NovelToon NovelToon

The Childish And The Beast

Prolog

Cangkir teh yang indah itu bersinggah di tempatnya. Bekas pudar lipstick di ujungnya tidak dapat dihindari.

Wanita ini masih saja memandang buku-buku penuh goresan pensil. Ia menaikkan lagi kacamata yang ingin jatuh. Sekeras apapun, ia tidak mendapatkan apa-apa untuk dikembangkan di lembar baru.

Pelayan mendekati wanita itu dengan membawa sepiring cake, “Ini Blackforest-nya, kak.”

“Terima kasih,” sang Wanita menutup bukunya.

Wanita itu mengambil garpu di samping piring. Memotong kecil dan menyantapnya dengan anggun bermartabat. Coklat di berbagai sudut meleleh di mulutnya. Dirinya mengecap sosok sendiri sebagai bukan pecinta makanan manis. Namun, sepotong desert ini sudah terbiasa melewati tenggorokannya.

Sekali lagi wanita ini diserang kerinduan.

Dia meletakkan kembali garpu itu. Menerpa rambut sebahu yang menggelitik lehernya. Kacamata itu menunjukkan bahwa ia melihat ke luar dinding kaca. Hari ini pun cerah tapi tak ada yang bisa dikerjakan, pikir sang Wanita.

Memang hari ini awan sedang gencar-gencarnya untuk bergerak. Taman kota, yang terkenal akan penataan pepohonan dan toko-toko, memang menarik amat banyak wisatawan. Penuh sudah titik-titik taman ditempati mereka.

Bukannya ini minggu yang menyenangkan?

Wanita di dalam pikirannya, lagi dan lagi terulang kata yang tidak indah hati.

“Laki-laki, selalu saja...,” ia menggumam kesal.

Jelas kesal. Ia sudah menyiapkan diri dengan dandanan yang tak biasa dikenakan. Yang didapat kali ini membuatnya menurunkan poin sekali lagi untuk para pria. Kalau bukan ‘dia’ yang meminta, pasti sang wanita bisa langsung menolak.

Ponsel sang wanita tiba-tiba berdering di balik shopper bag putih. Wanita ini tahu suara yang ditangkapnya adalah tanda pesan masuk. Disentuh-sentuhnya layar itu ke sebuah aplikasi.

Saat itu juga senyum sang wanita merekah.

Akhirnya ia bisa melepas kerinduannya itu.

#1 Impresi Sepasang

Adira memandang lagi hasil desain itu. Gedung serba bisa itu tampak sangat megah dan unik dengan 360 derajat pemandangan mengelilinginya. Hal seperti ini memang sangat menarik perhatian bila diletakkan di tengah taman. Namun Adira tampak tak puas.

Tangan wanita ini mengetuk-ketuk pulpennya di meja, “Saya kira kalian semua bergabung dengan mengenal baik karakter Pancarona. Kalau seperti ini, sama saja seperti kalian bukan bekerja atas nama kami.”

Suasana mencekam menyelimuti. Mereka tahu kalau ide ini kurang memuaskan beliau yang berideologi kuat. Tak sedikit dari mereka mengasihani dirinya sendiri yang tidak menentang atau memberi masukan lain.

Wanita ini mengambil tatapan setiap orang di dalam ruangan. Memperhatikan keringat mereka yang meluncur samar-samar. Tidak ada harapan lagi untuk keadaan ini.

Presenter yang berdiri di depan laptopnya menundukkan kepala, “Maaf, bu.”

“Kenapa anda minta maaf? Anda masih perlu memperbaiki apa yang anda ubah,” Adira memperbaiki posisi kacamatanya.

Pusing melanda pikiran Adira. Ia tidak menyangka akan mendapati pegawainya akan mengacaukan tugas mereka lebih dari sebelumnya. Bodohnya lagi, sekarang mereka bersikap layaknya patung tanpa jalan keluar.

“Jalankan saja dulu ide Daffa,” Adira menunjuk ke arah asistennya, “Kita lanjutkan sore ini. Jangan lupa bersiap untuk Bank Taruna.”

Rapat pun diselesaikan begitu saja. Para peserta rapat itu masih berdiri di depan kursinya. Menunggu sang atasan untuk pergi terlebih dahulu. Dengan sepatu low heels-nya, Adira melangkah pergi melewati pintu.

Kehampaan udara di ruangan itu akhirnya bisa terisi kembali.

Pegawai itu menarik nafasnya, “Lagi-lagi dimarahi.”

“Mau bagaimana lagi? Bu Adira memang begitu,” temannya menanggapi.

“Kalau cewek cantik yang marahi sih aku masih suka.”

Pria lain menjawab, “Ya sih. Bu Adira sudah kasar, tidak enak dilihat lagi.”

Tawa memenuhi ruang rapat yang sudah saatnya diistirahatkan itu.

...◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇ ◈ ◇...

“Hmm?” seorang wanita berseragam merah maroon menemukan tanda lantai basah yang bersandar di samping pot tanaman, “Kenapa ada disini?” beliau membawanya dan berencana mengembalikannya ke tempat seharusnya.

Merah maroon lainnya sedang disibukkan dengan spot kotor di samping kiri lift. Alat pembersih berupa pel menyertai tangan sang pria bernama Nanda. Senandung pelan dari hati Nanda membuatnya senang melakukan apapun meski tidak ia suka. Diajaknya menari ujung pel itu sampai noda-noda tidak tersisa.

“Selesai~” Nanda tampak bangga dengan hasil kerja kerasnya.

Langkah selanjutnya, meletakkan tanda lantai basah yang khas dengan warna kuningnya. Pria tampan satu ini membawa pel dan embernya mendekati sudut pot tanaman di dekatnya.

“Lah?” Nanda mendapati dirinya tak menemukan benda yang dia cari.

Ia berpikir dan mengingat-ingat. Apa dia belum mengambil tanda itu dari janitor? Sepertinya dia harus mengambilnya lagi. Ditinggalkannya pel itu. Cepat langkahnya mengambil kaki seribu menuju ruang penyimpanan.

Di sela perginya Nanda, pintu lift terbuka.

Tampak Adira bersama sekretaris dan satu lagi pegawainya hendak keluar dari tumpangan vertikal tersebut. Mereka siap menuju ke rapat berikutnya bersama produsen dari luar perusahaan. Low heels Adira kembali mengambil langkah selagi memeriksa beberapa berkas.

“Kalau yang ini berkas untuk persiapan ke lapangan,” pegawai wanita ini berdiskusi kecil tentang persiapan rapat, “Lalu daftarnya sudah kami perbaiki⏤Iiii!!”

BRUK!

Sang sekretaris tampak panik berusaha membantunya, “Anda tidak papa?”

Kebingungan Adira dibuatnya sampai perlu menghentikan langkah cekatannya. Ia memperhatikan apa yang terjadi dengan sang wanita yang tiba-tiba terduduk itu. Ia menyadari lantai yang ia jejaki. Lantai yang licin adalah masalah yang terlintas.

“Wah! Maaf!!” Nanda tiba-tiba berlari kecil mendekat.

Pria berseragam dengan membawa tanda lantai basah. Wajah pria itu tertangkap di ingatan Adira sebagai pelaku. Office boy satu ini tidak pernah dikenali oleh Adira. Pekerja baru kah?

Ikut Nanda membantu pegawai tadi berdiri, “Bu, baik?”

Karyawan wanita itu akhirnya bisa berdiri dengan kedua kakinya. Namun, ia menemukan roknya yang basah.

Bagaimana pegawai Adira satu ini bisa menemui perwakilan pihak luar dengan penampilan kusut seperti itu? Adira tidak mungkin mengizinkannya dan memalukan diri sendiri di depan orang-orang.

“Kamu yang mengepel ini?” Daffa kesal melihat OB ini tidak melakukan pekerjaannya dengan benar, “Benda yang kamu pegang itu dipakai! MInta maaf saja setelah ada yang jatuh!”

Nanda berpikir untuk menjelaskan masalahnya, “Tadi saya sudah siapin ini tapi gak tahunya hilang.”

Daffa merasa kesal dengan jawaban pria ini, “Kamu pikir ini sedang bercanda?”

“Ya gak mungkin dong pak. Masa saya bercanda.”

Semakin kesal Daffa dibuatnya, “Seharusnya⏤”

Adira mengangkat tangannya, “Cukup. Kita bisa terlambat.”

Posisi berdirinya Adira terpaku. Hanya satu masalah yang dipusingkan Adira.

Adira tidak tahu kesalahpahaman apa yang memancing sampai terjadi hal seperti ini. Jelas-jelas ia sudah mengecek persediaan alat-alat rumah tangga di kantor, tak terkecuali tanda lantai basah.

Segala sesuatunya, dia harus mencari solusi cepat dan tidak ada yang dirugikan.

Kembali Adira menatap karyawan wanitanya, “Apa anda bisa mencari orang lain untuk menggantikan. Atau anda membawa baju ganti?”

Wanita ini harus mempertahankan kesempatan emasnya, “Saya! Saya bisa mencari baju ganti.”

“Baiklah, tapi cepat,” wanita berkacamata ini tahu betul pegawainya tidak mau melepas pekerjaannya. Terlihat dari tanggapan cepatnya menjalankan perintah.

“Baik!” Wanita ini berusaha bergerak cepat.

Sekarang Adira harus menindaklanjuti masalah ini sebelum dampaknya lebih besar.

Kesalahan tetap kesalahan dan tidak boleh lagi terulang. Ia berharap ini akan selesai dengan si wanita menemukan baju ganti secara cepat sebelum pihak luar bergabung dalam rapat. Sehingga tidak perlu memperbesar permasalahan ini selain peringatan kecil. 

“Anda,” Adira menatap pria OB tadi.

Nanda tahu dia dalam masalah. Ditambah ini baru lima hari ia bekerja di sini. Hendaknya ia tidak ingin melepaskan pekerjaan kali ini. Ia harus berani menghadapinya.

Tundukan kepala Nanda tidak membuat suaranya mengecil, “Iya, bu?”

“Jaga bicara anda ke depannya. Ini bukan tempat bermain. Jangan sampai yang seperti ini...,” Adira menunjuk lantai basah itu, “Terulang lagi.”

Sekilas mata Nanda menangkap wajah Adira yang polos tanpa make up. Mata Nanda malah disibukkan dengan ikatan pita yang tampak longgar di sekitar leher blouse pink pastel Adira.

Adira menyadari si pria berada di ‘dunia lain’, “Apa anda mendengarkan?”

“Itu. Bu. Pitanya longgar,” Nanda menunjuk ke arah pita itu.

Terdiam Adira dan sekretarisnya mendengar kalimat yang dilontarkan Nanda. Layaknya menggali kuburan sendiri, dia berani tidak mendengarkan sang atasan yang sedang marah.

Pikiran bodoh apa yang ada di otak orang ini?

Kesal masih diatasi oleh Adira, “Fokus.”

Nanda berpikir sejenak. Ia teringat dengan apa yang seharusnya mereka bahas.

Langsung diangkat tangannya hormat. Senyum manis yang menunjukkan wajah bercahayanya merekah lebar. Begitu cerah sampai semua orang yang melirik keributan itu terpaku melihatnya.

“Siap, saya tidak akan ulangi lagi,” jawab ramah Nanda.

Adira tidak mengharapkan respons seperti itu. Tidak tahu penerimaan seperti apa yang perlu ditunjukkan. Namun tidak ada waktu lebih untuk menyahuti kelakuan pria yang tidak profesional.

“Kita bicarakan lagi nanti. Tunggu panggilan dari saya untuk masalah ini. Hati-hati selanjutnya,” melangkah pergi Adira melewati Nanda dengan Daffa mengikuti.

Wajah Nanda berubah asam, “Baik bu....”

Nanda masih memandangi Adira yang tidak ia kenal berjalan meninggalkannya. Fokusnya masih saja salah arah ke aura Adira yang kuat. Penampilannya dengan pegged pants abu-abu dan blouse pink itu tampak lekat dengan Nanda, entah karena apa.

Diam-diam Nanda didekati oleh teman seperjuangannya.

Kawan ini merangkul Nanda yang masih melamun, “Gimana sih, bro? Baru saja masuk sudah kena marah bu Adira. Mudah-mudahan cuma peringatan.”

“Siapa?” Nanda kebingungan mendengar nama itu.

Omar tercengang, “Bu Adira, yang negur kamu tadi. Beliau atasan sama pendiri Pancarona. Kamu gak tahu?”

Nanda melotot, “Dia bos besar?!”

Tercengang Nanda sibuk melamunkan sosok sang wanita itu. Tidak ia sangka dialah wanita hebat yang selalu ia dengar.

#2 Atensi

“Nih kantor gak kayak kantor ya,” Nanda bersandar pada tongkat sapu sejenak beristirahat, “Banyak barang-barang aneh.”

“Gitu asyiknya Pancarona,” Omar masih sibuk dengan kemoceng, “Ada ruang relaksasi, ruang istirahat, ruang hobi. Semua bisa hilangkan stres! Tidak bisa sesal jadi OB di sini!”

Memang benar. Studio Pancarona adalah perusahaan yang belum tiga tahun berdiri. Banyak sudah menimbulkan viral di masyarakat.

Pertama, kerja mereka yang memang apik dan memiliki karakternya sendiri.

Kedua, kesuksesannya dalam pembangunan taman kota yang luar biasa.

Ketiga karena kantornya yang dirancang penuh menyenangkan dengan berbagai hal unik dan menginspirasi.

Namun layaknya Nanda, orang-orang tidak pernah mengenal siapa yang mendirikan perusahaan arsitektur ini.

Sudah satu minggu menjalani pekerjaannya, Nanda masih tidak sempat tahu banyak hal tentang Pancarona dan semua yang terkait. Ia saja tidak pernah masuk ke ruang ini sebelumnya. Tempat ini terbilang besar dan banyak yang harus dibersihkan.

Kesibukannya menumpuk dengan banyaknya hal yang perlu dirawat.

Ia menemukan sesuatu menempel di salah satu dinding wadah bersantai ini.

“Ini punya kantor?” Nanda memandang sebuah gitar akustik yang dipajang indah di dinding, “Aku baru tahu ada ini di sini.”

“Itu sumbangan. Terakhir kali katanya ada projek aula musik. Jadi mereka cari inspirasi dari itu,” Omar masih sibuk membersihkan hal lain.

Nanda mengingat sebuah news beberapa bulan lalu, “Oh, auditorium Symphony?”

Pastinya Nanda tahu bangunan itu. Auditorium yang menjadi topik viral Pancarona setelah taman kota Senopati⏤proyek yang mengangkat nama Pancarona. Ini pula yang menjadikan Nanda tertarik untuk bekerja untuk perusahaan ini di samping alasan lain.

“Habis ini kita break kan?” Nanda tampak semangat.

Omar berpikir, “Hari ini gak banyak yang dikerjakan sih. Kayaknya begitu.”

“Boleh dong aku mainin ini~”

“Boleh aja sih. Tapi kita ada jadwal standby di dapur loh.”

Nanda berpikir sejenak. Seharusnya dia masih bisa memainkannya karena sekedar standby di sana. Dia hanya perlu membersihkan tugas terakhirnya di siang hari.

“Tapi aku bisa main ini di dapur kan?”

“Iya sih...."

Ia langsung menegakkan tubuhnya dan kembali menyapu bagian yang belum. Untungnya tempat ini tidak terlalu kotor. Bisa dipercepatnya pekerjaannya.

Gitar itu sudah berpindah tempat ke tangan Nanda, “Aku duluan ya!” 

“Heh!” Omar terhentak. Merasa kesal dalam waktu bersamaan.

Akan tetapi pria yang berapi-api ini tak peduli dengan sekitar dan melangkah cepat melalui banyaknya kursi pegawai. Tangkas kakinya memberikan waktu sedikit saja sampai akhirnya ia tak jauh dari dapur.

Nanda meletakkan peralatannya di janitor terdekat.

Susunan kursi siap menyambut semua orang yang lapar atau sekedar ingin menghabiskan minumannya. Akhirnya ia bisa mendudukinya dan melepas lelah di sela shift-nya untuk tetap bersiap bila ada bantuan darurat yang dibutuhkan.

“Sudah ngetem aja,” teman OB-nya muncul satu persatu.

Nanda sudah mengambil posisi dengan gitar pinjamannya, “Lagi mau main ini.”

“Waduh~ Coba dong,” temannya yang lain duduk di samping Nanda.

Nanda memulai memetik satu demi satu senar gitarnya. Lagi menyenangkan membawa temannya ikut menghentak-hentakkan kaki mengikuti ketukan.

Teman-teman Nanda dibuat takjub dengan pembawaan dari Nanda.

Lirik lagu di bait pertama mulai teruntai dari pita suara Nanda. Suara yang tak terjelaskan indahnya membuat mereka bertanya bagaimana bisa. Wah, mereka rasa suara itu menandingi wajahnya.

Pria ini memang penuh kejutan. Dapur bahkan dibuatnya menjadi tempat yang penuh rasa penasaran pegawai-pegawai yang lewat.

Daffa, melangkahkan kaki menuju dapur, melihat keramaian itu. Ia keheranan, apa yang terjadi di sini? Masih sekitar tiga puluh menit sebelum jam istirahat siang. Seharusnya mereka masih harus mengejar deadline masing-masing.

“Kenapa ini?” Daffa mendapati kumpulan pegawai yang melupakan tugas mereka, “Kalian tahu ini masih jam kerja kan?”

Semua orang tersentak. Terciduk sudah mereka!

Mereka kabur satu persatu dengan menundukkan kepala mereka. Kembali langkah mereka ke meja kerja masing-masing.

Teman-teman OB tak tahu apa dikata. Mereka langsung berdiri tegak, “Pak Daffa. Maaf pak, kami hanya istirahat sebentar.”

Sekretaris ini mengerti keadaannya dimana orang-orang ini tertarik dengan ‘pekerjaan’ dari para OB pemalas ini. Daffa mendapati Nanda yang masih memegangi gitar. Ia mengingat benar wajah itu setelah membuat kesalahan dua hari lalu. Hari ini dia berani membuat pegawai lain meninggalkan pekerjaannya.

“Tolong buatkan kopi untukku dan bu Adira. Antarkan juga,” Daffa memegangi kepalanya.

Nanda kembali memeriksa gitarnya setelah perlu berhenti di tengah jalan. Melihatnya, Daffa tampak sangat tidak senang.

“Kantor memang membebaskan melakukan segala hobi di sini. Tapi kamu harus tahu kalau jam kerja tetap harus bekerja sesuai job desk-nya,” wajahnya benar-benar menunjukkan kemarahannya.

Nanda menanggapi kalau ia yang sedang terkena perkara baru, “Maaf pak. Soalnya sebentar lagi juga istirahat, jadi saya cepatkan sedikit.”

Figur sekretaris ini semakin kesal. Bisa-bisanya OB baru semakin melonjak karena diberikan kebebasan di kesalahan sebelumnya.

Tidak, Daffa harus tetap tenang. Dia tidak mau membuat Adira malu dengan sikap kekanak-kanakannya.

Daffa mengangkat kepalanya, “Kamu Ananda kan? Terakhir kali kami memang melepaskanmu karena masalahnya bisa diselesaikan dengan cepat. Tapi bukan berarti kamu bebas melakukan apapun. Perhatikan tingkah lakumu lain kali.”

Terpikirkan di kepala Nanda, ia tidak melakukan hal yang salah kan?

Banyak karyawan yang santai-santai karena pekerjaannya yang memerlukan inspirasi. Namun dia malah dapat masalah hanya karena pekerjaannya yang sebagai office boy. Sedih sekali kedudukannya sangat dibedakan seperti itu.

Daffa bisa pergi setelah dengan tenangnya memarahi Nanda.

Langkahnya itu tampak sombong di mata orang lain. Menaiki kembali lift dengan membawa berkas yang baru ia ambil dari pegawainya di lantai bawah. Karyawan lain yang berselisih menyempatkan diri mereka menyapa orang yang berpengaruh ini, meski tak ada jawaban berarti dari Daffa.

Suara ketukan pintu itu mengantarkan ia memasuki ruangan atasannya, “Ini berkasnya, bu.”

“Terima kasih,” Adira menerimanya dan melanjutkan komparasi dokumen di tangannya dan di dalam komputernya, “Anda bisa istirahat duluan.”

“Saya ingin menyelesaikan ini,” Daffa membantu menyusun kembali apa yang ia kira berantakan.

Tahu betul Adira tentang sekretaris ini yang tidak suka melakukan apapun setengah-setengah. Ditegur pun pasti dia tidak akan mendengar.

Adira mengingat hal lain, “Bagaimana perkembangan proyek bank Taruna?”

“Tim masih mencoba untuk mengembangkan beberapa alternatif desain yang menarik. Kemungkinan dua tiga hari sudah bisa didiskusikan.”

“Baguslah. Terus awasi supaya tidak keluar timeline.”

Kesempatan kali ini pun tidak ingin dilepaskan oleh Adira. Memang semakin banyak pihak kompetitif di luar sana yang membawa matanya pada peluang ini. Rasa tidak mau mengalah meluap-luap pada perusahaan lain yang sudah memiliki beberapa generasi.

Waktu bekerja terus berputar meski kopi yang dipesan sudah datang. Kedua individu yang punya semangat besar ini masih sibuk dengan apa yang ada di depannya.

Tak terduga suara waktu menghirup nafas di tengah hari sudah diumumkan.

Oh? Sebuah suara getar juga terasa di samping kiri meja. Adira mengambil asal suara getar yang ternyata ponselnya. Nama yang tertera... ‘Bunda’.

“Tolong cek lagi ini dan ketik ulang yang saya highlight, serahkan sore ini. Saya mau istirahat sebentar,” diserahkannya kembali berkas tadi bersama tambahan berkas lain.

Daffa mengundurkan diri dengan membawa yang perlu dibawa. Setelah mempersilahkannya pergi, Adira merilekskan diri, memutar kursi ke samping. Menyentuh ponsel dan mengangkatnya sebelum terputus.

[“Halo, sayang. Masih sibuk ya?”]

Senyum menjawab suara dari seberang sana, “Baik, bun. Iya, masih banyak yang perlu dikejar.”

[“Jangan paksain diri loh. Istirahat yang cukup.”]

“Iya, bun. Bunda juga ya,” sandaran kursi dinikmatinya, “Gimana Nata?”

[“Kalau kamu khawatir, mampir ke sini dong sekali-sekali~”]

Adira mendapati bunda itu merindukan dirinya, “Iya. Kalau sudah lenggang, nanti Dira ke sana.”

Satu lagi alasan untuknya agar bisa bersemangat lagi menyelesaikan apa yang ada di depannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!