Di suatu malam, di tengah guyuran hujan yang deras. Seorang pria yang terlihat gagah dengan pedang di tangannya berdiri di ambang pintu. Raut wajah khawatir yang dia miliki sejak tadi, kini berganti menjadi putus asa. Wanita yang dia cintai, kekasih hatinya, pasangan yang dia pilih untuk menghabiskan waktu bersama hingga maut memisahkan. Sudah tak ada lagi di dunia yang sama dengan dirinya. Lubang besar di dada wanita itu, darah yang terus mengalir dari sana, mata yang tertutup erat, dan tubuh yang menjadi semakin dingin. Membuktikan kalau dia jelas sudah ditinggalkan.
"Tidak! Tidak! Ini pasti mimpi!" gumamnya jatuh bersimpuh.
"Yang mulia!" pekik ajudannya ikut jatuh berlutut juga. Kaisar mereka sedang berlutut, mana mungkin mereka berani berdiri lebih tinggi dari pada junjungan mereka sendiri. "Tolong tenangkan diri anda!" katanya lagi mengingatkan. "Kita harus memeriksa siapa tahu ada yang selamat!" katanya menambahkan.
Seolah ingat akan sesuatu, pria itu mengangkat kepalanya. Dia berjalan di antara mayat para dayang dan pelayan istrinya. Tangannya terulur, menyapu lembut wajah cantik pasangan jiwanya yang telah tiada. Air mata menitik, jelas hatinya teramat hancur melihat istri yang dia cintai meninggal dalam kesakitan dan penuh luka.
Samar, dia mendengar suara tangisan bayi. Pria itu pun mengambil anak mereka yang disembunyikan oleh istrinya dalam dekapannya. Demi melindungi buah hatinya, istirnya bahkan rela kehilangan nyawa. "Meski dari jauh, akan aku jaga anak kita, istriku!" bisiknya tersenyum pahit di sela tangisnya.
Hujan semakin turun dengan derasnya, seolah tahu kalau kaisar negara ini sedang berduka. "Laksanakan titahku!" kata sang kaisar berbalik menghadap para abdinya. "Tutup mulut kalian tentang insiden ini! Pangeran kecil akan dipindahkan ke istana terbuang hingga tak akan ada mata jahat yang bisa mengancam keselamatannya!" lanjutnya dengan tegas dan berwibawa.
"Kami akan melaksanakan titah anda sesuai dengan yang anda perintahkan, yang mulia!" kata mereka menanggapi.
"Tujuh! Jadilah pengawal bayangan dari pangeran kecil! Lindungi dia di saat yang paling berbahaya saja!" kata pria itu lagi.
"Hamba siap melaksanakan perintah anda, yang mulia!" kata pengawal yang dipanggil tujuh.
"Ha-ah, bahkan aku yang seorang kaisar pun tak boleh berduka terlalu lama," desahnya menyerahkan anaknya sendiri ke tangan si tujuh tadi.
Mulai hari itu, istana yang luas ini seakan tak menerima keberadaan Pangeran Henry. Bocah itu selalu hidup dan terkurung di istana buangan tanpa pernah melihat satu pun saudaranya. Dia hanya bisa melihat ayahnya dalam potret atau buku yang dia baca. Tujuh pun selalu mengawasi dalam diam dan tak pernah menemui langsung majikan kecilnya itu.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Tujuh tahun berlalu, pangeran kecil yang terbuang itu kini sudah tumbuh sedikit besar. Pelayan di istananya tak ada yang ramah, mereka semua kesal karena harus ditempatkan di istana terbuang dan mengurus pangeran tak berguna seperti Henry.
"Aku lapar," kata Henry memegangi perutnya.
"Jangan cerewet dan tunggu saja dengan sabar makanan anda!" kata salah satu pelayan berkata acuh dan juga tak sopan. Jelas tujuh akan melaporkan semua yang terjadi pada tuannya, tapi sang tuan tak pernah mempermasalahkan dan hanya akan mengganti pelayan yang bisa dikatakan bersikap sangat kasar dengan pelayan baru lainnya. Tapi yah, kebiasaan susah diubah. Berapa kali pun sang kaisar mengganti pelayan, sikap mereka tetap saja sama.
Makanan Henry baru akan datang setelah hampir jam makan siang, itu pun jenis makanan yang bahkan pelayan saja tak memakan makanan seperti itu. Tapi, pangeran kecil kita tak mengeluh. Dia bahkan mengucapkan terima kasih atas makanan yang sudah dihidangkan.
Waktu berlalu, semakin hari Pangeran Henry semakin bertumbuh. Dia dikaruniai wajah yang sangat-sangat tampan, wajah yang lembut tapi juga tegas di saat yang bersamaan. Bisa dibilang wajahnya merupakan perpaduan dari kedua orang tuanya.
Pangeran kecil itu kini bisa mengurus dirinya sendiri. Saat dia lapar dan tak ada pelayan yang mau mengurus makanannya, dia akan membuat makanan sederhana dari bahan-bahan yang bisa dia dapatkan. Tentu saja banyak cemoohan yang dia terima, baik dari para sepupunya atau pun dari saudaranya yang lain. Bahkan pelayan di istananya pun tak bisa melewatkan untuk merendahkan seorang pangeran terbuang yang bisa dengan mudahnya dihina.
Makin hari, makin sedikit juga pelayan yang ada di istananya. Dia memang merasa sedikit kesepian, tapi dia juga senang karena tak lagi mendengar orang-orang mencemooh dirinya. "Aku tak boleh putus asa!" katanya mengepalkan tangan kecilnya. "Aku harus kuat dan berusaha agar ayah bisa sedikit saja memperhatikan dan menyayangiku!" lanjutnya bertekad untuk membuat dirinya menjadi anak yang berguna dan bisa dibanggakan.
"Huft, seandainya saja ada buku yang bisa aku baca dan pelajari agar aku tahu aku memiliki bakat di bidang apa?" keluh bocah itu menelungkupkan kepalanya. Dia dilarang keluar dari istananya. Semua kebutuhan sehari-harinya dikirimkan langsung ke tempatnya. Tak ada guru yang mengajari, selama ini Henry belajar sendiri dari buku-buku yang ikut dikirimkan untuknya beberapa minggu sekali.
Makanya dia sengaja mengatakan hal tadi. Dia berharap keajaiban yang sama juga terjadi seperti terakhir kali. Saat dia mengatakan dia butuh sebuah buku yang mempelajari tentang obat-obatan herbal dan tumbuhan beracun agar tak salah mengira itu bisa dimakan. Seperti sihir, keesokan harinya buku yang dia inginkan datang bersamaan barang-barang yang diantarkan ke tempatnya.
Kalau kali ini hal yang sama terjadi, dia akan berterimakasih entah kepada siapa itu. Dia sudah cukup lama merasakan kalau ada yang memerhatikan dirinya, tapi dia tak bisa menemukan seberapa keras pun dia berusaha.
Dan seperti yang diharapkan, hal yang sama terjadi. Buku yang dia inginkan datang bersamaan beberapa bahan makanan dan juga beberapa potong pakaian baru. Tentu saja itu semua pakaian yang sederhana, tak ada aksesoris yang mewah di sana. Semua terlihat seperti pakaian biasa yang tak cocok dengan gelarnya sebagai pangeran kekaisaran.
"Kami permisi kalau begitu!" kata pelayan yang mengantarkan semuanya setelah mereka menyusun ke tempatnya.
"Terima kasih sudah membantu," balas Henry tersenyum ramah. Para pelayan yang tua sangat menyukai sikap sopan Henry, tapi mereka tak bisa terlihat dekat dengan pangeran bayangan yang bahkan tak dipedulikan oleh kaisar mereka. Mereka ingin hidup dengan tenang dan bekerja untuk waktu yang lama, jadi mereka tak ingin ditandai selevel dengan pangeran buangan mereka itu.
"Itu sudah tugas kami!" kata mereka dengan acuh sebelum benar-benar pergi.
Henry tak mempermasalahkannya, dia malah terlihat senang saat ditinggalkan sendiri. Bocah itu terlihat menarik napas panjang, kemudian dia berteriak dengan cukup lantang. "Siapa pun dirimu! Paman atau bibi, terima kasih untuk bukunya!" katanya ditutup dengan senyum lebar. Pangeran kecil kita itu pun berlari setelah mengucapkan kata terima kasih yang tentunya ditujukan untuk Tujuh yang bersembunyi di balik pohon besar.
Tujuh merasa tersentuh mendapatkan ucapan terima kasih secara tak langsung, pria itu tersenyum sangat tipis. "Biar ini jadi rahasia untukku," bisiknya terbawa angin.
Henry memang tak diperbolehkan keluar dari istananya, tapi bukan berarti orang luar tak diizinkan datang. Seperti sekarang, salah satu kakak Henry datang dan merusak semua barang yang ada di ruang tamu pangeran malang kita.
"Oi, coba lihat!" Kata kakaknya Henry. "Ayah memberikan aku pedang baru karena guru memuji kemampuanku!" tambahnya bersikap sombong.
Pangeran kecil kita itu hanya menganggukkan kepalanya. "Kakak memang hebat!" pujinya setulus hati.
"Jangan panggil aku kakak!" hardiknya kasar. "Aku tak punya adik memalukan seperti kamu!" ketusnya lagi. "Kata ibundaku, kamu itu tak lebih dari pelayan kotor yang diberi label pangeran!" tambahnya menghina Henry.
Henry tertunduk, dia sudah sering mendengar hal seperti itu. Dia kira dirinya cukup terbiasanya, tapi nyatanya tetap saja sakit saat mendengar hinaan yang sama terucap dengan mudahnya di depan dirinya sendiri.
"Oi, bodoh! Aku lagi bicara! Dengarkan dan jangan abaikan aku?!" setiap pangeran jahat itu membuka mulutnya, dia selalu menghancurkan satu barang yang ada di ruangan itu.
Tak bisa berbuat apa-apa karena tak tahu di mana dan apa kesalahan yang sudah dia perbuat. Henry memilih diam saja meski barang-barang di ruangannya dihancurkan.
Puas karena Henry tak melawan, Pangeran Leo pun kembali dengan wajah senang karena telah melampiaskan kekesalannya pada bocah kurang beruntung yang merupakan adiknya.
"Ahh, pekerjaan kita bertambah lagi!" keluh salah satu pelayan berdecak kesal.
"Haruskah kita juga yang membereskan ini? Padahal ini bukan urusan kita!" ucap seorang lagi yang bertugas bersama pelayan satunya.
"Kamu kira ada yang mau ditugaskan ke sini secara sukarela kalau bukan karena terpaksa atau sedang menjalani hukuman?!" dengusnya kesal.
"Biar aku yang mengurus ini," sela Henry bersikap ramah. "Kalian boleh kembali dan beristirahat," katanya lagi.
"Oh, benarkah?" tanya si pelayan dengan cepat.
"Pangeran kami memang sangat pengertian!" kikik mereka berdua menertawakan kebodohan Henry yang terus saja melakukan pekerjaan remeh seperti ini untuk memenangkan hati seorang pelayan. Mungkin agar dia tak lagi harus merasa kesepian dan ada yang menemani, makanya pangeran kecil bodoh itu sampai berbuat seperti itu.
"Kalau begitu kami akan pergi sekarang, yang mulia," kekeh si pelayan yang senang bebas dari tugasnya.
"Berhati-hatilah saat membersihkannya, yang mulia. Ada beberapa serpihan kaca saya lihat," tambah yang lain sebelum mereka pergi meninggalkan Henry.
Pangeran kecil kita membersihkan semuanya sampai semua serpihan tak tersisa. Bocah kecil itu menghela napas panjang. Sangat susah hanya untuk bertahan hidup dengan damai tanpa masalah hingga dewasa.
"Aku tak akan menyerah!" kata bocah itu bersemangat. "Aku akan terus maju dan berusaha keras untuk membuat ayah menyayangi aku!" katanya lagi penuh tekad.
Begitu Henry terlelap, Tujuh pun melaporkan apa yang sudah dilakukan oleh pangeran lain pada pangeran yang dia kawal. Pria itu juga menceritakan tentang betapa kurang ajarnya dua pelayan yang malah mengomel saat ada kerjaan dan berakhir dengan Pangeran Henry yang mengerjakannya sendiri. Tujuh juga menyampaikan kalau tekad pangeran kecil mereka masih sama, yaitu membuat kaisar mereka perhatian dan menyayangi dirinya meski hanya sedikit.
Wajah kaisar terlihat kusut, dia kesal tak bisa bertindak bebas padahal dirinya merupakan orang nomor satu di negaranya sendiri. Dia harus menipu mata para penjahat dan menjauhi anak kesayangannya sendiri. Sungguh takdir yang menjengkelkan untuk dijalani.
"Segera ganti semua perabotan sang pangeran, berikan perabotan yang terlihat murah tapi tak mudah hancur pada kenyataannya!" titahnya membuat keputusan cepat.
"Untuk Pangeran Leo, biar aku sendiri yang menghukum dia dengan alasan lain!" kata sang kaisar menyipitkan mata kesal.
Tujuh mengangguk paham, mengikuti apa yang junjungannya perintahkan untuk dilakukan. Pria itu bergerak dalam diam dan bekerja secepat yang dia bisa. Semua telah selesai dia lakukan, bahkan sebelum jam jaga tengah malam berdentang nyaring.
"Semoga yang anda inginkan akan segera terpenuhi, pangeran," katanya berbisik tulus sambil menatap ke langit malam. Tujuh pun tertidur tapi tetap dalam keadaan waspada. Dia tak pernah menurunkan penjagaannya sama sekali walau matanya tertutup rapat. Semua bunyi sekecil apa pun berhasil tertangkap oleh indera pendengaran pria yang mengawal Henry itu.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Keesokan harinya, Henry cukup terkejut dengan keadaan ruang tamunya yang kembali dipenuhi oleh beberapa perabotan. Meski terlihat kusam dan tak mewah, tapi tak masalah sama sekali bagi Henry. Dari pada tak punya, dia lebih memilih menggunakan barang-barang itu untuk keperluannya sehari-hari.
"Ya, ampun! Apa-apaan semua ini?" kata pelayan yang baru saja datang.
"Padahal kemarin di sini sangat berantakan!" ucap pelayan yang lain.
"Apa anda melakukan sihir atau sebuah trik?" tanyanya menatap curiga.
"Aku juga baru melihat semua ini dan terkejut seperti kalian," balas Henry polos.
"Tapi, ini bahkan terlihat lebih murahan dari pada yang ada di rumah keluarga kami," cibir pelayan ke satu menghina barang-barang yang Pangeran Henry dapatkan.
"Jangan begitu, ini sudah lebih bagus dari pada tak memiliki perabotan sama sekali," kikik yang lain mengejek pangeran kecil mereka.
"Maaf, kalau komentar kami menyinggung anda, yang mulia," kata mereka berdua tanpa rasa hormat sama sekali. Jelas keduanya hanya meminta maaf untuk berbasa-basi saja tanpa adanya ketulusan sedikit pun di dalamnya.
"Tak apa," ucap Pangeran Henry tenang. "Apa yang kalian katakan sama seperti apa yang saya pikiran beberapa saat yang lalu," lanjutnya tak tersinggung sama sekali.
Kedua pelayan itu sebal, kenapa hari ini pangeran kecil mereka tak asik untuk diajak bermain seperti biasanya.
"Kami akan ke dapur dan menyiapkan makanan untuk anda dengan segera!" katanya kesal.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
"Apa-apaan perilaku bodoh tadi itu? Menjengkelkan?!" dengus pelayan tadi kesal tanpa sebab.
"Jangan terlalu kesal hanya karena seorang bocah buangan," bisik kawannya menghibur. "Percuma membuang emosi untuk anak yang sama sekali tak berpendidikan!" tambahnya mendengus meremehkan Henry.
"Kamu benar!" ucap yang lain setelah cukup tenang. "Ayo, buat makanan enak untuk kita dan berikan makanan spesial untuk pangeran kecil kita yang terlalu baik hati!" kekehnya mencoba mengganggu Henry dengan cara lain. Pelayan satunya pun mengangguk setuju. Setelah mereka berdua kenyang memakan makanan-makanan enak, mereka hanya memberikan Henry sepotong roti keras dan sup tanpa isi sama sekali.
Pangeran Henry tak berkomentar, dia memilih makan dalam diam. Setelah selesai dia bahkan berterimakasih atas makanan yang telah mereka sediakan untuknya.
Kedua pelayan itu tampak puas, mereka berhasil mengerjai pangeran yang seharusnya mereka hormati. Siapa suruh menjadi pangeran lemah yang dengan mudahnya dibully oleh pelayan seperti mereka.
Sedangkan di sisi lain, Pangeran Henry kembali membaca buku dan mencoba mengikuti instruksi yang tertulis di sana. Beberapa hari terakhir ini, Henry lebih suka belajar tentang ilmu pedang. Dia bahkan membuat sendiri pedang kayu, meski bentuknya tak sebagus pedang kayu sungguhan, tapi Henry sudah senang karena bisa memiliki sesuatu yang dia buat sendiri dengan tangannya yang kecil.
Hari ini, sang kaisar memanggil Leo. Pangeran Leo menghadap dengan wajah cemas, dia tak tahu ada apa gerangan sang ayah memanggil dirinya secara pribadi seperti ini. Apa ini ada hubungannya dengan pangeran bayangan yang terbuang di istana jelek itu. Tapi tak mungkin kaisar sendiri yang mengurus hal tak penting seperti ini.
"Ada apa ayahanda memangil hamba kemari?" tanya Leo dengan hormat.
"Kamu akan dikirim ke perbatasan negara untuk pertukaran budaya!" kata sang kaisar tegas dengan suara tak terbantahkan.
Mata Pangeran Leo terbelalak kaget, dia bahkan langsung mengangkat kepalanya secara tak sadar. "Ampuni hamba, ayahanda! Hamba merasa kalau tugas itu terlalu berlebihan untuk hamba yang tak memiliki bakat apa pun ini," katanya jelas untuk menghindar dari titah kaisar.
"Jadi kamu bermaksud menolak titah kaisar?!" kaisar berbicara dengan penuh penekanan. Menatap tak peduli kepada anaknya sendiri. Anak yang terlahir hanya karena keserakahan dari pihak istrinya. Sudah tahu dia hanya mencintai mendiang istri sahnya, mereka malah menyuruhnya untuk menikah demi kepentingan politik dan memperluas negara. Mau membantah, dia tak memiliki cukup kekuatan. Akhirnya dia menerima begitu saja dan merasa kalau dirinya tak akan pernah membuat kesalahan yang bisa mengancam kekasih hatinya. Sayangnya itu hanya imajinasi dan kepercayaannya saja. Obat yang mereka berikan lebih kuat, dia pun tak tahu kalau dirinya sudah berhubungan dengan istri yang dinikahinya secara politik. Makanya dia bisa memiliki anak lain selain dari anaknya dan wanita yang dia cintai. Anak yang harus dia lindungi dengan berpura-pura membencinya agar sang anak bisa tetap hidup walau tanpa kasih sayang darinya.
"Bukan begitu, ayahanda! Hanya saja, saya merasa tak pantas untuk menanggung beban tersebut," kata Leo cepat, tak ingin ayahnya lebih marah dari pada ini.
"Haruskah aku panggil si bungsu yang tinggal di istana terbuang? Mungkin dia akan menerima dengan patuh titah dari kaisar negara ini tanpa memikirkan apa pun!" jelas itu provokasi yang sengaja sang kaisar ucapkan agar Leo marah dan berubah pikiran.
"Tidak perlu, ayahanda!" katanya cepat meski masih tersirat keraguan. "Biar saya yang pergi!" ucapnya lagi.
Kaisar pun menarik sudut bibirnya ke atas, terlihat puas karena sudah berhasil menjauhkan pangeran nakal ini dari anaknya yang malang. "Kamu boleh bersiap dan pergi besok pagi-pagi sekali," kata sang kaisar melambaikan tangannya menyuruh Leo pergi dari hadapannya dengan segera.
"Kalau begitu, saya permisi, ayahanda!" ucap Leo berpamitan. Hari itu, Leo sibuk berkemas dibantu oleh beberapa pelayan. Ibunya mengatakan kalau dia akan berbicara dengan sang kaisar agar suaminya itu mengubah keputusannya. Namun, Leo mencegah hal itu. Dia lebih tak rela kalau anak buangan itu yang malah melakukan tugas yang seharusnya menjadi miliknya. Meski ini berbahaya tapi dia yakin dia bisa melewatinya karena banyak pengawal yang ikut bersama dengan dirinya.
"Biarkan ibu berbicara sekali saja dengan ayahmu, ya?" bujuk sang ibu yang khawatir anaknya kenapa-napa nantinya.
"Tidak! Ayahanda sudah memutuskan dan aku menerimanya! Ibu sebaiknya jangan melakukan hal yang bisa membuat ayahanda kesal pada kita," kata Leo kemudian.
"Meski kesal, ayahmu tak akan bisa berbuat banyak. Dia masih butuh dukungan dari keluarga ibu!" kata sang ibu terlihat yakin.
"Lakukan! Dan ibu akan melihat anak jelek itu yang melakukan tugas ini?!" balas Leo mengangkat bahu sambil berdecih. Jelas dia membenci hal tersebut.
"Memang apa masalahnya?" kata sang ibu dengan cepat. Dia tak peduli siapa yang diutus, asal bukan anak kesayangannya. Anaknya harus menjadi kaisar menggantikan suaminya yang sama sekali tak pernah memberikan sedikit pun hatinya kepadanya selama mereka menikah bertahun-tahun. Jadi, sudah sewajarnya kalau tahta kekaisaran diberikan pada anaknya yang merupakan anak sulung raja. "Bukankah malah bagus kalau itu terjadi, siapa yang tahu kalau dia akan mati saat menjalankan tugas sulit ini," dengus wanita itu terlihat senang dengan apa yang dia bayangkan akan terjadi pada Henry kalau menjalankan tugas menggantikan anaknya.
"Dan bagaimana kalau perhatian ayahanda berpindah kepada bocah bodoh itu?" tukas Leo tak suka. "Aku tak bisa membayangkan kalau aku harus duduk sejajar dengan makhluk tak berguna seperti dia!" katanya lagi dengan ekspresi jijik.
"Ibu tak memikirkan itu sama sekali," gumam sang ibu akhirnya sadar. Kalau mereka membuat suaminya kesal dan kecewa lalu bocah jelek itu menyetujui tanpa berpikir sama sekali, bukan hal yang mustahil kalau anak itu bisa mendapatkan kasih sayang dari suaminya yang sangat mencintai ibu dari anak tak berguna itu.
"Karena itu, ibu tenang saja. Tak akan ada yang terjadi padaku!" kata Leo yakin. "Lagi pula paman akan menyusul dan menjagaku dengan baik kalau ada bahaya yang datang," ucap bocah yang berusia dua belas tahun itu membanggakan paman dari pihak ibunya yang selalu memberikan dukungan padanya dalam bentuk apa pun.
Meski masih khawatir, tapi Ibu Leo berusaha menekan kekhawatirannya. Dia harus percaya, keluarganya akan menjaga anaknya agar tak terjadi apa pun. "Baiklah, ingat untuk bersembunyi kalau keadaan memang sangat berbahaya!" kata sang ibu yang lebih mementingkan keselamatan anaknya di atas hal yang lain. "Ibu akan berdo'a untuk keselamatan kamu, putraku," katanya lagi.
"Jaga kesehatan, ibunda. Jangan lupa ibunda merupakan ibu suri di masa depan," kata Leo sebelum berangkat.
Kata-kata yang ditinggalkan Leo memberi banyak dorongan bagi sang ibu yang ditinggalkan. Wanita itu merasa penuh sukacita saat membayangkan berapa banyak kekuasaan yang bisa dia dapatkan di masa depan setelah menjadi ibu suri.
Leo tak akan pernah tahu apa yang akan menimpa dirinya di perjalanan karena berani mengganggu Henry. Ayah mereka tak akan tinggal diam, dia pasti memberikan hukuman yang setimpal.
Perjalanan yang panjang, bandit dan binatang hutan bergantian menyerang. Leo terlihat gusar dan kesal, dia harus melalui ini hanya agar ayahnya tak kecewa dan berakhir berpaling darinya. Dia tak mau kalau sampai pangeran bodoh yang berbagi darah yang sama dengannya itu sampai mendapat perhatian dari ayahnya. Semua itu miliknya, Henry hanya boleh diam seperti orang mati di istananya yang terbuang.
"Paman! Lakukan sesuatu agar aku bisa kembali lebih cepat dari yang seharusnya?!" desak Leo datang ke ruangan pamannya. "Aku benci harus berlama-lama di sini!" katanya lagi disertai ekspresi kesal dan muak di saat yang bersamaan.
"Bersabar saja. Baru seminggu anda berada di sini," kata si paman menjaga sopan santun. Walau Leo keponakannya sendiri, tapi status Leo lebih tinggi dari pada dirinya.
"Paman ingin aku bertahan untuk berapa lama di sini?" tanya Leo semakin kesal disuruh bersabar. Makanan di sini tak enak, terlalu berisik kalau malam karena suara binatang buas. Belum lagi udara yang sangat ekstrim yang terus berganti antara panas dan dingin, membuat Leo tak bisa beradaptasi meski pun dia ingin.
"Setidaknya sampai yang mulia kaisar memanggil anda kembali," balas si paman yang sepertinya merasa jengah mendengar keluhan keponakannya yang tak ada hentinya itu.
"Ugh, kapan ayahanda akan memanggil aku kembali ke istana?" desah Leo setengah berharap tapi juga merasa putus asa. Entah apa masalahnya dan dirinya malah disuruh pergi ke sini. Padahal biasanya dia akan tetap menikmati hangatnya ibukota kekaisaran tanpa pernah melakukan apa pun untuk kekaisaran. Sudah ada para prajurit yang melakukan semuanya tanpa harus dia yang turun tangan sebagai pangeran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!