Kampus dalam keadaan ramai seperti biasa di jam-jam jeda kelas seperti saat ini. Livy yang ingin menyelesaikan masalahnya dengan sang kekasih, berjalan cepat dan pasti. Dia tahu, dimana kekasihnya itu sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di saat jam istirahat seperti saat ini.
"Liv! Janji lo nggak akan bikin keributan sampai bikin semua orang di kampus ini jadi heboh karena ulah lo." Yana, salah satu dari dua sahabatnya mewanti-wanti karena dia tak ingin suatu hal terjadi dengan sahabatnya itu. Kakinya masih setia mengikuti langkah Livy yang berjalan cukup cepat.
"Lo tenang aja, gue nggak sebego itu." Jawaban itu memang tak membuat Yana yakin, tapi gadis itu berusaha percaya. Seorang Livy tak membuat keributan itu rasanya tak mungkin, sedangkan dia merasakan sakit hati luar biasa? Itu hanya omong kosong belakang untung menenangkan kehawatiran Yana.
"Oke gue akan temenin elo dan mastiin itu semua." Dan Livy sama sekali tak peduli dengan apa pun yang di katakan sahabatnya itu kepadanya.
Dia terus saja melangkah dengan wajah datarnya. Tak di pedulikannya orang-orang yang menatap ke arahnya dengan pandagan heran.
Livy Anastasia Veronika, dia gadis cantik dengan wajah datarnya dengan dandanan sedikit tomboy. Dia baru saja semester satu. Sifatnya terlalu cuek tak terlalu peduli dengan sekitarnya. Dia tentu bukan mahasiswa populer di kampusnya. Tapi, orang juga tak akan mengabaikan gadis cantik seperti dirinya. Mereka akan menoleh untuk kedua kalinya jika Livy berjalan dibelakangnya.
Sampai di taman kampus. Pandangannya mengedar mencari dimana lelaki yang di sebut kekasihnya itu berada, dan di sana, di bawah pohon, lelaki itu sedang mengobrol dengan teman-temannya seperti biasanya. Mendekat ke arah kerumunan lelaki itu, Livy berdiri di depan mereka yang memang sedang duduk di rumput taman dengan tawa menghiasi wajah masing-masing.
"Hai, Vi?" Lelaki itu bernama Adam, dia menyapa Livy dengan senyum mengembang. Tidak menyadari ekspresi wajah Livy yang terlihat datar dan ingin menghajarnya saat ini juga.
"Gue mau kita putus!" Katanya tak ingin berbasa-basi.
Mendengar ucapan Livy, aura di sekitar mereka seketika menjadi hening. Bahkan teman-teman Adam yang tadinya ingin menggoda Livy, ikut menutup mulutnya rapat. Yana yang berada di belakang Livy, bahkan bisa merasakan perubahan aura di sekitarnya mendadak menjadi tegang.
Adam yang tak mengerti, menatap gadis di depannya itu dengan kening mengernyit. "Kamu bercandanya jangan gitu dong, Yang." Adam tersenyum tapi terlihat kaku, karena dia merasa tak memiliki salah apapun kepada kekasihnya itu.
"Gue serius! Mulai detik ini, kita putus. Jangan hubungi gue, apalagi dateng ke tempat gue! Lo paham kan maksud dari ucapan gue barusan!" Gadis itu menatap terang-terangan kearah Adam. Dia tahu, jika lelaki itu tak akan menerima keputusannya begitu saja. Lelaki itu pasti akan bertanya seribu alasan kepada Livy yang tiba-tiba meminta putus.
"Ya, tapi kenapa?" Adam masih tak mengerti.
"Karena elo selingkuh di belakang gue!" Tegas Livy masih dengan tampang datar dan seriusnya.
Wajah Adam memucat. Matanya menatap sekitar dengan gugup dan menghindari kontak mata dengan Livy.
Melihat gelagat dari kekasihnya atau lebih tepatnya mantan kekasihnya itu membuat Livy kembali membuka suaranya kembali. "Lo diem, karena lo merasa bersalah kan!"
Livy tak akan melepaskan Adam begitu saja, setidaknya untuk saat ini. Karena dia tahu, menghajar Adam sekarang akan membuat hatinya lega luar biasa. Tapi sayangnya, dia harus menahannya karena ini masih di lingkungan kampus. Dia tak mau menjadi tontonan mahasiswa lain bahakan mendapat masalah di kampus karena laki-laki seperti Adam ini.
"Bukan gitu, Vi. Emang kamu dapet informasi dari mana kalau aku selingkuh? Aku kan tiap hari sama mereka, gimana caranya aku bisa selingkuh?" Kedipan mata Adam kepada teman-temannya seolah memberikan isyarat kepada mereka harus mengatakan 'iya' kepada Livy dan membelanya. Seketika hal itu membuat teman-temannya mengangguk dengan senyum aneh mereka.
"Jadi ini bukan elo?" Sebuah foto yang sudah Livy cetak semalam, di tunjukkan di depan wajah Adam sebagai bukti kebejatan lelaki itu. Mata Adam melebar dan jakunnya naik turun karena merasa gugup.
"Gue nggak akan ngomong kalau cuma kata orang. Karena semalam gue lihat sendiri dengan mata kepala gue. Elo ciuman sama cewek ini, setelah lo pulang dari kos gue."
Adam tak memiliki sanggahan lain selain membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali.
"Ini hadiah buat elo!" Injakan kaki dan tonjokan di wajah Adam di layangkan Livy untuk memberikan kenangan 'manis' terakhir sebagai tanda berakhirnya hubungan mereka.
Gadis itu kemudian berlalu dari sana, di ikuti Yana yang belum sepenuhnya sadar dari keterkejutannya. Livy tidak akan diam saja jika ada orang yang membuatnya sakit hati. Apalagi karena penghianatan, dia tak akan sudi membiarkan itu terjadi, dia tak ingin terlihat bodoh dan menyedihkan hanya karena lelaki tak berguna seperti Adam.
Ekspresi wajah Livy kali ini benar-benar masam dan tiga kali lipat lebih datar dari biasanya. Livy dan Yana sudah berada di dalam kelas untuk melanjutkan kuliahnya. Sedangkan Dinda, satu lagi sahabat Livy yang memang tak masuk ke kelas karena sakit.
Setelah mendamprat Adam, Livy langsung masuk ke dalam kelas untuk menyelesaikan mata kuliah di jam terakhirnya.
"Vi, lo di lihatin anak-anak dari tadi." BIsik Yana saat melihat sekitarnya. Ya, memang sejak Livy masuk ke dalam kelas, entah kenapa teman sekelasnya terus menatap ke arah gadis itu tanpa henti, seakan dia adalah alien yang baru saja menginjakkan bumi untuk pertama kalinya.
"Cuekin aja, mereka kan udah biasa kaya gitu waktu lihat gue." Tentu saja gadis itu tak akan ambil pusing. Level kecuekan Livy memang sudah level tinggi, jadi dia akan merasa bodo dengan pandangan orang lain terhadapnya.
Kali ini, Yana benar-benar menyerah, dia tak akan mendesak Livy untuk menanggapi pembahasan kenapa dia di tatap sebegitu-nya oleh teman-teman sekelasnya. Yana hanya tak mau ribut karena masalah yang tak penting.
Selama kuliah, Livy sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Merasa ada perasaan aneh di dalam hatinya. Ini pertama kalinya dia dikhianati oleh seorang cowok dan dia berjanji tak akan ada yang kedua kalinya. Bahkan, dia membiarkan kuliahnya berantakan hari ini hanya karena seorang Adam, tapi dia berharap jika besok akan kembali normal seperti biasanya. Masalah ini harus berakhir hari ini dan jangan berkelanjutan.
Setelah selesai, Livy langsung menghambur keluar kelas tanpa menunggu Yana seperti biasanya. Dia melangkah lebar seperti terburu-buru dan akan melakukan sesuatu yang penting.
"Vi, lo mau kemana sih?" teriak Yana yang tak mau ketinggalan.
Gadis itu berbalik, Yana bersuara. "Lo pulang aja, gue masih ada urusan. Nih bawa motor gue aja." Livy berlalu dan tak menanggapi Yana yang mengomel karena harus pulang sendiri.
Yana dan Livy memang satu kos. Mereka bertemu saat ospek dulu dan kebetulan Yana sedang bingung mencari tempat kos dan Livy mengajaknya. Beruntung mereka kembali satu kelas di semester pertama.
Livy melangkahkan kakinya sesuai keinginan hatinya. Dia ingin marah tapi harus marah kepada siapa? Adam dan selingkuhannya pasti akan menertawakannya jika dia meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan itu.
Berhenti di sebuah kafe, Livy langsung memesan es krim dengan cup besar. Setelah dapat, dia duduk di kursi dan melahapnya banyak-banyak. Matanya tak bisa berbohong jika hatinya merasa sakit. Adam benar-benar bereng*ek. Begitu katanya dalam hati memaki lelaki itu.
Satu tetes air mata keluar dari netranya dan langsung di usapnya. Dia tak ingin ada orang lain yang melihat kesedihannya itu.
Sebuah pesan di dapatnya dari Adam, lelaki itu bilang, dia meminta maaf atas apa yang sudah dia lakukan. Dia tak bermaksud untuk berselingkuh. Tapi tak sampai habis dia membacanya, tangannya sudah sibuk menekan tanda hapus dan memblokir nomor Adam dari kontak ponselnya.
Dia benci sekali lelaki semacam Adam itu. Bahkan Livy benar-benar tak sudi bertatap muka dengan lelaki itu lagi nantinya. Mengedarkan pandangannya, Livy meneliti sekitar dan kebanyakan orang berpasangan di sana. Gadis itu mendengus bahakan rasa sesaknya kian bertambah.
"Pacaran aja terus! Dunia serasa milik berdua, yang jomblo pada ngontrak!" begitu gumamnya menilai orang-orang yang ada di sekitarnya itu. Gadis itu menjadi ingat ketika masih berpacaran dengan Adam, mereka juga selalu melakukan hal-hal romantis seperti mereka. Menurut Livy, berpegangan tangan adalah hal yang sudah romantis. Dia memang tak pernah melakukan hal lebih bersama Adam semasa masih pacaran. Dia bisa menjaga dirinya dengan baik dan membatasi kontak fisik dengan lelaki itu.
Merasa bosan, gadis itu keluar dari kafe tersebut dan berjalan lagi untuk pergi ke taman. Dia ingin sekedar mendinginkan kepalanya yang terasa angat panas jika mengingat kejadian siang tadi.
Livy duduk di pinggir lapangan basket yang ada di sisi taman. Menyangga dagunya dan menatap ke depan seperti seorang anak yang tertinggal oleh keluarganya di suatu tempat. Matahari sudah mulai kembali ke pengedarannya dan langit sudah mulai agak gelap.
"Gue kayak orang dungu aja sekarang. Jadi ngerasa kesel sama diri gue yang kaya gini." katanya. "Si Adam bren*sek emang! Gue sumpahin itu orang jadi perjaka tua sekalian." teriaknya seraya menghela napas. Kakinya berselonjor dan menatap langit. Menikmati awan yang bergerak lambat.
Matanya terkadang tertutup dan menarik napas dalam-dalam untuk menikmati oksigen segar di sana. Merasa ada seseorang, matanya terbuka dengan perlahan dan benar, seorang laki-laki sedang meletakkan tasnya di sampingnya dan melirik Livy sekilas, kemudian berlalu dari sana sambil membawa bola basket.
Suara beradunya bola dengan lantai seketika terdengar. Livy tidak berniat pergi dari sana. Dia tak peduli jika di anggap aneh oleh lelaki tersebut. Matanya terus menatap ke arah lapangan basket dimana laki-laki asing itu sedang mendribble bola, kemudian memasukkannya ke dalam ring.
Lambat laun, dia merasa menikmati 'tontonan' di depannya. Lelaki asing itu memang seperti jago sekali dalam bermain basket. Terbukti, bola yang di layangkan selalu masuk kedalam ring dan mungkin hanya sesekali saja yang gagal.
Melihat laki-laki itu berjalan kerahnya, Livy memejamkan matanya kembali. Dia hanya tak ingin dikira 'mengintip' permainan cowok itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Lelaki itu sudah duduk tepat di samping Livy.
Mata Livy terbuka dan menatap kearah kirinya. Gadis itu bisa melihat jelas bagaimana satu sisi wajah cowok yang sedang menghadap ke depan itu.
"Ngomong sama gue?" Livy hanya ingin memastikan.
"Kamu pikir ada siapa lagi disini?" Lelaki itu kini menatap mata Livy. Ada senyum tipis yang lelaki itu sematkan untuk gadis di sampingnya.
Livy menggeleng, "Nggak ada. Gue cuma cari udara segar aja." balasan ringan diberikan oleh gadis itu.
"Kamu tahu? Kalau tempat ini angker?" Lelaki itu kini sudah menghadap sepenuhnya kepada Livy. "Kamu lihat itu?" Tunjuk-nya kepada pohon tinggi yang ada di sebelah kanan mereka. "Pernah ada yang gantung diri di sana."
Livy bisa tak peduli dengan apa pun, tapi tidak jika menyangkut horor, gadis itu menyerah.
Mengusap kedua lengannya beberapa kali, Livy terlihat menelan salivanya. "Lo serius?" katanya dengan perubahan wajah yang tak main-main. Tepatnya sedikit memucat.
"Dua rius." jawab lelaki asing itu dengan tampang seriusnya.
Livy mulai tak nyaman dengan duduknya, atensinya beberapa kali menatap kearah kanannya, menatap pohon yang masih berdiri kokoh di sana dan itu membuat lelaki itu menyeringai.
"Takut?" tanya lelaki itu. Sedangkan Livy menelan saliva-nya dengan pelan merasa jika bulu kudunya mulai berdiri.
"Sedikit." jawabnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Kemudian kekehan itu keluar dari bibir lelaki tersebut. "Dua rius, aku cuma bercanda. Kamu nggak usah anggap serius omongan aku."
Dengan secepat kilat, Livy langsung menatap lelaki asing tersebut dengan mata melotot.
"Ngerjain gue lo!'' kesalnya.
"Enggak. Aku cuma ngetes aja, cewek yang duduk sendirian di sini ketika matahari hampir tenggelam, harusnya berani mengambil resiko. Meskipun itu harus di datangi hantu sekaligus." Kalimat terakhir yang di katakan dengan penekanan agar lebih mendramatisir.
"Haish!" katanya dengan sebal. Melirik sekilas kepada lelaki tersebut.
Bukannya marah di tatap seperti itu, dia justru mengulurkan tangannya. "Aku Sammuel." katanya memperkenalkan diri. ''Kamu?''
"Gue nggak mau kenalan sama orang yang udah berani nakutin gue!" Livy benar-benar tidak menerima tangan Sammuel yang teulur di depannya.
Menarik sudut bibirnya, Sammuel menarik tangan Livy untuk menempelkan telapak tangan mereka. "Panggil aja Sam. Kuliah semester tiga." Ekspresi wajah Livy benar-benar seperti baru saja melihat makhluk dari planet lain.
"Haish." Livy mengeluh lagi karena lelaki itu tak mengijinkan tangannya lepas dari genggamannya.
"Oke, oke." katanya menyerah. "Gue Livy, kuliah masih semester satu." balasnya.
Sammel tersenyum sesaat. "Jadi, ngapain kamu sendirian di sini, udah kaya anak hilang? Pasti kamu baru patah hati kan?" Komentar Sammuel sebenarnya terasa begitu kencang mengoyak hatinya. Tapi, Livy memilih bungkam seolah dia tak terpengaruh dengan ucapan tersebut.
"Bukan urusan elo juga kan!" begitu jawabannya.
Mengedikkan bahunya, Sammuel menjawab. "Karena itu terlihat jelas di dahi kamu." Sammuel menatap terang-terangan wajah Livy yang bersikap jutek kepadanya.
Livy tak menjawab dan memilih berdiri. Mengambil bola Sammuel dan berjalan ke tengah lapangan dan menghadap ke ring basket. Melemparkan bola tersebut seolah dia adalah pemain basket profesional.
Sammuel menggeleng-gelengkan kepalanya melihat aksi Livy yang terlihat konyol itu. Lelaki itu berdiri dan mendekat ke arah Livy. "Mau aku ajari?" tanyanya.
"Enggak." Bola tersebut di berikan kembali kepada Sammuel lalu dia berlalu dari sana. "Gue mau pulang." katanya. Livy mengatakan itu bukan bermaksud ingin diantar atau yang lainnya. Itu hanya ucapan spontan karena memang sudah waktunya dia kembali ke kosnya.
Yana pasti nanti akan menceramahi-nya karena dia tak mengatakan akan pergi kemana.
Namun Sammuel berkata. "Aku anterin?" Itu bukan penawaran tapi keputusan dan lelaki itu berjalan di belakang Livy setelah menyahut tas miliknya yang tergeletak di bawah. Gadis itu diam saja tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Sammuel.
Mereka berjalan beriringan tanpa ada yang bersuara. Jika dilihat orang-orang, pasti mereka akan mengira jika mereka adalah pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Tapi faktanya, mereka hanya orang yang baru saja saling mengenal.
"Ini kos kamu?"
Livy hanya mengangguk. "Gue nggak akan nawarin elo mampir. Tapi terimakasih lo udah mau ngaterin gue. Ya, meskipun gue nggak minta."
Sammuel tersenyum. "Bukan masalah. Istirahatlah. Aku pergi dulu. Besok, datang lagi ya."
Tanpa di tanya, Livy sudah tau yang dimaksud oleh Sammuel adalah lapangan basket. Tanpa menunggu jawaban dari Livy, lelaki itu berbalik dan berjalan dengan santai.
Tak ingin mengambil pusing akan semua hal yang terjadi hari ini, Livy masuk ke dalam kosnya untuk segera sampai di kamarnya. Dia sudah sangat lelah dan butuh istirahat.
Melemparkan tubuhnya di atas kasur, Livy memejamkan matanya. Ingatannya kembali pada Adam yang dengan kurang ajarnya mengkhianatinya. Hubungan mereka memang tergolong masih baru. Enam bulan mereka menjalani hubungan pacaran. Dan terputus karena masalah perselingkuhan yang sering sekali terjadi. Tapi bagaimana pun, perasaan sayang Livy tetap masih ada, meskipun rasa bencinya lebih besar.
Menghela napas, gadis itu berusaha melenyapkan pikirannya tentang si bren*sek Adam. Meskipun itu tentang kebenciannya kepada lelaki itu.
"Livy!'' Yana mengetuk pintu kamar Livy dengan kasar. Entah apa yang terjadi pada kepala gadis itu, sampai bertindak bar-bar seperti ini.
Meskipun kesal, namun tak urung di bukakan juga pintu itu untuk Yana. "Apa?" tanya Livy dengan tampang kusutnya. Merasa tak perlu permisi, Yana masuk kedalam kamar Livy dan duduk di atas ranjang sahabatnya itu.
"Adam tadi habis kesini." adunya. "Dia minta gue hubungi lo, karena nomornya lo blokir katanya. Lo dari mana aja sih? Gue khawatir karena lo baru patah hati, gue takut lo nekat."
LIvy berdecih, "Kurang waras gue kalau ngelakuin tindakan bodoh kaya gitu."
"Terus?" Yana kembali bertanya.
"Terus apa?"
"Lo serius blokir nomornya Adam?"
Livy mengangguk. "Iya. Gue emang blokir semua aksesnya yang tersambung ke gue. Karena dia bren*sek."
"Gue tadi juga marah sama dia. Tega banget dia selingkuhin elo, padahal lo kurangnya apa ke dia." Yana menanggapi.
Livy tak perlu merasa perlu mengatakan terima kasih kepada Yana atas apa yang gadis itu katanya. "Gue capek." Begitu saja tanggapannya. Jika Yana berlama-lama di dalam kamarnya, gadis itu pasti akan terus membahas tentang Adam, sedangkan dia tak mau lagi mengungkit lelaki itu. Livy mencoba memberi kode kepada Yana agar dia mengerti. Tapi masalahnya, Yana tak peka dan masih betah berada di sana. "Yan!" panggilan itu untuk memberi kode agar Yana bisa segera keluar dari kamarnya.
"Iya, gue keluar." balasnya dengan bibir mengerucut karena usiran secara halus yang diberikan Livy kepadanya.
Livy tersenyum. "Terimakasih. Tolong tutup kembali pintunya setelah lo keluar nanti." Dan kemudian menyamankan tubuhnya di atas kasur dan memeluk guling miliknya.
Livy berharap jika hari ini dia tak akan lagi bertemu dengan Adam. Ya, meskipun itu tak mungkin, mengingat jika lelaki itu kuliah di tempat yang sama dan mengambil jurusan yang sama juga dengannya. Tapi, tak ada salahnya kan dia berharap seperti itu.
Dan jika ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja? Pasti jawabannya sudah tahu, terbukti tak ada kesedihan tercetak di wajahnya. Livy tak akan lagi memusingkan tentang kisah asmaranya. Lagi pula, dia masih semester satu, buru-buru mencari pasangan pun juga tak akan membuatnya segera menikah. Jadi, biarlah semua berjalan semestinya. Jika memang dia mendapatkan pengganti Adam dengan cepat, berarti itu rezeki baginya. Begitulah pikir Livy terlalu santai.
Dia sudah berada di atas motor untuk berangkat ke kampus dengan Yana yang sudah berada di boncengannya. Jarak kampus dengan tempat kosnya memang tak terlalu jauh, tapi Livy malas berjalan kaki. Kecuali kemarin ketika hatinya merasa galau, barulah dia berjalan kemanapun sesuai permintaan hatinya.
"Vi, Adam." Yana berbisik ke telinga Livy dan menunjukkan di mana Adam berada.
Sementara Livy yang masih memarkirkan motornya di parkiran kampus dan dia tak merasa perlu menanggapi ucapan Yana yang tak penting itu.
"Hay!" Dinda datang dan bergabung bersama kedua sahabatnya. "Kemarin gimana kuliahnya? Gila, kepala gue kemarin tiba-tiba pusing banget. Jadi nggak bisa masuk kelas kan gue!" Adunya. Gadis itu juga sudah tahu tentang masalah putusnya hubungan Livy dan juga Adam.
Tentu saja Yana menceritakan kronologi kejadian kemarin kepada gadis itu.
"Biasa aja. Nggak ada yang spesial." sahut Yana santai. Sedangkan Livy fokus berjalan tanpa menanggapi kedua sahabatnya itu.
"Vi!" Panggilan itu di tunjukkan kepada Livy. Ya, siapa lagi kalau bukan Adam yang memanggil.
Livy tak menoleh apalagi menjawab. Dia terus melangkahkan kakinya meskipun Adam terus memanggilnya berkali-kali.
"Mending selesaiin dulu masalah lo deh Vi, si kampret Adam itu nggak akan berhenti gangguin elo." Dinda memberi usulan. Pasalnya, Adam itu lelaki dengan seratus jurus. Dia bisa melakukan apapun, bahkan sampai tak mengenal malu jika sudah bertidak.
"Jalan aja." Begitu katanya dan kedua sahabatnya itu mengikuti perintahnya. Tapi sayangnya, tangan Livy di tarik oleh seseorang sampai berhenti, ya siapa lagi pelakunya kalau bukan si Adam.
"Apaan sih! Gue bilang kita udah selesai!" katanya marah. Matanya memicing menatap Adam dan disentakkannya tangan lelaki tersebut agar terlepas dari genggaman Adam.
"Vi, please!" lelaki itu mulai memohon. "Dengerin aku sekali ini aja, itu nggak seperti apa yang kamu pikirkan." pintanya dengan wajah memelas.
Apa yang di katakan mahasiswa lain tentang Adam memang benar. Lelaki itu akan membuka jubah malunya jika merasa dia perlu melakukan hal itu dan terbukti sekarang, sudah kedapatan selingkuh, tapi masih sanggup memohon untuk mendengarkan penjelasannya.
"Dia itu temen SMA aku yang dari dulu ngejar-ngejar aku. Pas kemarin itu, Vi..." belom sempat melanjutkan ucapannya, Livy berbalik dan tak mempedulikan ucapan Adam yang sedang mengarang bebas di depannya itu.
"Astaga! Vi dengerin aku dulu." keluhnya seraya mengusap wajahnyal kasar.
Adam benar-benar kewalahan menghadapi tingkah Livy kali ini. "Vi!" panggilnya lagi, seolah Livy akan mempedulikannya saja.
Kedua sahabat Livy memang sudah pergi dari sana sejak tadi, mereka merasa perlu memberi waktu untuk kedua orang itu untuk menyelesaikan masalah mereka. Tapi Livy si keras kepala, bahkan tak peduli dengan etikat baik seorang Adam.
Tepat di depan kelas, Lvy berbalik dan menatap Adam dengan bosan. "Lo tuh nggak punya malu!" Awalnya sebelum dia menghela napas sesaat. "Detik dimana gue tahu lo selingkuh, lo itu sampah di mata gue! Jadi apapun alasan yang lo kasih ke gue, nggak akan mempan karena gue udah muak liat muka lo!" lanjutnya. "Jadi, berhenti menjelaskan apapun, dan jangan muncul lagi di depan gue. Gue mual lihat muka lo!" Setelah mengatakan itu, dia berbalik memsauki ruang kelas dan duduk di deretan kursi dimana kedua sahabatnya berada. Meninggalkan Adam yang tengah mematung dan shock luar biasa, lelaki itu pergi membawa perasaan kesal yang luar biasa.
Dan sudah pasti, teman-teman sekelas yang sudah berada di sana, menyaksikan pertunjukkan yang tersuguh-kan dengan bagus di depan mereka. Membuat Livy mendengus di dalam hatinya karena meskipun dia terlihat tak peduli, tetap saja dia sangat malu dengan tindakan mantan kekasihnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!