas terbaik, langsung di datangkan dari Timur Tengah yang pastinya memiliki harga fantastis sekali. Guci-guci porselen yang didatangkan langsung dari Tiongkok, juga semakin mempertegas kesan mewah rumah ini. Tidak keketinggalan, sebuah pigura besar dengan foto keluarga juga dipajang di salah satu sisi.

 "Hai Sayang, baru pulang?"

Santi, yang tak lain adalah sang mama menyambut kepulangan putri semata wayangnya ini. Ia letakkan ponsel yang ia bawa di atas meja dan menyambut sang putri dengan wajah berseri. Merentangkan tangan untuk dapat memeluk tubuh sang putri.

Senyum manis merekah di bibir Kirana. Gegas, wanita itu mendekap erat tubuh sang mama. Mencurahkan segala rasa cinta yang ia punya. Seketika, rasa hangat mengaliri aliran darahnya.

"Iya Ma. Seharusnya sudah dari tadi, namun Kirana singgah terlebih dahulu di kafe yang berada di dekat kantor." 

Wanita paruh baya itu mengusap lembut punggung Kirana. Tidak tidak terasa jika putrinya ini benar-benar telah memasuki usia dewasa. Fase usia yang sudah pantas membina sebuah keluarga.

"Mama merasa kalau kamu sering sekali nongkrong di kafe itu. Memang di sana ada apa saja Sayang? Yang membuatmu begitu betah singgah di sana?"

Masih berada di dalam dekapan sang mama, Kirana terkekeh pelan. "Ada beraneka rupa sajian kopi, Ma. Ada espresso, macchiato, latte, cappucino, americano, mocha, affogato, dan masih banyak lagi."

Dahi Santi sedikit mengernyit, tidak terlalu paham dengan minuman anak muda zaman milenial seperti ini. "Memang, di sana kamu tidak bertemu dengan laki-laki gitu ya Sayang?"

Kirana sedikit terkesiap. Buru-buru ia urai pelukannya dari tubuh sang mama. Ia menatap lekat netra Santi dengan dipenuhi oleh tanda tanya.

"Laki-laki? Jelas pengunjung di kafe itu ada yang laki-laki, Ma. Tapi apa hubungannya dengan Kirana?"

"Apa diantara pengunjung laki-laki itu tidak ada yang mengajakmu berkenalan Sayang?"

Bibir Kirana semakin lebar menganga. Bahkan kedua bola matanya pun juga turut membulat sempurna. Tiba-tiba saja bulu kuduk wanita itu meremang seketika. Ia merasa sang mama akan kembali membahas perihal calon pendamping hidup yang sampai saat ini tak kunjung tiba.

"Memang kenapa Ma kalau tidak ada yang mengajak Kiran berkenalan? Kiran rasa bukanlah menjadi suatu kewajiban ketika kita nongkrong di kafe harus ada yang berkenalan dengan kita."

Senyum tipis membingkai bibir Santi. Netra dengan manik berwarna cokelat itu juga turut menatap intens wajah sang putri. Dengan lembut, ia usap pipi putrinya ini.

"Kamu itu cantik loh Sayang, tapi mengapa sampai sekarang tidak ada laki-laki yang mendekatimu ya? Ataukah mungkin kamu ini merupakan salah satu tipe perempuan  pemilih? Sehingga sampai saat ini kamu masih sendiri?"

Pertanyaan sang mama membuat hati Kirana sedikit tertampar. Ia sadar bahwa sampai saat ini ia masih fokus dengan karier yang ingin ia kejar. Sehingga, perihal kekasih bukanlah menjadi salah satu prioritas yang harus ia upayakan.

"Kiran bukan tipe pemilih Ma. Kiran memang masih belum berminat untuk memikirkan perihal jodoh. Karena bagi Kiran, pernikahan itu tidak boleh jika dipikir asal-asalan. Harus ada pandangan bagaimana ke depan dan harus direncanakan secara matang. Bukan hanya sekedar dijalani saja tanpa adanya sebuah perencanaan." 

"Memang perihal apa yang saat ini kamu pikirkan secara matang Sayang?"

"Tentang pelakor Ma. Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang pelakor. Entah itu dari asisten rumah tangga yang menjadi selingkuhan sang majikan. Baby  sitter yang juga bermain serong dengan majikannya. Dan juga berasal dari godaan yang ada di luar sana. Semua itu membuat Kiran takut untuk menikah Ma. Takut jika suami Kiran nantinya menjadi salah satu lelaki yang seperti itu."

Mendengar berita akhir-akhir ini yang beredar luas perihal pelakor, membuat Kirana paranoid sendiri. Tidak dapat ia bayangkan bagaimana hancurnya makhluk bergelar istri saat dicurangi oleh sang suami. Bahkan mungkin bukan hatinya saja yang terluka. Dunianya pun pasti porak poranda dalam satu kedipan mata.

Santi sedikit shock mendengar penuturan Kirana. Ternyata perihal potret perselingkuhan yang merajalela di akhir-akhir ini yang membuat putri semata wayangnya ini masih belum bersedia untuk mengakhiri masa kesendiriannya.

"Kamu jangan...."

"Sedang membahas apa sih? Kok sepertinya serius sekali?"

Ucapan Santi terpangkas di kala suara bariton dari arah tangga sedikit menggema. Terlihat, Arman mengayunkan tungkai kakinya untuk ikut berkumpul dengan istri dan juga anaknya.

Kehadiran Arman disambut dengan rekahan senyum di bibir Santi dan Kirana. Jika sang kepala rumah tangga sudah ikut berkumpul seperti ini suasana hangat akan semakin terasa. Biasanya mereka bisa saling bercengkrama dan berbagi cerita hingga larut malam tiba.

Lelaki paruh baya yang masih nampak gurat-gurat ketampanannya itupun ikut duduk di sofa yang sama dengan istri dan anaknya. Kini posisi Kirana diapit oleh kedua orang tuanya.

"Ini lho Pa, putri semata wayang kita ini ternyata takut untuk menikah."

"Benarkah seperti itu Sayang? Memang apa yang membuatmu takut untuk menikah?" tanya Arman yang begitu ingin tahu.

Kirana menganggukkan kepala. "Itu benar Pa. Kiran takut jika pada saat Kiran menikah nanti, suami Kiran bermain api dengan berselingkuh. Kiran benar-benar takut dihianati Pa."

Arman seperti kesusahan menelan cairan salivanya. Mendengar sang anak mengutarakan ketakutannya untuk menikah, benar-benar membuat sendi-sendi dalam tubuh Arman melemas semua. Entah apa yang sedang bergelayut manja di dalam pikirannya. Yang pasti ucapan polos putrinya ini sungguh bisa melumpuhkan saraf-sarafnya.

"Bukankah hal itu sangat lucu Pa? Karena menurut Mama tidak semua laki-laki yang bergelar suami akan tergoda oleh pesona wanita di luar sana. Nyatanya, sampai saat ini Papa masih setia kepada Mama kan? Mama yakin jika Kiran juga akan menemukan sosok seorang suami seperti Papa. Iya kan Pa?"

Arman yang sebelumnya berada dalam mode hening, seketika tubuhnya terperanjat. Ia pun mencoba untuk menguasai segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepala.

"Ehemmmm ... Itu benar sekali, Ran. Kamu tidak perlu khawatir akan hal itu. Masih banyak laki-laki yang setia di luar sana. Yang hanya setia pada pasangan hidupnya."

Kirana tersenyum penuh arti. Melihat keharmonisan dan keromantisan kedua orang tuanya, membuat Kirana ingin sekali mencari sosok seorang suami seperti ayahnya ini. Suami yang selalu memperlakukan istrinya dengan baik dan tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu yang menyakiti hati. Tidak heran jika keduanya masih terlihat mesra di usia pernikahan mereka yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun ini.

"Ya, Kiran berharap semoga kelak suami Kiran seperti Papa. Yang hanya setia kepada satu orang wanita dan tidak pernah melukai hati mama. Kiran benar-benar bangga kepada Papa."

Arman tersenyum tipis dengan raut wajah yang sulit terbaca. Ia rengkuh tubuh putri semata wayangnya ini untuk ia bawa ke dalam dekapan. Sama seperti yang dilakukan oleh Santi, ia pun mengusap dan mengecup pucuk kepala sang anak dengan penuh kelembutan.

"Kiran ingin selalu seperti ini. Berada di dalam dekapan keluarga yang sempurna yang juga turut menyempurnakan kebahagiaan Kiran."

.

.

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 3. Sedikit Berubah

Mentari pagi menampakkan wajah. Sinar keemasannya terbias di butiran embun yang bergelayut manja di permukaan dedaunan, nampak indah. Kuncup-kuncup bunga mawar juga turut merekah. Sebagai bukti kasih sayang dari Sang Maha pemberi anugerah.

Tubuh Kirana sedikit bergeliat kala rasa hangat mulai memeluk tubuhnya. Netranya sedikit memincing saat sinar matahari terasa begitu menusuk kornea. Ia geser tubuhnya dan bersandar di head board ranjang. Sesekali ia regangkang otot-otot tubuhnya yang terasa kaku tiada terkira.

"Hari Minggu  ... papa punya rencana mau kemana ya? Ini sudah minggu ketiga papa tidak mengajak aku dan mama refreshing."

Perhatian Kirana tertuju ke arah kenop pintu yang bergerak seperti dibuka dari luar. Benar saja, tak selang lama kepala Sumi menyembul. Wanita itu tersenyum simpul.

"Bibik ingin mengambil pakaian kotor non Kiran."

"Masuk saja Bik. Pakaian kotorku sudah ada di keranjang semua kok."

Wanita paruh baya itu berjalan ke sudut kamar di mana keranjang pakaian Kiran berada. Dengan telaten, Sumi memilah-milah pakaian berwarna dan putih agar tidak tercampur. Sembari merogoh kantong baju ataupun celana yang barangkali terselip lembaran uang di sana. Jika memang hal itu yang terjadi, maka bergegas akan ia kembalikan kepada Kiran. Meski setelah ia kembalikan akan diberikan oleh si pemilik, namun Sumi mencoba untuk bekerja secara jujur.

"Bik, papa dan mama apa sudah turun?"

Sembari mengikat rambutnya asal, Kiran bertanya perihal kedua orang tuanya. Sejatinya ia teramat heran karena beberapa hari terakhir ini, sang papa seringkali pulang larut. Entah apa yang sesungguhnya terjadi.

"Tuan besar sudah sejak tadi pergi Non. Kira-kira dua jam yang lalu."

Hati Kiran semakin diliputi oleh tanda tanya. Setiap orang yang biasanya bersantai ria di hari libur, sang ayah justru sebaliknya. Ia justru pagi-pagi sekali meninggalkan rumah.

"Lalu, Mama?"

"Nyonya ada di taman Non. Tadi Bibi lihat sedang menyiram tanaman."

Kirana bangkit dari tempat tidur. Masih mengenakan  piyama berwarna biru dongker ia bermaksud untuk menyusul sang mama. Ia pikir, akan mengasyikkan jika pagi ini ia juga ikut menghabiskan waktu di taman.

"Aku menyusul mama dulu ya Bik. Tirainya lupa belum aku buka, nanti tolong dibuka sekalian ya Bik."

"Baik Non."

Kaki jenjang Kiran, ia bawa untuk keluar dari kamar pribadinya. Ia menuruni anak tangga dan mulai menyusuri setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah. Dan saat tiba di teras, nampak sang mama sedang duduk di bangku taman berwarna putih dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu nampak terdiam, terpaku, dan membeku seakan larut dalam pikirannya sendiri.

"Mama? Mama sedang apa?"

Gelombang suara yang merembet masuk ke dalam indera pendengaran, sukses membuat tubuh Santi sedikit terperanjat. Kesadarannya seakan ditarik paksa untuk kembali setelah berkelana entah ke mana. Santi menggiring manik matanya untuk menatap keberadaan sang putri yang sudah berdiri di sampingnya.

"Ran? Sejak kapan kamu di sini Nak?" tanya Santi dengan bingkai wajah yang dipenuhi oleh keterkejutan.

"Sejak Kiran melihat Mama melamun sendiri di sini," seloroh Kiran sembari mendaratkan bokongnya di samping samping sang mama.

Santi tersenyum simpul. Netra yang sebelumnya terpaut pada wajah cantik sang putri, kini ia arahkan kembali ke arah depan di mana nampak pohon cemara yang berjajar rapi di sana. Sesekali terdengar helaan napas keluar dari mulut Santi, seakan mengisyaratkan bahwa ada satu beban berat yang menggelayut di hati.

"Apakah kamu merasakan hal yang sama dengan apa yang Mama rasakan, Sayang?"

Seperti sudah tidak mampu untuk membendung segala kerisauan di hati, Santi mencoba untuk mencurahkannya kepada sang putri. Tentang perubahan sikap sang suami yang nampak di akhir-akhir ini.

Sejenak, Kiran menoleh ke arah Santi yang masih intens menatap barisan bonsai cemara yang ada di depan sana. Pahatan rasa cemas benar-benar terlihat membingkai wajah sang mama.

"Maksud Mama tentang papa?"

Santi mengangguk pelan sebagai pembenaran apa yang Kiran utarakan. "Ya, ini semua tentang papa, Ran."

"Yang Kuran lihat perubahan kebiasaan papa, Ma. Setiap weekend, papa yang sering mengajak kita refreshing dengan jalan-jalan ataupun staycation, namun sudah hampir satu bulan ini tidak pernah ia lakukan lagi. Selain kebiasaan papa yang berubah, apakah ada hal lain lagi yang berubah dari papa?"

Kiran masih mencoba untuk berpikir jernih tentang Arya. Ia berpikir kebiasaan sang papa yang sedikit berubah karena mungkin memang pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Sehingga membuat sang papa sedikit lupa dengan keluarganya.

Santi mengangguk pelan. "Mama merasa selain dari kebiasaan, sikap papa juga berubah Ran."

Kirana sedikit terhenyak. "Apa Ma? Apa lagi yang berubah dari papa?"

Lagi-lagi Santi membuang napas sedikit kasar saat melihat perubahan sikap sang suami akhir-akhir ini. Lelaki yang telah menjadi pendamping hidupnya selama dua puluh tujuh tahun ini, kini mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Ada sesuatu yang terkesan ditutup-tutupi.

"Papamu akhir-akhir ini sering sibuk dengan ponselnya sendiri, Ran. Ketika kami sedang bercengkerama, sering sekali dering ponsel papamu berbunyi dan setelah itu papa bergegas menjauh dari mama untuk mengangkat panggilan telepon itu."

"Mungkin itu dari rekan kerja papa, Ma. Dan papa memilih untuk menjauh agar Mama tidak merasa terganggu. Barangkali papa sedang menghadapi hal yang sangat serius di kantor dan tidak ingin membebani Mama."

Meski Kiran merasakan ada sedikit keganjalan dari sikap sang papa, namun ia masih tetap berbaik sangka. Sang papa tidak mungkin melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan keluarganya. Karena sejatinya sang papa merupakan sosok suami dan ayah terbaik yang dapat dipercaya.

Santi tersenyum tipis mendengar ucapan Kirana. Sejatinya, ia ingin tetap berbaik sangka terhadap perubahan sikap Arya. Namun di dalam sudut hati terdalamnya, perasaan cemas dan khawatir itu tetaplah ada. Ia khawatir jika sang suami menyimpan rahasia besar yang bisa menjadi bom waktu dan meledak kapan saja.

Santi kembali menautkan kedua netranya ke arah sang putri. Dalam kegundahan hati seperti ini, hanya Kirana lah yang dapat kembali menguatkan hati. Meski tidak dapat diingkari jika pikiran-pikiran buruk itu tetaplah merajai.

Santi tersenyum simpul. Ia usap pipi Kirana dengan lembut. "Jika kamu masih percaya bahwa perubahan sikap papa ini hanyalah sementara, Mama pun juga akan mencoba untuk selalu berpikir yang sama, Ran."

Kirana juga ikut menyunggingkan senyum di bibirnya. Berupaya untuk meredam segala keresahan yang dirasakan oleh sang mama. Seperti seseorang yang memiliki ikatan batin, ia benar-benar bisa merasakan bahwa batin Santi sedang tidak baik-baik saja.

"Kirana percaya bahwa papa adalah orang baik, Ma. Tidak mungkin papa melakukan sesuatu yang akan mengecewakan kita. Bagi Kiran, papa merupakan sosok lelaki sempurna yang bisa selalu menjaga keutuhan keluarga."

Santi menarik lengan tangan Kirana. Ia peluk tubuh putrinya ini dengan erat dan menenggelamkan kepalanya di atas pundak sang putri tercinta. Tanpa sadar, kristal bening dari pelupuk matanya menetes perlahan. Sebagai pertanda jika seonggok daging bernyawa di dalam dada sedang dilanda oleh kekhawatiran.

Dua orang berbeda generasi itu saling berpeluk dan saling menguatkan. Memupus segala pikiran buruk yang masih saja datang membayang. Selalu percaya bahwa sosok lelaki yang menjadi pemimpin di dalam keluarga tidak akan pernah mengecewakan dengan goresan luka yang ditinggalkan.

.

.

.

 

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!