Happy reading gaes..🥰 jangan lupa komen dan vote ya.. kalian juga boleh baca novel You're my Boy lebih dulu.. karena tokoh Leana dan masalahnya sudah disinggung sedikit di novel itu.
Leana membuka matanya. Nafasnya terengah-engah seperti baru saja berlari 10 km tanpa istirahat. Keringat juga mengalir deras di sekujur tubuhnya. Hawa dingin menusuk ke dalam tulangnya dan membuat perutnya sakit.
Perlahan Leana mencoba mengatur kembali nafasnya. Tapi setiap bayangan itu muncul, Leana seakan tak mampu mengenyahkannya. Justru peristiwa itu nampak semakin jelas di kepala Leana. Sebagai langkah terakhir, Lea mengambil obat di nakas. Dia meminum beberapa butir sekaligus, lalu menelannya dengan segelas air.
Lea kembali pada posisi tidurnya seraya mengigit ujung kukunya dengan cemas. Dia juga menarik selimut untuk menutupi 3/4 tubuhnya yang terasa dingin. Pengaruh obat tentu saja berjalan dengan cepat. Lea perlahan tenang. Dia bahkan sangat mengantuk sampai akhirnya dia bisa tertidur.
“Le,, boleh tante masuk? Kamu tidak apa-apa kan?” Terdengar suara ketukan dari luar.
Dalam alam bawah sadarnya, Lea tentu mendengar suara itu.Tapi, mata dan mulutnya tidak bisa terbuka. Dia sudah pernah mengalami hal ini karena terlalu banyak menelan obat tidur dari dokter.
‘Apakah kali ini akan berakhir?’ Ucap Leana dalam hati.
“Leana!” Seorang wanita berusia 50 an segera memeluk Leana setelah berhasil masuk kamar dengan kunci cadangan.
Dia mengguncang-guncangkan tubuh Leana sambil terus meneriakkan nama Leana.
‘Ya,, baguslah jika semua ini akan berakhir.’
***
Sementara di tempat lain, tepatnya di sebuah ruangan di lantai teratas mall Terrance, tampak seorang pria yang sedang mengamuk. Dia melemparkan berkas ke lantai, lalu menginjaknya.
“Ulangi lagi, dan saya tidak ingin ada kesalahan.” Bentak pria itu dengan tatapan membunuh.
“Maaf, Tuan muda. Saya sudah berusaha yang terbaik.” Ucap seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari pria yang menyeramkan itu.
“Terbaik kamu bilang? Ini sampah.” Pria itu menyeringai menunjukan deretan gigi yang bergemelutuk karena kesal.
“Kasih saya kesempatan sekali lagi, Tuan.”
“Kamu sangat bodoh. Cepat pergi sebelum saya meledak.” Usirnya.
Wanita itu memungut berkas yang sudah dibuang oleh pria yang tidak bergeming dari tempatnya itu.
“Permisi, Tuan Max.” Wanita itu undur diri tanpa berani memandang wajah pria yang bernama Max. Tatapannya terlalu menakutkan seolah dia adalah binatang buas yang sedang kelaparan.
Max kembali duduk di kursi kerjanya dengan perasaan kesal. Pekerjaan anak buahnya selama dia di penjara sungguh sangat kacau. Tidak ada satupun yang menjalankan pekerjaan dengan benar.
Ponsel Max berdering.. Marcelino calling..
"Ada apa lagi?" bentak Max.
"Hey, kenapa kamu begitu emosi?"
"Kalau hanya ingin bicara itu, aku tidak akan jawab."
"Tunggu.. tunggu.. Max.." "Aku hanya ingin memberitahu jika Mom akan kembali ke Indonesia dalam waktu 3 jam lagi."
"What?" "Kenapa dia kembali?" Max berdiri dari kursinya.
"Entahlah. Mungkin ingin membahas masalahmu dengan...." Marco berhenti sejenak.
"Jangan sebut gadis itu lagi." ingat Max.
"Dia sudah tidak gadis lagi karena kamu sudah menodai dia, Max."
'BRAK' Max melemparkan ponselnya ke tembok. Max begitu emosi sekarang. Dia merasakan jantungnya berpacu dengan cepat. Max mengambil obat pada laci mejanya. Dia harus minum beberapa pil yang akan membuat kondisinya lebih stabil.
Max duduk mencoba mengatur nafasnya. Dia seharusnya bisa lebih baik dengan meminum pil itu. Tapi setelah menunggu beberapa saat, Max masih merasa cemas. Ini pasti karena 2 berita buruk yang diberitahukan Marco alias adiknya itu. Max berjalan ke rak pajangan di sudut ruangan. Dia lalu menuangkan segelas penuh vodka favoritnya.
Max meneguk Vodka seperti meminum air.
'Prang' gelas Max langsung terjatuh. Max berpegangan pada tembok karena kepalanya terasa begitu pusing. Dan di detik berikutnya, Max jatuh pingsan.
"Max... astaga.." Marco menyeruak masuk ke ruangan dengan bantuan sekretaris Max. Untung saja dia datang tepat waktu. Dia langsung mengecek denyut nadi Max dan memindahkan pria itu ke sofa. "Cepat panggil ambulance."
"Max.. kamu memang pria super gila." ucap Marco seraya mengetikan sesuatu di ponselnya. Tentu saja Marco ingin memberitahu psikiater pribadi Max tentang keadaan adiknya itu.
Rumah Sakit
Malam itu rumah sakit menerima banyak sekali pasien. Kebetulan saat itu terjadi kecelakaan bus sehingga seluruh IGD penuh.
Dua ambulance datang bersamaan. Satu membawa pasien wanita dan satu lagi membawa pasien laki-laki.
'Bruk' Marco menabrak seorang wanita belesteran Korea yang berumur 50an.
"Maaf.. maaf.." ucap Marco buru-buru. Dia langsung mengikuti kemana Max akan di bawa oleh perawat. Sedangkan wanita tadi juga berlari ke arah yang sama dengan Marco.
"Kenapa dengan Max?" tanya Dokter Andre yang memang adalah dokter pribadi keluarga Marco.
"Aku rasa dia meminum obat dan Vodka bersamaan." ucap Marco panik. "Aku sudah telepon Dr.Ericka."
"Bawa masuk, Suster." perintah Dokter Andre pada Suster yang mendorong ranjang Max.
"Dok, tolong keponakan saya. Dia juga overdosis obat." Wanita yang Marco tabrak tadi memegang tangan dokter Andre sambil menangis.
"Maaf, tapi saya harus menangani pasien ini dulu. Setelah ini, saya akan bantu anda." tolak Dokter Andre secara halus.
Marco menengok ke belakang. Dia langsung membeku di tempatnya seketika. Marco mengenal wanita yang tampak sangat pucat yang berada di ranjang di belakangnya.
"Leana?" ucap Marco lirih.
"Anda kenal keponakan saya? Tolong bantu dia.. selamatkan dia, Tuan." pinta wanita itu. Kini dia beralih memegang tangan Marco.
"Dok, tolong tangani saja Max dan wanita ini sekaligus." pinta Marco.
Dokter Andre hanya menghela nafas panjang. Dia tidak bisa menolak permintaan Marco karena keluarga Scotts bisa dibilang masih saudara jauhnya.
Akhirnya Dr.Andre juga memerintahkan Suster untuk memasukkan Leana ke ruang VIP.
Wanita itu melepaskan tangan Marco, lalu terduduk lemas di bangku ruang tunggu. Marco juga duduk di sebelah wanita yang masih menangis itu.
"Apakah anda keluarga Leana?" tanya Marco dengan suara tercekat. Ini adalah suatu kebetulan. Dia bisa bertemu dengan Leana di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini Marco mencari keberadaan Leana, tapi dia tidak menemukan jejak wanita itu sama sekali.
"Saya Tante Leana, panggil saja Tante Marie." "Apa anda mengenal Leana?"
Marco mengangguk lemah. "Saya baru mengenal Leana." "Kenapa Leana bisa overdosis obat?"
"Leana mengalami trauma karena beberapa minggu lalu, dia dinodai oleh seorang pria yang tidak dikenal." "Dia jadi.." Marie tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya karena dia menangis sesenggukan. "Malang sekali nasib Leana."
"Dia pasti akan sembuh." hibur Marco. Lidahnya begitu kelu untuk mengucapkan kata-kata tadi. Tapi, hanya itu yang mampu Marco katakan.
*
*
*
Sementara itu, di dalam Dr.Andre melakukan penanganan secepat mungkin pada Max. Dia sudah menelepon anaknya yang notabene juga Psikiater Max untuk mengetahui apa obat yang sudah Max telan. Setelah kondisi Max stabil, Dr. Andre berpindah pada Leana. Dari obat yang dibawa oleh keluarganya, Leana terlalu banyak menelan obat tidur. Dr. Andre bukan pertama kali menangani kasus seperti ini. Dia juga bisa membuat Leana stabil dalam waktu beberapa menit saja.
"Pindahkan mereka ke kamar masing-masing." ucap Dr.Andre pada suster-suster yang berada di ruangan itu.
"Tapi, semua penuh. Hanya ruangan ini yang tersisa."
"Sekelas rumah sakit Husada ini penuh? Aku rasa Sam harus memperbesar rumah sakit ini." Dr.Andre bergumam sendiri.
"Jadi, bagaimana dok?"
"Ya sudah, biarkan mereka di sini dulu. Lagipula Marco mengenal gadis ini." Dr.Andre menarik nafas dalam-dalam sebelum keluar menemui Marco dan keluarga Leana.
"Dokter, bagiamana keadaan Max?"
"Dok, apa Leana baik-baik saja?"
Marco dan Marie kompak mengerubungi dokter Andre.
"Nyonya, tolong lebih berhati-hati lagi dan awasi penggunaan obat tidur Leana." "Dan, kamu Marco. Tolong berikan adikmu itu asisten yang bisa mengawasinya 24 jam. Sudah 3x dia melakukan hal gila seperti ini. Jangan sampai terulang sampai ke-4 kalinya." saran Dr.Andre bergantian.
"Maaf, karena ruangan penuh, Max harus berbagi kamar dengan Leana." lanjut Dr.Andre sebelum berlalu.
"Ayo, Bi.. kita masuk ke dalam." ajak Marco. Dia sudah tidak sabar melihat Max dan juga Leana yang kebetulan mengalami problem yang serupa.
Di dalam, Max dan Leana berada di ranjang bersisian. Marco langsung mendekati Max yang lebih seperti orang tidur daripada orang yang sakit.
"Max. Cepat sadar. Sebentar lagi Mom datang." bisik Marco pada telinga adiknya.
Max memberikan reaksi dengan menggerakkan jarinya. Dia perlahan membuka matanya.
"Kamu memang mengerikan." ucap Marco lega. Max itu bagaikan anak ajaib. Daya kesembuhannya begitu cepat.
Max memandang Marco cukup lama. Dia lalu menengok ke sebelah.
"Aku berhalusinasi, Mar. Kenapa wanita itu ada di sini?" tanya Max yang terus memandangi wanita di sebelahnya.
"Max, itu memang Leana. Kamu tidak berhalusinasi."
"Ini gila." Max kembali menatap langit-langit. Alasannya minum obat salah satunya karena wanita itu, tapi dia justru bisa bertemu dengan dia di rumah sakit, bahkan mereka bisa berjejeran seperti ini.
"Maxmillian Scotts!"
"Maxmillian Scotts." teriakan itu membahana ke seluruh ruangan.
Seorang wanita datang dengan 2 orang pengawal di belakangnya. Wanita itu segera menghampiri ranjang Max.
"Mom.. kenapa Mom ke sini??" Marco tampak begitu gugup dengan kehadiran Mommy nya.
Veronica Scotts adalah Mom dari Marco dan Max. Dia sudah lama tinggal di Inggris dan hanya mengawasi anak mereka dari anak buahnya. Vero sangat terkejut dengan apa yang menimpa anak-anaknya baru-baru ini. Marco dan Max di penjara karena tindakan kriminal telah menodai seorang wanita dan melakukan stalking. Setelah kejadian itu, Vero memutuskan untuk kembali ke Indonesia supaya bisa memperbaiki apa yang telah anak-anaknya lakukan.
Keputusan Vero tampaknya tepat. Baru saja mendarat, Vero mendapat laporan dari anak buahnya jika Max masuk rumah sakit. Vero segera ke rumah sakit meskipun dia sangat lelah dan ingin istirahat.
"Bagaimana kondisi Max?" tanya Vero yang tidak menggubris Marco.
"Dia sudah sadar, seperti yang Mom lihat." Marco menunjuk Max dengan menggunakan dagunya.
"Max.. Mom di sini. Kenapa kamu selalu membuat Mom khawatir?" Vero memegang tangan Max, lalu menciumnya.
"Mom, jangan lebay." "Aku sudah 3x mengalami ini." ucap Max dengan santainya.
"Max..jangan bilang seperti itu. Mom sangat peduli padamu. Mom akan lakukan semua yang kamu minta, asalkan kamu jangan seperti ini lagi." pinta Vero dengan nada memelas.
"Kalau begitu, aku ingin menikah."
"Maksudmu? Apa kamu sudah punya calon pasangan?" Vero tampak bingung dengan permintaan Max. Selama ini, Max sangat antipati dengan wanita. Jikapun dia menyukai seorang wanita, wanita itu akan kabur karena takut dengan penyakit Max yang tergolong cukup serius, bipolar.
"Aku akan menikah dengan dia." Max menunjuk ke arah wanita yang masih tidak sadar di sebelahnya.
Bibi Marie, Vero dan juga Marco terkejut dengan perkataan Max.
"Maaf, tapi saya tidak mengenal anda." Bibi Marie menginterupsi perbincangan yang serius dari ranjang sebelah.
"Saya Maxmillian Scotts, anak kedua dari Keluarga Scotts. Saya akan menjaga Leana dengan baik" kata Max tanpa ragu.
Marco membelalakkan mata dan tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Max.
"Max, jangan gila. Apa kamu gak kasihan sama dia?" bisik Marco.
"Memangnya kenapa? Sudah aku bilang bukan aku yang menodai dia." jelas Max dengan cukup tenang.
"Tapi di gudang itu hanya ada kamu dan Leana." Marco menekankan kata-katanya supaya Max sadar. Dia curiga jika ingatan Max hilang sebagian karena obat kemarin.
Deg.
Jantung Bibi Marie seakan berhenti sejenak. Dia tau jika Leana mengalami trauma setelah kasus pemerkosaan itu. Tapi, kini Bibi Marie bertemu dengan pelakunya. Bahkan pelakunya meminta menikah dengan Leana?
"Jadi, kamu pria, kurang ajar itu?" Bibi Marie segera berpindah untuk memberi pelajaran pada Max.
2 pengawal yang di bawa Vero segera turun tangan sebelum Bibi Marie berhasil menggapai Max.
"Max.. kamu sudah benar-benar gila." Vero juga tampak shock dengan pengakuan Max. Bagaikan bisa mempersatukan korban dengan tersangka?
"Kamu memang pria gila. Bisa-bisanya kamu menodai Leana. Apa salah Leana sampai kamu melakukan perbuatan keji itu?" teriak Bibi Marie dengan histeris.
"Jangan bilang anak saya seperti itu. Sudah pasti, anakmu yang menggoda anak saya." Vero memberi pembelaan pada Max.
"Tenang, Mom..Bi.. Semua akan saya jelaskan. Tapi jangan di sini. Max juga harus istirahat." Marco coba menengahi Vero dan Bibi Marie yang terlihat emosi.
"Kita bicara di kantin, bagaimana?" ajak Marco lagi.
Bibi Marie meronta dari pegangan para pengawal itu. Dia berjalan keluar lebih dulu. Vero mengikuti di belakangnya. Setelah itu, Marco juga keluar ke tempat yang lebih tenang untuk bicara.
.
Setelah semua keluar, Max perlahan bangun dari ranjang rumah sakit. Dia membawa infus di tangannya supaya dapat berjalan ke arah Leana.
Wanita itu tampak pucat. Denyut nadinya masih sangat lemah. Max sama sekali tidak menyangka jika dia bisa bertemu Leana di rumah sakit ini, dengan ranjang bersebelahan.
Sebenarnya, sejak kejadian itu, Max ingin bertemu dengan Leana. Tapi dia tidak bisa karena Max lebih dulu ditangkap dan masuk penjara atas tuduhan pemerkosaan. Sampai sekarang pun Max masih berstatus sebagai tahanan kota. Max bisa bebas keluar dengan jaminan. Dan dia masih harus melapor ke kantor polisi dalam waktu yang ditentukan oleh mereka. Jadi, bertemu dengan Leana secara kebetulan seperti ini bagaikan mendapatkan jackpot untuk Max.
Max mengamati wajah Leana dari dekat. Max juga menyentuh rambut Leana yang sedikit berantakan. Kejadian beberapa minggu lalu masih terekam jelas dalam benak Max. Dia tau ini bukan situasi yang baik untuknya. Leana adalah korban dan dia satu-satunya tersangka. Tapi, Max pikir menikah dengan Leana adalah solusi terbaik untuk saat ini.
"Cepat sadar Lea, supaya semua orang tau bukan aku yang melakukannya." "Dan sebagai gantinya, aku akan bertanggung jawab dengan menikahimu. Bukankah itu solusi yang bagus?"
Mesin detak jantung Leana langsung meningkat saat Max tiba-tiba beralih mengusap pipi Leana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!