Panji menjatuhkan badannya bersandar di tembok yang sangat kusam dan kasar, seragam kerjanya penuh dengan darah berwarna hitam, napasnya masih tersengal-sengal, dari balik tembok ia masih mendengar sekumpulan orang-orang yang berteriak-teriak mencarinya. Ia berhasil lolos karena dengan nekad ia melompati pagar yang penuh dengan pecahan kaca yang disusun rapi diatasnya, celananya sobek dibeberapa bagian dan memperlihatkan luka dan juga membuat celananya bersimbah darah.
Panji masih duduk dan tidak memperdulikan lukanya, Ia masih tidak bisa mengerti mengapa hal ini bisa terjadi dalam hidupnya. Baru tiga bulan ia berada di kota ini, dan baru dua bulan ini dia bekerja, ia langsung bermasalah dengan manajernya yang berakibat ia lepas kontrol dan menghantam kepala sang manajer sampai tak sadarkan diri. Darah hitam muncrat dari mulut sang manajer ketika pukulan Panji bersarang telak di kepalanya, anehnya hal yang sama terjadi pada Panji. Aksinya terlihat oleh rekannya yang langsung berteriak, ia memilih kabur dan dikejar-kerjar oleh beberapa security kantornya. Untunglah ia berhasil lolos.
Dua bulan yang lalu baru saja ia mulai bekerja, disitulah ia bertemu manajernya. Anehnya baru saat itu bertemu sang manajer ia sudah punya keinginan untuk memukul kepala sang manajer, dan keinginan itu terus berlanjut setiap kali ia bertemu atau berpapasan. Padahal ia tak pernah berurusan langsung dengannya, walaupun sang manajer dikenal galak kepada karyawannya. Semakin ia menahan semakin sakit kepala yang ia derita, hingga akhitrnya Panji tak mampu menahan dan terjadilah peristiwa pemukulan tersebut.
Ini bukan pertama kali terjadi, sebelumnya ia juga bekerja di kota kelahirannya, dan peristiwa yang sama juga terjadi. Akibat peristiwa itu ia harus pergi dari kota kelahirannya, merantau ke Jakarta. Nasib baik datang, ia bisa bekerja sebagai petugas kebersihan di sana setelah luntang lantung hampir sebulan lamanya mencari pekerjaan hanya dengan modal ijazah SMA. Panji masih meratapi nasibnya, ia bukan tipe agresor, ia bahkan cenderung pendiam, namun emosinya justru bergolak ketika ia bertemu dengan orang yang justru tak dikenalnya.
Panji memandang sekeliling, pagar ini ternyata mengelilingi sebuah komplek perumahan. Matanya menangkap beberapa tanaman liar yang ada di sekitarnya, ia memilih beberapa batang daun lidah buaya untuk mengobati luka-luka di kakinya. Ia melihat di pojok komplek sebuah bangunan terlihat seperti sebuah musholla yang cukup bagus. Panji berjalan menuju musholla, dari sana terlihat deretan rumah yang tersusun rapi, namun tampak sangat sepi. Ia masuk kekamar mandi mencoba membersihkan kemejanya yang terkena darah.
Selepas itu ia mengerjakan sholat Ashar kemejanya dibiarkan tergantung di pagar Mushola, setelah sholat Ashar tiba-tiba ponselnya menerima pesan, ternyata dari teman kostnya yang menanyakan dirinya dan mengabarkan bahwa ada beberapa orang dari kantornya datang mencarinya. Panji menutup ponselnya tak tahu harus menjawab apa, dan sekarang ia tak tahu harus pergi kemana.
Merasa dirinya tidak aman bila terus didalam, ia berjalan kesamping musholla, disebelah sana tampak sebuah gudang yang ternyata pintunya sudah rusak. Panji masuk ke dalam gudang, ia melihat beberapa barang menumpuk disana. Dipojok gudang ada keranda jenazah dan tempat pemandiannya. Panji menimbang, bulu kuduknya meremang, namun tak ada pilihan, dia harus bersembunyi disini melawan rasa takutnya. Panji duduk bersandar di balik pintu sampai Adzan maghrib dan Isya terdengar, ia tak berani keluar dari gudang.
Panji memutuskan keluar dari gudang setelah malam sudah sangat larut. Panji melaksanakan sholat Isya dan berdoa dengan khusyu memohon kepada Tuhan agar dia dibukakan jalan keluar dari masalahnya.
Ia meminum air dari dispenser yang ada dimusholla sebanyak-banyaknya untuk menutup rasa laparnya. Ia kembali ke gudang meringkuk sambil menahan rasa lapar dan rasa sakit yang mulai muncul dari luka-lukanya sampai akhirnya semua penderitaan yang dialami baru bisa hilang saat ia tertidur dilantai gudang, sampai adzan shubuh membangunkannya.
Rasa lapar yang tak tertahankan memaksa panji keluar dari gudang, ia berharap penghuni komplek ini sudah berangkat bekerja sehingga ia bisa pergi diam-diam. Sebelum ia pergi ia bermaksud mengucapkan terima kasih kepada musholla ini yang telah memberinya tumpangan semalam. Panji mengambil peralatan kebersihan dan mulai membersihkan musholla, tak lupa gudang dan kamar mandi Musholla ia bersihkan sampai semuanya bersih mengkilap. Ia juga menyisihkan sedikit uang dikantungnya mengisi kotak amal yang ada di musholla. Setelah merasa puas dengan hasil kerjanya ia melangkah keluar, tiba-ia ia dikejutkan oleh suara salam yang menyapanya.
"Assalamualaikum!"
Panji terlonjak, didepannya sudah berdiri seorang bapak yang menyapanya dengan ramah.
"Waalaikum salam" Suara Panji bergetar seakan ia baru saja tertangkap basah mencuri.
"Saya mau berterima kasih karena anda mau membersihkan musholla ini, tadi pagi saya lihat anda tertidur di gudang, saya tak sampai hati membangunkan karena kelihatannya anda begitu pulas." Bapak tadi berkata dengan ramah.
Mendengar perkataan bapak tadi hati Panji menjadi lega,
"Saya yang harusnya berterima kasih Pak! Bapak tidak mengusir saya semalam."
Bapak itu hanya tersenyum, ia mengamati sosok Panji dari atas ke bawah, dilihatnya beberapa bagian celananya yang sobek dan luka yang sudah mengering, Panji yang merasa sedang diamati kembali diliputi rasa takut dan khawatir.
"Kamu pasti lapar, dari semalam kamu tertidur digudang, terus langsung bersihkan musholla, sebentar saya ambilkan makanan," Bapak itu langsung saja bergegas meninggalkan Panji yang masih berdiri dengan kaki gemetar, ternyata rumah Bapak itu bersebelahan dengan Musholla, tak lama ia keluar membawa sepiring nasi dan lauk beserta air mineral ia menyerahkan makanan kepada Panji dan mempersilahkannya makan. Panji yang memang sangat lapar hampir lupa mengucapkan terima kasih menghabiskan makanannya dengan lahap, Bapak itu hanya tersenyum memperhatikan Panji sambil menyapu halaman luar yang sebenarnya sudah bersih dikerjakan oleh Panji.
Setelah Panji selesai makan dan sudah membersihkan piring makannya, ia berniat pamit namun Bapak itu langsung mencegah.
"Duduklah dulu, tak usah kau khawatir atau takut padaku, aku yakin kamu orang baik!"
Bapak itu berkata dengan ramah sambil segera duduk bersila di teras musholla dan memberi isyarat kepada Panji untuk duduk disebelahnya. Panji awalnya merasa ragu tapi ia sudah merasakan kebaikan orang tua itu, sehingga ia juga merasa tak enak bila menolak ajakannya, ia segera duduk bersila disebelahnya.
"Biar kutebak, kau mendapat luka-luka ditangan dan kakimu akibat melompati pagar komplek ini kan? Apa yang terjadi sehingga kamu sampai nekad melompati pagar kami?" Orangtua itu bertanya dengan ramah, Panji tak tahu harus menjawab apa, namun akhirnya ia berkata sedikit jujur.
"Kantor tempat aku bekerja ada di sebrang jalan dibalik komplek ini Pak, aku berkelahi dengan manajerku!"
Setelah Panji selesai makan keduanya berbincang, Pak Rosyid namanya, salah satu warga senior dikomplek itu yang umumnya diisi oleh pasangan muda. Pak Rosyid bekerja sebagai supir pribadi seorang pengacara, diwaktu liburnya dialah yang membaktikan waktunya untuk mengurus musholla. Merasakan keramahan Pak Rosyid, Panji bercerita sedikit tentang dirinya, walaupun ia tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya mengapa ia sampai terluka dan menginap di gudang musholla. Pak Rosyid merasakan keresahan yang sedang dialami Panji.
"Kalau kamu memang belum ada tujuan tinggallah disini, paling tidak sampai luka-lukamu sembuh, tidurlah di Musholla, tidak usah di gudang, nanti saya sampaikan kepada sekurity disini tentang keberadaan kamu. Ukuran badan kamu kelihatannya pas sama anak saya, nanti saya suruh anak saya memberikan beberapa pakainnya untuk kamu."
"Bapak tidak curiga sama saya? Mungkin saja saya pengedar narkoba atau buronan yang sedang sembunyi dari kejaran polisi," Panji yang dari awal merasa heran dengan sikap pak Rosyid, akhirnya bertanya.
Pa Rosyid menepuk pundak Panji.
"Awalnya iya, tapi aku memperhatikannmu dari semalam saat kamu sholat Isya sendirian, sampai tadi kamu membersihkan musholla, tidak ada orang jahat yang masih sempat membersihkan musholla padahal kamu bisa saja pergi begitu saja, Aku hanya melihat seorang anak muda yang sedang putus asa! Aku senang melihat anak muda yang punya masalah tapi malah mencari Tuhannya! Jangan khawatir akan masa depanmu Panji, Tuhan pasti akan menunjukan kamu jalan."
Hati Panji menjadi sedikit bersemangat, ia memang masih bingung hendak kemana, niat awalnya tadi mau kembali ke kosannya mengambil pakain dan barang-barang lainnya. Keinginannya juga untuk mencari tahu bagaimana kondisi terakhir manajernya setelah tak sadarkan diri terkena pukulannya. Namun keduanya tak mungkin bisa ia lakukan hari ini. Akhirnya Panji hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Rosyid.
Setelah dua hari tinggal dimusholla, selama disana ia tak lupa melantunkan adzan setiap waktu sholat. Panji juga membersihkan rumput-rumput liar yang ada di sekitar musholla. Siang ini Panji sudah berada di seberang jalan tempat ia bekerja. Ia mengamati dari halte tak jauh dari seberang kantornya, ia berharap ada temannya yang bisa ia minta informasinya untuk mencari tahu kondisi terakhir dikantornya. Jam makan siang hampir berakhir tapi tak juga terlihat seseorang yang ia kenal keluar dari kantornya, Panji terus saja mengamati dari halte, tiba-tiba tangannya dicekal oleh seorang.
"Akhirnya tertangkap kau! Ikut kami ke kantor!" Suara laki-laki berbadan besar dengan penuh kepuasan sambil mencekal tangan Panji kebelakang, Ternyata keberadaan dia sudah diketahui para security. Mereka diam-diam menyergap Panji dari belakang. Panji hanya bisa pasrah ketika kedua security mengapit dan mencekal kedua tangannya memaksa ia berjalan, ketika mereka hampir menyebrang tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara yang menahan mereka.
"Tunggu! Tinggalkan dia disini! Kalian kembalilah tugas ke kantor!" Suara itu ternyata berasal dari seorang wanita yang ada di belakang mereka. Wanita itu berkata dengan tegas.
Kedua security tadi berbalik melihat siapa yang memerintahkan mereka, setelah mengetahui siapa wanita tadi keduanya saling memandang,mereka merasa bimbang.
"Maaf Bu Ratna, tapi perintah Pak Burhan adalah tangkap orang ini untuk diserahkan ke kantor polisi!" Salah seorang berkata dengan tegas mencoba menghilangkan keraguannya.
"Pak Burhan sudah menyerahkan urusan ini kepada saya, apa kalian tidak lihat hari ini Pak Burhan sudah masuk Kerja?" Nada suaranya semakin tinggi matanya melotot memandang kedua sekurity tadi dengan tajam.
Bu Ratna adalah salah satu staff di kantornya Panji. Panji bahkan belum mengenal beliau sebesar apa pengaruhnya buat mereka, apalagi melihat penampilan Buu Ratna yang masih terlihat sangat muda, mungkin perawatannya yang luar biasa hingga tampak muda, ia sangsi kedua sekurity tadi melepasnya. Kedua sekurity tadi masih bimbang menghadapi sorotan mata tajam Bu Ratna. Setelah berbisik-bisik sebentar keduanya saling menganguk dan melepas tangan Panji.
"Baiklah Bu! Anak ini Kami serahkan kepada Ibu Ratna!" Keduanya mengangguk kepada Bu Ratna dengan sikap hormat lalu meninggalkan keduanya menuju kantor.
Ibu Ratna masih terus mengamati keduanya hingga keduanya sudah menyeberang jalan dan tiba di kantor mereka.
"Kamu! Ikut Saya!" Panji yang masih tak percaya dilepas oleh kedua sekurity tadi terlonjak mendengar perintah Bu Ratna, ia tak berani memandang wanita itu. Bu Ratna berjalan tergesa, Panji mengikutinya dari belakang, setelah berjalan agak jauh dan tersembunyi, Bu Ratna baru menghentikan langkahnya, ia masuk ke sebuah warung kopi dan mempersilahkan panji duduk didepannya
"Kamu sudah gila ya? Mau apa kamu malah datang kesini? Untung saja aku tadi keluar kantor untuk makan siang, kalau aku tak melihat kejadian tadi habislah kamu!" Wanita itu melabrak Panji dan memarahinya habis-habisan. Panji hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, wajahnya masih menunduk. Ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Bagaimana kondisi Pak Burhan Bu?" Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulut Panji.
Bu Ratna menghela napasnya, ia masih memandang Panji, kali ini tatapannya lebih lembut, ia tersenyum geli melihat Panji yang sekarang sangat putus asa dan pasrah akan nasibnya.
"Pak Burhan sudah sembuh, Pak Burhan sudah masuk kerja hari ini."
Panji memandang bu Ratna dengan mulut terbuka seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Sudah sembuh?" Panji mengulangi pertanyaannya masih dengan sorot mata tak percaya.
"Iya sudah sembuh, bahkan yang membuatku bingung beliau malah tampak lebih sehat dari sebelumnya. Kau tahu kan? Pak Burhan selalu terlihat pucat, seperti menahan sakit, makanya ia selalu marah-marah ketika ada sedikit saja yang salah. Tapi hari ini sangat berbeda. Ia tampak sangat segar, wajahnya terlihat cerah, sepanjang hari ia begitu gembira.
"Alhamdulillah kalau begitu, lalu bagaimana nasib saya di kantor Bu?" Panji mengharap keberuntungannya.
" Sayangnya surat pemutusan kerjamu sudah dibuat sehari setelah pemukulan itu, kamu sudah tidak bisa bekerja lagi disana, aku tak bisa bantu, maaf sekali Panji," Kali ini suara Bu ratna bergetar lemah.
"Tak apa Bu memang sudah jalanku harus begini," Panji menjawab mencoba optimis walaupun hatinya meringis seperti luka terkena jeruk nipis.
"Kamu tak mengenalku Panji?"
" Maaf bu, saya baru dua bulan disini, saya tak tahu Ibu bekerja sebagai apa di sana, maaf kalau saya lancang!" Panji memohon.
"Bukan itu maksudku! Bukan aku di kantor! Sebagai aku pribadi apakah kamu mengenalku?"
Sekarang Panji memandang Bu Ratna dengan heran, ia mencoba mengamati wajah Bu Ratna namun ia tak berhasil mengenali wajahnya, Panji menggeleng.
"Kau ingat Prasetyo, teman sekolahmu dulu?"
Panji mengingat masa lalunya setelah mendapat pertanyaan dari Bu Ratna, Panji anak sulung dari dua bersaudara orang tuanya adalah pedagang sayur di pasar. Dari sejak SMP ia di sekolahkan di pondok pesantren, begitu juga adik perempuannya yang sekarang masih duduk di kelas XI. Hidup mereka cukup sederhana dan tak kekurangan. Hingga suatu peristiwa mengubah jalan hidupnya. Saat ia duduk di kelas XI Ayahnya ditangkap dan dipenjara karena terbukti membunuh kepala desa di kampungnya, entah penyebabnya apa Panji tidak pernah tahu. Padahal sepengetahuan dia Bapaknya adalah orang yang sangat taat beragama. Ibunya menderita depresi sejak itu dan harus dirawat di sebuah panti rehabilitasi, sejak saat itu perangai Panji berubah, ia yang tadinya pendiam dan rajin menjadi hilang arah, ia melakukan kenakalan - kenakalan akibat frustasi yang dideritanya karena sering mendapat hinaan dari teman-temannya.
Pihak pesantren terpaksa mengeluarkannya dari sekolah walaupun ia tinggal menjalani satu tahun lagi masa pendidikannya. Atas bantuan pamannya ia bisa masuk ke sekolah SMA swasta.
Disekolah inilah persoalan semakin rumit. Panji ternyata satu sekolah dengan Gilang anak Pak Lurah yang dibunuh bapaknya. Gilang yang mengetahui Panji adalah anak pembunuh bapaknya mencoba membalas dendam kematian bapaknya dengan memukuli Panji. Panji mencoba tidak melawan walaupun ia dibekali pelatihan bela diri selama dipesantren, ia hanya bertahan dan menangkis saja semata agar jangan sampai ia dikeluarkan dari sekolah lagi hingga ia bisa lulus SMA dan bisa pergi dari kampung halamannya.
Di akhir masa sekolah, Panji tidak mampu lagi menahan emosinya, semua anggota kelompok Gilang yang selama ini menyakitinya di pukul sampai roboh, termasuk Prasetyo, sahabat Gilang yang ikut mengeroyoknya. Panji mengamati wajah ibu Ratna, hatinya berdesir seakan ia baru saja bertemu hantu.
"Ibu siapanya Prasetyo?" Panji bertanya dengan lidah tercekat.
"Aku kakaknya, dan jangan panggil aku Ibu! Aku hanya lebih tua beberapa tahun saja denganmu!" Matanya melotot marah. Panji tersentak mendengarnya," Pantas saja Ratna masih terlihat muda, ia memang masih muda dan yang pasti otaknya brilian sampai bisa punya jabatan penting diusianya saat ini, wajahnya juga cantik dan menarik, tak kalah dengan aktris yang berseliweran di televisi.
"Bagaimana kabar Prasetyo sekarang?" Lidah Panji masih tercekat, jari jemarinya diadu untuk mengurangi kegelisahannya.
Panji mengingat kembali, ia baru sadar saat itu ia selalu hendak memukul Prasetyo padahal yang dibencinya adalah Gilang. Prasetyo dipukulnya sampai tak sadarkan diri, darah hitam muncrat dari mulutnya, matanya menatap Ratna tangannya sampai memegang tepi meja akibat rasa takut yang dan rasa bersalah, namun otaknya menangkap koneksi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. memandang wajah Panji Ratna malah tersenyum geli.
"Simpan wajah bloonmu itu, hahahaha, Ratna masih tertawa geli, Prasetyo sedang mengikuti pendidikan taruna Polisi. Seberapa dekat kamu dengan Prasetyo?"
"Prasetyo sedang pendidikan jadi Polisi?" Prasetyo memang punya postur yang bagus, tapi kelihatannya ia punya fisik yang lemah, sering kali dia tidak ikut kegiatan olahraga di sekolah. Panji bahkan pernah melihatnya pingsan ketika gerombolannya berusaha mengejar dia. Otak Panji berputar cepat menyusun kepingan puzle teka -teki dalam hidupnya.
"Tidak terlalu, kami cuma saling kenal karena satu kelas saja saat itu, " Panji berkata dengan hati-hati menyembunyikan fakta yang terjadi bahwa sebenarnya mereka saling bermusuhan.
"Aneh!" Sekarang giliran Ratna yang memperlihatkan wajah heran, tangan kanannya menopang dagu sambil menggigit -gigit kukunya.
" Aku disuruh lapor ke polisi saat kamu menghajar Pak Burhan, saat itu aku memeriksa datamu aku lihat ijazahmu sama dengan Pras, Aku telpon Pras, dia memohon padaku untuk mebantumu sebisa mungkin keluar dari permasalahan ini, kau bilang kalian tak akrab, tapi Pras terus menelponku setiap hari sampai memohon-mohon padaku." Panji terperanjat, sekarang kedua orang yang bingung saling memandang. Sekian detik ditatap sempurna oleh Panji muka Ratna memerah, ia menunduk tersipu.
" Apakah Pak Burhan punya penyakit serius?" Kali ini Panji menatap mata Ratna dengan penuh rasa ingin tahu.
"Entahlah! Pak Burhan tidak pernah cerita padaku walaupun aku sekretarisnya."
"Bolehkah aku minta tolong padamu, mencari informasi tentang penyakit apa yang diderita Pak Burhan sebelumnya?" Panji memohon, kepingan puzle mulai terbentuk. Mata Ratna langsung menyipit mendengar permintaan Panji, dia ingin bertanya untul apa Panji perlu tahu informasi tersebut, namun akhirnya ia tak jadi bertanya.
*Baiklah! Aku akan segera menelponmu kalau aku sudah dapat infonya."
Ibu, eh Kak Ratna punya nomor ponselku?" Mukanya memerah, matanya berbinar tapi langsung terhenti saat mendapat delikan sewot dari Ratna.
"Jangan geer! aku bisa melihat nomor ponselmu di data pegawai!" Panji garuk-garuk kepala tertangkap basah, sekarang keberuntungannya hilang. Melihat tingkah Panji Ratna tersenyum geli, iamemandang wajah Panji, dalam hatinya, Ratna menilai kalau Panji cukup tampan, badannya juga atletis, ada lesung pipit di pipinya yang akan membuatnya sangat menawan bila tersenyum, sayang sekali tidak ada alasan untuk membuat Panji tersenyum akhir-akhir ini.
"Kupikir Akhirnya aku beruntung hari ini, ada gadis cantik yang menyukaiku, biarlah aku rugi-rugi sedikit kalau kak Ratna menyukaiku, " Panji mengerling sebelah matanya kepada Ratna yang disambut tatapan galak Ratna.
"Kamu rugi sedikit! Aku rugi banyak! Ratna menyahut candaan Panji dengan nada sewot lalu keduanya tertawa.
" Dasar lelaki! Semuanya sama! Tidak boleh lihat jidat licin! Ada kesempatan sedikit langsung sikat!" Ratna mencibir sambil tertawa.
"Itulah mengapa aku tak mau pacaran sama laki-laki!" Panji membalas sindiran Ratna, keduanya kembali tertawa.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya Panji?" Kali ini Ratna bertanya dengan penuh perhatian.
"Entahlah, aku tak tahu harus berbuat apa!"
"Sebaiknya kamu coba temui orangtuamu, mungkin mereka lebih tahu tentang kondisimu."
Ratna benar, ia memang harus menemui kedua orangtuanya, namun mengingat ibunya yang sedang dirawat di panti dan bapaknya dipenjara, membuat ia tak tahu harus bagaimana menghadapinya.
" Baiklah, aku akan pulang menemui orangtuaku." Setelah lama hening akhirnya Panji memutuskan untuk pergi menemui orangtuanya. Ia sebenarnya enggan kembali kekampung halaman yang sudah memberikan kenangan pahit dimasa remajanya, namun ia juga sangat rindu ingin bertemu ibu dan adiknya setelah hampir setahun tak bertemu. Ia berharap ibunya sudah lebih baik kesehatannya, seketika muncul perasaan bersalah dalam hati Panji karena selama ini ia telah mengabaikan ibunya.
Mendengar jawaban Panji, Ratna tersenyum, namun kegelisahan diwajah Panji tertangkap oleh matanya, ia mengeluarkan ponsel dari tasnya, kemudian mengetikan sesuatu, tiba-tiba suara ponsel Panji berbunyi. Panji terperangah menatap wajah Ratna, Ratna hanya tersenyum, senyumnya laksana bunga mawar yang baru saja mekar, senyum yang terindah yang pernah dilihat Panji.
"Ini tak perlu, aku masih punya uang sisa gajiku!" Panji mencoba menolak.
" Terimalah, aku tahu kamu membutuhkannya, lagi pula itu bukan dariku, dari Pras!"
Panji hanya bisa garuk-garuk kepalanya lagi mendengar ucapan Ratna, memang sisa gajinya sudah sangat menipis, uang lima juta bisa membantunya pergi kesana kemari mencari informasi yang dibutuhkan.
"Terima kasih banyak, aku pasti akan mengembalikannya!"
"Hadeh, Tetap aja egonya yang bicara!" Ratna menggelengkan kepalanya mengejek Panji sambil tersenyum geli, Panji kembali garuk-garuk kepala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!