NovelToon NovelToon

Menikah Karena DENDAM

MKD 01

Siang hari di sebuah kamar yang megah dan bernuansa modern, seorang gadis yang terbaring di atas tempat tidur perlahan membuka matanya. Matanya menelisik melihat seisi ruangan kamar yang jelas berbeda dari tempat yang biasa ia tinggali.

Hingga pandangan matanya tertuju pada satu pria yang saat ini sedang duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya, sambil menyesap rokok yang bertengker di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Pria itu pun juga menatap tajam ke arah gadis yang bernama Afika.

"Sudah sadar rupanya." Hardik pria tersebut dengan paras wajah yang dingin dan dengan suara yang tajam dan berat.

"Si-siapa kau? Dimana Rangga?" Tanya Afika dan mencoba untuk bangun dari tidurnya namun sulit karena ternyata kedua kakinya di ikat dan juga kedua tangannya di ikat dengan tali.

Sungguh naas bukan? Seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal, kini telah berada di hadapannya dan dengan mengikat kedua tangannya. Afika bahkan tidak tahu, apa yang diinginkan oleh pria tampan yang memiliki tatapan yang begitu tajam pada dirinya ini.

"Di-dimana aku? Dan dimana Rangga?" Tanya Afika sambil menggeliatkan tubuhnya mencoba untuk melepaskan ikatan namun sangat sulit.

"Hahahhahahahah." Pria itu tertawa melihat Afika yang berusaha untuk melepaskan dirinya. Suasana di kamar semakin dingin, Afika menatap takut pada pria yang kini berjalan semakin mendekat ke arah dirinya.

Lalu kemudian pria yang bernama Adrian naik ke atas tempat tidur dan duduk tepat di atas perut Afika, lalu mencengkram dengan keras pipi mulus Afika.

"Sa-sakit." Lirih Afika dengan suara serat terbata karena merasakan sakit di kedua pipinya, yang di cengkram kasar dan sangat keras oleh Adrian. Lalu perut Afika pun jaga sakit menahan beban berat tubuh Adrian.

"Sekarang kau sudah menjadi istriku. Hahahahha, lebih tepatanya mainan baruku." Kata Adrian dengan tegas dan menatap tajam Afika yang berada di bawah cengkramannya. "Akan aku pastikan, setiap harimu bagaikan di dalam neraka." Andrian melepas cengkramannya lalu menampar pipi mulus Afika. Lalu Adrian turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar dengan menutup pintu sangat keras sehingga Afika kaget.

Sungguh sangat malang nasib Afika. Hari yang begitu indah kini telah berubah menjadi malapetaka. Hari dimana dirinya harus menikah dengan seorang pria yang sangat ia cintai yang bernama Rangga harus kandas, karena entah dari mana pria yang bernama Adrian langsung datang dan mengatakan ijab kabul di depan para penghulu dan juga saksi.

Hati Afika sunggu sangat hancur. Ia tidak mengenal siapa Adrian, dan dari mana asalnya, tapi kenapa pria itu datang, dan menyiksa dirinya. Dan bahkan mengatakan jika dirinya hanya untuk di jadikan mainan baru, dan juga mengatakan bahwa kehidupan Afika akan sama dengan neraka.

Sungguh bukan ini kehidupan yang Afika rencanaka bersama sang kekasih. Tapi kenapa? Kenapa seakan takdir tak berpihak pada Afika? Kenapa? Kenapa skenario ini bisa terjadi pada hidup Afika? Apakah dosa yang telah di buat Afika di masa lampau sehingga ia harus menebusnya di masa kini.

"Jangan berikan makanan, hingga esok hari." Titah Adrian pada pengawal yang khusus menjaga di depan pintu kamar.

"Baik tuan."

Adrian berjalan dengan tegap, dan dengan sudut atas bibir yang naik membuat seutas senyum yang tipis yang sangat sulit untuk di lihat.

"Lihar saja sayang, aku akan membalaskan dendammu." Batin Adrian lalu masuk ke dalam mobil sport miliknya.

Sedangkan di dalam kamar. Afika terus menangis meratapi apa yang telah terjadi di dalam hidupnya. Kehidupan yang begitu indah dan sempurna kini telah lenyap sudah.

"Apa salahku, hikkssss,hikkkksss," Lirih Afika di sela tangisnya.

Lalu beberapa saat kemudian suara pintu terbuka, Afika yang mendengar langsung menoleh ke arah pintu. Afika dapat melihat dengan jelas seorang wanita yang mungkin sudah berumur 50 tahunan masuk ke dalam kamar. Tanpa berbicara, wanita itu membuka tali ikatan kedua kaki Afika. Setelah berhasil terbuka, Afika langsung duduk karena tubuh belakangnya sudah mulai panas akibat terus berbaring.

"Siapapun anda, tolong bantu saya." Kata Afika dengan air mata yang menetes di kedua pipinya. Afika bahkan mengabaikan rasa sakit dan memar di kedua kakinya, akibat terlalu lama terikat oleh tali.

Asisten rumah tangga yang bernama Sri itu hanya diam tidak menjawab sama sekali ucapan Afika..Lalu Afika terdiam beberapa saat mencari ide untuk bagaimana agar ia bisa bebas dari sandraan ini.

"Aku ingin buang air kecil, tolong buka ikatan pergelangan tanganku."

Bi Sri menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Afika. Afika menatap bi Sri dengan tatapan sendu dan tatapan memohon agar tali yang terikat di pergelangan tangannya bisa di buka.

"Tolong." Kata Afika kembali.

Bi Sri lalu berjalan mendakati Afika. "Nona Afika, jika anda ingin hidup tolong kerjasamanya, jangan membuat tuan marah." Kata Sri sambil membuka tali ikatan Afika.

Dan saat Afika masuk ke dalam kamar mandi, Afika langsung mencari cela, apakah bisa keliar dari tempat ini. Namun sejauh Afika berfikir ia belum dapat menemukan jalan keluarnya. Dan juga, pentilasi udara yang berada di kamar mandi begitu kecil, sangat sulit untuk Afika bisa meloloskan diri melalui ventilasi tersebut

MKD 02

Karena tak kunjung membuka pintu kamar mandi. Bi Sri memutuskan untuk memanggil pengawal yang bertugas menjada di depan pintu kamar. Pengawal yang bernama Nadi langsung bergegas masuk ke dalam kamar di susul oleh bi Sri yang berjalan dengan sangat khawatir. Bi Sri khawatir karena jika seandainya Afika lolos maka akan menahayakan dirinya dan juga Nadi. Bisa-bisa tuannya akan marah dan mengamuk karena tidak becus mengerjakan tugas.

"Sejak kapan dia masuk." Tanya Nadi, sambil terus mengetuk pintu dan memutar hendel pintu, dan sesekali memanggil nama Afika, namun tidak ada jawaban.

"Sudah hampir dua puluh menit lamanya." Jawab bi Sri dengan raut wajah yang gelisa.

"Nona Afika, saya hitung sampai tiga, jika nona tidak segerah keluar maka saya akan mendobrak pintu kamar mandi ini." Kata Nadi, sambil mencoba menghitung.

Afika tentu jelas mendegar ucapan Nadi dari luar. Afika mulai gelisah, dan menggigit kuku jari telunjuknya sambil berjalan mondar mandi bagai sebuah setrika. Afika mencoba berfikir, bagaimana langkah selanjutnya agar bisa keluar dari tempat yang ia tidak tahu di mana letaknya.

Afika menarim nafas dan mengembuskan secara perlahan. Saat hitungan Nadi di angka ke dua, Afika langsung membuka pintu kamar mandi. Dengan raut wajah yang di buat seteng mungkin agar tidak menimbulkam kecurigaan pada Sri dan juga Nadi.

"Nona, apa yang anda lakukan. Bukankah sudah aku katakan, jika ingin selamat anda harus menurut." Kata bi Sri sambil menarim lengan Afika agar kembali berjalan menuju tempat tidur.

"Aku. Aku hanya buang air besar makanya aku tidak menjawab." Bohong Afika, padahal kenyataan yang sebenarnya ia ingin mencoba kabur, namun tidak menemukan cela sama sekali.

Nadi yang sudah mendapatkan jawaban, langsung keluar dari kamar, sedangkan bi Sri, dia kembali mengambil tali dan mencoba untuk mengikat tangan Afika, namun saat bi Sri mencoba mengikat Afika, justru Afika bergerak dengan cepat dan memutar tangan bi Sri, lalu dengan cepat Afika mengikat tangan bi Sri, dan menutup mulut bi Sri dengan sarung bantal yang ia buka dan di ikat di mulut bi Sri.

"Maaf bi karena mengikatmu. Tapi aku harus pergi dari sini." Kata Afika, memandang sendu bi Sri karena merasa bersalah telah mengikat seorang wanita paruh baya. Lalu Afika berjalan menuju jendela besae dengan tirai gorden yang masih tertutup. Afika mengintip di cela gorden. Dan betapa kagetnya Afika saat melihat ternyata saat ini dirinya sedang berada di ketinggian. Lebih tepatnya, Afika berada di lantai dua rumah yang bangunannya telihat sangat megah. Namun, sejauh mata Afika memandang, Afika tidak melihat satu rumah pun yang terletak di sebelah rumah yang tempat saat ini dirinya di kurung.

"Dimana aku." Gumam Afika, sambil menatap kebawah mencari jumlah orang yang mungkin menjaga, namun Afika bersyukur karena tidak menemukan satu pun orang di bawah sana.

Dengan perasaan yang legah, Afika langsung melepas seprei dan mengambil handu yang berada di kamar mandi, mengikat keduanya agar bisa lebih panjang.

Afika lalu mengikat seprei di kaki kursi, dan melempar turun seprei tersebut.

"Hhmmmm..." Kata Bi Sri sambil terus menggelengkan kepalanya, dan menggeliatkan tubuhnya.

"Maaf bi, tapi aku harus pergi.." Kata Afika.

"Tolong nona jangan pergo, tolong." Ucap bi Sri dalam hatinya.

Namun Afika yang tidak mampu mendengar langsung mencoba kabur melalui seprei yang telah ia ikan. Dan Afika bisa tersenyum karena dirinta berhasil turun sedikit demi sedikit tanpa ada hambatan sama sekali, dan saat kaki Afika menapak di lantai, betapa terkejutnya Afika saat Afika menengok kebelakang dan melihat sosok pria yang telah resmi menjadi suami dadakannya. Ya, siapa lagi jika bukan Adrian. Kini Adrian berdiri tepat di hadapan Afika. Adrian menatap tajam pada Afika dan dengan raut wajah yang mulai merah karena marah melihat tingkah Afika yang mencoba melarikan diri. Adria langsung tertawa membuat Afika merasakan suasana yang dingin dan mengerikan.

"Hahahhaha, beraninya." Kata Adrian sambil menarik rambut Afika dan menarik Afika mengikuti langkah kakinya.

"Lepaskan! Sakit! Tolong lepaskan rambutku." Kata Afika sambil memegang tangan Adrian yang berada di atas kepalanya. Adrian tidak menjawab, ia terus saja berjalan tanpa memperdulikan rintihan kesakitan yang Afika rasakan.

Karena meraskan sakit, spontan air mata Afika jatuh membasahi pipi mulusnya. Lagi, dan lagi, Afika harus di hadapkan dengan kenyataan yang membuatnya terus bertanya-tanya.

Sreeeeettttrrrrr.

Tubuh Afika di hempaskan ke lantai, hingga membuat kepala Afika terbentur.

Prokkk. Prokkkk. Prokkk..

Adrian bertepuk tangan di hadapan Afika sambil melepaskan rambut yang berada di tangannya. Rambut Afika yang rontok akibat di tarik oleh dirinya.

"Berani sekali kau." Kata Adrian sambil berjongkok di hadapan Afika dan mencengkram kedua pipi Afika dengan sangat keras.

"A-apa salah ku. Ke-enapa kau menyiksaku." Tanta Afika dengan suara yang tidak jelas karena cengkraman Adrian di kedua pipinya.

"Salahmu, karena kau telah lahir di dunia ini."

Duarrrrrrr........Bak di sambar petir di sore hari, mendengar kata pria yang kini telah berada di hadapannya. Apakah Afika meminta untuk lahir di bumi ini? Tidak! Tidak sama sekali. Tapi Afika bersyukur karena bisa terlahir dan mengenal dunia. Tapi mulai hari ini, Afika menyesali karena kenapa dirinya harus berhadapan dengan pria dingin dan sangat kejam.

Adrian melepaskan cengkramannya lalu menampar pii kiri Afika dengan sangat keras sehingga membuat sudut bibir Afika mengeluarkan darah segar.

"Sekali lagi kau mencoba kabur, maka aku akan membu*nuhmu." Ancam Adrian lalu mendorong tubuh Afika.

Afika menangis sambil memegang pipinya yang terasa sakit akibat tamparan yang telah di layangkan Adrian padanya. Dan tentu bukan cuman pipi Afika yang sakit, hati Afika juga tentu merasakan sakit, karena jujur hingga sampai saat ini Afika sama sekali tidak mengenal sosok pria yang telah resmi menjadi suaminya. Dan kenapa pria itu begitu sangat membenci dirinya sampai-sampai mengancam akan membu*nuh jika Afika mencoba untuk kabur.

Bi Sri datang menghampiri dan membantu Afika agar berdiri, dan menuntun Afika menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar. Bi Sri mendudukan Afika di sudut tempat tidur, lalu bi Sri membawa kotak p3k.

"Sudah saya bilang nona. Jangan pernah mencoba kabur dari tuan Adrian." Kata bi Sri sambil mengusap darah di sudut bibir Afika. Afika yang merasakan nyeri langsung menarik mundur kepalanya dan menahan tangan bi Sri.

"Kenapa bibi baik kepadaku Kenapa mau mengobati lukaku?"

Bi Sri diam tidak menjawab. Dan kembali mengobati luka Afika.

"Sri, nona Afika bisa memanggilki bi Sri." Kata Sri setelah mengobati luka Afika, lalu Sri berdiri dan berjalan keluar kamar, namun langkah bi Sri terhenti kala Afika berkata.

"Maafkan aku bi, maaf karena tadi sempat mengikat tubuhmu." Sesal Afika.

Semalam berlalu. Afika yang sudah terbiasa bangun di saat pagi-pagi buta langsung membuka tirai gorden, lalu membuka pintu yang menghubungkan ke balkon kamar. Afika berdiri menatap sekeliling yang telihat hanya ada tembok pagar yang menjulang tingggi, dengan pohon-pohong yang tumbuh di luar pagar...

"Apa aku ada di dalam hutan." Gumam Afika sambil terus menatap ke arah luar pagar..

Dan kini pikiran Afika kembali saat dimana dirinya sedang menunggu sang pengantin pria datang.

Flasback

Pagi hari yang begitu indah, suasana terik matahari seterik suasana hati Afika. Hari ini, tepat hari selasa akan di adakan akad nikah. Pernikahan antara Afika dan sang kekasih yang bernama Rangga.

Taman kecil yang berada di depan panti asuhan kini telah di sulap menjadi taman bunga yang menghiasi indahnya taman. Seperti indahnya wajah sang pengantin wanita. Di mana saat ini sang penggantin dengan sangat setianya menunggu di dalam kamar.

"Saya terima nikah dan kawinnya Afika Lestari dengan mahar seperangkat alat sholat di bayar tunai." Kata mempelai pria dengan sangat lantangnya.

Dak...Dik..Duk... Detak jantung Afika berdetak lebih cepat, karena mendengar ijab kabul yang barusan di ucapkan oleh mempelai pria. Suara itu, suara yang terdengar lantang dan berat. Suara yang sangat berbeda jauh dari suara sang kekasih. Atau mungkinkah Rangga gugup sehingga membuat suaranya menjadi berat dan berubah. Itu yang terbesit dalam pikiran Afika. Tapi Afika mencoba menepis semua pikirannya itu, toh tidak akan mungkin Rangga tidak datang di hari bahagia mereka.

Afika di tuntun keluar kamar oleh ibu panti dan juga sahabatnya yang bernama Farah, berjalan sambil menundukkan kepalanya menyembunyikan wajah malu dan juga wajah bahagia yang bercampur jadi satu. Dan saat langkah kaki Afika berhenti tepat di depan mempelai pria, Afika langsung mendongakkan kepalanya.

Duarrrrrrr........

Bagaikan di sambar petir di pagi hari. Tanpa mendung tanpa hujan, dan juga tanpa badai. Tapi Afika merasa jika ia sedang terkena petir di sekujur tubuhnya.

Siapa dia? Siapa pria yang kini ada di hadapannya yang saat ini telah resmi menjadi suaminya secara hukum dan agama.

"Dimana Rangga?" Tanya Afika pada pria yang kini berhadapan dengannya, dan Afika menoleh ke arah Farah dan juga ke arah bunda yang menjadi ibu panti.

"Siapa dia?" Tanya Afika

Farah menautkan satu alisnya mendengar pertanyaan yang keluar dari sahabatnya itu. 'Siapa dia', bukan kah Farah sudah tahu jika pria yang ada di hadapannya ini adalah kekasihnya yang telah resmi menjadi pasangan hidupnya.

Andrian tersenyum devil dengan wajah yang dingin sambil menatap tajam pada Afika.

"Aku suamimu." Kata Andrian dengan dingin.

Duarrrr....

Untuk kedua kalinya tubuh Afika bak di sambar petir. Dimana perkataan pria ini begitu sangat mengejutkan.

Dan karena syok, Afika langsung pingsan.

MKD 03

Tatapan Afika tertuju pada setiap sudut dinding pagar yang di jaga oleh pria yang mengenakan pakaian serba hitam. Afika menggelengkan kepalanya, karena sejauh ini tidak ada cela sedikit pun untuk dirinya bisa kabur. Padahal Afika ingin sekali kembali ke panti asuhan dan mencari orang tua Rangga dan minta penjelasan mengenai pernikahan yang terjadi. Kenapa dirinya menikah dengan pria yang sama sekali ia tidak kenal, dan kemana perginya Rangga di hari pernikahan mereka.

"Rangga." Lirih Afika saat teringa Rangga. Pria yang akan menjadi suaminya entah kemana perginya. Apakah Rangga mencari dan mengkhawatirkan dirinya di luar sana. Atau malah sebaliknya. Tapi apapun yanh terjadi saat ini Afika benar-benar mengkhawatirkan keadaan Rangga.

Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka dengan lebar dan dengan sangat keras, sehingga membuat Afika yang berada di dalam sana spontan membalikkan tubuhnya ke arah pintu karena merasa kaget. Afika dapat melihat dengan jelas Nadi masuk ke dalam kamar dengan wajah yang datar.

"Ada apa? Kenapa kau masuk?" Tanya Afika dengan suara tinggi namun bergetar karena mesara sedikit takut melihat ekspresi wajah Nadi. Tanpa banyak kata, Nadi langsung menarik Afika membawa Afika keluar dari kamar. Afika teriak kerena sakit di pergelangan tangannya yang di tarik paksa, namun sekencang apa pun Afika teriak, tak ada satupun orang yang akan membantunya. Kini Afika hanya bisa berpasrah dan menyerahkan semuanya pada yang Maha Kuasa.

Sreettttt... Tubuh Afika di hempaskan di pinggiran kolam di mana kini ada Adrian yang duduk di kursi dengan kaki yang menyilang. Perlahan Afika mendongakkan kepalanya melihat Adrian yang saat ini berada di hadapannya. Adrian tersenyum devil melihat wajah ketakutan dari mainan barunya.

"Apa mau mu? Kenapa kau memperlakukan ku seperti ini? Kau manusia atau hewan?" Tanya Afika dengan suara lantang.

'Hahahahahahaah' Adrian tertawa dengan sangat keras, membuat Afika menatap jengah pada pria yang saat ini berada di hadapannya. Pria yang sudah resmi menjadi suaminya secara hukum dan agama.

"Kau tahu apa mauku?" Tanya Adrian lalu menyesap minumannya. "Aku ingin membuat mu hidup seperti di dalam neraka. Aku ingin membuat mu hidup menderita sampai kau memohon untuk menghilangkan nyawamu sendiri." Kata Adrian sambil memutar-mutar gelas minumannya.

Afika langsung berdiri dan merampas gelas yang di genggam oleh Adrian. Dan dengan sangat beraninya Afika menyiram minuman tepat di wajah Adrian.

"Kau!!" Teriak Adrian dengan sangat tajam dan keras. Lalu tangan kanan Adrian mencengkram kedua pipi Afika dengan sangat keras, sehingga membuat Afika merasakan sakit.

"Le-lepaskan." Kata Afika dengan nada yang terputus-putus.

"Berani sekali kau!" Kata Adrian dengan membulatkan matanya menatap Afika. Tatapan Adrian seakan ingin memangsa Afika.

Karena tak kunjung berhenti mencengkram pipi Afika, kini Afika mulai merasa semakin sakit. Afika berusaha melepaskan tangan Adrian namun sangat sulit yang ada Adrian semakin mencengkram dengan sangat keras, hingga spontan Afika memukul kepala Adrian dengan gelas yang tadi berisikan minuman yang di siram di wajah Adrian, hingga membuat Adrian oleh dan mundur satu langkah. Kepala Adrian langsung mengeluarkan darah segar. Adrian yang melihat darah tersebut membuat amarahnya semakin memuncak

"Maaf, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Maaf." Kata Afika yang panik melihat darah, numun bukannya memberikan maaf, Adrian justru mencekik leher Afika dengan sangat keras.

"Berani sekali kau!" Kata Adrian dengan tatapan yang tajam.

"Maaa...." Afika tidak dapat melanjutkan perkataannya karena merasa sakit di tenggorokannya.

Sungguh kejadian apa ini, sepagi ini harus mendapatkan siksaan yang tak henti-hentinya dari pria ini. Afika meneteskan air matanya. Dengan tatapan memohon menatap Adrian agar tangan Adrian terlepas dari lehernya. Hingga beberapa saat kemudian Adrian melepas tangannya, dan membuat Afika terlemas dan terduduk di lantai, dengan keadaan yang batuk-batuk.

Adrian pergi meninggalkan Afika yang saat ini sedang berusaha menghirup oksigen agar dirinya bisa baik-baik saja.

"Apa salahku? Kenapa kau tega." Lirih Afika, membuat Adrian yang mendengar menghentikan langkah kakinya.

"Bunuh saja aku. Bunuh aku jika itu bisa membuat mu bahagia." Kata Afika dengan air mata yang menetes membasahi pipi mulusnya. Adrian tidak menggubris ucapan Afika, dia terus melanjutkan langkahnya masuk ke dalam mension megahnya.

•••

Malam harinya, Afika berbaring di atas tempat tidur dengan menghadap ke samping membelakangi pintu kamar, dan saat mata Afika sudah mulai terpejam tiba-tiba pintu kamar kembali terbuka dengan sangat keras. Afika tidak ingin menoleh sedikit pun karena tahu, pasti yang masuk adalah Nadi, orang yang di tugaskan untuk menjaga dirinya lebih tepat untuk mengawasi dirinya agar tidak bisa kabur dari penjara yang di buat oleh Adrian. Namun, pikiran Afika salah, ternyata yang masuk adalah bi Sri. Bi Sri masuk membawa makan malam dan di letakkan di atas meja.

"Makanlah, dari kemarin kau belum makan sama sekali. Makanlah, karena kau butuh energi untuk bertahan hidup." Kata Bi Sri sambil berjalan keluar, namun langkah bi Sri terhenti kala Afika berkata.

"Bukannya dia ingin membunuhku? Lalu kenapa dia memberikan makanan untukku? Bukan kah dia bahagia jika melihat ku tidak bernyawa?"

Bi Sri tidak menjawab ia langsung keluar dari dalam kamar dan kembali menutup pintu.

Sedangkan Afika yang berada di dalam sana. Ia hanya melihat makanan itu dari atas tempat tidur dan tak sedikit pun niat nya untuk menyentuh makanan yang telah di bawah oleh bi Sri.

"Bukan kah mati lebih baik dari pada hidup di neraka ini." Gumam Afika lalu menutup matanya melupakan sakit perut akibat menahan lapar semenjak kemarin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!