Di kota K, Austria.
Justin pemuda berusia pertengahan 20 -an, sudah pintar mengotak - ngatik komputernya sejak kecil dan sudah ahli dalam menangi senjata api. Kini ia mendapatkan informasi tentang orang yang sudah dikejarnya dan sang Daddy sejak kejadian penembakan yang membunuh Xavier.
Pemuda dengan tinggi 192 cm itu memeluk sang Mommy yang sedang menangisinya, ia berkata akan pergi bekerja dinas keluar negeri lebih tepatnya akan mengejar Leon si penjahat ke Mexico tanpa sepengetahuan Mommy-nya.
"Mom, jangan merajuk terus. Aku akan pergi dengan bersedih, lihatlah adikku matanya berair. Dia ikut menangis," Justin terus merayu sang Mommy.
"Sayang, usiaku sudah berkepala enam. Kamu ingin aku yang memeriksa proyek kerja disana, kamu tega padaku ? Apa selama ini putra kita masih nomer satu di hatimu ? Aku kecewa," Vard berpura-pura menghela nafasnya, ia menggeleng tak berdaya.
"Apa benar ? Jadi selama ini Mommy hanya menyayangi kak Justin ? Mommy tidak menyayangiku ?" sang adik, Jasmine ikut bersandiwara.
Benar saja, tangisan Krystal berhenti. Ia menjauh dari putranya berjalan mendekat lalu merangkulkan tangannya pada suaminya, Vard. "Sekarang kamu yang merajuk, sayang ?"
Pundak Vard perlahan turun, helaan nafas lelaki yang semakin tua itu terdengar menyedihkan.
"Maaf," Krystal bergelayut manja.
"Ish ! Aku masih suci tak bernoda Mom ! Kalian pergilah ke kamar jika ingin bermesraan!" teriak putrinya, Jasmine.
17 tahun lalu setelah aksi penembakan di Mansion Oliver dan kematian Xavier, sebenarnya Krystal ingin menunda pernikahannya dengan Vard tapi satu bulan kemudian ia dinyatakan hamil dan akhirnya mereka menikah secepatnya karena Vard tidak ingin masa kelam terulang kembali dimana saat Krystal mengandung dan melahirkan Justin, lelaki itu tidak berada di samping Krystal.
Lahirlah seorang putri cantik, mereka menamainya Jasmine. Kini usianya 16 tahun dan masih bersekolah.
Vard melepaskan gelayutan manja istrinya, dia melirik ke arah putranya. "Justin, masuk ke ruang kerja Daddy."
Di ruangan kerja, Vard dan Justin juga Taylor yang juga sudah menua tapi lelaki itu betah tidak ingin menikah dan akhirnya menjadi bujangan tua.
"Bagaimana Sabrina dan Ibunya ? Mereka sudah dikeluarkan dari penjara sebulan lalu, apa ada pergerakan mencurigakan?" tanya Vard.
"Tidak ada Tuan besar, mereka tinggal di sebuah rumah kecil sewaan. Bahkan untuk makan saja mereka kesusahan, apalagi Ibu Nona Sabrina sering sakit-sakitan. Untuk mengurusi hidup mereka saja sepertinya Nona Sabrina kewalahan, sepertinya tidak akan menganggu kehidupan Nyonya Krystal lagi," jawab Taylor yakin.
"Tapi lebih baik berjaga-jaga, meskipun Dex dan Ronald masih menjalani hukuman mereka. Tapi, Leon masih berada diluar sana dan untung saja kita bisa menemukannya sekarang setelah bertahun-tahun mencarinya," wajah Vard yang sudah menua mengerut mengingat musuhnya masih hidup berkeliaran dengan bebas selama belasan tahun meskipun penjagaan keluarganya ketat tetap saja ia selalu saja khawatir.
"Baik, Tuan besar."
"Aku harus berangkat nanti malam. Jaga Mommy dan adikku, Dad. Jaga kesehatanmu juga, kau sudah semakin tua. Lebih baik Daddy berolahraga di gym, jangan salahkan Mommy jika berselingkuh dari Daddy karena menemukan pria muda. Dan... Jika Daddy cepat meninggal karena tidak menjaga kesehatan Daddy, jangan salahkan aku jika Daddy meninggal aku akan mencarikan hot Daddy untuk Mommy!"
"Bocah gila ! Akan Daddy patahkan tanganmu !" Vard bangkit dari kursinya menarik penggaris di meja mendekati putranya dengan wajah kesalnya.
Justin berlari keluar ruangan sembari tertawa ngakak, dia paling suka menjahili Daddy-nya. Setidaknya ucapannya akan berpengaruh pada sang Daddy dan akhirnya Daddy-nya itu akan menjaga kesehatan bahkan menjaga penampilannya meskipun sudah berusia lebih dari 60 tahun. Setelah operasi jantung sang Daddy berhasil, ia sangat bersyukur masih bisa bersama kedua orang tuanya sampai saat ini tapi sayangnya Kakek Bernard sudah meninggal dunia 10 tahun lalu.
Di Kota yang sama....
Danielle memakai seragam militernya, ia wanita nomer satu kebanggaan dalam satuannya. Bukan hanya karena Ayahnya yang seorang Jenderal tapi karena keuletan, ketajaman insting, juga kepatriotannya dalam membela negera sudah terbukti.
Tok! Tok! Tok!
"Ini Danielle," ujarnya mengetuk pintu ruangan rahasia.
Ceklek ! Kunci terbuka dari dalam ruangan.
"Hormat, Sir!" setelah masuk ke dalam Danielle memberi hormat pada Ayahnya, Jenderal Eric.
Eric adalah mantan ketua Agen khusus dari satuannya dulu, setelah penuntasan misi terakhirnya yaitu membongkar mafia internasional penjualan organ-organ manusia khususnya penjualan anak-anak, ia resmi menjadi seorang Jenderal. Bahkan dalam penuntasan misinya tersebut, ia menemukan cinta sejatinya.
___Bersambung...
LIKE KOMEN RATE 5 DITUNGGU YA. MOHON DUKUNGANNYA. 🤭🙏🏻
Eric menatap putrinya yang baru datang, misi sudah diturunkan. Mau tidak mau dia harus mengirim putri semata wayangnya itu pergi.
"Hahhhhh..." Eric menghela nafasnya di ruangan yang sunyi itu, semua agen sedang menunggu keputusan sang Jenderal, tak elak helaan nafas pasrahnya membuat semua orang refleks menatap padanya.
"Sir, ada apa?" tanya Deana, putri Agnes.
"Kalian sedang menunggu keputusanku, bukan?"
"Yes, Sir!" jawab ke -7 Agen khusus yang berada di ruangan.
"Seminggu lagi kalian harus pergi ke Meksiko, perempuan-perempuan berusia sekitar 13-16 tahun dari berbagai negara hilang, sudah dipastikan keberadaan mereka di Meksiko. Tapi markas mafia penculik dan pejual gadis-gadis itu belum bisa ditemukan, kalian akan pergi kesana mencari markas mereka."
"Yes, Sir!"
Lalu Eric menatap putrinya, "Danielle..."
"Ya, Dad. Ah... Yes, Sir!"
"Kamu akan menjadi umpannya," ujar Eric, kini dengan ketegasan di matanya.
"Aku, Sir? Kenapa?" tanya Danielle heran karena dia bukan ketua dari Agen rahasia, Deana lah yang menjadi ketua di satuan khusus.
"Karena mata cyan-mu, ternyata para gadis-gadis yang diculik itu mempunyai ciri khas yang sama," jawab Eric.
"Bermata cyan..."
"Ya."
"Dad, masksudku Jenderal Eric... Aku adalah putrimu bukan?"
"Tentu saja kau putriku, itu sudah jelas."
"Lalu apakah kamu menyayangiku sebagai putrimu?" Danielle menaruh kedua tangannya di atas meja, bersikap tidak sopan pada Ayahnya.
"Ekhmm, Danielle... Jaga kesopanmu pada Jenderal. Tegapkan tubuhmu!" Deana memberi peringatan.
"Aku sedang bertanya padanya sebagai Ayahku, bukan sebagai Jenderal!" sifat tak mau diatur Danielle keluar, itu lah kelemahannya. Susah sekali diatur dan selalu ingin menang sendiri.
"Tidak apa-apa Capt Deana, setelah bubar hukum saja dia," Eric kini memajukan tubuhnya, bertatapan dengan mata putrinya yang menatapnya dengan tatapan menusuk.
"Aku menyangimu, Danielle. Jadi?" Eric terus menjawab pertanyaan putrinya.
"Lalu kenapa kamu membiarkanku menjadi umpan? Kau mau aku mati dalam misi kali ini?! Apa karena Mommy yang selalu kecewa padaku, sekarang Daddy juga kecewa?!" bentak Danielle berapi-api, sudah sejak lama hubungannya dengan Ibunya tidak baik. Sang Mommy sejak kecil selalu melarangnya menjadi seperti Daddy-nya, bahkan setelah ia remaja Mommy-nya selalu membuang barang-barangnya jika menyangkut dengan barang laki-laki. Ibunya ingin dia feminim, mana bisa!
"Jangan membahas Mommy-mu disini, Danielle. Daddy sudah bilang, hormati Ibumu!" Eric berdiri wajahnya sangat menakutkan, dalam kemiliteran putrinya memang yang terbaik tapi dia bahkan tidak ingin menjadikan Danielle seorang Capten karena putrinya terlalu angkuh dan keselamatan para anggota tidak akan terjamin di tangan putrinya itu.
"Semuanya, dengar ! Daniella akan menjadi umpan, kalian semua akan menyamar. Ini adalah final decision-ku ! Kalian mengerti!"
"Yes, Sir!"
Semua anggota khusus menjawab tapi tidak dengan Danielle, gadis itu masih membangkang perintah Ayahnya.
"Siapapun yang menolak misi ini, akan dibebastugaskan sampai aku menugaskannya kembali!"
Akhirnya ucapan Ayahnya menghantamnya, dibebastugaskan itu sangat berarti banyak. Bukan hanya diberi hukuman, tapi bisa juga tidak akan lagi menjadi seorang militer untuk selamanya.
"Yes, Sir!" akhirnya dengan lemah Danielle menjawab.
"Bubar! Dan kau Danielle... dihukum melayani makan malam para tentara di camp. Masak sendiri, layani para tentara! Hukumanmu selama 3 hari!"
"Yes, Sir!" dengan tak rela Danielle keluar dari ruangan rahasia, pundak yang biasanya tegap dan gagah seperti laki-laki kini terkulai lemas.
Eric memijit keningnya, dia sekarang memarahi dan menghukum Danielle tapi saat mengabari Amber tentang misi putri mereka sudah dipastikan kehidupan gandanya akan menjadi lajang karena istrinya itu akan marah besar dan tidak akan membiarkannya tidur sekamar. "Sial !!"
Di depan kediamannya tepatnya di halaman, Eric yang seorang Jenderal berlutut dengan wajah yang menyedihkan. Sesekali mantan kapten satuan khusus itu menatap nanar ke arah jendela kamar di atasnya, berakting semenyedihkan mungkin agar istrinya mengampuninya.
Wanita yang sedang mengamuk itu memang sedang mengintip dari balik tirai jendelanya di kamar lantai atas, ia sesekali menghela nafas melihat suaminya tidak mau masuk. Bukan ia yang mengusir keluar suaminya itu, tapi Eric lah berinisiatif sendiri.
Amber menyalakan earphone di telinganya, "Eric, mau sampai kapan kamu seperti itu? Sampai petir menyambarmu! Kau tidak merasakan udaran sangat dingin dan lembab? Sebentar lagi akan turun hujan! Masuklah! Jangan membuat adegan hujan-hujanan seperti di film-film India!"
Mata Eric masih menatap jendela, tubuhnya lesu bahunya lunglai. "Sayang, saat aku masuk... kamu pasti tidak mau dekat denganku 'kan? Jadi, untuk apa aku masuk. Lebih baik aku menghukum diriku sendiri..." lirihnya melalui earphone.
"Baguslah kamu sadar akan kesalahanmu dan pantas menerima hukuman, tapi aku lah yang akan menentukan hukumanmu. Jadi masuklah..."
"Aku salah, Amber... meskipun aku seorang Jenderal dan bisa mengutus siapa saja menjadi umpan, tapi aku malah mengutus putri kita. Itu karena aku lebih percaya pada Danielle... Aku tahu kamu mencemaskan keselamatannya dan selama ini selalu menentang Danielle karena kamu sedikit trauma karena pernah kehilangan anak kita saat dalam kandungan. Tapi Amber, percayalah pada putri kita. Meskipun Danielle tidak bisa diatur dan sedikit berperilaku angkuh tapi itu karena dia mampu. Bukankah ini saatnya kamu berbaikan dengan Danielle dan mengirim kepergiannya dengan penuh kepercayaan. Itu akan sangat berarti untuk putri kita..."
Amber akhirnya membuka jendela, dia duduk di ambang jendela. "Masuklah, aku tidak akan menghukum mu. Tapi masuk lewat jendela ini, udara sangat dingin cocok untuk kita saling menghangatkan," Amber tersenyum lebar, perkataan suaminya memang benar dia seharusnya mendukung putrinya sekarang dan bukan waktunya bersikap egois dengan selalu mengekang keinginan Danielle. Putrinya sudah dewasa, ia akan mempercayai putrinya mulai sekarang.
Eric seketika bangkit dari sujudnya, wajahnya berbinar bahagia. Bagaimana tidak? Undangan makan sudah terbuka, tinggal melahap hidangan yang sudah disuguhkan.
Saat Eric baru saja melangkah menuju ke bawah jendela, suara putranya menghentikan langkahnya.
"Dad, Mommy... Apa kalian lupa, earphone kalian terhubung padaku. Sejak tadi aku sudah menahan mualku karena adegan melodramatis kalian... Uhhh oekkkkk..."
"Skyler, kamu bisa mematikannya bukan? Itu hanya alasanmu mengganggu Daddy!" teriak Eric kesal.
"Weeeeeeee!" Skyler mencemooh Ayahnya.
Sreekkk!
Suara sambungan earphone terputus, Eric tahu putranya sudah mencopot earphone.
"Aku datang, sayang..." Eric mulai memanjat tembok untuk sampai ke ambang jendela di atasnya dengan kelincahan seorang tentara yang terasah selama bertahun-tahun.
Lain lagi dengan suasana hangat di kediaman keluarganya, Danielle sedang memasak di dapur camp. Perempuan militer itu sedang mengaduk kuali besar, memasak untuk makan malam para prajurit di camp.
"Sial! Sial ! Sial!" Air mata terus saja membasahi wajahnya, mengupas bawang yang bejibun sejak tadi membuat matanya masih kepanasan.
"Jangan merajuk! Kau sendiri yang memancing hukuman, lakukan saja!" ujar Deana, ia dengan santainya memainkan apel di tangannya melempar ke atas lalu saat apel itu turun ia mengigitnya langsung.
Krauk!
Dengan sengaja ketua satuan khusus sekaligus sahabat Danielle itu mengunyah apel dengan bersuara keras, suara kunyahan yang renyah apalagi seruputan air apel yang terdengar begitu lezat membuat Danielle kesal. Ia mengambil bawang bombai besar lalu melemparnya ke arah sahabatnya, Wush !
Grap!
Bawang itu dengan mudah ditahan oleh tangan kiri Deana yang kosong sebelum bawang itu menghantam wajahnya. "Hahaha... Hahahaha!"
Danielle semakin kesal, jiwa tak mau kalahnya terpancing. Ia mengambil spatula dari wajan panas berisi masakan, bibirnya tersenyum tipis.
Wush !
Tapi sekali lagi dengan sigap Deana menangkis benda yang dilempar Danielle dengan kakinya, bahkan untuk membalas temannya itu ia melempar pisau yang berada dekat dengannya.
Dsing !
Pisau melesat cepat ke arah wajah Danielle, perempuan itu menghindar tepat waktunya.
"Brengsek!" Danielle merengsek maju ingin menghajar ketuanya, tapi suara tembakan diluar terdengar.
Dorrrrr!!!
Dorrrrr!!!
Bukan sekali bahkan dua kali tembakan.
"Siaga!" Deana mengambil senjata di pinggangnya, begitu pun Danielle.
Saat keluar ruangan masak, mata Danielle langsung membelalak melihat tulisan di spanduk yang dipegang beberapa prajurit. Bertuliskan, DANIELLE, AYO MENIKAH !
"Danielle, terima cintaku... Aku akan bersamamu di setiap hembusan nafasmu, di setiap langkah beranimu. Sebelum pergi menjalankan misi kali ini, maukah kamu menerima lamaranku? Danielle, setelah misi kali ini selesai, AYO MENIKAH !!! AKU MENCINTAIMU !"
Salah satu anggota satuan khusus bernama Lucas sedang bersujud dengan sebelah kakinya, tangan lelaki militer itu memegang kotak berisikan sebuah cincin. Lelaki itu sudah sejak lama memendam perasaannya, tapi kini saat Danielle diputuskan akan menjadi umpan dan akan membahayakan nyawa. Lucas tidak ingin menunggu untuk mengutarakan perasaannya lebih lama lagi, saat misi berlangsung ia akan menjaga keselamatan Danielle dengan nyawanya sekalipun.
Danielle tak mempercayai pendengaran dan penglihatannya, tiba-tiba ada lelaki yang melamarnya. Ia hanya mematung bahkan saat Lucas mendekatinya dan ingin melingkarkan cincin di jarinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!