Deras hujan mengguyur jalanan tidak membuat Gadis berseragam SMA itu terhambat menuju sekolahnya. Dengan menggunakan sepeda motornya ia melajukan motor menuju parkiran sekolah. Setelah memakirkan dengan benar, ia berlari kecil masuk kedalam sekolah sebelum terlambat.
"Fyuuh untung belum terlambat." ucap Cia berlari menuju lorong sekolah. Ia bingung, banyak pasang mata menyorot kearahnya dengan berbagai eskpresi. Malah lebih dominan yang menertawainya, apakah ada yang aneh?
Saat melihat dirinya dipantulan kaca jendela, Cia sontak tertawa pelan, pantas saja mereka menertawainya karena dirinya masih mengenakan helm dan juga jas hujan. Gadis itu langsung kembali lagi menuju parkiran motor.
"Aduh buat malu aja." gerutunya sambil melipat jas hujannya masuk kedalam jok motornya. Setelah itu ia merapikan rambutnya dan barulah masuk kembali ke sekolahnya. Sayangnya, ia malah dihadang oleh segerombolan kakak tingkatnya yang mengenakan jas kebanggaan sekolah. Anak OSIS ngapain disini ya??
"Lo yang pakai jepit rambut putih sini!" seru suara bariton itu membuat langkah kaki Cia berhenti sejenak. Jepit rambut putih? Siapa?
Cia celingak-celinguk mencari seseorang disekitarnya, namun tidak ada satupun kecuali dirinya sendiri. "Oh maksud kakak, gue?" tunjuknya pada diri sendiri.
"Emang selain lo gue manggil siapa huh?" ketusnya membuat Cia mencebik pelan.
"Ya mana gue tau kak, kalau kakak bilang nama pasti gue nyaut." balasnya membuat pria bertopi hitam itu menatapnya tajam. Tatapannya tertuju pada nama di seragam Cia.
"Belvana Bricia, dah gue sebut tuh nama lo. Lo udah telat 5 menit, sekarang lari ke lapangan!" serunya membuat Cia melotot tajam.
"Lo gila ya kak? Hari lagi hujan lo, lo suruh gue la—" Cia membelalak melihat ada beberapa siswa seperti dirinya rela berlari-lari mengelilingi lapangan ditengah hujan yang mengguyur sekolahnya. Wah nih orang punya hati apa nggak sih?!
"Apa yang lo tunggu lagi, cepat lari sana!" serunya membuat Cia menghela napas kasar. Gadis itu meletakkan ranselnya dipangkuan pria itu. "Gue titip tas ya, ada uang dalamnya. Kalau hilang gue salahin lo ya kak." ucapnya tersenyum puas langsung berlari ke lapangan sebelum pria itu mengeluarkan suara.
Baju Cia kini basah kuyup, percuma saja ia mati-matian memakai jas hujan saat berangkat tadi kalau ujung-ujungnya malah seperti ini. Ini sudah putaran ke dua Cia berlari, ia terus menyorot tajam menatap pria yang tengah mengawasinya sambil bermain ponsel. Cia memicingkan mata, saat melihat ada kucing yang mendekati ranselnya. "Oh tidak, bekal gue!" serunya panik berlari menyelamatkan ranselnya.
Pria bertopi hitam itu mendongak dan terkejut melihat Cia berlari kencang kearahnya, ia langsung memalingkan wajahnya dari gadis itu lantaran baju yang dikenakan Cia tembus pandang. "Lo ngapain kesini huh?!" kesalnya namun tidak dipedulikan Cia, gadis itu langsung mengusir kucing itu dan mengangkat ranselnya.
"Fyuuh syukurlah!" serunya senang lalu menatap tajam kearah pria didepannya ini. Tatapannya tertuju pada nama di name tag seragam pria itu. "Abryal Alfariel, bisa nggak sih jagain tas gue?!" kesalnya membuat semua anggota OSIS terkejut melihat kearahnya. Cia bingung, pandangannya beralih kearah seragamnya yang tembus pandang, sontak ia langsung menutup tubuhnya dengan ransel miliknya.
"A-apa yang kalian liat-liat huh?" serunya gugup, astaga ini pertama kalinya ia terlihat kacau. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan hukuman di hari kedua dirinya menginjakkan kaki ke sekolah ini.
"Ikut gue!" ucap pria itu dingin menarik paksa tangan Cia, semuanya hanya bisa melihatnya dengan iba karena bisa gadis itu simpulkan jika pria yang menariknya ini adalah orang yang sangat ditakuti di sekolah ini. Sial, lo salah berurusan dengan orang yang salah Cia.
Pria itu membuka ruangan OSIS miliknya, lalu berjalan menuju lemari. "Ganti baju lo!" serunya melempar pakaian itu pada Cia.
Cia spontan menangkap baju itu, ia mengernyit bingung mengapa pria ini mendadak aneh? Apalagi ini seragam perempuan. "Lo dapat dari mana baju nih kak?"
"Sumbangan, cepat ganti. Gue tunggu diluar!" jawabnya lagi langsung menutup pintu ruangan itu.
Braak.
"Iih ngeselin banget nih orang!" gerutunya lalu menatap kembali baju pemberian Abryal. Cia menghela napas sejenak, mau tak mau ia harus mengenakan seragam ini atau dirinya bisa masuk angin.
Usai mengganti seragamnya, Cia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil didalam ranselnya tadi. Setelah itu barulah ia berjalan kearah pintu. "Udah."
Pria itu menoleh kearahnya lalu mengangguk. "Lain kali jangan terlambat." ucapnya berjalan meninggalkan Cia yang terdiam ditempat.
"Lah kan hujan woi!" protesnya namun tidak dipedulikan pria itu, Cia menghela napas kasar dirinya pun langsung berjalan menuju kelasnya.
"CIA!" teriak seseorang membuat gadis itu menoleh keara suara itu.
"Mira, ngapain lo disini?" tanyanya bingung melihat temannya berlari kearahnya.
"Disini lo rupanya, gue dari tadi nyariin lo!"
"Emang ada apa?"
"Nggak ada, yok masuk. Lo beruntung banget, bisa ketemu sama kak Al!" godanya menyenggol lengan Cia.
"Huh? Maksudnya gimana?" Cia sama sekali tidak mengerti maksud gadis didepannya ini. Apalagi tadi menyebutkan beruntung banget ketemu pria itu? Yang ada Cia merasa sial karena dialah yang membuat paginya menjadi kacau seperti ini.
"Ish, kak Al jarang banget terlihat loh. Apalagi sekali ketemu udah berasa beruntung banget tuh liat cowok. Dia itu misterius Ci." terangnya.
"Misterius?" Dahi Cia semakin mengernyit bingung. Nih cewek kayaknya udah diracuni pikirannya tentang pria itu. Abryal Alfariel, gue harap kita nggak bertemu lagi.
"Udahlah, lo nggak bakalan ngerti. Yok ke kelas!" ajak Mira menarik tangan Cia menuju kelas. Tanpa disadari jika keduanya diperhatikan oleh pria yang tengah menjadi perbincangan mereka.
Pria itu merapikan topi yang dikenakannya sambil tersenyum miring. "Belvana Bricia, gue harap kita bertemu setiap hari mulai detik ini." gumamnya langsung bersiul menuju kelasnya.
***
Cia duduk termenung, pelajaran Fisika tadi membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Memang dasarnya ia tidak pandai Fisika makanya setiap pelajaran itu masuk pasti gadis itu frustasi.
"Huft, kenapa nggak bisa dihilangin aja sih pelajaran Fisika, sumpah susah banget ngertinya!" kesalnya meneguk kandas jus mangganya.
Mira hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman barunya ini. Cia adalah murid pindahan, entah kenapa gadis itu pindah ia pun tidak tahu."Lo mending makan mie gorengnya nih, keburu ngembang nggak enak lagi." ujarnya langsung dituruti oleh gadis itu.
Cia mengambil garpu dengan malas, ia memilin mie itu lalu memasukkan kedalam mulutnya. "Emang nggak ada tandingannya nih mie, buat gue candu." Suasana hatinya mendadak baik.
"Ya elah nih anak malah dramatis banget. Udah cepatan kunyahnya bentar lagi masuk!" serunya jengkel melihat betapa lambatnya Cia mengunyah makanan.
Cia yang tengah menikmati makanannya dengan tenang, dikejutkan dengan kedatangan Abryal yang duduk dihadapannya. Sontak Cia tersedak, buru-buru meneguk air putih milik Mira.
Jangan tanya Mira seperti apa sekarang, dirinya diam membeku karena kedatangan Abryal tiba-tiba duduk disampingnya.
Abryal tersenyum tipis, ia tidak peduli dengan semua orang yang tengah menatap mereka. Ia menikmati makanan yang sama dengan Cia. Tentu gadis itu menatapnya tajam. "Kenapa lo disini duduknya?" tanyanya sontak membuat semuanya terdiam.
Abryal mendongak menatap gadis itu dengan intens. "Nggak ada." jawabnya singkat. Cia kesal, ia mengambil sosis di piring Abryal dan mengunyahnya didepan pria itu. Lagi-lagi aksi Cia membuat semuanya kembali syok.
Abryal terkekeh pelan. "You're so brave, Bricia. I wonder if you life after this goes normally or not." ucapnya pelan lalu berdiri meninggalkan Cia yang terbengong dengan ucapannya barusan. Gadis itu mengepal tangannya kuat menatap tajam punggung pria yang mulai menghilang dari pandangannya.
Mira melihat iba kearah Cia, Abryal memanglah populer dan tampan. Tetapi, jika sekali berurusan dengan pria itu dahlah panjang urusannya. "Cia..."
Cia menghentakkan mejanya kuat. "Bisa nggak sih dia pakai bahasa Indonesia aja?! Mana gue ngerti bahasa Inggris anjir! Dia tadi ngomong apaan??" gerutunya membuat semuanya terbengong lagi menatapnya.
Mira menepuk jidatnya pelan. "Astaga gini amat gue punya teman."
Sejak kejadian di kantin, tentu namanya langsung terkenal dalam sekejap disekolah itu. Lihatlah, banyak pasang mata menyorot padanya lagi dengan ekspresi yang beraneka ragam. Tetapi, Cia tidak peduli, ia tetap melangkah dengan mantap menuju kelasnya.
"Anak baru dah terkenal aja ya." ledek Serena menatap sinis kearah Cia. Cia memutar bola matanya malas, ia menghiraukan Serena dan duduk dengan tenang dikursinya.
Serena geram, ia yang tahun berada disini belum pernah sekalipun terlihat oleh Abryal. Padahal tubuhnya sudah seperti bak gitar spanyol, siapapun pria yang melirik kearahnya pasti tergoda. Tetapi, tidak berlaku untuk pria yang menyandang gelar ketua OSIS itu, rasanya Serena ingin mendapatkan hati pria tampan itu juga. "Yalah, gue jamin lo nggak bakalan dapat kak Al."
"Yalah terserah, ambillah!" jawab Cia ketus sambil memainkan ponselnya. Serena begitu geram dengan tingkah anak baru itu, rasanya ia ingin menamparnya.
"Bricia," panggil seseorang membuat semuanya mematung begitu juga Cia yang tiba-tiba tersentak dengan panggilan itu. Cia menoleh dan mendapati Abryal berada didepan kelasnya. "Sini bentar!" serunya membuat semuanya heboh melihat kearah Cia.
"Astaga Ci, lo mau ditembak ya sama kak Al?!"
"Kasian banget lo Na, ditikung duluan sama anak baru."
"Punya body goal belum menjamin dapat yang spek ya!" ledeknya pada Serena.
"Buruan Ci kesana!"
"Aduhai ganteng banget laki gue!"
Serena mengepal tangannya kuat, ia tidak terima jika Cia akan menjadi kekasih dari Abryal. "Mereka nggak cocok."
Cia berdecak pelan, ia pun buru-buru terpaksa menghampiri Abryal. "Kenapa?" tanyanya ketus.
"Lo beli jepit rambut putih itu dimana?" tanyanya terus memperhatikan jepit rambut milik Cia.
Cia mengernyit bingung, kenapa pria ini tiba-tiba menanyai jepit rambutnya. "Nggak dijual."
"Ck, gue nanya belinya dimana?" tanyanya lagi kesal.
"Ya carilah sendiri kak, ini punya gue. Kalau lo mau beli, cari sendiri." ketusnya membuat Abryal langsung merampas jepit rambutnya.
"Sebelum lo ngasih tau gue dimana lo beli, nih jepit rambut gue rampas dulu. Bye!" serunya melambaikan tangannya menjauh dari Cia.
"Abryal sialan!" umpatnya pelan, Huft kenapa hari kemarin baik-baik saja? Kenapa hari ini tidak? Sial, itu kan jepit rambut kesayangannya dari kecil. Cia terus mencaci maki, pokoknya nama Abryal kini adalah nama yang paling ia benci.
"Gue harus dapatin itu balik! Ck, gue nggak tau nih jepit dapat dari mana, orang gue waktu itu masih kecil banget. Sial gimana cara ngambilnya lagi?!" gerutunya frustasi.
***
Cia tersenyum puas saat akhirnya menemukan pria itu daritadi setelah setengah jam keliling sekolah. Benar kata Mira, pria itu jarang terlihat disekolah. Cia berjalan mendekati lapangan voli dan melihat ada beberapa anak OSIS tengah bermain voli. "Widih spek mereka ngeri-ngeri woi," decaknya kagum, lalu pandangannya tertuju pada Abryal yang tengah menservis bola.
"Gila, dia keren banget mainnya. Eh? Cih, ngapain gue muji-muji dia." gerutunya kesal. Pandangannya tertuju pada salah satu tas yang menumpuk disana, ia berasumsi jika salah satu tas Abryal ada disana.
"Benar aman nih kan? Ih bodo amatlah marah atau nggaknya nanti urusan belakangan." gumamnya nekat menghampiri beberapa tas yang menumpuk disana.
Kebetulan tidak banyak yang menonton lantaran sudah jam pulang sekolah. Walaupun Abryal banyak penggemarnya, tetapi mereka semua tahu watak pria itu tidak ingin dikerumuni ramai-ramai atau mereka bersiap-siap mendapatkan hukuman darinya. Perkataan pria ini tidak main-main, sudah banyak kasus terjadi disini karena titah sang Abryal. Alhasil mereka hanya bisa pria itu lewat live sosial media dari seseorang yang juga merupakan anggota OSIS, itupun tanpa sepengetahuan pria itu.
Abryal yang asyik mengoper bola, tatapan matanya malah tertuju pada seseorang yang sedang mengacak-acak ranselnya. Saat bola mengarah padanya, Abryal langsung memukul bola kearah dekat gadis itu.
"AKKH!" pekik Cia terkejut, hampir saja ia terkena bola voli. Tatapannya langsung tertuju kearah lapangan dan mendapati Abryal menatapnya tajam.
Semua orang lagi-lagi menatapnya, apalagi ia mengambil sesuatu didalam ransel Abryal. Menyadari hal itu Cia buru-buru menutup ranselnya lagi dan menggenggam jepit rambutnya yang sempat ia temukan dalam ransel Abryal. "La-lanjutkan permainan kalian...Hahaha keren...keren!" serunya perlahan-lahan berjalan keluar sambil menyungging senyum terpaksa.
"Letakkan jepit itu lagi dalam tas gue!" ucap Abryal dingin membuat Cia dan yang lainnya terdiam. Cia memberengut, menggeleng kepala kearah Abryal.
"Maaf ini punya gue, kalau lo mau ini beli sendiri. Permisi ya kak, gue izin pulang dulu." pamitnya langsung berlari keluar.
Abryal tidak menyangka jika gadis itu begitu nekat terhadapnya, ia tertawa pelan membuat semuanya merinding melihat Abryal. "Sudah gue duga, lo emang unik Bricia." gumamnya pelan berjalan kearah ranselnya.
"Al, lo mau kemana? Mainnya belum selesai woi." tanya David melihat sahabatnya hendak pergi.
"Gue lelah, cari aja penggantinya. Gue cabut dulu bye!" serunya melambaikan tangan tanpa menoleh kearah David. Sedangkan David hanya berdecak pelan melihat tingkah Abryal.
"Astaga anak itu, tapi...Apa dia punya hubungan dengan gadis tadi? Nggak biasanya dia berurusan dengan seorang gadis, menarik." gumamnya terkekeh pelan.
***
Braak.
Cia terengah-engah sampai dirumah dengan selamat. Ia tadi begitu laju mengendarai motornya diatas kecepatan rata-rata agar tidak sampai dikejar Abryal. Sungguh, ia takut dengan aura pria itu.
"Oi, lo ngapa buka pintu kayak gitu huh?" seru seseorang membuat Cia menoleh kearahnya.
"Yoi bang, ambilin minum haus!" Cia memohon pada abangnya.
"Ambil sendiri, kan punya kaki, punya tangan." ketus Azlan—Abangnya Cia.
"Ck, gini amat gue punya abang. Gue kan lagi capek banget," keluhnya namun tidak dihiraukan oleh pria tampan itu.
"Eh lo mau kemana bang?" tanyanya melihat Azlan memakai sepatu.
"Mau kerja kelompok. Nggak terima jasa penitipan." jawabnya sarkas membuat Cia memberengut kesal.
"Belum juga gue ngomong dah hilang aja tuh anak. Huft, untung dapat nih jepit rambut." gumam Cia memandang jepit rambut itu. Ia sebenarnya bingung, mengapa orang setampan Abryal malah tertarik dengan benda perempuan seperti ini. Apa jangan-jangan pria itu ada kelainan?!
"Oh tidak...tidak, jangan sampai gue berurusan dengannya lagi. Udah cukup hari ini aja." Cia langsung mengganti bajunya dan memasukkan pakaian kotor kedalam mesin cuci. Setelah itu ia berjalan ke dapur dan terkejut melihat dapur berantakan seperti kapal pecah. "Ck, BANG AZLAN!!"
Cia mengomel sepanjang membersihkan dapur itu hingga bersih sebelum kedua orang tuanya pulang. Maklum, kedua orangtuanya ini termasuk orang yang sibuk dan jarang berasa dirumah. Di hari Minggu saja mereka masih mengurusi hal kantor, sebenarnya Azlan dan Cia merasa kedua orang tuanya sudah tidak peduli lagi dengan mereka, setiap ditanya pasti dengan alasan yang sama yaitu untuk kehidupan mereka juga agar sejahtera. Apalagi mereka baru saja pindah rumah karena kedua orang tua mereka mendapatkan bisnis yang bagus di kota ini. Akhirnya mereka malah terbiasa dengan keadaan keluarga seperti ini walaupun kadang Cia merasa iri dengan keluarga teman lainnya yang kedua orang tuanya masih peduli dengan anak-anaknya.
"Huft, Cia lo nggak boleh tamak. Ingat, dibawah lo masih banyak anak-anak diluar sana yang nggak tau orang tuanya dimana, jadi lo harus bersyukur apapun yang lo punya. Semangat!"
Usai membersihkan dapur, ia pun membuang sampah keluar rumah. "Awas lo bang, gue minta jajan lebih!" gerutunya sambil membawa sekantong besar sampah ditangannya.
"Oh ternyata disini rumah lo, Bricia."
Deg.
Cia terkejut, ia kenal suara ini. Tidak mungkin kan, pria itu ada disini? Dengan perlahan gadis itu berbalik badan dan membeku ditempat saat mengetahui pria itu benar-benar ada disini dan dengan santainya ia duduk diatas motor besar sambil tersenyum tipis padanya.
Gila, baru kali ini gue merinding dengan nih cowok, sebenarnya dia siapa? Kenapa dia trus mengusik gue?
Disinilah Cia dan Abryal berada, duduk di ruang tamu sejak 20 menit yang lalu. Cia merutuki dirinya yang mempersilahkan pria itu masuk sebagai tamu kedalam rumahnya. Manalagi ia menyediakan teh dan biskuit yang barusan ia buat untuk pria itu.
Cia bingung harus mengobrol apa padanya, jujur ia sulit menebak maksud pria ini datang kemari. Apalagi mengetahui rumahnya rasanya aneh sekali. "Lo udah selesai kan kak? Silahkan pulang." usir Cia, ia tidak bisa seperti ini lebih lama lagi. Takut abangnya pulang atau kedua orang tuanya, bisa gawat nanti jelaskan pada mereka tentang Abryal.
Abryal tersenyum miring. "Mana jepit rambut yang lo curi tadi?" tanyanya membuat Cia menatapnya tidak percaya.
"Hei, ini jepit rambut gue kak, lo kenapa sih obsesi banget sama jepit rambut gue?"
Abryal diam, ia memilih meneguk teh itu dan mengunyah biskuit buatan gadis itu. "Enak, makasih." ucapnya berdiri dari tempatnya. Pria itu melenggang menuju motornya dan melaju meninggalkan perkarangan rumah Cia.
"Ini aneh banget, gue nggak ngerti jalan pikirannya. Tadi dia minta jepit rambut gue, trus pas gue tanya malah kabur. Apa sih maksudnya?!"
Cia mengunci pintu dan menutup semua jendela. Pokoknya ia jadi waspada sejak Abryal datang tadi. Jujur, ia merinding dengan pria itu. Pokoknya ia harus waspada mulai sekarang.
Tok...tok...tok.
"CICI! CIII!" teriak Azlan membuat lamunan Cia buyar, buru-buru ia membukakan pintu untuk abangnya.
"Kenapa dikunci dari dalam huh? Udah lama gue nunggu!" cerocos pria itu, Cia berdecak pelan.
"Demi keselamatan bang, lo nggak tau kalau banyak maling disini." ketusnya berjalan kembali ke sofa.
"Wah, dapur dah bersih ya. Makacih." seru Azlan senang melihat dapurnya sudah seperti sedia kala.
"Wah, dipir dih birsih yii, mikiicih." Cia mendumel menirukan ucapan abangnya tadi. Ia langsung melempar bantal sofa kearah abangnya. "Gue minta tagihan bang!" serunya.
"Nggak ikhlas nih ceritanya? Padahal gue bawain lo jajanan loh."
Telinga Cia langsung tegak, cengar-cengir menghampiri abangnya. "Hihihi apa tuh?"
Belum sempat Azlan menjawab, adiknya yang kurang ajar ini malah merampas makanannya begitu saja. "Cilor kesukaan gue!" pekiknya langsung melahap cilor itu.
Azlan memutar bola matanya malas. "Ambilah semuanya, gue mau tidur. Sumpah ngantuk banget." ucapnya berjalan menuju kamarnya.
"Ya...ya sanalah! Makasih bang!" jawabnya tanpa menoleh kearah abangnya.
***
Deg.
Tamatlah, kenapa gue bisa telat bangun kek gini?!
Cia buru-buru mandi dan memakai seragamnya. Lihatlah jam sudah menunjukkan pukul 06.15. Ia bisa saja terlambat pergi sekolah.
"Cih, gue nggak mau dihukum apalagi bertemu dengan pria sialan itu lagi." gerutunya pelan, ia jadi ragu untuk tetap sekolah hari ini.
"Cici woi Cii lo udah bangun?" panggil Azlan dari luar kamarnya.
Cia semakin panik dan hanya bisa mondar-mandir didepan cermin. "Uhuk, gue lagi nggak enak badan bang." serunya menyangkal agar tidak jadi sekolah.
"Hah? Nggak enak badan? Serius?" Azlan langsung membuka kamar Cia yang kebetulan tidak dikunci.
Azlan melirik adiknya heran, sudah berseragam lengkap namun tidak terlihat jika adiknya sedang sakit. "Lo benaran sakit?" tanyanya sambil meletakkan tangannya di kening Cia.
"Nggak panas pun. Ayoloh mau bolos huh?"
Cia langsung menatap tajam abangnya. "Enak aja gue mau bolos, orang gue benaran nggak enak badan. Udahlah gue mau berangkat langsung takut telat." kesalnya merampas ranselnya lalu berjalan mendahului Azlan. Bukannya melancarkan aksinya, ia malah tetap datang ke sekolah. Dasar plin-plan.
"Hei sarapan dulu woi!"
"Nggak, makasih gue lagi nggak lapar!" jawabnya melenggang keluar rumah.
Cia mengendarai motornya dengan sangat lambat seperti siput. Ia tidak peduli jika dirinya terlambat sekolah toh, tujuannya memang tidak datang kesana lantaran pria itu. Saat ini adalah tujuannya pergi ke warnet, untuk merilekskan otaknya yang jenuh.
"Yuhuu warnet aku datang." serunya memekik pelan, ia memakai jaket coklat kesukaannya berjalan masuk kedalam Warnet. Hari ini penghuninya tidak terlalu banyak lantaran hari sekolah dan kerja jadinya hanya 5 orang disini termasuk dirinya.
"Mas, saya pesan yang dua jam ya."
"Oke neng, silahkan ambil tempat sesukanya." jawab operator warnet itu. Cia bersiul pelan mencari tempat yang cocok untuknya bermain komputer. Setelah mendapatkan tempat, barulah ia bermain disana.
"Iya hajar trus! Mati lo!" serunya memainkan mouse dan keyboard untuk menembak musuh dalam komputer itu.
"YES GUE MENANG!" soraknya setelah memenangkan game di dalam komputer.
"Bagus ya, malah bolos kesini." ucap seseorang disebelahnya.
Deg.
Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya, apakah dia berhalusinasi? Kenapa ia merasa suara tadi adalah suara Abryal?
"Nggak mungkin...nggak mungkin, mana dia tau kalau gue kesini." gumamnya tetap berpikir positif.
"Belvana Bricia, ckckck lo bolos." ucapnya lagi membuat Cia langsung menoleh kesamping.
"Aakh! Lo?!" pekiknya terkejut melihat Abryal benar-benar ada disini. Astaga apa pria itu cenayang? Kenapa muncul dimana-mana?!
Abryal tersenyum samar, menatap wajah gadis itu yang terlihat syok. "Mau taruhan, kalau lo menang gue bebasin lo dari hukuman. Kalau lo kalah siap-siap hukuman dari gue karena bolos, gimana?" tawarnya.
"Nggak, gue nggak mau. Ini urusan gue, lagian ini diluar sekolah, jadi lo nggak usah ikut campur urusan gue!"
"Disini urusan gue, lo nggak bisa mengelak Bricia." ucapnya penuh tekanan, tetapi tidak membuat Cia gentar.
"Ini diluar sekolah Kak, tolong jangan campuri urusan gue!" Lama-lama pria ini membuatnya jengkel, apa dia tidak ada urusan lain selain merecoki dirinya huh?
"Terima taruhan atau tidak?" tanyanya lagi masih keras kepala. Cia mengumpat kesal dalam hati, rasanya ia ingin menghajar pria menyebalkan itu.
"Nggak, sampai kapanpun gue nggak bakalan terima taruhan apapun."
"Oh iya? Trus lo mau kedua orang tua lo dipanggil ke ruang BK, gara-gara anak gadis mereka bolos kesini?" ledeknya sukses memancing amarah Cia.
"Brengsek, lo kalau ada masalah sama gue bilang langsung kak. Nggak usah pakai ancaman rendahan kayak gini!"
"Ck, mulutnya sangat terjaga sekali akhlaknya ya. Kalau lo kalah beuh hukumannya jadi double karna lo ngomong kotor, Bricia." ledeknya.
"Berhenti manggil gue Bricia, Bricia...agak lain telinga gue dengarnya!" Cia juga mempermasalahkan panggilan yang satu ini. Bukan apa-apa ia melarangnya, hanya saja setiap dipanggil nama itu ia kembali teringat dengan mantan pacarnya yang hampir melecehkan dirinya waktu itu. Beruntung abangnya datang tepat waktu dan menghajar habis-habisan mantan pacar brengseknya.
"Trus lo mau gue panggil apa? Cici? Eh itu bagus juga. Oke, mulai hari ini gue bakalan manggil lo Cici." ucap Abryal dengan santai.
"Ck, terserah lo lah, gue capek kak." pasrahnya, kalau semakin dilawan yang ada ia malah menghabiskan waktu nya hanya berdebat dengan pria itu.
"Jadi gimana, setuju apa nggak nih taruhannya?"
"Pakai nanya pula, gue nggak setuju tapi lo tetap ngotot setuju kan kak!" jengkelnya melihat pria itu.
Abryal tertawa pelan. "Gue anggap setuju ya Ci, tunjukkan kemampuan bermain game lo. Gue nggak bakalan ngalah dengan cewek." ucapnya menyinggungkan senyumnya.
Deg.
Gila, nih orang benaran nggak liat-liat lawannya siapa ya? Oi gue cewek, ngala lah woi! Arrgh kalau kayak gini bisa-bisa gue kalah! Cowok nih susah banget sih ditebak. Sebenarnya dia mau apa dari gue?!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!