NovelToon NovelToon

Cinta Raka Vol. 2

Part 1. Terasa hambar

Pov Raka

Semenjak hari itu hubungan kita pun mulai kembali terasa mengasikan. namun sayang setelah seminggu dari kejadian Devina berubah, dia mulai menunjukkan tanda-tanda keegoisannya kembali, dia mulai sering mengirimiku pesan ketika aku tidak sempat membalasnya atau meneleponku berkali-kali ketika pesan yang dikirimnya tidak kunjung aku balas.

Benar apa yang dikatakan oleh Tio, bahwa wanita itu tidak akan berubah seutuhnya, karena sudah menjadi tabiatnya sehingga akan susah untuk dirubah. Bahkan aku merasa bahwa Devina sekarang sangat keterlaluan, karena hampir setiap saat ketika tidak ada pelajaran, Devina selalu menghampiri mengikuti Kemanapun aku berjalan, Seolah aku tawanan yang dijaga ketat karena takut melarikan diri.

Semakin hari rasa bosan dan rasa kesal pun semakin memenuhi kepalaku, sehingga akhirnya tiba di suatu hari, ketika kita berjalan menuju parkiran untuk pulang bersama.

Otaku yang merasa kesal dengan sikapnya yang sangat menjengkelkan, sehingga sama sekali aku tidak menyahuti pembicaraan Devina yang terus nyerocos seperti ikan mas dimasukin ke dalam penggorengan.

"Hai Raka, Kamu tahu nggak Hari ini aku senang banget deh. soalnya nilai aku tuh paling bagus di kelas. ternyata giat dalam belajar itu nggak sia sia yah Raka.....!" ujar Devina sambil melirik ke arahku, di tangannya ada es krim yang sedang dia jilat, mungkin sebelum pulang tadi dia membeli makanan itu di kantin yang belum tutup.

"Iya," jawabku singkat karena sudah bosan dengan Devina yang selalu membanggakan diri dengan apa yang ia capai,  seolah menganggap aku adalah pria paling bodoh yang tidak bisa mendapatkan prestasi.

"Makanya kamu juga harus giat belajar, agar nilaimu bagus dan kita bisa samaan."

"Samaan dalam hal?"

"Dalam nilai Baguslah Raka......, jadi orang-orang akan menganggap bahwa orang cerdas akan memiliki pacar yang cerdas, itu kan sangat membanggakan Raka."

"Oooooh," tanggaku sambil membuang muka.

"Kamu nggak bangga apa kalau hubungan kita dipuji oleh orang lain, karena kita adalah siswa-siswi berprestasi di sekolah."

Aku tidak menjawab pertanyaan bodoh itu, aku terus melangkahkan kaki menuju ke parkiran untuk mengambil motor.

"Coba kamu bayangkan kalau kita sama-sama berprestasi, nanti hubungan kita akan bisa di banggakan di kemudian hari. bahwa kita pernah berpacaran dengan orang yang sangat cerdas di sekolah ini, kamu harus giat belajar ya...! agar nilaimu bagus juga." ujar Devina yang terlihat menggurui seolah Dia adalah segalanya.

Aku hanya menarik nafas dalam, namun langkah kakiku terus berjalan menuju ke parkiran, Sesampainya di sana dengan segera Devina pun mendahului lalu menghentikan langkahku.

"Raka.......!" teriaknya sambil menghentikan tanganku yang mau mengambil helm untuk dirinya.

"Iya kenapa?" jawabku sambil membalas tatapan Devina, namun dengan wajah yang sangat lesu.

"Kalau pacar kamu sedang berbicara, Tolong dengarkan dong, jangan diam saja seperti batu......!" gerutu Devina yang kembali ke mode awalnya, dia sangat hobi memarahiku walaupun di hadapan orang.

"Dari tadi kan aku mendengar ucapanmu Devin."

"Ya jangan diam lah, tanggapin apa. jangan sampai kamu terlihat seperti anak kecil," lanjutnya lagi.

Aku hanya melepaskan tangan dari helm yang ku pegang, kemudian membalikkan tubuh seolah sedang mencari sesuatu, karena berbicara dengan Devina rasanya sangat menjengkelkan, kalau dia bukan seorang wanita mungkin aku sudah menerkamnya bulat-bulat.

"Raka....! kalau ditanya jawab dong." teriak Devina dengan menaikkan intonasi suara, sehingga membuat para siswa yang sedang mengambil motornya menatap ke arahku, rasanya sangat malu bahkan pipiku terasa sangat memerah.

Diawali menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, aku merebut es krim yang ada di tangannya kemudian melahap es krim itu sampai habis tak tersisa, mengekspresikan rasa jengkel yang sudah memenuhi dada.

Devina yang terkaget hanya menatap melongok ke arahku, Mungkin dia tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. namun itu tidak lama, karena dia mengukir senyum menyebalkan di wajahnya.

"Ya ampun Raka, Raka....!" kamu tuh ngomong kalau kamu lapar. dari tadi diam itu ternyata kamu lapar?" ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala membuatku menghentikan kunyahan tidak mengerti dengan apa yang ada di otaknya. apa dia tidak bisa membedakan mana orang yang lagi marah, mana orang yang lagi lapar.

"Sebentar ya aku beli dulu es krimnya, Kamu tunggu di sini." ujarnya sambil kembali lagi ke dalam sekolah hendak menuju kantin membuatku semakin melongok melihat tingkah lakunya. Mulutku terbuka dengan lebar, tanganku mengepal dengan begitu erat, memperhatikan Devina yang sudah tak terlihat lagi.

Aku menghembuskan nafas pelan, kemudian duduk di motor ingin rasanya pergi pulang, tapi aku masih memiliki hati nurani karena tidak mungkin aku meninggalkan dia sendirian, sedangkan sopirnya tidak akan menjemput karena sudah diberitahu.

Aku mundar mandir di dekat motor yang sudah Terlihat agak sepi, hanya tinggal beberapa motor saja yang terparkir karena semua siswa sudah kembali pulang ke rumahnya masing-masing. mungkin motor yang tersisa adalah motor siswa yang sedang melakukan ekstrakurikuler. baik itu Pramuka, P3K atau kegiatan-kegiatan yang lainnya.

Lama menunggu akhirnya Devina pun datang dengan membawa es krim di tangannya, bahkan terlihat ada beberapa cemilan ringan yang ia bawa.

"Nih, buat kamu dan ini buat aku." ujarnya sambil menyerahkan es krim.

"Aku nggak lapar Devin."

"Terus kenapa tadi Kamu rebut es krimku, Bukannya kamu lapar, Ayo makan!"

"Ya ampun Devin, aku nggak lapar, aku cuma kesal aja."

"Kesal kenapa, salah ya aku membelikan kamu es krim. Maafin aku ya kalau aku sok tahu," ujarnya sambil merubah raut wajah dengan sangat menyedihkan, membuatku semakin kesal Bukannya dia menyelesaikan masalah malah bersembunyi dengan wajah yang memelas.

"Ini ambil....!" lanjutnya lagi sambil mendekatkan es krim yang ada di tangannya ke hadapanku.

"Aku tidak mau es krim Devin."

"Kenapa sih kamu nggak menghargai pengorbananku yang sudah rela kembali lagi ke kantin, hanya untuk membelikan makanan untukmu yang lapar. kamu tega Raka.....!" ujarnya sambil merubah kembali raut wajahnya yang sangat menyebalkan, matanya membulat seolah menebar ancaman.

Sebelum mengambil makanan dari Devina, aku pun menarik nafas terlebih dahulu lalu memasukkan semua es krim ke dalam mulut bersama corong-corongnya.

"Pelan-pelan dong makannya, makan es krim itu tidak enak kalau di Lahap seperti itu, es krim enaknya dijilat dan dinikmati."

"Telat...! sudah habis,"

"Yah....., kamu masa makan es krim aja harus diajarin sih, gimana mau menjadi pasangan terfavorit di sekolah kalau kamunya seperti itu." ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya ke motor.

"Ayo pulang, nanti keburu hujan." Ajakku mengalihkan pembicaraan.

"Tunggu dulu aku mau menghabiskan es krim, karena kalau dibawa ke rumah nanti meleleh. Lagian kamu makan es krim kayak orang kesambet, makan es krim tuh kayak gini." ujarnya sambil mengecup ujung es krim dengan ujung lidahnya.

Devina terus mengomel sambil menunggu es krim yang ada di tangannya, rasanya sangat lama seperti sudah bertahun-tahun. aku berada di tempat itu melihatku hanya diam, Devina semakin menaikkan intonasi suara dan omelan-omelannya agar aku bisa menjadi orang yang dia inginkan.

"Sudah habis kan es krimnya, Ayo kita pulang!"

"Buru-buru amat sih Kak, nanti kita mampir dulu ya."

"Mampir ke mana, Aku sudah ada janji sama keluarga di rumah, jadi kita harus cepat-cepat pulang ke rumah kamu."

"Jadi kamu lebih mementingkan keluarga daripada aku."

"Iya, iya, kamu mau ke mana. Ayo aku antar....!" jawabku yang bingung harus berkata apa lagi.

"Tapi kalau gak ikhlas mendingan nggak usah deh. Ayo kita pulang saja...!" ujarnya sambil menekuk wajah kemudian naik ke motorku.

Part 2. Semakin Parah

Pov Raka

Aku mengambil helm, lalu mau mengenakan ke kepala Devina. namun dengan segera pacarku menolaknya, dengan mendengus kesal dia memakai helmnya sendiri.

"Sudah gua juga bisa sendiri kok.....!" ketusnya dengan muka masam.

Aku hanya menarik nafas dalam semakin tidak mengerti dengan sikap Devina. tanpa berpikir panjang aku pun naik ke atas motor, lalu menyalakannya. tak lama motor pun melaju membelah panasnya kota Jakarta yang tak kalah panas dengan hatiku yang sedang berada dengan Devina, dia berubah menjadi baik hanya seminggu, sekarang sikapnya udah mulai menyebalkan.

Motorku terus melaju menyalip kendaraan yang berjalan dengan lambat, agar aku bisa cepat sampai ke rumah Devina dan secepatnya pulang ke rumah, untuk mengistirahatkan otaku yang terasa mengepul. Sesampainya di depan rumah Devina aku menghentikan motor, lalu pacarku pun turun dan membuka helmnya.

"Terima kasih ya sudah mau mengantarkanku pulang," ujarnya sambil mengulum senyum membuat kepalaku semakin terasa gatal.

"Iya.....!" jawabku sambil memasangkan tali helm dengan wajah datar tak menghiraukan perkataan Devina.

"Kamu kenapa sih?" tanyanya Mungkin dia baru sadar dengan perubahan wajahku hari ini.

"Hah......!" tanggapku singkat.

"Diajak ngomong dari tadi pas di sekolah, kamu hanya nyautin seperlunya. Kalau ada masalah itu ngomong jangan kayak gini, jangan diam-diaman seperti anak kecil yang mau permen." ujarnya yang membuatku memalingkan wajah. Rasanya malas untuk menanggapi pembicaraan Devina yang hobinya marah-marah ngedumel tidak jelas.

"Heran deh sama kamu, apa kamu nggak percaya curhat sama aku, cerita sama aku. Kamu sudah nggak nganggap aku sebagai pacar kamu, begitu Iya, nggak nganggap ya, Iya?" tanyanya sambil mendekatkan wajah ke arahku.

Aku hanya bisa menggigit bibir sedikit, kemudian membalas tatapan Devina. "udah udah ngomongnya, Udah marah-marahnya....?" Tanyaku sambil melepaskan helm kemudian aku berdiri di hadapannya seperti hendak meladeni kelakuannya yang bar-bar.

Melihatku turun dari motor, Devina tidak menjawab. Dia hanya menatap heran ke arahku, mungkin di benaknya dipenuhi dengan pertanyaan atau dia sedang mengumpulkan kata-kata untuk memarahiku kembali.

"Udah selesai ngomelnya?" Tanyaku dengan nada sinis.

Devina tidak menjawab sehingga keadaan sekitar menjadi Hening, hanya angin yang terdengar menerpa bunga-bunga yang berada di depan rumah.

"Devin aku capek, dan aku mau kita putus....," lanjutku di tengah keheningan itu, rambut Devina yang di cempol terlihat tertiup oleh angin, tangannya memegang tali tas yang melingkar di dekat dadanya.

Aku memberanikan diri berbicara seperti itu, karena aku sudah tidak sanggup lagi dengan sikap Devina yang seperti anak baru keluar dari rahim ibunya. Hari ini aku memutuskan bahwa aku tidak akan tertipu lagi dengan apa yang akan dia lakukan, Walaupun dia mengeluarkan wajah melas meminta dikasihani, tapi sekarang Raka Aditya Sudah memutuskan untuk tidak berbaik hati lagi. karena berhubungan dengan Devina bukanlah kebahagiaan yang aku dapat, melainkan kesengsaraan dengan tingkah lakunya yang sangat menyakitkan hati.

Devina mendapat perkataan seperti itu, dia pun terdiam namun lama-kelamaan senyumpun hadir di wajahnya, Mungkin dia menganggap bahwa perkataanku hanya sebatas bualan belaka.

"Nggak usah bercanda deh..! hahaha, nggak lucu tahu." ujarnya dengan menundukkan pandangan tidak berani lagi menatap wajahku.

"Aku serius Devin....!" jawabku seketika membiaskan senyum Devina, kemudian wajah itu mulai menatap kembali ke arahku, sehingga aku dengan segera mengeluarkan unek-unek yang sudah lama bersarang di dalam kalbu.

"Sudah dua bulan aku pacaran sama kamu Devin, dan dua bulan itu aku mencoba ngertiin kamu. tapi sampai saat ini aku tidak mengerti ngerti dengan sikap kamu, Aku nggak ngerti dengan sikap kamu yang over dramatis, sama sikap kamu yang selalu ngambek, sama sikap kamu yang minta selalu diperhatiin, selalu minta dimanjain dan kamu selalu merasa seolah-olah dunia ini milik kamu Devin," ujarku membuat Devina semakin terdiam membuatku semakin leluasa.

"Devin aku memang pacar kamu, tapi aku masih punya kehidupan yang lain, aku masih punya teman-teman, dan aku masih punya kegiatan-kegiatan yang banyak yang harus aku urusin, bukan hanya kamu doang. Devin, kamu tuh egois tahu nggak Devin."

Ujarku yang merasa puas dengan semua yang aku utarakan, karena perkataan itu sudah lama ingin aku ucapkan namun Baru kali ini aku bisa berbicara seleluasa itu, keadaan di depan halaman rumah Devina pun menjadi Hening kembali hanya suara Deru angin yang menerpa dedaunan, ditambah sesekali suara motor yang kebetulan melewati jalan.

"Ini semua salah aku ya?" tanya Devina Setelah lama terdiam, Dia terlihat ragu-ragu ketika berbicara seolah takut salah berucap.

"Terus salah siapa lagi?" jawabku tidak terlalu menggebu-gebu seperti tadi.

"Terus kamu beneran mau putus?" lanjut pertanyaannya sambil menatap ke arah wajahku, dengan segera aku pun menganggukan kepala sebagai jawaban keseriusan dengan apa yang aku bicarakan dengan dirinya.

Devina pun menundukkan wajahnya yang lesu, poninya hampir menutupi matanya yang terlihat mengembun. namun dengan segera aku menguatkan diri agar kejadian dua minggu yang lalu tidak terulang lagi, di mana aku terbujuk dan tertipu oleh keluguannya, sehingga aku terjatuh ke lubang yang sama.

Sebelum berbicara Devina terlihat menarik nafas dalam, kemudian menarik ingus Yang sepertinya mau keluar karena rasa pedih yang diakibatkan dari mata.

"Akuuuuuu nggak.....! Nggak mau putus," jawabnya sambil menggelengkan kepala, matanya semakin mengembun mungkin airnya sebentar lagi akan pecah.

Melihat Devina yang terlihat bersedih membuat hatiku mulai teriris, namun dengan segera aku menguatkan hatiku agar apa yang sudah aku jalankan tidak sia-sia, aku dengan segera membuang muka agar tidak tertipu Oleh wajah polosnya.

Setelah lama membuang wajah, aku pun menatap kembali ke wajah Devina yang kebetulan dia sedang menatap wajahku sehingga kedua pandangan pun beradu membuat hatiku sedikit meringis melihat wanita yang pernah singgah di Hatiku bersedih seperti sekarang, mata Devina mulai mengembun dengan cairan kesedihan Mungkin sebentar lagi akan tumpah.

"Raka.....!" Panggil Devina dengan suara lembut mengalahkan lembutnya Sutra, tak seperti biasanya ketika dia memanggilku dengan intonasi yang sangat tinggi, mengalahkan suara petir yang sedang mengelegar.

"Aku sayang banget sama kamu, sayang banget Raka.....!" ujarnya sambil meneteskan air mata yang sejak dari tadi tertahan, wajahnya berubah seperti hendak mau menangis, tangannya mengambil tangan kiriku yang dekat dengan dirinya. dia menggenggam tanganku dengan begitu erat, seolah dia tidak mau kehilanganku yang sudah memutuskannya.

Aku yang sejak dari tadi hanya membuang muka, melihat tanganku ditarik mau tidak mau wajahku kembali menatap wajahnya yang sudah basah dengan cairan kesedihan.

Part 3. Gak Mau Putus

Pov Raka

"Aku tidak mau kita putus, sebelum ada kamu hidup aku gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Tapi semenjak kamu hadir Hidupku sangat berwarna dan Aku nggak mau kalau hidup aku gelap lagi," ujarnya dengan suara tersendat karena dibarengi dengan tangisan.

Melihat ada orang yang menangis, Entah mengapa tiba-tiba mataku merasa pedih, seolah latah dengan keadaan sekitar. yang bisa aku lakukan hanya membuang wajah, agar aku tidak terjatuh kembali dengan wajah sedihnya Devina.

"Aku minta maaf banget Raka....., kalau aku memang salah, tapi aku berjanji, aku nggak akan bikin kamu bete lagi, janji....!" lanjut Devina dengan suara parau.

Lidahku terasa kelu, mau berbicara lebih rasanya tidak tega melihat seorang wanita yang memelas seperti itu, Aku hanya bisa kembali mengelus dada yang terasa sesak, karena amarah yang sudah memenuhinya.

"Maafkan aku Devin, aku tidak bisa."

"Tolonglah Raka, kasih aku kesempatan untuk menjadi yang lebih baik untukmu, aku janji aku akan lebih mengerti kamu." pinta Devina dengan merapatkan kedua tangan di depan dadanya, matanya yang terlihat basah membuatnya semakin terlihat menyedihkan.

"Maaf Aku harus pulang, aku duluan ya....!" ujarku yang tidak tahu harus berkata apalagi, karena aku sedang berada di dalam dua pilihan. Kalau aku tertipu lagi, maka Hidupku akan terus sengsara tapi aku bukan orang yang tidak memiliki hati yang bisa mengacuhkan wanita bersedih seperti itu.

"Maafkan aku Raka, Kamu jangan marah lagi....," lanjut Devina sambil memegang kembali tanganku.

Dengan perlahan aku hempaskan genggaman tangannya, kemudian aku menatap lekat sekali lagi wajah pacar yang sebentar lagi akan menjadi mantan.

"Aku harus pulang, aku duluan." ujarku sambil berjalan mendekat ke arah motor, kemudian mengambil helm lalu mengenakannya. tanpa menunggu jawaban dari Devina aku menyalakan motorku lalu pergi meninggalkan Devina yang terlihat masih memanggil-manggil namaku.

Aku terus mengendarai motorku menuju arah jalan pulang, dengan membawa hati yang tidak karuan. di salah satu sisi aku sudah tidak mau berhubungan dengan makhluk yang bernama cewek, namun di sisi lain ketika tadi melihat Devina sangat memelas meminta belas kasihan hatiku tidak tega.

Ingin rasanya berteriak melepaskan semua Belenggu yang mengikat dada, memasung hati. kalau tahu dari awal bahwa jatuh cinta itu tidak seindah yang disairkan oleh para pujangga, semanis tutur kata para penyair, mungkin aku tidak akan sama sekali menginginkan hal itu, karena ternyata Mencintai atau dicintai seseorang, ketika sudah menjalin hubungan, perasaan itu tidak ada keindahan sama sekali. hanya satu atau dua minggu kita menikmati kebahagiaan itu, selanjutnya hanyalah pertengkaran dan pertengkaran, kegelisahan dan kegelisahan.

Aku bukan budak Cinta Yang Bisa tunduk dengan wanita, karena sebagai manusia kita harus memiliki harga diri, Jangan sampai kita bersembunyi dalam kata cinta sampai kita menjatuhkan harga diri sebagai makhluk yang sempurna.

Terlarut dalam khayalan dan pikiran-pikiran untuk menentukan langkah selanjutnya tentang hubunganku dengan Devina. tak terasa akhirnya motorku sudah sampai di halaman rumah, dengan segera aku memarkirkan motorku lalu masuk ke dalam dengan membuka kuncinya terlebih dahulu. karena setiap orang di rumahku membawa kunci masing-masing agar ketika kita sampai duluan, tidak harus menunggu orang lain terlebih dahulu.

Setelah sampai di kamar, aku menjatuhkan tubuh ke atas kasur yang lumayan empuk, Tapi itu tidak bisa menenangkan hatiku yang terasa panas. Setelah lama berbaring aku pun membangkitkan tubuh lalu duduk sambil memeluk dengkul. bosan dengan posisi seperti itu, aku berdiri lalu menyalakan lagu mellow, untuk menenangkan hati yang sedang hancur.

Mataku terpejam, khayalku terbang ke masa-masa indah bersama Devina, membuat kedua sudut bibirku sedikit terangkat. namun itu tidak lama, karena khayalan itu terbiaskan oleh sikap Devina yang sangat menjengkelkan yang bisanya hanya marah-marah menyalahkan orang lain tanpa mau mengintropeksi dirinya sendiri.

"Kayaknya aku memang benar harus menjauhi Devina agar hidupku kembali tenang, tidak banyak tekanan." gumamku sambil membangkitkan tubuh kembali lalu terdiam dan berpikir menimbang baik buruknya apa yang akan aku jalankan.

Aku terus berpikir dan terlarut dalam khayalan-khayalan memikirkan tentang Devina, hingga tak terasa waktu pun berlalu dengan begitu cepat. kira-kira pukul 05.00 sore pintu kamarku ada yang mengetuk, kemudian masuklah kepala bapak.

"Ya ampun...., Raka...! kok kamu belum mengganti pakaianmu, ini sudah sore dumel?" bapak yang melihat anaknya masih tidur dengan malas-malasan.

"Ya Pak, maaf Raka ketiduran," jawabku berbohong karena sebenarnya aku mengetahui kepulangan keluargaku dari tempat kerjanya masing-masing, tapi aku lebih memilih berdiam diri di kamar karena pikiranku sedang tidak beres.

"Ya sudah kamu mandi, terus salat...! nggak baik kamu menunda-nunda kewajibanmu sebagai seorang muslim," seru Bapak sambil menutup kembali pintunya.

Dengan malas aku pun membangkitkan tubuh dari atas kasur, kemudian mengambil handuk di balkon rumah lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, sebelum melaksanakan salat ashar.

~

Setelah melaksanakan salat magrib, Aku bersama keluarga berkumpul di ruang keluarga. terlihat Mbak Vira, ibu dan bapak Mereka terlihat asik mengobrol membahas kegiatan di kantornya masing-masing, hanya aku sendiri yang terdiam memperhatikan obrolan mereka, yang sama sekali tidak ku mengerti, karena aku belum pernah merasakan dunia pekerjaan.

"Kenapa lu diam aja," tanya Mbak Vira sambil menghentikan suara tawanya, kemudian matanya menatap ke arahku.

"Ya aku kan nggak ngerti, apa yang kalian omongkan kan. aku belum kerja," jawabku mengelak menyembunyikan kegetiran yang sedang kuhadapi.

"Halah Jangan bohong lo, biasanya lu menimpali obrolan kita, jujur aja lu sedang ada masalah kan sama Devina." Tuduh Mbak Vira.

"Udahlah Mbak, jangan sok tahu....!" jawabku menyanggah tuduhan Mbak Vira.

"Emang kenapa akhir-akhir ini anak kita terlihat begitu murung?" tanya ibu sambil menatap ke arah Mbak Vira, kemudian menatap ke arahku.

"Mungkin yang sedang galau mah."

"Galau kenapa, kok masih anak sekolah sudah galau?" tanya ibu sambil melirik ke arahku dengan penuh penasaran.

"Jangan didengerin Bu, Mbak Vira ngada-ngada Ibu, kayak nggak tahu aja Mulut Mbak Vira kan lemes."

"Halah Lu jangan bohong sama gue, Karena gua sudah tahu lu sejak di brojolkan dari rahim ibu, jadi gua tahu apa yang berubah dari diri lu sekarang."

"Ah Mbak Vira sudahlah, aku mau nulis aja." ujarku Yang Tidak mau terpojokan dengan segera aku pun membangkitkan tubuh dari kursi sofa, lalu menuju kamarku yang berada di lantai atas.

"Kenapa anak kita Pah?" terdengar suara Ibu bertanya sama bapak.

"Paling galau masalah perempuan Bu, biasalah anak muda." jawab bapak yang terdengar santai.

"Kenapa masih sekolah sudah memikirkan pacaran?" tanya ibu kembali, namun aku tidak mendengar jawaban Bapak Karena aku sudah sampai ke kamar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!