Prolog..
Dear My Ex Husband..
Terimakasih untuk cinta dan luka yang kau beri..
Mario menemukan sepucuk surat dari mantan istrinya sebelum pergi, dua baris kata yang entah mengapa seperti mengandung misteri untuknya..
Mereka berpisah baik- baik bahkan sampai mantan istrinya akan pergi mantan istrinya masih mengungkapkan bahwa dia mencintai Mario..
...
Kebodohan yang Namira lakukan adalah menikmati malam bersama mantan suaminya, hingga Namira menyadari apa yang dia lakukan menyakiti dirinya sendiri.
Apalagi saat mendengar kata- kata dari mantan suaminya..
"Aku harap dia tumbuh biar jadi kenang- kenangan.." katanya sambil mengelus perut Namira.
....................
Dear My Ex Husband..
Terimakasih untuk cinta dan luka yang kau beri, akan ku simpan dan ku jaga cintamu selamanya...
Mario menatap selembar kertas dari mantan istrinya, yang di tinggal mantan istrinya empat tahun lalu saat terakhir kali mereka bertemu.
Mario baru saja merapikan mejanya dan tak sengaja menemukan selembar kertas tersebut terselip di antara banyaknya dokumen di dalam lemari meja kerjanya.
Mario mendudukan dirinya masih dengan mata yang menatap kertas tersebut, hanya ada dua baris kata namun entah mengapa terasa menusuk relung hatinya, tentu saja.
Bagaimana tidak Mario bertekad untuk membahagiakan gadis yang dia temui sepuluh tahun lalu , namun nyatanya hanya lukalah yang dia berikan.
Sepuluh tahun lalu mereka bertemu dan saling jatuh cinta, lalu memutuskan menikah setelah dua tahun pacaran, pernikahan mereka bahagia dan penuh cinta meski belum juga di karuniai buah hati, tapi Mario dan istrinya selalu bersabar dan akan menunggu waktunya tiba mereka memiliki buah hati, hingga karena sebuah alasan konyol di usia pernikahan mereka yang ke empat, Mario menceraikannya dan meninggalkannya.
Dan kini tahun ke empat mereka bercerai, tepatnya empat tahun tiga bulan dan tak sehari pun Mario lupa akan mantan istrinya..
Namira Pradipta..
Mario tahu saat itu hati Namira amat sakit saat kalimat talak menghapus semua janji yang dia ucapkan di depan tuhan empat tahun lalu.
Namun Mario juga merasa tak kalah sesak dan sakit karena harus melepas Namira..
"Kau sudah selesai?" suara dari seorang perempuan mengalihkan tatapannya dari selembar kertas kecil yang sejak tadi di genggamannya, Mario melipat kertas tersebut dan memasukannya ke dalam saku celananya.
"Sedikit lagi.." Mario memasukan kembali dokumen pentingnya ke dalam kardus.
"Perlu bantuanku?" tanyanya lagi seraya mendekat ke arah Mario.
"Tidak, terimakasih. Lagi pula sebentar lagi selesai.." perempuan itu mengangguk.
"Baiklah, jika begitu aku akan mempersiapkan Vano.."
"Hmm.." Mario menghela nafasnya saat melihat punggung istrinya keluar dari ruang kerja nya.
Ya.. Erina adalah istrinya, wanita yang dia nikahi setelah tiga bulan bercerai dari Namira.
Dia brengsek bukan? menikahi wanita lain saat hatinya bahkan belum bisa melupakan mantan istrinya bahkan hingga kini Namira masih menempati posisi pertama di hatinya, tentu saja setelah Ibunya sendiri.
Mario terkekeh merasa lucu dengan jalan hidupnya, namun Mario tak bisa egois bukan, karena cinta dia harus meninggalkan Istri dan anaknya.
Ya, dari pernikahannya dengan Erina dia sudah di karuniai satu orang anak laki- laki bernama.
Revano Michael Andreas..
Bocah laki-laki yang baru berusia tiga tahun..
Mario selesai mengepak semua dokumen kerjanya dan menatap semua barang yang sudah selesai di kemas dan rapi, sebagian sudah di kerjakan asisten rumah tangganya.
Mereka akan pindah rumah, tepatnya pindah ke luar pulau dimana Mario bertugas membesarkan cabang perusahaan keluarganya yang baru.
Mario keluar dari ruang kerjanya dan di sambut Revano yang berlari kecil kearahnya.
"Papa.." aksen cadel masih nampak jelas terdengar.
"Hay Boy, ayo cium Papa!" dengan segera bocah kecil itu mengecup pipi Mario dengan bibir basahnya.
Bocah kecil itu memekik senang dan memeluk leher Mario saat Mario menggendongnya dan mengayunkan tubuh kecil itu.
"Semua sudah di masukan ke mobil kargo bukan?" tanya Mario saat melihat Erina datang dari arah luar.
Erina mengangguk "Ya, semua barang akan segera di kirim."
"Baiklah, sekarang kita akan segera berangkat" Mario keluar rumah dengan Revano masih di pangkuannya.
Sedangkan Erina membawa koper kecil berisi keperluan Revano, semua barang akan di kirim dengan jasa pengiriman barang dan mereka bisa pergi dengan ringan.
Menaiki mobil dan di antar oleh supir Mario bersama Erina dan anak mereka menuju bandara untuk pergi ke tempat baru mereka.
...
Hay..🤗 cerita baru datang, semoga rame ya disini, tes.. tes.. satu.. dua.. tiga
Namira menatap sekelilingnya dan memfokuskan pandangannya pada sorang bocah laki- laki yang berlari kecil mengikuti lalu kembali lari saat ombak kembali ke pantai.
Namira tersenyum saat anak laki- laki itu memeluk neneknya dan memekik karena di kejar ombak. terdengar celotehan yang masih tidak jelas di usianya yang baru tiga tahun.
"Nenek tatut..!" jeritnya.
Sang nenek pun tertawa melihat tingkah lucu cucunya yang bermain- main dengan ombak.
"Sudah puas mainnya?" Namira berjongkok dan melihat putranya yang masih memeluk sang nenek.
"Mamii" katanya senang, lalu menghambur memeluk Namira, Namira baru pulang bekerja, dan menjemput putranya yang merengek pada sang nenek jika dirinya ingin pergi ke pantai.
Beruntung hari ini Namira hanya masuk setengah hari karena hari sabtu.
"Ayo kita pulang" ajaknya saat Namira mengurai pelukannya.
"Ndak mahu, main- main.." katanya dengan aksen cadel, bocah itu berlari kembali mengejar ombak.
"Dia suka sekali pantai" Namira menoleh dan melihat ibunya lalu mengangguk setuju.
'Seperti Ayahnya' katanya dalam hati.
"Iya, tapi Ibu pasti capek ngikutin Juni.." Ibu Namira sudah tidak muda lagi, dan sering mengeluh sakit pinggang dan kaki.
Farida tersenyum "Tapi berkat Juni, ibu jadi punya semangat muda lagi.."
Namira terkekeh "Okay, jadi bagaimana cara kita bawa Juni sekarang.."
Farida tertawa jika sudah pergi ke pantai Juni akan sulit di bawa pulang, saking sukanya Juni dengan pantai, mereka harus menunggu hingga Juni kelelahan sendiri lalu tidur, barulah mereka boleh pulang.
.
.
.
Namira merebahkan Juni perlahan di atas ranjang agar Juni tidak terusik dan bangun, lalu mengunci pinggiran ranjang agar anak semata wayangnya itu tidak terjatuh.
Di kecupinya tangan sang putra yang bergeming dalam tidurnya, tidak terasa sudah tiga tahun sejak Juni lahir dan ternyata sejauh ini dia bisa membesarkan Juni tanpa pendamping, tanpa seorang pria yang biasa di sebut suami bersamanya.
Dan Namira selalu berusaha membuat Juni bahagia, meski dia tak punya seseorang yang bisa dia panggil Ayah, bagaimana tidak bahkan ayahnya tak tahu akan keberadaannya.
Namira selalu berusaha mendahulukan Juni dan mengesampingkan yang lainnya demi putra semata wayangnya.
Demi Juni, Namira rela melakukan apapun..
"Kamu sudah makan Nak?" Farida datang dari arah dapur dengan secangkir teh untuk Namira.
"Sudah bu, tadi di traktir sama bos aku.." Namira menyesap teh buatan ibunya.
"Bosmu yang pelit itu?" Farida bertanya bingung pasalnya Namira sering bercerita jika bosnya sangat pelit di kantor, bahkan untuk membeli minuman jika sedang rapat di luar kantor.
Namira terkekeh "Mungkin hari ini pengecualian, karena dia traktir kami di restoran mewah.."
"Dalam rangka apa?"
"Perpisahan, dia sudah tidak menjabat sebagai direktur perusahaan lagi, pemilik perusahaan berganti."
"Terus kamu ganti atasan?"
"Ya, katanya dia akan datang senin besok dan mulai memimpin, dan dia juga sekaligus pemilik perusahaan yang baru sekarang. Ibu ingat aku pernah bilang kalau perusahaan hampir bangkrut itu lah mungkin pemiliknya memilih menjualnya."
"Tapi bukannya perusahaan hampir bangkrut, kok di beli.."
Namira mengedikkan bahu "Aku gak peduli sih bu, yang penting aku dan yang lainnya gak di pecat. Ya meskipun kita gak tahu bisa bertahan atau tidak dengan bos baru, karena tentu saja kita harus kembali beradaptasi dengan peraturan dan cara kerja yang baru."
Sejak melahirkan Juni, Namira bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang sekertaris, jika di ingat lagi sejak kehadiran Juni, Tuhan selalu memberinya kemudahan hingga tak pernah merasa kesulitan dalam hal ekonomi, dan Namira tak pernah berhenti bersyukur.
Pekerjaan yang di dapat dengan mudah, juga dia bisa memiliki sebuah rumah sederhana, ya meskipun di beli dengan jalur kredit dan sudah berjalan satu tahun, sebelumnya Namira tinggal di rumah Farida sang ibu hingga satu tahun yang lalu Namira memboyong Juni beserta Farida sang ibu ke rumah barunya.
Dan Farida memutuskan menyewakan rumahnya untuk tabungannya itupun berkat usulan Namira.
Farida akan mengurus Juni saat Namira bekerja dan dia tak merasa lelah meski usianya sudah tak muda lagi.
Namira bahkan sempat menyewa seseorang untuk menjadi baby sitter untuk Juni, namun Farida menolak dan meminta Namira untuk memberhentikannya selain dengan alasan menghemat juga karena Farida masih mampu untuk membantu Namira menjaga Juni.
Dan seperti katanya saat bermain dengan Juni, Farida merasa muda lagi.
"Ya, udah istirahat gih, Ibu pasti capek, jagain Juni seharian" Farida mengangguk.
"Kamu juga, jangan kerja terus besok kan minggu, kamu masih bisa nyucinya besok aja.."
Namira terkekeh, Ibunya tahu kebiasaan Namira bekerja di malam hari "Ya Bu."
Namun kenyataannya Namira memilih berkutat dengan pekerjaannya , mencuci pakaian yang tak sempat dia cuci karena sibuk bekerja agar besok dia bisa menghabiskan waktu bermain bersama Juni seharian.
..
...
Like..
Komen..
Vote...
Namira menghela nafasnya, saat selesai dengan cuciannya yang sangat banyak akibat kesibukannya bekerja.
Namira melihat jam di dinding yang menunjukan pukul 23:45 malam.
Namira beranjak dan menuju kamarnya dimana Juni sedang tidur dengan pulas, bocah kecil yang tak pernah rewel, bahkan untuk tidur Juni hanya perlu meneguk susunya hingga habis, dan dia akan tertidur tanpa bangun di tengah malam.
Namira tersenyum melihat gaya tidur Juni yang tengkurap dengan wajah miring, di berikannya kecupan di pipi Juni lalu Namira berbaring di sebelahnya untuk memejamkan mata ikut tidur bersama pangeran kecilnya.
"Mami banun.. mamii banun.."
Namira mengerjapkan matanya saat merasakan ranjangnya bergoyang akibat juni yang terus meloncat di atas tubuhnya.
"Oh,, Jun.. pinggang Mami bisa patah.."
Gerakan Juni terhenti "Satit?" tanyanya dengan wajah polos, oh sungguh Namira gemas dibuatnya.
"Sakit banget Prince.." Namira mengeluh mendramatisir.
"Maaf Mami.." Namira segera membalik posisinya dan melihat Juni menampakkan wajah merasa bersalah.
Namira tersenyum dan mengecupi wajah Juni, hingga Juni berteriak kegelian.
"Deli Mamiii... delii"
"Masa geli sih? hum ayo sini mami cium lagi.."
"Ndak mahu Mami bauuuu" Juni turun dari ranjang dengan mengenakan kaki kecilnya lalu berlari dan Namira segera mengejar Juni yang tertawa dan bersembunyi di balik punggung neneknya, yang menggeleng melihat tingkah ibu dan anak itu. saat Namira mendekat bocah itu berjongkok dan masuk ke kolong meja makan.
"Oh.. Juni.. dimana kamu.." Namira pura- pura tidak melihat Juni padahal dia tau Juni bersembunyi dimana.
Bocah itu tertawa kecil lalu mengatakan "Baa.." dan Namira berpura- pura terkejut hingga Juni kembali tertawa merasa menang.
Namira melihat sebentar pada ibunya yang terkekeh melihat tingkah mereka dan tersenyum lalu kembali mengejar Juni.
....
Namira menggandeng tangan Juni memasuki play ground yang terdapat di sebuah mall terbesar di Bali, permainan disana sangat lengkap mulai dari edukasi anak dan permainan anak seusia Juni tentunya, Dan yang paling Juni sukai adalah menaiki kereta yang berputar di atas rel yang melingkar.
Juni bertepuk tangan dan melambaikan tangan pada Namira yang berdiri di samping rel dengan ponsel di tangannya dan siap mengabadikan momen, agar kelak bisa dia tunjukan...?
Pada siapa?
Tentu saja pada Juni dan untuk dirinya sendiri, untuk membuktikan bahwa dia bisa membesarkan Juni sendiri tanpa sosok ayah di sisinya.
Lalu kemana ayahnya?.
Namira menutup semua tentang ayah Juni, meski cinta itu masih ada, namun Namira menyadari dia tak mungkin bisa bersatu kembali dengan pria itu.
Tentu saja karena pria itu sudah menjadi milik perempuan lain.
Namira tersenyum kecut bahkan mungkin pria itu hidup bahagia bersama istri barunya, atau bahkan mungkin anaknya..
Tiga bulan setelah mereka bercerai mantan suaminya menikah lagi, Namira marah? tentu saja tapi itu dulu. saat pertama kata cerai terlontar dari mulut pria itu dan meluluh lantakan setiap kata cinta yang terucap sebelumnya, janji- janjinya dan kepercayaannya.
Kini Namira sudah ikhlas dengan jalan hidupnya, hanya satu yang Namira syukuri dari mantan suaminya, yaitu Juni..
Meski luka yang di torehkan amat dalam, namun mantan suaminya juga memberikan cinta berbentuk Juni yang menemaninya hingga kini dan selamanya. dia dan Juni akan selalu bersama, seperti janjinya akan dia jaga Juni selamanya.
Namira tertawa kecil saat Juni mengangkat tangannya senang ketika kereta yang dia naiki berhenti, dan Namira segera menyambutnya, lalu dengan segera Juni kembali berlari ke arah permainan lainnya.
Namira hanya bisa menggeleng pelan saat melihat tingkah Juni yang ceria.
Seharian itu Namira menghabiskan waktu bersama Juni, menggantikan hari- hari sebelumnya yang dia habiskan untuk bekerja dan meninggalkan Juni.
..Juni ku yang lahir di bulan Maret..
Mami tidak tahu kenapa Mami memberi nama itu, jika kelak kamu bertanya tentang ayah, akan mami ceritakan bahwa dia lelaki yang baik dan penyayang, andai dia tahu kamu ada pasti dia akan menyayangimu, namun hanya sebatas itu, dan satu pinta Mami..
Jangan pernah berharap dia akan ada bersama kita..
Karena diantara kita hanya akan ada Juni dan Mami..
...
Lanjut..?
Like..
Komen..
Vote..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!