"Aku mohon sayang, keluarga aku udah nanyain terus. Jadi kapan kamu nikahin aku? Kapan mas? Posisi aku lagi nggak gampang. Kalau kamu terus ulur waktu gini, yang ada perjodohan itu bakalan terjadi juga. Aku nggak mau. Aku maunya sama kamu.”
Keluhan Zaina di anggap angin lalu sama sang kekasih, Ghaly. Membuat perempuan itu menarik selimut yang menyelimuti tubuh polos mereka berdua.
"Mas ... apa kamu sebenarnya memang nggak niat nikah sama aku?" tanya Zaina lagi dengan serius. "Aku udah kasih semuanya buat kamu ... karena kamu sendiri yang janji mau nikahin aku.”
Zaina meraup wajahnya, frustasi.
Namanya Zaina. Perempuan yang masih cukup muda ini hidup di lingkungan kaya sejak kecil. Dia memiliki banyak aset di umurnya yang masih muda. Kendati begitu dia sama sekali nggak sombong.
Bahkan Zaina memilih kekasih, Ghaly namanya. Laki-laki pegawai di kantor ayahnya. Zaina benar-benar cinta sama Ghaly. Sampai rela memberikan semuanya sama laki-laki itu dan salah satu kebodohan yang udah dia lakukan. Hanyalah, memberi keperawanan pada laki-laki yang bukan suaminya.
"Sabar sayang ... mas lagi kumpulin uang buat kita menikah,” jawab Ghaly, akhirnya.
"Tapi sampai kapan mas?"
Dia hanya perempuan yang di kenal vanyak orang sebagai pewaris dari keluarga kaya dan di gadang akan dijodohkan dengan seorang pengusaha ternama yang dikenal sangat dingin.
Berita simpang siur udah terdengar di mana-mana. Meskipun orang tuanya belum kasih jawaban sama sekali. Tetap saja, dia takut ...
Pasalnya, Zaina memiliki seorang kekasih.
Dia terlalu cinta sama Ghaly dan takut kehilangannya.
"Kamu sudah mengambil keperawanan aku loh sayang. Kamu ingat kan? Gimana kamu yang mabuk malam itu. Dan pada akhirnya jadiin aku sebagai pelampiasan nafsu kamu?" tanya Zaina berusaha untuk mengingatkan kala itu lagi.
Ghaly berbalik dan menyibak selimut, ia turun dari tempat tidur dan pakai celana dengan santai di hadapan Zaina lalu menatap kekasih nya itu dengan sangat kesal.
"Kamu nggak percaya sama aku! Nafsu?! kalau aku cuma butuh tubuh kamu doang, harusnya aku langsung pergi pas dapet keperawanan kamu. Tapi enggak kan? Aku selalu di sini, aku selalu ada di samping kamu. Jadi ... kamu tinggal sabar dan tunggu aja sampai aku datang ke rumah kamu."
Zaina duduk dan memeluk tubuhnya dengan selimut.
“Tapi sampai kapan, Ghaly?”
“Berisik tau nggak sih. Bisa sabar nggak?!” bentak Ghaly yang tak disangka Zaina. “Dasar orang kaya, disuruh sabar aja nggak bisa.”
Zaina melunak
"Jangan marah dong, sayang. Aku juga bingung ini. Aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi di sisi lain berita itu terus tersebar luas. Bahkan semua orang seolah jodohin aku sama dia. Bahkan disaat aku nggak kenal dia. Aku nggak tahu harus apa, karena kamu juga yang nggak mau ketemu sama orang tua aku.”
Ghaly menendang kursi di sana dengan kasar.
"Kamu tahu nggak sih kehidupan kita bagai langit dan bumi? Aku masih belum siap mendapat roasting keluarga kamu yang berujung buat aku sakit hati doang. Aku nggak mau kalau pada akhirnya itu mereka cuma menertawakan pilihan kamu. Kamu harusnya mengerti rasanya jadi aku.
Zaina turun dari kasur lalu memakai pakaian dia dengan cepat dan berjalan menghampiri Ghaly. Ia genggam tangan kekasihnya.
"Sayang ... aku janji kalau mereka nggak akan memperlakukan kamu dengan jahat. Keluarga aku nggak pernah tuh pandang orang lain dari hartanya. Tapi kalau kamu memang nggak mau, aku bakalan buat kamu seperti orang kaya. Kamu pakai aja uang aku untuk ubah gaya kamu. Gimana?"
"Maksudmu? Aku harus menjadi orang lain gitu?" marah Ghaly.
Zaina menarik napas dalam, kenapa selalu aja salah? Bukankah maksud dia baik untuk kali ini? Zaina menatap mata Ghaly yang udah nggak mau menatap mata dirinya.
"Mas ... sebenarnya kamu serius nggak sih sama aku?" tanya Zaina pada akhirnya. "Kamu selalu aja pakai tubuh aku seenaknya dan aku juga cemas mas. Gimana kalau aku hamil? Aku takut ... dan hati aku jauh lebih tenang kalau kita lakuin itu pas udah nikah. Kenapa? Kenapa kalau ada kesempatan yang lebih baik. Kamu malah milih lakuin itu terus pas kita belum ada hubungan sama sekali? Gimana kalau aku hamil? Aku takut sama orang tua aku ..”
Napas Zaina memburu, ia benar-benar udah emosi.
"Aku selalu takut mas, aku takut waktu telat datang bulan, aku takut waktu aku nggak dapat tamu bulanan aku. Banyak yang aku takutkan setiap melakukan itu. Tapi apa? Aku sama sekali nggak tega menolak kamu. Karena setiap sedih itu kamu selalu aja melampiaskan sedihnya kamu lewat kegiatan panas itu."
Ia menutup wajahnya.
"Kadang aku malu mas sama diri aku sendiri. Dulu aku selalu berpegang teguh supaya bisa memberikan kehormatan aku sama suami aku. Bukan kekasih aku. Tapi kamu selalu aja berjanji kalau mau nikah sama aku. Aku kasih mas. Tapi di saat seperti ini? Kenapa kamu kayak nggak mau sama sekali nikah sama aku? Kamu selalu aja mundur dan berakhir nggak mau jawab pertanyaan penting ini sama sekali."
"Zaina ... Aku berterima kasih karena udah mendapat keperawanan kamu. Aku juga berterima kasih karena kamu udah banyak bantu aku. Tapi bukanlah aku sama sekali nggak pernah maksa kamu untuk mendapat ini semua?" seru Ghaly tiba-tiba sambil tersenyum smirk.
Mulut Zaina terbuka. Terkejut akan omongan Ghaly.
"Jadi maksud kamu, ini salah aku gitu?"
Ghaly berkacak pinggang dan hanya mengangguk, mengesalkan sekali.
"Ya bukankah seperti itu? Aku nggak pernah maksa kamu buat kasih keperawanan kamu itu untuk aku. Aku juga nggak pernah minta kamu buat serahin tubuh kamu kan? Kamu sendiri tuh yang nyerahin diri kamu ke aku. Terus aku harus apa?"
“...”
“Aku juga laki-laki kali, kalau kamu kasih. Ya aku terima. Toh, kalau kamu emang nggak niat kasih keperawanan kamu dari awal. Aku bisa cari tuh perempuan di luaran sana. Yang bisa kasih aku kenikmatan, tapi nggak nuntut ini itu.”
“GHALY!”
Mata Zaina membola.
"Ghaly! Kamu nggak mau bertanggung jawab sama apa yang kamu lakuin selama ini! Nggak sekali dua kali loh dan kenapa kamu masih bisa santai banget di saat kondisi genting kayak gini? Dan apa maksud omongan kamu tadi?” seru Zaina seraya menyentuh hatinya. Sangat sakit.
Ghaly tertawa.
"Aku capek. Tertekan mulu pas sama kamu. Sepertinya menikah sama kamu bukan lagi list di hidup aku. Walau gitu, aku berterima kasih sama kamu karena udah memberi banyak hal sama aku. Aku juga berterima kasih karena kamu sama sekali nggak jijik sama laki-laki rendahan sama aku. Berterima kasih juga sama keperawanan kamu yang udah aku ambil. Aku sungguh menikmati hubungan kita selama ini."
Zaina masih dengan keterkejutannya.
"Aku memang sayang sama kamu, tapi untuk menikah? Sepertinya nggak dulu. Karena masih nggak mau mendapat tekanan batin karena menikah sama pewaris seperti kamu. Aku masih mau hidup biasa dan nggak memikirkan banyak hal. Jadi, sepertinya hubungan kita cuma sampai saat ini saja."
"GHALY! Nggak begini ... aku nggak akan paksa kamu lagi. Aku bakalan tunggu kamu sampai kapanpun. Tapi jangan pernah putusin aku. Aku cinta sama kamu, jangan begini ya. Kita mulai lagi dengan baik ya."
“Dan ... siapa laki-laki yang mau nikahin aku kalau udah gini? Kita udah kepalang balah, Ghaly. Jadi lebih baik kita lanjutin,” desak Zaina
Zaina semakin histeris saat Ghaly diam saja dan memilih membersihkan barang dia. Ingin pergi dari apartemen Zaina yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka berdua.
Ghaly membuka pintu apartemen buat Zaina semakin histeris dan menggeleng. Meminta Ghaly untuk kembali.
"Terima kasih atas beberapa tahun bersama kamu yang udah buat aku benar-benar bahagia. Tapi satu fakta yang harus kamu dengar. Kalau selama ini aku selalu keluarin di luar, tapi tadi malam aku keluarin di dalam. Aku cuma bisa berharap kalau kamu nggak akan hamil. Semoga saja ya," bisiknya lalu tertawa kecil. Menutup pintu dengan cepat.
Kepergian Ghaly membuat perempuan itu semakin histeris. Entah karena kekasihnya yang dia cintai pergi atau akan fakta yang baru saja ia dengar.
"Aku harus apa kalau udah begini?" paniknya
"Di mana sebenarnya kekasih kamu itu? Jangan bilang kalau selama ini kamu udah bohong sama mommy dan daddy kalau sebenarnya kamu nggak mau menikah. Makanya bilang udah punya kekasih? Sekarang mommy udah nggak yakin sama kamu. Cepat datangi kekasih kamu dalam waktu satu minggu ke depan. Kalau nggak datang juga, sudah fiks kamu akan mommy nikahin sama rekan kerja daddy kamu itu."
“Toh, tanpa daddy jelasin. Sepertinya kamu udah dengar kan dari berita di luaran sana?”
“Jadi berita itu benar?” tanya Zaina melemah.
“Sangat benar ...”
Zaina yang baru pulang dalam keadaan kacau, semakin linglung. Matanya nggak fokus untuk melihat satu hal pun. Dia semakin bingung.
"Mommy ... aku beneran punya kekasih, aku mencintai dia lebih dari apa pun. Aku nggak mau kehilangan dia hanya untuk menuruti permintaan mommy sama daddy. Aku juga nggak mau jadi alat keuntungan kalian. Aku ini bukan aset yang bisa di paksa gitu aja sama kalian,” jelas Zaina pada akhirnya.
"ZANIA!" bentak mommynya.
Zaina berbalik dengan tubuh sempoyongannya, "apa mommy? Apa mommy nggak capek selama ini selalu aja memaksakan hidup aku? Selama ini aku terkurung karena mommy. Aku merelakan impian aku cuma untuk mommy sama daddy saja. Lalu untuk nikah juga, aku harus nurutin perintah kalian? Nggak bisa ... menikah adalah jalan satu-satunya aku bisa menyetir kehidupan aku sendiri ke depannya. Aku nggak mau kalau sampai terpenjara lagi bahkan di saat nanti menikah."
Di tengah kekesalannya, sang mommy tak sengaja menghirup aroma alkohol. Matanya membola dan menampar Zaina tanpa aba-aba membuat tubuh perempuan itu terhuyung dan terjatuh. Zaina langsung menoleh dengan kesal, menatap tajam sang mommy.
"Apalagi mommy? kali ini aku ada salah ngomong? Aku cuma ngomong sesuai isi hati aku aja. Apa ini masih aja salah terus di mata mommy? Capek aku lama-lama begini. Nggak peduli aku sama warisan yang menumpuk. Karena tinggal di sini sama aja aku nggak bisa hidup dengan bahagia."
"KAMU MABUK!" seru sang Momy dengan sangat marah.
'mampus'
Mata Zaina membola dan dia baru sadar aroma tubuhnya sangat tercium. Zaina buru-buru berdiri dan menggeleng, ia pergi begitu saja.
"Nggak ... aku nggak mabuk sama sekali. Momy salah nyium kali. Aku mana mungkin mabuk. Udah ah aku mau ke atas dulu aja, aku nggak mau buat Momy jadi kepikiran hanya karena aku. Dadah Momy."
Momy menarik lengan Zaina, membuat perempuan itu terjatuh ke atas sofa.
"Tidak ... Momy sangat yakin kalau kamu habis minum. Siapa yang ajarin kamu kayak gini? Jangan bilang kalau laki-laki itu? Karena Momy akan menjadi orang yang paling nggak setuju kalau kekasih kamu sendiri yang mengajak kamu lakuin hal jahat. Pokoknya mulai sekarang Momy nggak akan menunggu kekasih kamu datang lagi. Momy putuskan kalau kamu harus nikah sama orang pilihan orang tua kamu!"
"MOMMY!" seru Zaina dengan sangat kesal. "Aku bakalan kabur kalau gitu!" ancamnya
"Kamu nggak tahu koneksi Daddy kamu? Mau sejauh apapun kamu kabur, Momy sama Daddy bakalan terus menemui kamu. Jadi jangan bertingkah sama sekali. Mending masuk kamar kamu dan turuti saja kemauan Daddy sama Momy."
Zaina menghentakkan kaki sambil beranjak ke kamarnya di lantai dua. Ia membanting pintu dan terduduk di balik pintu, mencengkram kuat lengannya.
“AKU BENCI!” pekiknya sambil menekan kuat lengannya. Terasa sangat sakit.
"Kenapa sih? Aku nggak butuh hidup kayak gini. Aku nggak peduli sama semua orang yang bilang kalau hidup aku beruntung, aku nggak peduli karena aku malah nggak merasakan hidup bahagia sama sekali di sini. Keinginan aku nggak pernah terpenuhin sama sekali."
Zaina beranjak dan melempar barang di atas mejanya, berteriak kesal. Mengeluarkan emosinya yang menggebu.
"Aku benar-benar benci sama hidup aku yang kayak gini. Nggak bisa berbuat apa-apa, tapi aku cuma bisa pasrah doang. Kenapa sih kayak gini banget? Apa aku memang nggak pantas untuk mendapat apa yang aku mau? Apa aku nggak pantas mendapat cinta yang aku miliki?"
Zaina membawa ponselnya dan menghubungi Ghaly. Sampai belasan kali, ia hanya mendengar suara operator saja membuat dirinya langsung membanting kesal dan berteriak kencang. "ARGH! Apa yang harus aku lakukan kalau udah kayak begini?"
***
"Daddy dengar kalau kamu marahin Momy kamu lagi?" tanya Daddynya membuat Zaina semakin nggak nafsu makan.
Daddynya ini memang sedikit keras. Walaupun begitu, daddy selalu menjadi orang pertama yang membela keluarga dengan sangat cepat. Daddy sangat sayang dengan keluarganya, dia hanya terlalu malu untuk mengungkapkan begitu terbuka.
Dia lebih memilih diam-diam memperhatikan dari belakang dan membuat semua orang terkadang ragu akan kasih sayangnya itu. Karena nggak pernah melihat secara langsung bagaimana daddy mereka mencurahkan kasih sayangnya.
Tetapi,
Zaina selalu saja salah mengartikan kasih sayang dari orang tuanya terutama daddy. Ia merasa kalau daddynya terlalu mengatur hidupnya. Padahal tanpa Zaina tahu, daddynya selalu saja melihat jalan yang akan dirintis anaknya dan jika dirasa membahayakan kehidupan sang anak. Ia berakhir melarang dan hal itu membuat Zaina salah paham. Berakhir Zaina akan mendiamkan dirinya, hal yang terkadang membuat daddynya merasa sedih, diam-diam.
"Daddy ... padahal dulu Daddy sendiri yang bilang kalau selama makan, kita cuma harus fokus sama makanan aja. Tapi apa ini? Kenapa Daddy malah ngomongin hal nggak penting di saat kita makan? Apa Daddy melupakan omongan Daddy sendiri? atau Daddy mau melanggar aturan yang dibuat Daddy sendiri?" sentak Zaina
Daddy, Zidan menghela napas dalam melihat sang anak yang entah sejak kapan menjadi semakin keras kepala seperti ini.
"Makanan Daddy dan Momy sudah habis sedari tadi, hanya kamu yang dari tadi memainkan makanan itu. Kamu nggak mau makan? Kalau nggak mau, harusnya bilang dari awal. Kalau sudah di ambil kayak gitu sama saja kamu mubazir tahu nggak sih."
Zaina mengerucutkan bibirnya. Nafsu makan dia benar-benar sudah lenyap entah ke mana. Dia menjauhkan piringnya dari tubuhnya. Membuat pelayan yang di sana langsung serempak membawa piring kotor di sana. Meninggalkan keluarga Zaina yang saling menatap satu sama lain.
"Mau jelaskan sama Daddy? Apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu membentak Momy kamu sendiri. Memangnya Daddy pernah mengajarkan kamu untuk kurang ajar sama orang tua kamu sendiri? Semenjak Daddy mengizinkan kamu untuk tinggal di apartemen. Daddy seperti kehilangan sosok kamu yang sebenarnya. Karena ini bukan seperti anak Daddy yang dulu."
Zaina menyilangkan lengan di dada, memalingkan wajah ke arah lain.
"Ini hasil karena Momy sama Daddy selalu aja memaksakan apa pun kepada aku. Aku udah terlalu muak karena selama ini aku cuma bisa diam aja. Aku udah mulai nggak tahan dan berakhir seperti ini. Amarah aku meledak, aku memperlihatkan sisi asli aku yang Momy sama Daddy nggak tahu."
Orang tuanya menatap kecewa.
Mommynya alias Nadya menatap kesal pada anak semata wayangnya.
"Momy rasa ini karena kekasih kamu yang nggak benar itu,” tuduh sang mommy membuat Zaina kesal bukan main.
"MOMMY!"
Perbincangan tadi malam bersama orang tuanya berakhir kacau karena Zaina yang malah mengamuk karena kekasihnya yang benar-benar di cap buruk sama Mommynya. Sampai sang Daddy yang selama ini diam saja, membiarkan Zaina memilih apa pun keinginan hidupnya walau terkadang menentang pilihan Zaina yang terkesan ekstrem kini malah ikut menyudutkan Zaina.
Perempuan itu mengamuk, sampai meninggalkan meja makan begitu saja. Membuat orang tuanya hanya bisa saling memandang dan menatap penuh kecewa sama Zaina yang kini tumbuh dengan sikap yang jauh dari ajaran mereka.
"Pokoknya Momy sama Daddy nggak pernah paham sama apa yang aku rasain! daddy sama mommy cuma bisa nyuruh aku ini itu doang tanpa bisa ngomong sesuatu tentang aku. Memangnya aku nggak lelah apa mengikuti kemauan mereka," pekik Zaina sambil memukul bantal tak bersalah di depannya. Dia benar-benar mengamuk, menahan kesal di hatinya.
"Mereka cuma bisa bilang kalau Ghaly membawa pengaruh buruk untuk aku, padahal mereka nggak tahu kalau Ghaly salah satu alasan aku untuk bahagia dan masih hidup hingag detik ini. Karena kalau nggak ketemu sama Ghaly, mungkin mommy sama daddy itu nggak bisa bertemu sama aku lagi. Mereka nggak akan pernah bisa bertemu sama anak yang mereka percayai untuk bisa melakukan ini itu."
HUFT!
Zaina menutup mulutnya, ia mengerjap. Tiba-tiba saja merasa mual, ia langsung buru-buru melangkah ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Tubuhnya seketika lemas, ia menahan tubuhnya di wastafel dan membasuh mulutnya itu sesaat udah selesai.
"Aish ... ini pasti karena aku tadi malam nggak jadi makan malam, jadi nggak ada makanan yang masuk sama sekali ke perut aku sampai aku masuk angin kayak gini. Aih, udah tahu aku tipe orang yang gampang masuk angin. Tapi bisa lupa makan kayak gini."
Zaina kembali ke kasurnya dengan langkah gemetar, ia kemudian membawa ponselnya dan mulai menghubungi Ghaly yang hingga detik ini nggak ada kabar sama sekali. Ia menarik napas dalam saat panggilan itu nggak terjawab dari semalam.
"Kemana sebenarnya kamu Ghaly? aku harap saat ini kamu lagi mikirin ulang jawaban ini, karena nggak seharusnya kamu pergi dari aku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
"Karena cuma kamu tempat aku untuk kembali."
“Aku benar-benar cinta sama kamu. Kalau kamu pergi dari hidup aku. Aku nggak tahu harus lanjutin hidup aku kayak gimana.”
***
"Sudah pergi?"
Zaina menutup mulutnya dan menatap sangat terkejut. "Nggak bohong kan? maksudnya Ghaly nggak suruh kamu buat bilang ke aku kalau dia pergi dan nggak tahu kemana gitu?" tuduh Zaina membuat perempuan muda itu menatapnya bingung dan hanya bisa menggeleng saja.
"Mbak ... aku baru banget tinggal di sini menggantikan kostan Ghaly. Bahkan aku nggak kenal sama Ghaly, aku cuma tahu dari pemiliknya aja. Dia bilang kalau ada yang cari ya bilang aja jujur kalau Ghaly tiba-tiba aja udah nggak di sini. Bahkan Ghaly main pergi gitu aja sebelum membayar bulan ini. Aku cuma disuruh kasih tahu."
Zaina meraup wajahnya frustasi. Dia nggak tahu harus cari ke mana lagi kalau udah kayak gini, nggak ada tempat yang biasa Ghaly tinggali selain kostannya ini atau apartemen miliknya. Tapi Ghaly nggak ada di apartemennya dan sekarang juga nggak ada di tempat kostannya. Lalu di mana laki-laki itu?
Bahkan malam tadi dia mendapat kabar kalau Ghaly sudah mengurus surat keluar kerja dari perusahaan daddynya.
Belum sempat di larang tapi surat itu udah berhasil di tanda tangani sama HRD. Membuat Zaina sempat mengamuk semalam.
"Mbak tahu nggak di mana keberadaan Ghaly? Dia ada ngomong sesuatu nggak mau pergi kemana?"
Perempuan di depan Zaina udah tampak kesal dan menggeleng, "saya nggak tahu sama sekali, mbak telepon aja orang itu. Aku mau ngurus urusan aku dulu jadi terhalang kayak gini kan!" marah dia dengan kesal lalu masuk ke tempat kostannya dan banting pintu membuat Zaina refleks mengelus dadanya dan berbalik meninggalkan tempat itu.
"Sebenarnya di mana kamu Ghaly? Jangan hilang kabar kayak gini, aku makin khawatir banget tahu nggak sih. Kayak urusan kita belum benar-benar selesai," ucapnya lalu menarik napas dalam.
“Dan ... jangan begini. Kamu buat aku, perlahan hancur tau nggak sih.”
***
Zaina mengendarai mobilnya menuju tempat-tempat yang dulu ia datangi sama Ghaly. Berharap ia bertemu sama Ghaly, tapi dua tempat yang udah dia datangi tapi dirinya nggak menemui Ghaly sama sekali. Membuat perasaan perempuan itu mulai nggak enak. Zaina menarik napas dalam menjalani mobilnya dengan perlahan, berharap menemui sang kekasih di jalan.
"Ayolah Ghaly ... jangan kayak gini, aku nggak bisa banget. Kita udah berjanji untuk habisin waktu bersama. Jangan kayak gini, aku nggak mau. Aku nggak peduli bakalan menentang kedua orang tua aku. Biar aku bisa hidup sama kamu. Karena cuma sama kamu aku benar-benar bisa merasakan bahagia."
Zaina merasa kalau hubungan dia sama Ghaly, tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Karena Ghaly yang egois dan mau menang sendiri lalu berakhir Zaina yang mengalah, meminta maaf atas kesalahan yang nggak dia buat sendiri. Ghaly juga sering minta ini itu, jumlah yang cukup banyak.
Tapi banyaknya uang yang di miliki Zaina membuat perempuan itu sama sekali nggak pernah mikirin harga sama sekali. Dia malah merasa bahagia kalau Ghaly bahagia akan barang yang di dapatkan. Tanpa perempuan itu sadar kalau sedang di manfaatkan sama Ghaly.
Dan juga,
Meskipun terkadang Zaina merasa kalau hubungannya udah terlampau toxic. tapi ia juga sadar kalau hanya Ghaly lah tempat dia kembali, tempat dia menemukan kebahagiaan.
Meskipun banyak orang yang bilang kalau bersama dengan Ghaly hanya membuat kehancuran di hidupnya. Tapi Zaina sama sekali nggak pernah merasakan hal seperti itu. Dia merasa kalau bersama Zaina hidupnya berbunga-bunga.
Dia di buat jatuh cinta dengan perkataan Ghaly yang selalu saja berhasil membuat dia tenang. Zaina selalu datang ke Ghaly setiap kali orang tuanya itu bertingkah dan membuat dia capek akan hidup.
"Ke mana Ghaly, jangan kayak gini. Aku nggak bisa, aku nggak bisa sendirian menghadapi orang tua aku yang kayak gitu. Aku butuh kamu."
Tapi, perempuan itu lupa kalau kini dirinya udah ketergantungan sama Ghaly.
Zaina menghentikan mobilnya di pinggir jalan, ia memukul setir tak bersalah dan memekik hebat. Tubuhnya bergetar dan Zaina berakhir menelungkup di kedua lengannya yang udah bertahan di setir. Ia menangis dengan sangat kencang di tempat sepi.
Tak ada perkataan yang dia ucapkan sama sekali. Zaina hanya mengeluarkan rasa sesak di dalam dadanya hanya karena dirinya yang membayangkan kalau Ghaly beneran pergi dan nggak bersama dirinya lagi untuk selamanya.
"Bagaimana aku jalani hidup kalau kayak gini? Aku nggak bisa ... aku butuh kamu, Ghaly."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!