💕 Halo semua, ini adalah karya ketigaku di platform ini. Semoga suka dan bisa menghibur. Jangan lupa like, favorit, dan vote ya ... agar aku semangat update bab selanjutnya.
💕Happy reading.
Erlan, seorang pemuda tampan, kembali ke kampung halamannya untuk menghadiri pernikahan kakaknya, Fahri. Saat itu, Erlan juga berharap bisa bertemu dengan Melia Anastasya, wanita yang pernah ia cintai dan dekat dengannya sejak kecil.
Namun, ketika Erlan bertemu dengan Melia, ia mendapati Melia akan menikah dengan Fahri, kakaknya sendiri. Ia sangat terkejut sekaligus kecewa.
"Sudah lama tidak bertemu, Mel. Kamu terlihat cantik," kata Erlan sambil tersenyum tipis walau pertemuan itu terlihat kaku.
"Makasih, Erlan. Kamu juga masih tampan seperti dulu," balas Melia dengan senyum ramah.
"Aku tidak menyangka akan secepat ini," ujar Erlan dengan tatapan sendu di riuhnya para tamu.
"Aku sudah memperingati," sahut Melia canggung karena Fahri memperhatikan keduanya.
"Apakah kamu bahagia?" tanya Erlan, seakan ragu.
“Dengan Fahri, bos yang kubenci. Mungkin,” jawab Melia sambil menunjuk ke arah Fahri .
Erlan kaget dan kesal melihat kekasih dan kakaknya menikah di hari itu. Hatinya terasa hancur saat menyadari bahwa wanita yang dicintainya telah menjadi kakak iparnya sendiri.
"Mengapa kamu menikah dengan kakakku? Apa tidak merasa aneh?" tanya Erlan dengan nada kesal.
“Maksudmu?” tanya Melia bingung.
"Apa kamu tidak merasa aneh menikah dengan kakakku? Apa kamu tidak merasa bersalah padaku?" tegas Erlan.
"Apa yang membuat kamu marah, Erlan? Aku dan Fahri saling mencintai, kenapa kamu sakit hati? Bukankah kamu menghendaki ini terjadi? Kau bahkan mengabaikan permohonanku untuk menemui ayah ketika aku mengharapkanmu," jawab Melia dengan nada sedikit tinggi.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Mel. Aku tahu kamu pernah dekat dengan aku, dan sekarang kamu menikah dengan kakakku, jadi begini caramu membalas dendam," jawab Erlan dengan suara yang semakin meninggi.
"Erlan, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Kamu tidak bisa menghalangi cinta kami, aku terlanjur jatuh hati padanya sekarang," kata Melia dengan nada yang marah.
"Erlan, tenanglah. Ini tidak ada hubungannya dengan kamu," kata Fahri yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.
"Aku tahu kamu bohong, Mel. Kamu berdua telah merusak hidupku!" ujar Erlan dengan penuh amarah.
Melia dan Fahri terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Mereka merasa sedih dan kecewa melihat reaksi Erlan yang begitu meledak-ledak.
Setelah acara pernikahan selesai, Erlan meninggalkan mereka dengan hati yang hancur dan penuh kekecewaan. Ia merasa dikhianati oleh orang yang pernah ia sayangi dan percaya.
'Kamu akan menyesal telah merusak kehidupan, Melia,' gumam Erlan dalam hati.
*****
Setelah acara pernikahan selesai, Erlan mencoba menenangkan hatinya di sebuah kafe.
Namun, seorang teman masa kecilnya, Rangga, melihat betapa sedihnya Erlan.
"Erlan, apa yang terjadi?" tanya Rangga.
Erlan terdiam sesaat sebelum akhirnya mengungkapkan semua rasa sakitnya. "Melia menikah dengan orang lain. Aku merasa hancur."
"Mungkin kamu perlu berbicara dengannya," saran Rangga.
"Bagaimana aku bisa berbicara dengannya? Dia bahkan sudah menikah sekarang," jawab Erlan dengan nada kesal.
Namun, kecewa dan luka hati Erlan semakin dalam hingga akhirnya berubah menjadi dendam. Ia merencanakan sebuah konspirasi perselingkuhan yang bertujuan untuk membalaskan dendamnya dan membuat Melia Anastasya merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakannya.
"Erlan, apa yang sedang kamu lakukan? Ini tidak benar," cegah Rangga saat mengetahui rencana Erlan.
"Biarkan aku menyelesaikan ini. Aku sudah terlalu lama menahan sakit ini," jawab Erlan tegas.
Namun, ketika konspirasi tersebut mulai terbongkar, Erlan harus menghadapi konsekuensi atas tindakannya sendiri.
"Erlan, apa yang terjadi? Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Melia dengan suara yang gemetar.
Erlan menundukkan kepala dan merasa sangat menyesal. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Maafkan aku," ujarnya dengan nada rendah.
Bagaimana ia akan menghadapi segala akibat dari keputusannya yang merusak hubungan dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya? Akankah ia dapat menebus kesalahannya dan memperbaiki segala yang telah rusak?
💕 Happy reading.
Langit siang dengan warna biru cerah tanpa awan terpampang jelas dari kaca jendela kantor.
Warna biru menghias indah seolah mengisyaratkan ceria. Akan tetapi tampaknya tak secerah kisah seorang gadis cantik, dan manis, bernama Melia Anastasya.
Seperti hari-hari biasa, ia selalu pergi ke kantor bersama Erlan, seorang pria sahabat kecil sekaligus kekasihnya.
Erlan adalah sosok periang, meski jika berhadapan dengan orang lain ia jarang bicara. Ia juga pernah bercerita jika dulu pernah mengidap sindrom asperger. Dan Melia adalah teman satu-satunya yang mampu mengubah hidupnya.
Pagi itu, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melewati gedung-gedung besar berderet.
Namun, baginya dan Melia ini terlalu pagi untuk pergi ke kantor.
Dari jam masuk kerja yang satu jam lebih awal dari kantor kebanyakan. Erlan dan Melia bisa menerka mungkin saja pemiliknya seorang psikopat yang kejam, atau bahkan seorang yang emosional, entah.
"Erlan, terimakasih sudah mengantarkan aku. Nanti malam kita ketemu lagi, ya," ungkap Melia sebelum pergi meninggalkan mobil kekasihnya.
"Sama aku gak perlu bilang makasih, Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu. Oke, aku tunggu kabarnya nanti. Cepat pulang ya, bilang sama tuh bos songong, jangan lembur terus," racau Erlan menggoda.
Keduanya pun akhirnya berpisah tepat di halaman kantor.
*****
Hari itu suasana sangat riuh dengan rutinitas kesibukan pagi. Tepat di lantai dua semuanya bermula.
Melia Anastasya, seorang gadis manja namun pekerja keras dan periang. Ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya.
Lalu, di saat yang sama tiba-tiba saja seorang pria berperawakan tinggi, dengan pipi yang ditumbuhi bulu-bulu tipis dengan perangai garang datang menghampiri serta dengan sengaja duduk di sudut meja kerja gadis itu.
Ya, dia adalah Fahri Ahmad Sanjaya. Bos di perusahaan itu yang selain disegani juga ditakuti oleh seluruh karyawannya. Tak banyak yang tahu, jika sebenarnya ia adalah kakak Erlan. Entah mengapa, Erlan enggan mengatakan pada Melia, jika tempatnya bekerja adalah kantor milik sang kakak.
Tiba-tiba saja, pagi itu Fahri datang sambil memasang wajah gusar serta melemparkan setumpuk kertas di atas meja Melia.
Brak!
Kertas-kertas itu pun berhambur dan berserakan di lantai. Bahkan beberapa lembar di antaranya mengenai wajah cantik Melia.
Seluruh karyawan dan karyawati yang berada di ruangan yang sama langsung terdiam. Ada juga yang sempat mematung dengan mata melotot memperhatikan. Mereka sudah paham, itu artinya siapapun yang mendapat amarah telah melakukan kesalahan.
Fahri memang seorang workaholic yang nyaris mendekati sempurna. Kabarnya ia tak suka dengan karyawan malas dan pekerjaannya berantakan.
Mendadak ruangan yang semula riuh berubah sunyi. Seisi penghuni ruangan kini hanya bisa diam sok menyibukkan diri meski masih terlihat berlalu-lalang.
Begitu pun dengan Melia. Ia hanya bisa tertunduk meski pipinya sudah memerah bagai kepiting rebus dengan kepala tertunduk.
"Kamu bisa kerja enggak sih! Benerin sketsa gambar yang sudah saya buat saja tidak bisa! Ini 'kan gampang!" bentaknya dengan tatapan tajam melayangkan protesnya.
Alis tebal, bulu lentik di matanya memang memberi kesan menakutkan setiap ia memberikan gestur melampiaskan amarah.
Biasanya Melia tidak menangis, tapi kali ini Fahri memang benar-benar keterlaluan. Ia memarahi Melia di depan teman-temannya. Apalagi sampai membanting seluruh berkas hasil pekerjaan gadis itu.
Bahkan ucapan kasarnya lolos begitu saja dari bibirnya tanpa terpikirkan apakah ucapan itu akan menyakiti atau tidak.
"Saya memang baru, Pak! Anda pikir mudah menyesuaikan diri? Semua pekerjaan apapun itu butuh proses untuk memulai! Bapak pikir, saya mau melakukan pekerjaan yang saja tidak mengerti! Saya lelah!" teriak Melia dengan berani sembari menengadahkan wajahnya.
Fahri terkejut melihat sikap Melia. Bukannya membalas, ia justru mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sebelum mengambil sikap.
Lalu, ketika Fahri menyadari dirinya menjadi pusat perhatian ia melemparkan senyum sinis ke arah gadis di hadapannya.
Tak banyak bicara, Fahri justru menarik lengan Melia dan menyeretnya melewati deretan cubicle agar Gadis itu mengikuti menuju ruang kerjanya.
Sementara Melia, gadis yang kehilangan keceriaannya sejak bekerja di tempat itu tampak meringis menahan sakit sambil melangkah sedikit berlari seolah sedang mengimbangi langkah kaki Fahri yang lebar.
"Lepas, mau Pak Fahri apa? Lepas, Pak!" teriak Melia sembari merengek dan meronta.
Sesampainya di dalam ruang kerjanya, Fahri mengunci rapat pintu ruangan lalu mendorong kasar Melia, hingga gadis itu terjatuh di sofa sudut ruangan.
"Dengar, dalam bekerja ada beberapa aturan. Dan sikap kamu tadi membuat saya geram. Semua menunjukkan jika kamu memang tidak tahu aturan!" desis Fahri sambil mondar-mandir di hadapan Melia seolah mengintimidasi.
Mata Melia menatap tajam tanpa kedip, meski bulir bening di pipinya tidak berhenti mengalir. Entah apa maksudnya itu.
"Kedua, ucapan yang sok membenarkan kamu di luar sana tadi itu sangat salah! Kamu pikir saya juga langsung sesukses sekarang tanpa aral melintang? Tidak, Melia! Oke kamu baru, tapi saya 'kan sudah kasi waktu tiga bulan untuk belajar! Dan apa tadi yang kamu bilang di luar? Bisa kamu ulang?" Mata Fahri kembali menatap tajam bahkan kini ia ikut menjatuhkan diri ke sofa.
Duduk sejajar seperti itu sungguh membuat Melia semakin terdesak tak nyaman.
"Bapak pikir saya mau melakukan yang tidak saya mengerti," ujar Melia mengulang kalimat yang tadi sempat terlontar dari dari bibirnya.
Namun kali ini matanya mulai terlihat meredup. Dan Fahri tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepala membalas menatapnya.
"Jadi selama ini kamu bekerja dalam tekanan? Siapa yang mengajari kamu saat training?" Fahri bertanya sambil mengikis jarak.
"Bu Windy," sahut Melia yang langsung memalingkan wajah sembari meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan.
Terang saja, gadis mana yang nyaman ditatap bos garang dalam jarak yang sedekat itu?
Kemudian, Fahri beranjak berdiri. Ia pun kembali menarik lengan Melia dan menyeretnya menuju meja kerja kebesarannya.
"Duduk!" perintahnya.
Melia menurut saja, seluruh tubuhnya terasa gemetar. Keringat di dahinya pun mulai bercucuran.
Sementara Fahri, ia memilih berdiri tepat di belakangnya. Menit kemudian, ia mencondongkan tubuh, hingga pipi keduanya saling berdekatan.
Pemuda tampan itu tak lagi menunjukkan amarahnya. Ia justru menggenggam mouse dan menggerakkan kursor di layar monitor miliknya. Memberikan contoh yang benar ketika menjalankan sebuah program editing.
"Perhatikan dengan baik setiap langkah yang saya ajarkan! Kamu tidak boleh pulang! Lembur, pekerjaan ini harus selesai malam ini juga. Karena besok saya ada janji temu dengan klien untuk membahas desain yang mereka pesan. Saya tidak mau gagal, Melia," selorohnya dengan tatapan mata tetap tertuju di layar.
Kedua tangan kekarnya memang tidak sedikit pun menyentuh kulit Melia, tapi sikapnya yang seperti itu, sama saja dengan mengungkung pergerakan gadis yang beranjak dewasa itu.
"Kenapa diam? Katanya tadi banyak kesulitan, tanya jika memang kamu merasa gak bisa," cemooh Fahri kembali ketus.
"Permisi, Bapak bisa mundur dulu dan kasi ruang gerak untuk saya?"
Mendengar protes gadis itu, lalu Fahri memundurkan tubuhnya sembari menghela napas berat.
"Perempuan manja ya gini, nih! Banyak protes dan susah diajari," gerutu Fahri.
"Mau kamu apa?" tanyanya sambil memasang wajah kesal bercampur kecewa.
"Silahkan duduk, Pak. Dan ajari saya." Melia langsung berdiri dan menggerakkan sebelah tangannya seolah memberikan gestur mempersilahkan.
Fahri yang mulanya enggan pun akhirnya duduk. Sementara itu, Melia memilih berdiri tepat di belakangnya sambil fokus memperhatikan Fahri.
Entah berapa lama waktu yang telah mereka habiskan bersama. Tapi tiba-tiba saja Melia justru bekerja cepat setelah berdiskusi dengan bosnya.
Hari berlalu cepat. Tepat pukul empat sore, nyaris seluruh penghuni kantor mengosongkan ruangan. Kecuali Fahri dan Melia, yang sedang mengejar target pekerjaan mereka berdua.
"Kamu boleh ambil minum kalau haus," ucap Fahri.
Melia mengangguk pelan. Karena merasa tenggorokannya kering, tentu ia tak mau menyia-nyiakan waktu.
Segera. Dengan langkah lebar ia menuju cubicle miliknya. Naasnya ia dikejutkan dengan dering ponsel miliknya.
Terpampang nama Erlan di layar. Membuat wajahnya yang muram seketika berubah riang.
"Halo, Erlan. Aku pulang sedikit terlambat. Tunggu aku di tempat biasa, ya," sapa Melia mendahului seseorang di seberang telepon sana.
"Halo, tumben gak kasi kabar! Oke aku tunggu. Nanti cerita ya, kalau bosnya bawel gak ketulungan mending resign saja lah," sahut Erlan dari seberang telepon.
Belum juga Melia sempat menimpali perkataan Erlan, tapi ia kembali dikejutkan oleh suara langkah kaki berdentum keras mendekatinya.
"Sudah dulu, Lan. Nanti aku hubungi lagi." Melia menutup sambungan ponselnya secara sepihak.
"Malah pacaran. Cepat kembali ke ruangan saya!" perintah Fahri, kali ini ia sengaja memberikan tatapan seriusnya.
Melia menyambutnya dengan senyum sinis, seolah sudah pasrah atas apa yang terjadi setelahnya.
Melelahkan, memang. Menghadapi seorang atasan yang cenderung memaksakan kehendaknya tanpa mau mengerti situasi dan kondisi karyawannya. Entah bagaimana nanti jika harus bekerja lama, dan entah bagaimana menghadapi Erlan jika selalu mendesaknya agar resign.
🍁 Like, Favorit, dan Rate
Bias temaram senja menyeruai, laksana mega yang telah menua. Tiada lagi cerah, hanya gelap gulita sejauh mata memandang.
Hari telah berganti malam. Beberapa lampu gedung bahkan telah dimatikan. Tak banyak orang yang masih tinggal di sana. Hanya beberapa penjaga gedung saja dan salah seorang cleaning servis yang memang izin tinggal menginap di kantor.
Malam itu, Melia batu saja selesai mengerjakan desain yang diminta oleh Fahri. Tampak di hadapannya Fahri masih sibuk dan tak acuh.
Namun, Melia tetap bergegas merapikan barang-barangnya karena kebetulan kala itu ia dipaksa menyelesaikan pekerjaannya Di ruangan Fahri.
"Mau ke mana? Ketemu pacar kamu?" Fahri bertanya dengan tatapan masih tertuju Di layar monitor di hadapannya.
"Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, jadi saya tidak perlu menjawab," satu-satunya Melia ketus.
Tatapan mata Fahri berpindah dari layar monitor ke paras cantik pemilik suara. Sebelah alisnya naik, seolah memberi tanda Jika ia tak suka diremehkan.
"Apapun yang berhubungan dengan kamu akan menjadi urusan saja juga nantinya, Melia. Pulanglah! Lagi pula kamu bukan anak kecil yang harus diperhatikan." Fahri langsung mematikan komputer miliknya.
Sama persis dengan Melia, ia pun bersiap untuk pulang. Entah karena merasa kesal, mungkin. Hingga ia pergi mendahului Melia. Meninggalkan gadis itu di gedung yang kini sunyi mencekam.
Melia pun akhirnya berjalan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan menahan rasa takutnya.
Bahkan sesekali ia harus menoleh ke belakang hanya sekedar untuk memastikan jika dirinya memang benar-benar aman, situasi itu terus berlanjut bahkan hingga ia akhirnya sampai juga di lantai dasar.
Sesampainya di tempat parkir. Ia terkejut melihat Fahri masih duduk memaku di dalam mobilnya.
"Butuh tumpangan?" tanya Fahri menawari.
"Enggak. Saya sudah pesan taksi online," tolak Melia sambil berlalu.
Sementara Fahri yang terus memandanginya, hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil memukul kemudi sebagai ungkapan kekesalannya.
"Sial! Beraninya menolak ajakanku," umpatnya menggerutu.
*****
Waktu telah berlalu. Hari memang semakin malam, akan tetapi Melia bukanlah seorang perempuan yang ingkar janji.
Gadis itu masih tetap mendatangi sebuah kafe yang letaknya hanya sekitar tiga kilometer dari jarak kantor tempatnya bekerja.
Kafe sederhana langganan, dengan hidangan beraneka roti dan kudapan memang selalu dipesan oleh Erlan terlebih dahulu sembari menunggu kedatangan Melia.
"Hei, lama banget! Hampir dingin nih, kopinya. Maaf ya, aku pesan dulu. Soalnya aku tahu kalau kamu pasti capek. Gimana? Bos kamu masih galak?" sapa sekaligus tanya Erlan mencecar Melia yang baru saja datang.
Pemuda itu tampak sigap menyeret kursi agar Melia langsung duduk di dekatnya. Ya. Sejak mereka masih duduk di sekolah dasar, keduanya memang sudah berteman baik.
Hingga tanpa mereka sadari, keduanya jadi semakin perhatian seiring berjalannya waktu. Erlan adalah pemuda baik hati yang meski dari kalangan berada tapi penampilannya tak pernah berlebihan.
Oh ya, Erlan adalah seorang kutu buku tapi penampilannya tetap modis. Meski ia digandrungi oleh banyak kaum hawa, akan tetapi tak satu perempuan pun yang berhasil mendekatinya, kecuali Melia.
"Masih, jauh lebih songong malah. Baru saja ia memintaku mendesain ulang gambar properti yang sudah kukerjakan dalam seminggu. Bayangin aja keselnya seperti apa. Lan, rasanya aku gak kuat kerja di tempat itu," keluh Melia dengan bibir manyun ke depan.
Dengan sabar, Erlan mendengarkan sembari menopang kepalanya dengan sebelah tangannya ia menatap Melia dengan tatapan teduhnya.
"Kalau gak kuat ... ya, jangan dipaksa. Pelan-pelan cari tempat kerja lainnya," sahut Erlan.
"Aku perlu pembuktian, Lan. Ayahku hanya memberikan sedikit waktu untuk membuktikan jika aku ini bukan anak manja. Aku harus kasih bukti bisa mandiri," sahut Melia.
"Untuk apa?" Kening Erlan mengerut mendengar penuturan Melia.
"Biar ayahku berhenti menjodohkan aku dengan para pria pilihannya. Jika aku bisa kasih bukti, ayah janji akan kasih aku kelonggaran dekat dengan siapapun sesuai inginku," ungkap Melia.
"Semoga sukses deh, kalau begitu." Samar-samar senyuman di pipi Erlan memudar.
Melia menyadarinya, kini keduanya saling bertukar pandang. Seolah hari ini ada hal menyedihkan akan terjadi.
Seketika tiba-tiba hening. Keduanya sama-sama terdiam sambil menatap satu sama lainnya.
"Melia," panggil Erlan membuyarkan lamunan gadis di hadapannya.
"Ya."
"Aku minta kita ketemu, karena ada hal penting yang mau aku omongin. Semoga setelah ini, kamu di sini akan baik-baik saja. Tetap semangat ya, kerjanya. Jangan membebani dengan seorang yang mungkin bisa merusak mood kamu saat bekerja," ungkap Erlan sambil mengelus punggung telapak tan Melia yang bertengger di atas meja.
Melia yang terkejut pun, tatapannya langsung mengarah pada tangan Erlan. Seorang pemuda yang selama ini bisa dibilang sudah menjadi tempat sampah keluh kesahnya.
Wajah Melia pun akhirnya berubah pias, bersamaan dengan gerakannya menarik telapak tangannya dengan cepat.
"Ada apa, Lan?" tanyanya, memasang ekspresi cemas.
"Aku mau pergi jauh, ke luar negeri untuk membantu paman, sekaligus belajar bisnis. Ini kesempatanku satu-satunya. Aku harap, kamu tidak sedih. Atau merasa kehilangan. Aku tetap ada kok, Melia. Hanya jarak kita saja yang memisahkan," ungkap Erlan.
"Harus?"
"Ya, kamu tahu enggak. Selama ini aku selalu dianggap tidak pecus, dan dibandingkan dengan kakakku. Aku harap kamu mengerti. Ini impianku, Melia." Erlan mengelus lembut puncak kepala gadis di hadapannya.
"Kenapa harus sekarang sih, Lan? Aku sedang butuh kamu. Aku bingung dengan keadaanku dan kamu malah pergi!" desis Melia.
Entah apa yang mendasari perasaannya, mungkinkah sudah terbiasa dengan kehadiran Erlan yang membuatnya merasa nyaman. Hingga Melia tak rela dan hatinya sedih ketika tahu dirinya akan ditinggalkan.
Erlan tak menjawab lagi. Hanya tatapan teduh dan sedih yang tergambar dari air mukanya.
"Kamu bahkan tahu, aku gak punya teman selama ini, Lan. Hanya kamu. Hiks ... hiks." Bulir bening dari pelupuk matanya yang semula terbendung mengalir deras sudah.
Sementara Erlan. Hanya bisa diam dan membeku menatapnya.
"Lan, aku boleh gak sih egois? Aku pengen kamu batalkan kepergian kamu!" seru Melia mendesak.
"Maaf, Melia. Aku gak bisa. Ini mimpiku. Tidak akan ada kesempatan kedua. Kamu gak ngerti seperti apa keluargaku," seloroh Erlan menimpali kemudian beranjak berdiri dan pergi.
Malam itu, yang terpampang di wajah ayu Melia adalah wajah seorang insan yang sedang patah hati.
Entah mengapa, rasanya ia seperti dikhianati. Ada rasa tak terima bercampur pilu.
Entah berapa menit lamanya ia hanya terduduk diam menangisi kepergian Erlan. Hingga akhirnya ia tersadar lali beranjak berdiri dan berlari mencari keberadaan Erlan.
"Erlan," panggilnya ketika mobil sport yang dikendarai Erlan melesat melintasinya begitu saja.
Entah tak tahu akan keberadaan Melia, atau suatu kesengajaan. Erlan bahkan tak menoleh ketika melewati gadis itu.
"Melia, ini sudah malam. Kenapa kamu nangis sendirian?"
Suara bariton milik Fahri membuat Melia yang masih menangis menoleh kepadanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!