NovelToon NovelToon

HINTERKAIFECK

Hinterkaifeck; Prolog

 

Di peternakan kecil, Bavaria, Jerman, 1922

Berkisar pukul 08.26

    Hujan pagi ini mengguyur desa, beberapa dari penduduk desa rela datang menggunakan payung mereka, penemuan jasad satu keluarga menarik minat untuk sekadar tahu keadaan jasad dan informasi tentang kematian keluarga itu. Beberapa mobil polisi terparkir sembarangan dibeberapa tempat, manusia-manusia berseragam astronot palsu berdatangan—beberapa dari mereka membawa kantong jenazah, satu orang polisi yang tidak memakai seragamnya datang menghampiri salah satu wanita yang diperkirakan berusia dua puluh tahun, diduga wanita itu adalah seorang asisten rumah tangga.

  Hujan yang lebat berubah gerimis yang masih bisa membasahi pakaian, udara dingin semakin memperlihatkan ekspresi wajahnya yang pucat dan kering. Franz mengenakan topinya dengan tergesa-gesa, tidak memperdulikan kalau gerimis mulai membuat cetakan basah pada pakaian atasnya—ia terlihat berdiri di sisi polisi yang tadi menghampiri wanita yang telah diduga sebagai asisten keluarga korban.

"Franz, dia bilang kau kenal dengan korban, apa betul?" tanya polisi itu, namanya Rasmus, pria yang berusia tiga puluh lima tahun.

"Iya, dia Fernia, asisten dari keluarga paman Arsya. Dan, aku juga mengenalnya." jawab Franz, sedikit kikuk, bahkan suaranya pelan dan hampir saja tidak terdengar oleh telinga lawan bicaranya.

"Baiklah, aku mengerti, kasus ini ternyata tidak jauh dari dirimu. Akan lebih nyaman jika kau membantuku mewawancarai Fernia." pinta Rasmus sembari menutup buku catatan yang belum ada sedikit saja coretan tinta, rupanya buku catatan muat saku itu baru saja Rasmus ambil dari persediaannya.

    Fernia melangkah mengiringi polisi Rasmus, sementara Franz mendekati manusia berkostum astronot palsu, ia ingin melihat bagaimana kondisi jasad. Franz menelan ludahnya, paman Arsya meninggal dengan mata yang terbuka, terlihat ada sayatan di leher korban, posisi jasad bersandar dengan sabuk pengaman terpasang dan masih duduk di kursi setir—matanya beralih pada kumpulan pihak berwenang yang mendokumentasikan jenazah yang satunya. Franz hanya bisa bungkam, terdapat pisau dapur masih menancap di kepala Valencia ada pecahan botol wine yang juga menancap di bagian dadanya—posisi jasadnya telentang dan tidak berjauhan dari jasad tersebut terdapat pula sebuah payung berwarna hitam yang masih terbuka di dekat jasad korban.

   Franz memberanikan dirinya untuk ikut masuk ke dalam rumah, di ruang keluarga dua orang yang juga berseragam astronot palsu membuka kantong jenazah, dua anak kembar berjenis kelamin perempuan—keduanya juga tewas, diduga tewas karena ditembak. Franz mengetatkan sarung lateks miliknya, ia mengambil senjata api itu dan memasukkannya ke kantong plastik untuk bukti. Franz merasa perasaannya teriris, siapa gerangan yang tega menghabisi nyawa keluarga paman Arsya.

  Gerombolan lalat sialan yang tadi menghinggap di jasad si kembar beterbangan saat kedua orang yang datang dari pihak forensik mengangkat salah satu jasad yang memang sudah dingin dan kaku, kedua jasad sikembar dimasukkan ke dalam kantong jenazah—Franz mengambil napas sedikit berat, ia mengambil kasur lantai berdarah itu, menggulungnya dan mengangkatnya untuk dibawa sebagai bukti kematian sikembar.

   Rencananya jasad-jasad itu akan menjalani otopsi, bahkan beberapa barang bukti juga akan menjalani proses penyidikan. Franz melepaskan sarung tangan lateks, ia kemudian menggumpalnya dan memasukkan sarung tangan itu ke dalam kantong celana—Franz melangkah pelan menuju tempat awal ia berdiri, di sana ada dua orang sedang duduk berhadapan.

"Kau yakin tidak tahu apa-apa soal kematian Tn. Arsya, anaknya dan istrinya? Kudengar dari beberapa penduduk desa, kau tinggal bersama keluarga korban, jadi, kemana kau saat insiden ini?" Rasmus menyorotkan matanya, membiarkan bola matanya masuk dalam netra Fernia.

Fernia yang duduk di seberang sana memainkan kedua tangannya, terlihat gemetar, wajahnya pucat. "Aku, tadi malam... aku tidak tidur di rumah ini, Tn. Rasmus." cetusnya—Fernia menunduk menghindari pandangan mata Rasmus yang menyorot netranya.

Rasmus lagi dan lagi menatap penuh selidik. "Lalu, dimana semalam kau tidur? Kau bukan dari desa inikan?" Rasmus mencoba masuk lebih dalam dalam pemeriksaan ini, ia harus mendapatkan banyak jawaban untuk wawancara pertama, orang pertama yang tersangka.

"Benar Tn. Rasmus, aku datang dari desa lain. Butuh angkutan umum untuk kembali ke desa Bavaria." jawab Fernia membetulkan terkaan Rasmus.

Fernia memainkan jari-jarinya, ia mendesah gusar. " kemarin sore aku berpamitan dengan mendiang Tn. Arsya, aku pulang ke desa ku, untuk menemui adik ku. Dia membutuhkan uang untuk iuran bulanan, aku baru saja datang ke desa ini pagi tadi sekitar pukul 06.30, dan langsung ke tempat kerja. Tapi," Fernia menelan ludahnya—tangannya semakin gemetar menjawab pertanyaan Rasmus yang mungkin membuatnya harus mempersiapkan banyak alibi. Sementara Rasmus membiarkan penanya mulai bergerak di atas kertas.

"Aku, ah, aku datang ke tempat kerja dan menemukan Tn. Arsya sudah tewas di dalam mobil, aku juga terkejut menemukan Nyonya Valencia meninggal di ambang pintu. Ini mengejutkan bahkan aku masih syok, tapi kau memaksa ku untuk membicarakan ini." Fernia sedikit menyinggung orang di hadapannya, Rasmus jadi serba salah. Rasmus mencatat apa yang dikatakan oleh Fernia.

"Baiklah, kau sudah banyak membantu, tapi kami masih memerlukan mu. Jadi, silahkan ikut kami ke kantor, banyak hal yang mau kami dapatkan dari informasi mu. Kau adalah asisten mereka, dan sudah tentu paling mengenal korban." ucap Rasmus, sembari menutup bukunya dan memasukkan ke dalam kantong bajunya.

    Franz melihat Fernia yang berjalan mengiringi langkah Rasmus dengan ekor matanya, Franz belum punya keyakinan untuk ikut menginterogasi Fernia—sialnya Franz masih serba salah, ia amat mengenal Fernia dan  bahkan Fernia itu kekasihnya. Lantas, apa yang bisa ia lakukan agar tidak menekan mental kekasihnya sendiri? Franz membuang napasnya kasar, ia memilih untuk masuk ke dalam mobilnya. Melepaskan topi bundar miliknya, kedua tangannya menempel pada setir—ia sedikit menekukkan wajahnya dan kemudian detik selanjutnya matanya melihat senjata api dalam kantong plastik—ia akan bekerjasama dengan pihak forensik untuk kasus ini. 

    Apakah Fernia yang akan menjadi salah satu narasumber yang mampu menghantarkan pada arus penyelesaian kasus kematian keluarga Arsya? Entahlah, berlaku atau tidaknya suatu opini yang menunjukkan kecurigaan Franz pada kekasihnya sendiri, naasnya apa tugasnya kali ini harus membuatnya lebih dekat dengan pacarnya, atau tepatnya hubungannya bisa saja kandas dalam semalam jika ia memaksakan untuk mempertanyakan perihal keadaan keluarga Arsya sebelum insiden pagi ini.

"Aku yakin wanita asisten rumah tangga itu menyembunyikan sesuatu." ucap polisi Rasmus sembari duduk di kursi sebelah setelah berhasil masuk ke dalam mobil Franz.

Franz menelan ludah, "Bagiamana kau bisa berspekulasi seperti itu? Kau baru saja bertemu dan wawancara pertama dengan Fernia." jawab Franz menanggapi.

"Aku tidak tahu kenapa aku amat curiga, padahal kau seorang detektif, dan detektif lebih berpengalaman dalam menentukan orang tersangka. Yang mana yang jujur dan yang mana hanya menuturkan alibi untuk melindungi diri mereka sendiri, jadi, kau belum bisa membaca gelagat dari wanita itu?" tanya Rasmus, matanya menghunus tajam ke arah mata Franz yang hanya mengangguk menanggapi perkataan Rasmus.

"Entahlah, kita lihat saja nanti." tangkas Franz sembari mengembuskan napasnya kasar, hal itu hanya ditanggapi seringai kecil oleh Rasmus.

________________

Selamat datang dicerita misteri

Nantikan chapter selanjutnya!

Hinterkaifeck; 01

  

    Franz mengaduk kopi hitam, matanya menerawang ke arah pekarangan rumah. Di sana ada adiknya yang sedang menjemur pakaian, mungkin seragam sekolahnya—Franz mengangkat gelasnya ia menghirup isinya sedikit, lagi dan lagi ia terpikirkan kasus yang baru saja datang kemarin, ah setidaknya ia hari ini bisa sedikit menginterogasi Fernia kendati rasanya mungkin akan campur aduk.

  Franz membenarkan posisi duduknya, ia mencari sedikit posisi yang nyaman untuk menyandarkan tubuhnya. Franz mengambil biskuit kering yang utuh terletak di atas piring kecil, Franz hanya menggigitnya sedikit. Matanya kemudian beralih lagi pada adik perempuannya yang tengah berjalan menuju pintu belakang, Franz mengalihkan pandangannya ketika adiknya yakni Frissca sudah datang dan meletakkan keranjang pakaian.

"Kau belum berangkat, apa tidak akan terlambat?" Frissca melemparkan pernyataan kepada Franz.

"Sebentar lagi." jawab Franz sekenanya, padahal sudah waktunya datang ke TKP dan mengadakan wawancara kedua pada Fernia.

"Ya, bagaimana dengan perkembangan kasus kemarin?" itu sebuah pertanyaan yang sering dituturkan Frissca jika Franz menangani sebuah kasus, sebelum kasus kematian keluarga Arsya.

"Hari ini ada wawancara dengan Fernia, dan entah kenapa aku merasa sulit melakukannya." Franz hanya terbuka jika saudara perempuannya.

Frissca tidak langsung menjawab, melainkan duduk di sebelah kanan Franz, menuang teh hangat dan meminumnya. "Apa karena Nona Fernia adalah kekasihmu? Jangan seperti itu, jika memang dia patut dicurigai kenapa harus sulit bagimu?" Frissca melemparkan dua pertanyaan yang mungkin akan membenarkan dari apa yang dirasakan Franz.

"Kenapa kau begitu? Bukankah harusnya kau mencari sebuah perkataan lain yang tidak terlalu menonjolkan jika memang ada sedikit rasa curiga ku padanya. Kau selalu mengatakannya secara terbuka, Frissca, aku kurang suka dengan sifat mu ini." entah apa yang membuat Franz tiba-tiba meninggikan suaranya, padahal apa yang dikatakan Frissca bisa saja benar.

Frissca menghela napasnya, ia meminum kembali teh miliknya yang tersisa separu. "Bukankah aku selalu seperti ini?" Frissca malah bertanya kembali dan pertanyaan itu direspons dengan anggukan kepala oleh Franz.

   Franz berdiri dari kursinya, tidak lupa memasang topi bundar miliknya yang selalu ia bawa setiap bertugas. Frissca melirik Franz yang pastinya akan berangkat untuk kerja, Frissca sedikit menahan Franz dengan menanyakan perihal sapu tangannya yang bermotif kotak-kotak, ia lupa meletakkan benda itu karena biasanya Franz lebih sering menyimpan barang Frissca ketika Frissca lupa untuk menyimpannya.

    Franz menggeleng, pasalnya ia memang tidak tahu menahu soal benda itu, lagi pula sejak kemarin ia tidak di rumah, jadi mana mungkin ia akan tahu. Frissca hanya mengangguk pasrah, sepertinya ia akan membeli yang baru dengan motif yang sama—padahal ia sangat menghargai dan menyayangi barang itu, sapu tangan motif kotak-kotak adalah pemberian mendiang Tante Valencia ketika si kembar tidak menyukai motif itu.

...***...

   "Kau membohongi kami, Fernia? Kau berbohong soal kepergian mu kembali ke tempat asal mu untuk memberikan uang iuran bulanan adik mu?" Rasmus menyorotkan padangan matanya yang terlihat mengkilat di bawah sorot cahaya lampu ruang interview investigasi.

Fernia tidak mengangkat kepalanya, seolah tidak ada yang perlu dikejutkan ketika Rasmus menyimpulkan asumsinya. "Bagaimana kau yakin? Apa kau sudah menghubungi keluarga ku dalam kurun waktu semalam?" postur tubuh Fernia tidak berubah apa-apa, nada bicaranya juga tetap sama seperti kemarin.

Rasmus mendengus, ia mengaitkan kedua tangannya dan menyimpannya di bawah paha. "Kami sudah menghubungi keluarga mu dan telepon kami tidak direspons baik, lalu kami datang ke desa mu dan bertanya kepada penduduk desa alamat rumahmu. Tapi, keluarga mu tidak berada di rumah. Apakah kau meneleponnya dan menyuruhnya pergi dari rumah untuk menyembunyikan alibi mu?" kini Fernia berani mengangkat kepalanya, matanya ikut menembus ke dalam pupil Rasmus.

"Bagaimana kalau ku jawab iya? Semisal ku jawab tidak maka sudah bisa ditebak kau juga tidak akan percaya, bukan begitu Tn. Rasmus?" nada bicara Fernia masih sama, mungkin itu ciri khasnya.

Rasmus sedikit melirik kedua tangan yang bertaut milik Fernia di bawah sana, rupanya tangan gemetar seperti kemarin juga. Tapi kenapa ekspresinya selalu terlihat begitu tenang, Rasmus menghempaskan napasnya dengan kasar ia terlihat menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kalau kau menjawab 'iya' maka aku punya pertanyaan yang lebih menarik, begini saja Nona Fernia. Jika kau berkata jujur maka kasus ini akan segera selesai, dan dirimu akan terlepas dari seretan rasa curiga kami."

Fernia kembali menunduk kemudian ia mengambil segelas air yang tadi diberikan oleh Rasmus saat awal kali ia masuk ke dalam ruangan ini, Fernia meneguk air itu—dan ia kembali mengangkat kepalanya. "Aku hanya meminta Ibu ku pergi ke rumah sakit menemani Ayahku yang sakit, jadi apa aku salah jika aku menyuruhnya pergi? Bahkan tentang telepon itu, aku tidak tahu jika kalian menghubungi Ibu ku."

"Ayahmu sakit? Apa yang dideritanya?" sepintas pertanyaan Rasmus seperti jebakan yang tiba-tiba mengenai tikus tanpa sepengetahuannya.

"Lupus, Dokternya memvonisnya begitu." jawab Fernia ala kadarnya, Rasmus kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya, aku memahami itu. Jadi, apa kau akan berkata iya jika ku berikan satu pertanyaan menarik ini?" Rasmus mengembalikan topik pembicaraan yang sudah liar dalam isian kepalanya.

Fernia mengangguk ragu. "Tergantung apa pertanyaan itu." jawabnya.

"Apa yang terjadi pada keluarga Arsya sebelum insiden kemarin?" tanya Rasmus penuh selidik untuk mendapatkan sedikit informasi yang mungkin akan amat penting.

Fernia bungkam, ia menyelipkan anak rambutnya pada belakang telinga. "Dua hari sebelum insiden kemarin, Tn. Arsya kedatangan tamu, aku tidak tahu siapa tamu itu. Aku tidak mengantarkan kudapan untuk mereka melainkan Nyonya Valencia sendiri, sehingga aku tidak tahu siapa yang bertamu," jawab Fernia, dan Rasmus mulai menggerakkan penanya.

Fernia menelan salivanya, "Samar-samar percakapan mereka kudengar, suara Tn. Arsya sedikit meninggi ketika tamunya meminta sesuatu yang mungkin memberatkan diri Tn. Arsya sendiri." Fernia mengakhiri ucapannya.

"Apa kau mendengar, atau kau tahu permintaan apa yang dikemukakan tamunya saat itu?" pertanyaan Rasmus seolah memperdalamnya dan menekan sedikit mental Fernia.

"Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin saja Tn. Arsya dan tamunya beradu mulut karena masalah pinjaman uang dari pihak tamunya itu." Rasmus hanya mengangguk memahami tapi tidak luput tangannya menulis semua perkataan Fernia.

  Rasmus mengakhiri wawancara itu, ia membiarkan Fernia sementara beristirahat di ruang investigasi itu. Rasmus meraih ponsel kantor yang berdering, ia menempelkannya pada telinga. Mendengarkan orang yang telah menghubunginya—Rasmus mengangkat sebelah alisnya, ia kemudian bergegas keluar dari kantor menuju parkiran dimana ia bisa menemukan mobilnya. Rasmus menghidupkan mesin dan menjalankan mobilnya menuju tempat kejadian, Franz baru saja mengabarinya jika ada bukti baru yang ditemukan di pintu belakang rumah keluarga Arsya.

  Franz berusaha mengenali milik siapa gerangan sepatu bot kebun yang tertinggal di pintu belakang. Sepatu bot kebun itu berwarna hitam, jika dilihat lebih detail bagian bawah sepatu itu kotor, seperti tanah khas kebun yang menempel pada bawah sepatu. Franz berusaha mengingat kembali malam sebelum jasad keluarga Arsya ditemukan, kemungkinan malam itu gerimis, jika diasumsikan pelaku menghabisi korban di saat hujan turun.

  Franz mengetatkan sarung lateks, ia mencari nomor ukuran sepatu bot kebun itu, meski sedikit sulit karena tertutup oleh tanah yang sudah kering. Franz mencoba memastikan, tanah itu benar dari kebun atau justru dari peternakan—Franz mengambil sedikit tanah kering itu ia kemudian mencium tanahnya, Franz diam sebentar sebelum ia bisa menyimpulkan sendiri hasil dari bau itu.

  Franz meletakkan kembali tanah yang ia pegang, kemudian matanya menangkap Rasmus yang sedang datang menghampiri dirinya, Franz langsung menyapa kemudian menunjukkan sepatu bot kebun itu. Rasmus memperhatikan benda itu, beberapa kali ia melihat dengan rinci dari bagian luar hingga membolak-balikkan benda itu untuk mencari ukuran sepatu.

"Sepertinya pelaku datang dari kebun, apa Paman mu ini punya rekan kerjanya dibidang perkebunan?" Rasmus melemparkan pertanyaan setelah berhasil menentukan bau tanahnya.

"Ya, dia punya beberapa orang yang mengurus perkebunan itu. Ah ya, bagaimana dengan Fernia? Kau sudah mendapatkan jawaban yang bisa membantu kita?" Franz menoleh sedikit ke arah lawan bicaranya yang sedang membungkuk.

"Fernia, dia kekasihmu? Dia tidak banyak membantu, dia bilang dua hari sebelum insiden, Tn. Arsya kedatangan tamu, sayang sekali dia tidak tahu tamu itu. Sebenarnya aku sedikit menaruh curiga terhadap kekasihmu." tangkas Rasmus, tubuhnya yang semula menunduk kini sudah berpindah melangkah dengan posisi tangannya di belakang punggung.

Franz mengiringi langkah Rasmus dari belakang, ia terlihat membenarkan topi bundar miliknya. "Apakah sekarang harus aku yang mencoba berbicara dengannya? Omong-omong dari segi mana kau mencurigainya?" dua tembakan pertanyaan, Rasmus berhenti melangkah, ia mengayun-ayunkan kedua tangannya.

"Dari cara berbicaranya dan gerak-gerik Fernia, dia selalu menunduk dengan kedua tangannya gemetar di atas paha. Kurasa akan lebih mudah jika kau coba berbicara dengannya, karena kaliankan saling mengenal jadi tidak mungkin gadis itu harus menundukkan kepalanya padamu." masuk akal juga yang dikatakan oleh Rasmus.

Franz mengangguk mengiyakan. "Akan kucoba malam ini, aku harus pergi membawa senjata api dan sepatu bot itu ke pihak forensik, mereka pasti akan menganalisis." ucap Franz, yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Rasmus.

...***...

     Franz singgah sebentar ke rumahnya, ia memarkir mobilnya di pekarangan rumah kemudian bergegas masuk untuk mengambil bukti barang yang sudah ia dapatkan saat pertama kali jasad itu ditemukan. Franz menyipitkan matanya saat ia melihat pintu kamarnya telah terbuka—Franz bergegas mendatangi hal itu, franz mengerutkan keningnya saat melihat siapa yang berada di dalam kamarnya.

"Oh Dad, apa yang kau cari?" tanya Franz tiba-tiba saat dirinya sudah berhasil berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri.

Orang yang selaku dipanggil langsung menghentikan aktivitasnya, berbalik kaku dengan ekspresi wajah yang panik bercampur kebingungan. "Adik mu kehilangan sapu tangannya, aku mencoba membantunya, biasanya kau yang sering menyimpan barang milik Frissca." ucap Aaric Gruber selaku Ayah dari Franz.

"Aku juga tahu itu Dad, baiklah aku akan mencoba mencarikan miliknya nanti. Aku harus istirahat sebentar." jawab Franz, sembari masuk ke dalam kamarnya dan membiarkan Aaric berjalan keluar kamarnya.

"Maaf, aku tidak izin padamu terlebih dahulu soal masuk ke dalam kamarmu, rupanya Dad mu ini lupa akan privasi anaknya." ada sela tawa yang garing datang dari Aaric saat hendak menutup pintu kamar Franz, dan Franz sendiri hanya mengangguk sembari tersenyum miring.

   Franz melepaskan kancing tangan kemejanya, kemudian mengambil sebotol air mineral di kulkas kecil di dalam kamarnya, ia meminumnya sebentar. Kemudian matanya tak sengaja tertuju pada laci meja kerjanya, ia langsung menghampiri dan mengecek barang bukti yang kemarin ia temukan, alis kirinya mulai tertarik—isi laci mejanya berantakan Franz menyipitkan matanya ia menggeledah bagian bawah dimana benda bukti itu ia tutupi dengan kertas berkas perkara.

  Franz menghempaskan napasnya dengan kasar, senjata api itu masih ada dalam posisi yang sama. Ia hanya takut jika Aaric selaku Dad-nya mengambil dan menyimpan benda itu. Ironisnya Dad-nya memang suka mengoleksi, ya, biasanya digunakan untuk berburu atau hiasan dinding di kamarnya—Franz melangkah mengarah lemari pakaian lalu mengambil kaos hitam lengan panjang, ia bahkan tidak luput untuk menyemprotkan parfum pada area leher dan dadanya yang atletis.

  Setelah selesai berpakaian, Franz langsung memasang topi bundar kesayangannya, ia bahkan mengambil ransel baru untuk dibawa bekerja. Rutenya kali ini pergi ke kantor forensik kemudian ikut mewawancarai Fernia, Franz memasukkan senjata api terbungkus plastik itu ke dalam tas tidak lupa dengan pulpen dan juga catatan saku. Franz mengambil kunci mobil, ia mengunci kamarnya dan bergegas menaiki mobil dan menghidupkan mesin.

   Di perjalanan, Franz memutar lagu lawas milik Lilian Russell—seorang penyanyi dari Amerika serikat, ia memang sangat menyukai setiap alunan melodi. Bahkan Franz sering sekali mendengarkan lagu opera dengan suaranya yang sama sekali tidak ada bagusnya. Tapi Fernia bilang, bila memang menyanyi adalah kesenangannya, maka tidak buruk bagi diri Franz sendiri—entahlah, bagaimana pendapat orang lain saat mendengar suaranya. Franz tidak mempermasalahkan itu, ia hanya merasa senang dan waras saja saat mendengar musik.

  Franz mematikan lagu itu, ia keluar mobil sembari membawa barang bukti itu sekaligus dengan sepatu bot kebun yang baru saja ditemukan. Franz memelankan langkah kakinya saat memasuki lift untuk mendatangi tempat kerja Wilona—Franz menekan tombol lantai, dan lift mulai bergerak naik dari lantai dasar. Franz merapikan sedikit rambutnya yang berantakan, lift berhenti sesuai lantai yang dituju Franz.

Ia mulai mengetuk pintu sebelum masuk, "Boleh aku masuk?" tanya Franz dari luar. Orang yang berada di dalam langsung mengiyakan.

"Kau sudah membawa bukti yang kau maksud untuk dianalisis?" tanya Wilona sembari berbalik kendati masih duduk di kursi putarnya.

"Tentu saja." respons Franz singkat, menyerahkan dua benda yang terbungkus plastik.

Wilona memasang sarung tangan lateks, kemudian ia menating dua benda itu perlahan-lahan. "Kami butuh waktu untuk pengerjaan analisis seperti ini, mungkin sekitar satu minggu hasil akan keluar." ucap Wilona memberitahu Franz soal waktu pengerjaan mereka dalam menganalisis dua benda yang dianggap sebagai bukti kematian satu keluarga.

Franz berbalik badan hendak permisi dari ruang kerja Wilona. "Ya aku tahu soal itu, lebih baik cepat bawa ke laboratorium dan segera mengerjakannya. Kabari jika sudah selesai." Wilona hanya mengangguk dan tersenyum sementara Franz sudah menyentuh ganggang pintu untuk segera enyah dari tempat ini.

  Franz baru saja masuk ke dalam mobil, sekarang baru saja sekitar pukul 18.12 dan sekitar pukul delapan malam nanti ia akan mengadakan wawancara dengan Fernia. Sosok Franz melepaskan topi bundar dan menghidupkan mesin, lampu mobilnya menyorot dinding parkiran yang catnya sudah terkikis—ia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan bangunan tua.

––––––––––––––––

 

Hinterkaifeck; 02

 

    Malam ini udaranya sedikit dingin, seperti yang sudah dikatakan oleh Rasmus, Franz akan mewawancarai Fernia malam ini. Pertanyaan kali ini akan sedikit menekan, pasalnya Rasmus bilang Fernia berbohong soal kepergiannya ke desa tempat asalnya—karena saat tim Rasmus pergi ke tempat tinggal orang tua Fernia, tim Rasmus menyempatkan diri untuk menanyakan tentang kebenaran apakah Fernia pulang ke desa ini sehari sebelum penemuan jasad satu keluarga. Seperti yang tim Rasmus dapatkan, narasumber yang diwawancarai mengatakan jika Fernia tidak pernah kembali ke desa—apalagi untuk urusan uang.

  Franz mengetuk pelan pintu ruang interview investigasi, ia sedikit melirik kamera kecil di atas kantong kanan kemejanya. Franz kemudian beralih menatap kuat ke arah kekasihnya yang sekarang berstatus sebagai orang terduga pertama—mata Fernia menitik beratkan pada tatapan yang tiba-tiba berubah sayu dan teduh yang tengah berdiri di hadapannya. Franz mengubah ekspresinya, seperti biasanya ketika ia bertemu dan mengajak makan malam bersama.

"Bagaimana kabarmu? Aku tahu ini pasti sangat menekan keadaan mu. Tapi sekarang, waktu terus berjalan dan menahan mu untuk di sini." Franz membuka awalan yang tidak tegang seperti Rasmus, setidaknya Fernia sedikit merasa nyaman dengan wawancara kali ini.

"Aku, seperti yang kau lihat Franz. Aku selalu seperti ini, tidak baik dan tidak buruk. Apa yag kurasakan memang sulit tapi aku hanya terus berpikir, kenapa waktu hanya bertaut padaku?" seperti biasanya, Fernia akan membuat lawan bicaranya merasa nyaman lalu merancang alibi yang lugas dipikiran lawan bicaranya itu. Konsepnya bagus juga, tapi seorang Detektif tidak mungkin bisa ditipu dari segi nada bicara dan ekspresi.

"Kadang kala waktu tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, mereka akan membuktikan sendiri dan memperlihatkannya satu per satu. Seperti puzzle dan papanya, yang sering kau susun setiap sore, kau dalam teka teki itu Fernia," Franz menelan ludahnya, ia memperhatikan lawan bicaranya yang menatap bola matanya tajam.

Franz mengambil napasnya lagi lalu, membuka suaranya. "Dalam hal menerka waktu, kejujuran adalah prioritasnya, jika ingin terlepas dari apa yang kau rasakan maka jujur itulah urusan utamanya. Jangan banyak menunda, ya, aku tahu jujur itu berisiko dan menyakitkan tapi hal itu akan membawaku atau bahkan dirimu sendiri ketahap yang baik atau buruk sekali pun." franz kembali menelan air ludahnya.

"Bagaimana jika tidak ada akhiran yang baik atau pun buruk dari kata jujur itu? Perihal apa yang ingin kau ketahui? Kita hanya punya dua pilihan yang rumit Franz, jujur memang berisiko—jika dari jujur ku menitikberatkan beban baru dipikiran mu, apa kau siap untuk risiko besar itu?" Fernia meletakkan kedua tangannya ke atas meja, ia terlihat duduk tenang sambil bersandar, Franz berusaha keras memahami perkataan Fernia tadi.

"Katakan padaku Fernia, apa kau benar-benar pergi kembali ke desa mu selama kau izin tidak bekerja? Hampir setiap bulan kau pergi, dan kau selalu beralasan pergi menjenguk Ayah mu yang sakit. Apa kami bisa mempercayai itu? Tim Tn. Rasmus mendapatkan informasi dari salah satu narasumber, tetangga orang tuamu, kau tak pernah pulang lagi selama ini. Jadi apa? Kemana kau pergi selama ini? Kau tidak hanya membohongi ku, kau juga membohongi Tn. Arsya." suara Franz berubah lebih tegas, penuh penekanan dan sorot mata yang tajam menatap mata Fernia.

Fernia berdecih, "Tadi sudah ku bilang bukan? Jujur ku akan menyakitkan dan menambah beban pikiran mu." jawab Fernia dengan mudahnya.

Franz mengembuskan napasnya kasar. "Fernia, dengar! Aku berusaha membantumu untuk bisa secepatnya keluar dari status terduga, tapi jika kau seolah menyembunyikan sesuatu maka hal itu akan membuat mu tertekan." Franz memelankan suaranya.

Fernia mendekatkan wajahnya, "Jika aku mengatakan ini apakah kau siap tersakiti, Franz? Bagaimana jika selama ini aku punya kekasih selain dirimu? Kekasih yang bahkan bisa saja orang terdekat mu? Bagaimana jika selama ini ternyata aku sering melakukan hubungan badan dengannya?" tubuh Franz yang duduk tegak rubuh begitu saja, bahunya yang tegas turun perlahan, sesuatu telah membombardir bongkahan perasaan miliknya—darahnya seolah berdesir dan puncak emosionalnya berada pada titik kepala serta kedua tangannya yang mengepal.

  Franz menggeram, tangannya mengepal, memukul meja kayu. Matanya semakin menyorot lawan bicara, yang ditatap bersikap biasa saja—ini adalah kali pertamanya Franz menemukan sifat asli Fernia, wanita yang ia anggap baik dan jujur serta peduli dengan keluarga ternyata tidak semestinya wanita yang ia tahu, rupanya ia telah tertipu oleh tatapan yang teduh—wajah sok polos itu membutakan mata Franz.

  Franz memilih untuk beranjak dari tempat itu, ia dengan kasar menutup pintu ruangan itu. Rasmus membuang napasnya berat, Rasmus menggaruk kepalanya yang tidak gatal—matanya menerawang ke arah ekspresi wajah Franz yang sedang kecewa berat. Franz menutup tirai penutup jendela ruang interview kemudian melangkah mendekati Franz yang tengah duduk dengan bahu yang turun naik karena napasnya menderu—bahkan bisa ditebak detak jantungnya berpacu lebih cepat dari hari biasanya.

"Investigasi kita lanjutkan besok, begitulah anak muda, terkadang cinta tidak selamanya bersemi. Malam ini kita tidak mendapatkan informasi penting, tapi menemukan Detektif tampan kita larut dalam kekecewaan." ucap Rasmus sembari menepuk pundak Franz dan berlalu pergi membiarkan Franz masih dalam posisi yang sama.

"Ku tunggu sampai hatimu benar-benar tenang, jika kau berkenan kita makan malam bersama." Rasmus mengeraskan suaranya saat tangan kanannya sudah memegang gagang pintu untuk pergi ke ruang utama.

  Franz serba salah, ia meninju lantai lebih dari enam kali, emosinya terus memuncak ketika telinganya berdengung dan terngiang dengan perkataan Fernia. Punggung tangan kanannya berdarah karena luka lecet akibat tamparannya pada lantai, Franz berteriak keras—menghasilkan gema yang memantul dua kali. Franz seperti seseorang yang frustrasi, ia memegang kepalanya kokoh mencoba menstabilkan emosinya.

"Fernia!" panggilan yang keras dan penuh emosi keluar dari mulut Franz.

"Kau memintaku jujur Franz, tapi kau sendiri yang tersakiti, kau yang memulainya tapi kenapa kau yang seolah paling terluka?" suara di dalam sana terdengar lebih enteng dan bisa didengar dengan baik oleh kedua telinga Franz.

"Kau tidak mengerti Fee! Aku hanya membantumu keluar dari penekanan ini, tapi kenapa kau membalas niat baik ku dengan menyatakan jika kau selingkuh dariku! Apa artinya aku bertahan dan bahkan meluangkan sedikit waktu ku untuk sekadar menemui mu? Siapa pria itu? Siapa Fernia!" Franz mengertak, entah sekarang Fernia beranggapan seperti apa pada dirinya, pada dasarnya ia memang benar-benar terluka. Orang yang telah ia percayai setelah keluarganya kini berubah menjadi orang yang paling ia benci.

  Tidak lagi ada jawaban dari dalam sana, Franz menahan tangisnya, ia meneriaki nama Fernia untuk kedua kalinya setelah tidak ada jawaban lagi. Franz sedikit mampu mengurangi rasa emosinya, ia berdiri tegap—kepalan tangannya berangsur-angsur melemah, kedua telinga Franz jelas mendengar kursi jatuh berdebum—Franz bergegas melangkah menuju ruang interview ia hendak memeriksa ke dalam sana, suara Fernia tidak terdengar lagi.

  Franz membuka pintu, kini matanya menyorot ke arah kursi yang sudah tergeletak miring, lantai yang basah dan air liur yang menetes di bagian dagu. Franz memijat kepalanya—jasad Fernia tergantung dengan seutas kabel, bisa diperkirakan Fernia baru saja menghabisi nyawanya sekitar lima belas menit—waktu kematian cukup cepat. Franz yang berwajah pucat berlari mencari keberadaan Rasmus yang mungkin belum pulang—Franz berhasil berdiri tepat di hadapan Rasmus yang duduk menikmati secangkir kopi hitam.

"Tn. Rasmus, Fernia tewas." ucap Franz, Rasmus terperanjat, ia melihat ke arah tubuh Franz yang berdiri kikuk di hadapannya—wajah pucat Franz, peluh dingin yang turun dari pelipisnya hingga bergulir ke bawah dagu serta punggung tangan kanan Franz yang berdarah.

"Apa yang kau lakukan padanya Franz? Oh Tuhan!" pekik Rasmus melangkah dengan cepat menuju ruang interview, diiringi oleh Franz yang kini berada pada posisi keterkejutan serta gemetar.

  Rasmus menepuk jidatnya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya masih menyorot jasad Fernia yang masih tergantung dengan bantuan kabel. Rasmus memeriksa jam tangan yang terpasang di lengan kirinya, sekarang sudah pukul 22.20 Rasmus menelepon timnya untuk datang ke kantor dan mengevakuasi jasad Fernia malam ini juga.

...***...

Sekitar pukul 11.20

  Detektif yang dielu-elukan sebagai Detektif pintar, sopan dan cerdas, Detektif muda yang tampan dan hebat dalam menangani kasus kini telah berubah status menjadi terduga atas kematian Fernia. Tadi malam, jasad Fernia telah dibawa ke salah satu rumah sakit forensik—sementara Franz ditahan oleh Polisi untuk investigasi atas kematian Fernia.

  Franz menunduk, melihat selembaran kertas yang diberikan Dokter Wilona, rekan kerjanya selama ini datang menemuinya hanya untuk memperlihatkan hasil pemeriksaan jasad Fernia. Franz mengambil selembaran itu, ia menunduk sambil membaca isinya—Franz melipat kembali kertas itu. Kini kekecewaan yang ia rasakan memang semakin besar dan masuk dalam relung yang terdalam.

"Banyak pihak mencurigai jika kau memukul punggung belakang korban, sekarang hanya tinggal pengakuan mu Franz." Wilona sengaja berbicara dengan pelan kepada Franz yang sekarang duduk dengan wajah yang menunduk.

"Tidak ada yang menyakitinya Wilona, aku hanya berbicara padanya dan dia menjawab apa yang kutanyakan. Aku kembali bertanya padanya tapi tidak lagi ada jawaban darinya." jawab Franz jujur, matanya yang teduh menatap Wilona di seberang sana.

"Jika tidak ada kekerasan, lalu siapa yang memukul punggungnya? Ada luka lebam di punggung belakangnya, bekas tinjuan keras. Lalu, bagaimana dengan luka lecet di punggung tangan dan jarimu?" tanya Wilona penuh selidik, matanya berhasil melihat ke arah tangan kanan Franz yang terluka.

"Aku meninju lantai, untuk menahan emosi. Apa hanya karena ini kalian mengasumsikan aku membunuhnya? Aku ini kekasihnya, aku berpendidikan tinggi! Tidak mungkin mencelakai orang lain." tangkas Franz, suaranya sedikit meninggi dengan posisi tubuh yang masih stabil.

"Masalahnya Tn. Rasmus mengatakan jika kau dan korban bertengkar, apa dengan mengatasnamakan cinta dan pendidikan tidak mungkin bisa mencelakai orang lain? Franz dengar, aku tidak mau berurusan dengan rekan kerja, tapi jika kau tak mau mengatakannya secara blak-blakan maka kasus ini akan menjadi beban berat kita." Wilona mengatur volume suaranya, terdengar nyaring dan ada penekanan kata pada kalimat akhirnya.

Franz berdecih kesal, "AKU TIDAK MEMBUNUHNYA WIL!" bentak Franz, tangan kanannya yang terluka refleks memukul meja.

"Kenapa harus mencari informasi jika kalian sudah menemukan fakta? Fernia gantung diri Wil, gantung diri! Aku hanya mengajaknya bicara kenapa dia tega menyelingkuhi ku lalu aku masuk dan sudah menemukan Fernia tewas." Franz berusaha membela dirinya, karena ia memang tidak bersalah.

Wilona membenarkan anak rambutnya yang terjuntai, "Kami sudah mencoba mencari sidik jari yang ada pada  benda yang digunakan Fernia, tapi kami gagal, kemungkinan sidik jari itu hilang karena suhu udara ruangan itu. Kabel itu baru saja kami ambil pagi tadi dan kami membawanya ke laboratorium tapi sidik jari itu tidak ditemukan," Wilona mencoba menjelaskan runtut kegiatan mereka.

"Kau tahu sendiri kan Franz? Sidik jari hanya bertahan sekitar lima sampai enam jam, dan yah, ini ku akui—ini kesalahan kami karena lambat mengambil alat bantu bunuh diri itu." Franz hanya bisa menunduk, ia tidak lagi menatap lawan bicaranya seperti sedia kala.

"Apabila sidik jari di kabel itu tidak ditemukan, apakah aku akan menjadi orang yang masih berstatus terduga? Sudah jelas kukatakan padamu Wil, dia gantung diri dan aku hanya datang menghampirinya sesaat aku mendengar suara benda jatuh." jawab Franz kembali membela dirinya sendiri, ia tetap pada posisi awal.

"Keputusan ada ditangan Tn. Rasmus, bukannya aku ingin membuat mu menderita Franz. Tapi masalahnya, beberapa pihak punya pemikiran mereka sendiri, kau diduga memukuli Fernia kemudian kau mengantungnya dengan kabel. Karena beberapa pihak berpikir, kemungkinan kau membunuhnya lantaran merasa begitu kecewa ketika kekasihmu selingkuh dan berhubungan **** dengan pasangan selain dirimu. Kronologi mereka cukup lugas Franz." aneh sekali, sudah jelas tidak membunuh Fernia, beberapa orang telah salah paham.

"Kapan aku boleh bersaksi? Aku harus mengutarakan perkara yang sebenarnya pada Tn. Rasmus, aku tidak memukul bahkan membunuhnya Wil." Wilona paham apa yang sedang Franz rasakan, tapi dirinya sendiri bahkan tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kita sudahi saja Franz." ucap Wilona sembari berdiri, membiarkan Franz duduk di dalam sel tahanan.

  Wilona mengacak rambutnya yang panjang, ia beberapa kali mengembuskan napasnya yang memburu. Pikirannya terus saja melayang-layang, ingatan tentang jasad Fernia yang tadi malam telah dilakukan pemeriksaan. Wilona duduk di dalam mobilnya, mengambil gambar hitam putih, mencoba melihat barang dua detik hasil jepretan lokasi kejadian—Wilona mengerutkan keningnya, mencoba mencari kata-kata yang bagus untuk dilogikakan.

  Mata Wilona lekat melihat foto yang ada di tangannya, kursi yang jatuh dengan posisi miring, kabel yang menggantung di kawat atap-atap ruangan interview. Cairan berbau pesing yang membasahi lantai. Wilona memijat kepalanya, ia mengambil foto yang diambil lebih jelas pada jasad Fernia—air liur Fernia belum mengering, air liur itu masih basah di bagian dagu. Kematiannya bisa diperkirakan lima belas menit sebelum ditemukan.

"Jadi, kira-kira berapa lama Tn. Rasmus meninggalkan Franz sendiri di luar ruangan interview? Lalu dimana Fernia mendapatkan kabel itu?"

–––––––––––

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!