NovelToon NovelToon

Aku Dijual Di Malam Pertama

Bab 1 ~ Menerima perjodohan

Di Bawah rintik hujan, seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah tengah bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya. Gadis itu ialah Luna Agnieszka.

Hari ini Luna lulus sekolah dan kedatangannya ke makam orang tuanya hanya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang tuanya, meski pun orang tuanya sudah meninggal. Selain itu juga Luna mengirimkan doa untuk orang tuanya.

Sambil mengelus nisan, Luna berkaca-kaca. "Bunda... Hari ini Luna lulus dengan nilai terbaik."

"Semoga, setelah Luna lulus harapan bunda segera terwujud."

Luna teringat kembali, bagaimana ayah dan bundanya menginginkan dirinya bisa berkuliah. Dengan kuliah dan berpendidikan tinggi, Luna bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus. Tidak seperti ayah dan bundanya yang hanya buruh serabutan.

"Luna pulang dulu, ayah, bunda." Pamit Luna.

Luna pun segera meninggalkan makam ayah dan bundanya dengan perasaan lega. Karena harapan orang tuanya sebentar lagi bisa terwujud.

Sepanjang perjalanan, senyum Luna tidak pernah pudar. Dengan langkah lebar, Luna memasuki rumah bibinya yang bernama Hanum.

Ya... Selama ini, Luna tinggal bersama dengan bibi dan Pamannya. Beruntungnya Luna, memiliki bibi dan paman yang baik.

"Aku pulang...!" Seru Luna, yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumah.

Hanum yang tengah menyetrika baju, terperangah melihat pakaian Luna basah.

"Luna, kamu habis hujan-hujanan?" Tanya Hanum.

Luna mengangguk sambil cengengesan. "Iya...."

Hanum menggelengkan kepalanya. "Kamu tuh! Nanti kalau kamu sakit gimana?" Desis Hanum.

"Bibi tenang saja. Luna akan langsung mandi kok."

"Ya udah, cepat mandi," suruhnya.

Luna mengangguk dan segera melangkahkan ke arah kamarnya.

Sepeninggalan Luna, pamannya datang setelah seharian bekerja. Ia kemudian mendudukkan dirinya di kursi tunggal. Dengan wajah lelahnya, Bramantyo bertanya kepada istrinya.

"Bu, Luna kemana?"

"Lagi mandi. Kenapa nanyain Luna?" Jawabnya dengan alis mengkerut.

"Ada yang mau bapak bicarakan sama Luna, tapi nanti saja," ujarnya sambil bangkit dari duduknya. Kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Malam harinya, ketika selesai makan malam. Luna yang tengah mencuci piring, ditepuk punggungnya oleh Silfa. Sepupunya Luna.

"Di panggil bapak tuh," ujar Silfa.

Luna mengangguk, "Iya, aku selesaikan dulu cuci piringnya."

Selesai mencuci piring, Luna bergegas menghadap Bramantyo yang tengah duduk di ruang keluarga sambil menyesap secangkir kopi.

"Ada apa paman panggil Luna?"

"Duduklah dulu," suruhnya dan Luna pun duduk di sebrang Bramantyo.

Luna memandangi lekat-lekat wajah Bramantyo, sambil bertanya-tanya hal apa yang akan Bramantyo bicarakan.

Bramantyo pun membenarkan duduknya, lalu menatap wajah keponakannya itu.

"Jadi gini... Tadi pas paman pulang kerja. Paman bertemu dengan Pak Andi dan beliau berniat ingin menjodohkan kamu dengan anaknya, Dimas."

Luna terhenyak mendengar perkataan pamannya. "Dijodohkan?" Cicitnya tak percaya. "Sama kak Dimas?"

Bramantyo mengangguk. "iya...."

Luna tersenyum di dalam hatinya, karena sebenarnya Luna menyukai Dimas, tapi Luna menyukainya dalam diam. Selama ini Luna tidak berani menunjukkan rasa sukanya terhadap Dimas, tapi mendengar perkataan pamannya membuat Luna dilema. Antara menerima perjodohan ini atau dengan tujuan awalnya yaitu kuliah.

"Tapi paman... Luna kan ingin kuliah," imbuh Luna. "Kalau Luna menikah... Itu tandanya Luna tidak bisa lanjut kuliah."

"Kamu bisa lanjut kuliah setelah menikah. Paman yakin kalau Dimas pasti mengizinkan kamu kuliah."

Luna terdiam. Luna sih mau aja dinikahkan, apalagi calonnya Dimas. Lelaki yang selama ini Luna sukai, tapi jika nantinya menikah apa tidak akan menggangu kuliahnya nanti atau bisa jadi nanti Dimas tidak mengizinkannya.

Luna benar-benar bingung.

"Jadi gimana? Kamu mau kan dijodohkan dengan Dimas?" Tanya Bramantyo.

"Luna bingung, paman."

"Itu sih terserah kamu, Luna. Mau menerima atau tidak, tapi paman sih berharap kamu mau menerimanya. Apalagi dulu Pak Andi pernah menolong ayah kamu dari lilitan hutang. Kalau bukan Pak Andi yang membantu bayarin hutang ayah mu, sampai sekarang mungkin hutang ayah kamu belum lunas-lunas."

Luna tertunduk dan semakin dilema.

Apa yang harus aku lakukan? Menerimanya atau tidak. Batin Luna.

Setelah pembicaraan dengan pamannya, Luna tidak dapat memejamkan matanya barang sejenak pun. Matanya masih nyalang menatap langit-langit kamarnya. Luna terus memikirkannya. Keputusan apa yang harus di ambilmya, setelah mengetahui kalau bapaknya berhutang Budi kepada Pak Andi.

"Terima tidak ya...." Gumam Luna. Dan malam itu Luna terus memikirkannya.

***

Seorang pria kini tengah duduk di ruang tamu bersama orang tuanya. Dia adalah Dimas Andrean, pria yang akan dijodohkan dengan Luna.

Ya... Pada akhirnya Luna bersedia menerima perjodohan ini. Berharap pernikahan yang nanti dijalaninya sesuai dengan harapannya.

"Jadi nak Luna bersedia dinikahkan sama Dimas?" Tanya Pak Andi, papa nya Dimas.

Luna mengangguk pelan. "Iya... Saya bersedia, Om," jawab Luna malu-malu.

Semua yang ada di ruangan tersebut tersenyum lega dan senang, tapi tidak bagi Dimas. Pria itu menatap dingin wajah Luna yang lugu.

Dimas terpaksa menerima perjodohan ini, atas ancaman papa nya dan pastinya perjodohan ini atas keinginan mama tirinya, Dimas tidak tahu kenapa mama tirinya bersikeras menjodohkannya dengan gadis dihadapannya.

Sangat menyebalkan bukan, sungutnya di dalam hati.

"Karena Luna setuju. Bagaimana kalau pernikahannya di percepat," tukas Pak Andi dengan raut wajah bahagia.

Bramantyo mengangguk setuju. "Kalau saya sih setuju-setuju saja. Lagian lebih cepat lebih."

Dan hari itu pun langsung menentukan tanggal pernikahan Dimas dan Luna.

Bab 2 ~ Menikah

Hari ini Luna dan Dimas akan menikah. Luna kini sudah duduk di depan cermin, ia baru saja di rias oleh MUA. Wajahnya yang cantik bertambah cantik, setelah dipoles make up.

Seketika raut wajahnya berubah mendung, mengingat kedua orang tuanya. Di hari bahagianya ini, kedua orang tuanya tidak ada.

Sedih.

Sudah pasti Luna rasakan. Walaupun begitu, Luna harus tetap tersenyum dengan pernikahan ini. Ia tidak mau terlihat murung di hari pernikahannya, hanya karena tidak ada orang tuanya di tengah-tengah hari bahagianya.

Luna kemudian meraih foto kedua orang tuanya yang terpajang di meja belajar. Mengusapnya, seolah ayah dan bundanya ada didepannya.

"Ayah, bunda... Restui pernikahan Luna sama kak Dimas. Semoga pernikahan yang akan Luna jalani bersama kak Dimas senantiasa rukun, damai, sejahtera dan selalu dalam lindungan Tuhan."

Walaupun demikian, Luna tetap harus memohon restu kepada orang tuanya. Meski orang tuanya sudah meninggal.

Luna melihat jam yang menggantung di dinding dan sebentar lagi acara ijab Kabulnya akan di mulai. Luna meremat kedua tangannya. Jujur, Luna sangat deg-degan dan nervous.

"Luna Sayang... Ayo kita depan. Dimas sudah menunggu mu," ucap Hanum.

Luna mengangguk, lalu berdiri. Dengan hati berdebar, Luna melangkah keluar ditemani sang bibi.

Dengan senyum terkembang di bibirnya, Luna melangkahkan kakinya menuju dimana Dimas tengah menantinya.

Kini Luna sudah duduk berdampingan dengan Dimas. Luna menundukkan kepalanya dalam-dalam, karena rasa gugup kini dirasakannya.

Dihadapan Pamannya, Dimas mengikrarkan namanya hanya dengan satu tarikan napas, Dimas kini sudah mempersunting Luna. Mengikrarkan janji sucinya dihadapannya semua orang dan Tuhan.

Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah. Senyum tipis terbit di bibirnya Luna. Lega rasanya, setelah tadi merasakan ketegangan.

Selesai menandatangani buku nikah, Luna kemudian mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Dimas. Meski pria yang sudah sah menjadi suaminya terlihat dingin.

Mungkin Dimas yang kini sudah menjadi suaminya itu belum mencintainya, makanya raut wajah Dimas terlihat biasa saja. Dan siapa tahu dengan seiring berjalannya waktu Dimas bisa mencintainya dengan tulus.

***

Setelah seharian menjadi ratu dan raja. Kini Luna dan Dimas sudah berada di kamar Luna.

Wajah Luna merona ketika ia dan suaminya hendak masuk ke kamar. Bagaimana tidak merona, Silfa dan yang lainnya meledeknya.

"Cie... Cie... Pengantin baru. Udah nggak sabar ni Yee."

"Masih sore. Jangan belah duren sekarang."

"Kayaknya nggak bakal keluar kamar sampai besok."

Begitu ledekan dari semuanya.

Suasana canggung menyelimuti keduanya. Bahkan baik Luna maupun Dimas tidak ada yang membuka suaranya. Sesekali Luna melirik ke arah Dimas yang sibuk dengan ponselnya.

"E'hem...." Luna berdehem. "Mm... Mas mau mandi sekarang atau nanti?" Tanya Luna, membuka suaranya.

Dimas meliriknya sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. Ia tak berniat menjawab pertanyaan Luna.

Meski tidak di jawab, Luna kembali berbicara. "Kalau Mas mau mandi sekarang, biar aku siapkan air hangatnya."

Kali ini Dimas menyahutinya singkat. "Tidak perlu. "

Bingung harus berbicara apa lagi, akhirnya Luna memutuskan membersihkan diri.

Kurang lebih lima belas menit, Luna pun keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dengan handuk yang menggulung di atas kepalanya. Luna melirik Dimas, yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya.

Kira-kira, apa yang sedang di lihat Dimas? Sejak tadi terus saja sibuk dengan ponselnya. Hati Luna bertanya-tanya.

Melihat Luna sudah selesai mandi, Dimas kemudian meletakkan ponselnya dan menatap wajah Luna.

"Malam ini, kita berangkat ke kota," ucap Dimas.

Luna yang tengah mengeringkan rambutnya langsung berhenti dan menatap Dimas. "Ke kota?"

"Iya... Karena besok aku ada kerjaan." Tambahnya lagi.

Dimas memang memiliki pekerjaan di kota. Dimas termasuk pemuda yang sukses. Terbukti, diusianya yang masih muda Dimas sudah memiliki usaha di bidang jasa pengiriman barang.

"Baiklah," jawab Luna dengan berat hati.

Sebenarnya, Luna ingin berziarah dulu ke makam orang tuanya. Sekaligus ingin memperkenalkan Dimas dihadapan makam orang tuanya, tapi ternyata Dimas mengajaknya ke kota malam ini. Dan Luna tidak bisa menolaknya.

Bab 3 ~ Berangkat ke kota

Di depan keluarga Bramantyo, Luna dan Dimas kini sudah berdiri untuk pamit. Hanum memeluk erat tubuh Luna. Hanum begitu berat harus berpisah dengan keponakan tersayangnya, tapi mau bagaimana lagi, dirinya tidak bisa melarangnya karena sekarang Luna sudah memiliki suami.

"Jangan lupa... Sering-sering kabarin bibi," ucap Hanum, dengan wajah sendunya.

Bagaimana tidak sedih, ini pertama kalinya Luna pergi jauh dari mereka.

Luna mengangguk. " Iya, bi. Pasti Luna bakal sering telpon bibi."

"Semoga kamu bahagia sama Dimas," tambah Hanum lagi, sambil berkaca-kaca. "Kalau ada apa-apa segera hubungi bibi atau paman mu."

Luna mengangguk beberapa kali. Lalu, Luna beralih ke Bramantyo yang langsung memeluknya.

"Jaga diri mu baik-baik. Patuhilah apa kata suami mu, karena surga istri ada pada suami."

"Iya, Paman...." Jawab Luna dengan suara tercekat menahan tangis.

Bramantyo mencium puncak kepala Luna, dengan perasaan sedih sekaligus bahagia. Sebagai paman, ia berharap semoga pernikahan Luna selalu di beri kebahagiaan.

"Tolong jaga Luna," imbuh Bramantyo kepada Dimas. " Jangan sakiti Luna. Jika kamu sudah tidak mencintainya lagi, tolong kembalikan Luna kepada kami," sambung Bramantyo berkaca-kaca.

Dimas mengangguk kecil.

'Siapa juga yang cinta sama dia.' Sungut Dimas di dalam hati.

Bramantyo dan Hanum mengantar Luna sampai naik ke mobil. Dengan perasaan sendu sedan, Bramantyo maupun Hanum melepaskan Luna pergi.

Perasaan sedih menggelayuti hati Luna. Meski berat, Luna tetap harus ikut dengan suaminya.

"Hati-hati di jalan," ujar Bramantyo.

"Titip Luna ya Dimas," timpal Hanum.

"Iya, bi. Kami pamit berangkat dulu," sahut Dimas.

Kini mobil yang dikendarai oleh Dimas bergerak meninggalkan rumah Bramantyo.

Hanum melambaikan tangannya, sampai mobil menghilang dibelokkan jalan.

Hanum membuang napasnya. Lalu mengusap sudut matanya yang basah.

"Semoga kamu bahagia," lirih Hanum.

Sepanjang perjalanan, baik Luna maupun Dimas tidak ada yang membuka suara. Ralat... Sebenarnya Luna ingin mengobrol tapi Luna tidak tahu harus memulainya darimana. Apalagi Dimas terlihat sangat fokus mengendarai mobil.

Mobil pun berhenti di lampu merah dan Luna berniat memulai pembicaraan, tapi suara dering ponsel milik Dimas mengurungkan niatnya untuk mengobrol.

"Apa kamu sudah melakukan tugas mu?" Dimas berbicara dengan orang yang menelponnya.

"Bagus. Mungkin sekitar tiga jam lagi aku sampai di sana," sambung Dimas kepada orang yang menelponnya.

Lalu Dimas melanjutkan lagi perjalanannya, tanpa ada yang membuka suara, hanya alunan musik yang terdengar dari audio mobil, dan pada akhirnya Luna pun memilih untuk tidur.

Tanpa terasa keduanya sudah sampai di kota. Dimas pun segera membangunkan Luna.

"Bangun... Sudah sampai." Sambil menggoyangkan lengan Luna.

"Euhmm...." Luna mele nguh dan membuka matanya. Menatap sekitarnya.

"Ayo turun." Suruh Dimas.

Luna segera turun dari mobil. Kemudian Luna mengedarkan pandangannya. "Kita dimana? Kenapa banyak mobil?" tanya Luna bingung.

"Nanti juga kamu tahu sendiri," jawab Dimas datar.

Walau bingung, Luna tetap mengikuti Dimas yang lebih dulu melangkah. Luna sedikit kesusahan mengimbangi langkah lebar Dimas.

"Bos," panggil seorang pria kepada Dimas.

"Apa orang nya sudah datang?" Tanya Dimas.

"Sudah, bos."

Dimas pun mengangguk, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Luna.

"Sini kamu, ikut aku." Dimas menarik tangan Luna untuk digenggamnya.

Luna mengangguk dan mengikuti Dimas. Sampailah keduanya di depan pintu bernomor 1003. Dimas langsung mengetuk pintunya dan tidak lama pintu pun terbuka.

Seorang lelaki berumur 40 tahun, kini tengah tersenyum menyambut kedatangan Dimas. Begitu juga dengan Dimas, membalas senyuman lelaki itu.

"Maaf, membuat anda menunggu," ucap Dimas.

"Oh... Tidak masalah," balas lelaki itu. Lalu, lelaki itu melirik ke arah Luna dengan tatapan seringai.

Luna yang berdiri di belakang tubuh Dimas, menatap seram lelaki itu. Apalagi tatapan lelaki itu seperti tengah menelanjanginya.

"Wow... Gadis yang sangat menarik," tukas lelaki itu, menatap Luna. Seolah Luna adalah santapan lezat.

"Tentu saja menarik. Saya pastikan anda tidak akan menyesal," sahut Dimas. "Masih perawan, bro," bisik Dimas.

Bola mata lelaki itu membulat dan senyumnya semakin berkembang. Tatap lelaki itu semakin lekat menatap wajah Luna.

Luna mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Dimas dan lelaki itu. Apalagi Luna mendengar bisikan Dimas kepada lelaki itu.

Perawan? Apa maksud Dimas? Sebenarnya apa yang akan Dimas rencanakan?.

"Luna...." Dimas menarik tubuh Luna. "Malam ini kamu temani Pak Ariawan."

"Kenapa aku harus menemani Om ini?" Tanya Luna tak mengerti.

"Karena kamu sudah di bayar sama Pak Ariawan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!