NovelToon NovelToon

I Choose You!

Sarah Alona

Suara yang merdu dengan petikan gitar yang begitu terampil membuat beberapa pengendara motor di lampu merah terus memperhatikannya. Seorang gadis pengamen yang selalu tekun dalam bekerja selalu mempersembahkan lagu-lagu yang indah di setiap harinya.

Alunan musik serta suara yang bisa menyatu membuat para pengendara ikut terbuat. Satu persatu diantara mereka memberikan uang recehnya pada gadis pengamen itu.

"Terima kasih~"

"Terima kasih, semoga harimu menyenangkan!"

"Wah, terima kasih."

Ketika bicara biasa saja, gadis itu juga memiliki suara yang enak di dengar. Membuat beberapa pemuda, bahkan sampai yang lebih tua saja sengaja lewat di lampu merah itu hanya ingin melihat gadis itu.

Nama dari pengamen cantik itu adalah Sarah Alona, atau selalu dipanggil dengan nama Alona.

'Namaku Alona, Sarah Alona. Saat ini usiaku mau menginjak 18 tahun dan sudah sekolah di bangku SMA. Hmm, suatu saat nanti … Aku pasti akan menjadi seorang penyanyi terkenal.'

Alona memiliki adik bernama Lulita Zalona. Gadis itu tahun ini akan masuk ke SMP. Mereka berdua memiliki Ayah yang sudah sering sakit-sakitan. Membuat seorang Alona ngamen tanpa sepengetahuan orang tuanya. Gadis pekerja keras itu, selama ini mampu membeli buku sekolah sendiri dari hasil ngamen setiap ada jam kosong ataupun waktu libur di sekolah.

Gadis itu memiliki teman sebangku bernama Leon Radita (19), ia seorang yang penakut tapi pintar. Dia juga seorang yang kutu buku. Suka membela dan menasehati Alona. Lahir dari keluarga yang terbilang berada.

***

Suatu hari di kelas.

"Hei, kamu mau kemana?" tanya Leon, berbisik.

"Biasa—ini jam kosong, 'kan?" jawab Alona.

"Memangnya kenapa kalau jam kosong?" tanya Leon lagi.

Alona memutar bola matanya. "Astaga, apa kau lupa? Seperti biasa, aku akan cari nafkah untuk diriku dan adikku. Memangnya mau kemana lagi?" jelasnya, sambung mau siap-siap pergi.

Leon menahan tangan Alona. Membuat gadis muda itu menatap sahabatnya. "Ada apa lagi?" ketusnya lirih.

"Mm, jika kamu memang sangat butuh uang, kenapa harus membolos sekolah? Aku bahkan ada disini untukmu. Katakan, kamu butuh berapa, aku akan memberikannya padamu," bisik Leon.

"Ssstt jangan lagi, okay? Ck, hari ini aku membutuhkan banyak uang. Sebentar lagi ulang tahunnya Lulita, sepatu dia sudah rusak, jadi aku ingin memberikannya yang baru," terang Alona.

Mendengar itu, Leon langsung menahan tangan Alona laia. Sekali lagi dia mengatakan bahwa dirinya ada yang jika hanya membeli sepatu baru untuk Lulita.

"Leon, jika kamu meminjamkan uang padaku, bagaimana cara aku mengembalikannya?" Alona melepaskan tangan Leon secara perlahan. "Aku harus cari uang, bye!"

Leon sangat menyayangkan sikap Alona itu. Alona, selalu saja menjadi sang juara umum di sekolah, selalu jadi teladan karena menjadi siswa yang cerdas. Namun, kebiasaan buruknya yang sering bolos sekolah itu membuat bintang baik Alona menurun.

Alona berhasil melompat dinding sekolahan, berlari cepat menuju semak-semak tempat menyimpan gitar kesayangannya. Gitar kecil yang selalu menemaninya ketika mencari uang, selalu disimpan rapi supaya guru dan orang tuanya tidak menyita gitar kecilnya.

"Semoga kali ini aku berhasil mendapatkan banyak uang!" serunya.

Gadis itu segera lari menuju halte bus. Ia naik bis menuju terminal terdekat. Alona juga akan ganti baju sebelum pergi mencari uang, karena baginya, tidak mungkin mengamen masih memakai seragam sekolah, sebab itu bisa saja membuat citra sekolah akan buruk. Tidak lupa juga, Alona harus memakai topi dan jaket ketika mengamen.

"Nah, ini baru namanya Alona," sebutnya sendiri.

"Sarah Alona, calon penyanyi di masa depan yang akan terkenal dimana-mana, hehehe—"

Saat berjalan terburu-buru, tidak sengaja Alona menabrak seseorang.

Bruk!!

"Aduh, hati-hati!" seru suara seorang pria.

Pria dengan pakaian yang terlalu rapi itu sangat mencolok jika berdiri di terminal. "Kalau jalan tuh lihat kanan kiri, apa matamu tertinggal di rumah?" imbuh pria itu.

"Astaga, maafkan saya. Saya terburu-buru, maafkan saya!" Alona sampai membungkukkan punggungnya.

Remaja cantik ini tidak ragu untuk meminta maaf karena memang pada dasarnya dia yang salah. "Maaf, ya ..." lanjutnya merasa bersalah. Tanpa mendengar jawaban dari pria itu, Alona pergi begitu saja mengejar bus.

"Hah! Haduh, dasar anak jaman sekarang. Memang tidak ada sopan santunnya!" keluh pria itu.

Alona sudah beberapa naik turun bis hanya untuk bernyanyi. Namun tetap saja jumlah uang yang ia dapat masih belum mencapai target yang sudah ditargetkan.

"Haih, benar-benar sangat melelahkan," remaja itu mulai mengeluh. "Sudah bersusah payah, tetap saja hanya dapat sedikit,"

Setelah berpikir, Alona memiliki ide untuk bernyanyi di lampu merah. Sebenarnya malas sekali bagi Alona harus bernyanyi di lampu merah di terik matahari seperti siang itu. Tapi mau tidak mau, dia pun harus bernyanyi di sana.

"Disini sepertinya aman,"

Ketika Alona sedang bernyanyi, seorang pria yang menabraknya di terminal tadi bertemu dengannya lagi. Memang kebetulan atau takdir, Alona menyodorkan dompet kecilnya untuk meminta upah pada mobil pria itu.

"Hei, kita bertemu lagi?" ujar pria itu. "Hmm, ini untukmu!" katanya, memberikan lembaran uang kertas pada Alona.

"Eh Bapak lagi ya? Wah, ini apa tidak kebanyakan Pak?" tanya Alona begitu menerima uang tersebut.

Ekhem!

Pria di belakang kemudi mendehem. "Hanya uang sedikit, tidak ada harganya bagi saya. Pengamen seperti kamu ini, pasti senang bukan menerima uang itu? Sudahlah, kamu terima saja," kata-kata dan tatapan merendahkan darinya membuat Alona tersentak.

"Sama-sama dari tanah. Sama-sama menginjak tanah dan bakal balik lagi ke tanah, Jadi buat apa sombong? Heh, bahkan langit tak perlu menjelaskan kenapa dia tinggi. Dih, aku lihat ... yang tinggi saja tidak melangit. Ini kenapa tanah sok menjadi langit?" sulut Alona, dia sampai melempar uang itu pada pria itu.

"Melihat ke atas sebagai motivasi, bukan untuk jadi rendah diri. Melihat kebawah agar lebih bersyukur bukan agar jadi sombong," sambung remaja itu.

"Kau lihat, gunung yang tinggi, besar, luas dan gagah perkasa pun tidak pernah bangga. Lalu kenapa anda yang hanya sejentiknya saja berani sombong?! Malulah sama gunung. Menyebalkan!" Alona pun berlari menjauh dari mobil itu.

Dialah Kenzie, seorang pria kaku yang suatu saat akan merubah kehidupan Alona di masa depan. Pria yang memiliki sejuta prestasi yang sudah nyata adanya.

"Kau carikan dia untukku. Aku akan berterima kasih atas nasehat yang mahal itu," perintah Kenzie.

"Siap Pak," sahut asisten pribadinya.

Mata Kenzie terus menatap ke arah Alona pergi. Tatapan penuh amarah karena merasa terhina membuat pria gagah itu semakin ingin cepat bertemu dengan gadis bergitar itu.

"Ck, untuk apa kau mencarinya lagi? Dia hanya modus saja. Kau baru kembali dari luar negeri, jangan sampai terkecoh dengan gadis berwajah polos seperti dia," tegur Melvin, sahabat Kenzie.

Meski sudah diingatkan oleh sahabatnya, niatnya bertemu kembali dengan Alona tidak pudar. Ia terus saja menatap Alona yang saat itu sedang bernyanyi di seberang jalan.

Masa Sekolah

'Wajah tajam dari gadis itu sangat berbeda. Entah mengapa aku malah ingin bertemu dengannya lagi,' batin Kenzie.

***

Sesampainya di depan kelas, ruangannya sudah kosong. Semua siswa sudah pulang karena jam kosong itu memang jam pelajaran terakhir.

"Sial, sudah sepi?" gumam Alona. "Sebaiknya aku segera mengambil tasku, atau aku akan kena hukuman lagi."

Gitar yang sebelumnya ia bawa, sudah berada di posisi semula. Di balik semak-semak dan terbungkus rapi disana. Meski hujan sekalipun, tak bisa membuat gitar kecilnya rusak.

"Apa yang kamu cari?"

Tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.

Bruk!

"Aduh, sialan!" umpat Alona.

Gadis itu menegakkan punggungnya. "Aku mencari tasku. Apa kau melihat Leon?" tanyanya, pada seseorang itu.

Bertanya dimana tasnya, tapi siswi yang menyapa Alona tidak menjawabnya. Siswi itu berjalan melangkah ke arah Alona.

"Apa kamu tidak memiliki rasa malu?" tanya siswi itu.

Tentu saja Alona menjadi bingung dengan pertanyaan itu. "Umm, maksud kamu apa?" tanyanya.

Siswi itu kembali melangkah, sampai kini mereka bisa saling bertatapan sejauh 1 meter saja. "Akan jauh lebih baik kalau kamu menjauhi Leon mulai saat ini!" tegasnya.

"Lah, kenapa? Apa salahnya?" tanya Alona tidak mengerti.

Siswi itu melempar tas milik Alona pada pemiliknya. Amarah yang terpancar di matanya membuat Alona semakin yakin jika siswi itu sedang marah padanya. Namun Alona tidak tahu juga alasan siswi itu marah padanya.

"Hei! Apa masalahmu? Mengapa harus sampai melempar tas seperti ini?" tanya Alona, dia juga ikut menyulut.

"Kau!" siswi itu sampai menunjuknya. "Semuanya gara-gara dirimu. Andai saja kau tidak bolos sekolah, Leon tidak akan di skorsing oleh guru bimbingan!" hardiknya.

Pernyataan itu tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. "Mengapa harus dia? Aku yang membolos, mengapa dia yang di skors?" tanyanya.

"Aku harus mencari guru bimbingan itu," gumam Alona.

Sayangnya, langkah Alona terhenti oleh siswi yang sejak tadi mengganggunya. "Kau tidak akan menemukan guru bimbingan, Alona. Mereka pasti sudah pulang," ucapnya.

"Akan jauh lebih baik jika kau menjauh dari Leon mulai saat itu. Kau hanya akan membuatnya menderita saja!" hardik siswi itu.

Siswi itu menatap tajam Alona, ia menghampiri Alona dan menegaskan jika dirinya adalah orang yang jauh lebih berhak dekat dengan Leon dibandingkan dengan Alona.

"Aku adalah kekasihnya. Jadi aku yang lebih berhak menentukan apa yang terbaik bagi Leon. Kau bukan siapapun baginya, jadi sadarlah, Alona!" desis siswi itu, kemudian pergi begitu saja.

Di perjalanan pulang, Alona nampak sangat sedih. Leon sama sekali tidak menjawab telepon darinya. Ia sangat menyesal jika sahabatnya sejak kecil itu diskors karena dirinya. Bagaimanapun pun juga, Leon ini adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah.

'Apa dia marah padaku? Tak seperti biasanya bisa mengabaikan telpon dariku,' gumamnya dalam hati.

'Hmm, untuk apa aku bertanya? Bodohnya diriku tak ini, mana mungkin dia tidak marah padaku. Aku sudah sangat keterlaluan melibatkan dia dalam urusan kenakalanku,'

'Sebaiknya aku minta maaf padanya.'

Sekalinya Leon akan pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya. Jadi Alona berinisiatif akan mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan supaya mau mencabut hukuman untuk sahabatnya itu dan dirinya juga siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.

Sore itu, Alona duduk di bawah rindangnya pohon rambutan, menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi dan tiba-tiba teringat akan Bos sombong waktu itu.

"Hufft! Rasanya aku ingin menaikkan dasinya hingga tercekik tadi. Aku sangat berharap dia mendapat pacar pengamen sepertiku biar tau rasa! Hish, menyebalkan!" keluh Alona selesai menghitung uang di sakunya.

Kemudian gadis manis itu memutar lagu menggunakan earphone-nya. Baginya, hanya musik yang mampu menenangkan pikirannya sudah sulit jernihkan.

"Hmmm tenangnya ...." Ujar gadis itu, menyandarkan kepalanya di pohon samping rumahnya.

Bagi seorang Alona, sampai saat ini belum ada hal yang mampu menenangkan dirinya ketika sedang tidak baik-baik saja kecuali sebuah musik. Meski pulang ke keluarga adalah rumah, tetap saja bagi Alona, musik adalah bagian dari kedamaian hidupnya.

***

Pagi hari.

Sang surya menyambut pagi indahnya Alona. Tanpa sarapan, ia berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk bisa bertemu dengan guru bimbingannya. Yah, meskipun Alona itu siswi yang cerdas, tetap saja absennya sangat buruk karena ia sering terlambat dan tak pernah absen sering membuat masalah, serta suka membolos.

Tok tok tok...

Suara pintu terketuk. Pintu yang terbuka hanya separuh itu menandakan jika guru bimbingan sudah hadir.

"Selamat pagi," salam Alona.

Beruntung sekali saat itu memang guru bimbingan sudah hadir. Beliau selalu hadir lebih awal daripada guru yang lainnya.

"Iya, masuk!" jawab guru bimbingan.

Klek~

Pintu terbuka sepenuhnya.

"Oh, kamu. Mimpi apa saya semalam, ya? Ada siswi istimewa ternyata yang berkunjung hari ini," ucapnya.

Alona merasa tersentak. Tapi masih pura-pura tenang supaya tidak salah bicara. "Wah ... saya bahkan tidak menyangka saja, ternyata ibu mengistimewakan saya di sekolah ini, hmmm luar biasa, Bu," sahut Alona sambil menyeringai.

Guru bimbingan memberikan waktu untuk Alona menyampaikan apa yang ingin ia katakan sampai datang ke ruang guru bimbingan.

"Kenapa anda memberikan skor pada Leon, Bu? Apa kesalahannya?" tanya Alona. "Apa kesalahannya?" tanyanya lagi.

"Karena membantumu bolos sekolah, apalagi?" jawab guru bimbingan.

Alona menghela napas. "Leon tidak pernah membantu saya bolos sekolah, Bu. Saya yang tidak mendengarkan ucapannya, bahkan Leon juga yang mencegah saya membolos, Bu!" ungkap Alona, mengakui.

"Lalu, kenapa kamu tetap bolos jika temanmu saja sudah melarangmu?" guru bimbingan ini tidak bisa galak atau marah pada Alona.

"Ada hal yang tidak bisa saya katakan sekarang pada anda, Bu," sahut Alona lirih. "Tapi tolong. Tolong anda cabut saja hukuman Leon, saya yang akan terima hukuman itu, Bu," Alona sampai memohon.

Setelah berpikir sejenak, guru bimbingan akan mencabut hukumannya Leon jika Alona mau mengakui kesalahannya di depan para guru dan kepala sekolah. Lalu meminta maaf secara terbuka juga pada Leon di depan seluruh siswa.

"Baik, saya akan melakukan apa yang sesuai dengan anda katakan ini, Bu. Saya akan mengakui kesalahan dan meminta maaf secara terbuka pada guru dan teman-teman sekolah," tanpa pikir panjang lagi, Alona menyetujuinya. "Selamat pagi, saya permisi dulu." pamitnya.

"Alona, kamu ini sebetulnya anak yang cerdas. Tapi kenapa sifat dan tingkah lakumu seperti ini. Ibu harap kamu berubah menjadi lebih baik." gumam guru bimbingan ketika Alona sudah pergi.

Benar, Alona hari itu tetap berada di sekolah karena dalam dua hari kedepannya, dia akan menjalani hukumannya. Alona terlahir sebagai gadis miskin, sekolah mendapatkan bantuan dari pemerintah dan dia juga sering bolos karena harus mencari nafkah. Padahal Alona juga akan bolos sekolah ketika jam pelajaran kosong saja.

Skorsing Pembuat Masalah

Setelah menerima skorsing dari sekolah, Alona berencana menghabiskan waktunya di rumah. Namun ia memikirkan ulang semuanya, sebab tak mungkin ia lakukan bersantai di rumah karena kedua orang tuanya pasti akan sedih jika anaknya di sampai di skors dari sekolah.

Malam hari di rumah.

"Alona~" suara lembut panggilan ayahnya Alona itu membuat hati putrinya tenang.

"Iya, ayah," sahut Alona. "Tunggu sebentar, aku akan datang ke situ," katanya.

Sampai di depan ayahnya, "Apa ayah membutuhkan sesuatu? Aku akan ambilkan untukmu, ayah," tanyanya.

"Ah tidak. Hmm, ayah hanya ingin ngobrol sebentar dengan kamu, kemarilah. Sudah lama sekali kita tidak ngobrol berdua seperti ini, ya ...." Jawab ayahnya.

Alona duduk di samping ayahnya. Gadis itu merangkul lengan ayahnya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ayah. "Ada apa, ayah?" tanyanya lirih.

"Ayah merasa tidak enak perasaanya ini. Hmm, apa kamu baik-baik saja di sekolah?" ternyata ayahnya merasakannya.

"Eemm ... iya, ayah. Aku baik-baik saja di sekolah," jawab Alona, berusaha untuk tidak gugup. "Um, tumben sekali ayah menanyakan sekolahku. Memangnya, ada apa, ayah?" lanjut bertanyanya.

"Syukurlah kalau begitu. Eh, memangnya ayah tidak boleh menanyakan sekolahku, ya?" perasaan seorang ayah sangat peka jika terjadi sesuatu pada putri kesayangannya.

"Boleh, dong!" Alona memeluk lengan ayahnya dengan erat.

Helaan nafas pelan terdengar ketika Alona memeluk ayahnya. Sepertinya ayahnya sedang tidak baik-baik saja, tapi Alona takut untuk menanyakannya.

"Alona," sebut sang ayah dengan lembut.

"Iya, ayah?" sahut gadis manis itu.

"Anda saja ayah lebih dulu tiada nanti, kamu harus tetap mengejar cita-citamu. Jangan sampai kamu gagal menjalani pendidikan. Pendidikan itu sangat penting, Nak," kaya sang ayah.

Deg!

Seketika jantung Alona seperti berhenti sedetik, ia melepaskan pelukannya. Menatap ayahnya dengan tatapan heran. "Apa-apaan ini, ayah?" tanyanya.

"Aku akan menjadi putri ayah yang bisa ayah banggakan. Aku berjanji, aku pasti bisa mengangkat derajat ayah dan ibu. Ketika aku lulus nanti, Aku yang akan sepenuhnya menanggung biaya hidup kalian dan juga sekolahnya Lita," ucap Alona, menggenggam erat tangan ayahnya.

"Alona, ayah hanya ingin melihat kamu sukses di kemudian hari. Takutnya ayah tidak bisa menyaksikan kesuksesanmu, ma—"

"Ayah ini ngomong apa?" Alona menyela ucapan ayahnya. "Ayah pasti akan menemaniku sampai aku sukses nanti. Ayah sehat-sehat saja, jika ayah lelah ... Ayah tak perlu bekerja lagi."

Seperti biasa Alona memang sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan untuk ngobrol berjam-jam pun mereka berdua bisa betah sampai pagi lagi. Alona juga dekat dengan ibunya, tapi tidak sedekat dia dengan ayahnya.

Malam itu Alona meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk pergi membelikan adiknya nasi goreng.

"Jangan pulang malam-malam, begitu sudah kebeli langsung pulang, ya!" seru ayahnya.

"Iya, aku sudah sangat lapar sekali. Jika kakak mampir mampir dulu, takutnya cacing di perutku sudah tidak bisa sabar lagi," Lita pun tak ingin rugi.

Alona mengangkat jempol tangannya, dengan senyuman ia pergi berjalan di keramaian hiruk-pikuk di jalanan kota. Sekitar 5 menitan, barulah Alona sampai di gerobak tukang nasi gorengnya.

"Bang! Biasa, satu porsi yee ...." pesannya.

Menunggu sedikit lama karena saat itu Abang penjual nasi gorengnya memiliki pelanggan cukup banyak. Alona harus mengantri sampai setengah jam kurang sedikit nasi gorengnya baru selesai.

Saat perjalanan pulang, Alona tak sengaja bertemu kembali dengan pria yang membuatnya kesal siang kemarin. Namun pada saat berjalan, Alona belum melihat keberadaan pria itu.

Dari dalam mobil, pria itu melihat Alona dan berniat menjahilinya. Kenzie, nama pria itu selalu memandang rendah orang yang berada di bawahnya. Namun ia memiliki ketulusan yang luar biasa jika sudah menyangkut perasaan.

"Itu gadis yang kemarin, bukan?" gumamnya. "Hm, benar saja. Dialah gadis kemarin itu,"

Sengaja Kenzie melempar botol bekas minumnya begitu Alona melewati mobilnya. Kesengajaan itu membuat Alona kesakitan, sebab di dalamnya masih ada isi air sekitar setengah dari botolnya.

"Aduh!" jerit Alona, sambil mengusap kepalanya.

Langkah Alona terhenti. "Botol mineral? Sialan!" umpatnya. "Siapa yang buang sampah sembarangan, woy!" teriaknya menoleh ke kanan kiri.

"Kurang ajar memang, berani-beraninya membuang sampah tepat di kepala orang begini,'

Alona terus mengomel seperti ibu kos yang anak kosnya nunggak membayarnya. Padahal, dari dalam mobil sana Kenzie sedang tertawa jahat melihat ekspresi kesal Alona.

"Rasakan pembalasanku. Itu hanya botol mineral saja, bagaimana jika aku serius membuatmu menyesal dengan kelancanganmu itu?" desis pria berusia 30 tahun itu.

Seperti cukup melihat Alona terus kesal dan hendak pergi, barulah Kenzie membuka kaca mobilnya. "Hei!" teriaknya.

Tahu ada yang berteriak, Alona langsung menoleh ke sumber suara. Tak menyangka apa yang ia lihat di depan matanya. "Kamu?" Alona menganga.

Kenzie turun dari mobilnya. Kaki jenjangnya terlihat begitu menarik, sehingga membuat pria tampan itu terlihat tinggi nan gagah.

"Hai," sapa Kenzie dengan senyum liciknya.

"Dih!" Alona memalingkan wajahnya.

"Apa kamu mau menangis?" ledek Kenzie.

Alona kembali menatap Kenzie sengit, "Memangnya, siapa aku? Anak kecil yang dilempar botol seperti aja nangis? Sorry!" elaknya.

"Masa?" Kenzie kembali meledek.

Jika saja Alona sedang dalam mood baik, ia akan meladeni pria yang baginya menyebalkan itu. Namun Alona baru saja mendapatkan masalah di sekolah, jadi ia tak bisa membalas perbuatan Kenzie padanya.

"Huft, menyebalkan!" cecar Alona, pergi begitu saja.

"Eh, kenapa dia tidak melawanku?" gumam Kenzie.

Kenzie terus menatap kepergian Alona, berharap banyak jika gadis itu mau menoleh dan kembali berdebat dengannya. Sayangnya, harapan itu tak terjadi, pria ini mulai tertarik dengan Alona.

"Halo, apa kau mendengarku?" pria itu merogoh ponsel di sakunya. "Cari tahu tentang gadis itu, segalanya." perintahnya melalui telepon. Kemudian mematikan teleponnya setelah selesai memerintah.

Kenzie masih saja membuntuti Alona. Melihat tingkah lucu Alona yang saat itu berjalan seperti anak kecil yang sedang melakukan tugas ibu untuk berbelanja dan mendapatkan uang sisa. Bernyanyi seraya montang mantingkan nasi gorengnya dengan riang.

Ketika Alona melewati sebuah gang, dia mendengar suara minta tolong yang amat lirih. Alona si tukang penasaran itu pun langsung berlari mengejar suara tersebut.

"Hm, dimana suaranya tadi, ya? Kenapa tiba-tiba hilang?" gumamnya.

Ketika suara itu semakin jelas, akhirnya Alona menemukan sumber suara. Rupanya suara itu adalah suaranya Leon. Dia sedang bersama dengan dua orang dewasa yang raut wajahnya menunjukan sedang dipenuhi dengan amarah.

Segera Alona berlari ke arahnya, tanpa pikir panjang lagi, ia memukul dan menendang dua orang itu dari belakang. Sangat brutal sekali ketika memukul dan menekuk lengan salah satu dari dua orang itu.

"Loh, Alona?" Leon terkejut. "Alona, lepaskan mereka!" serunya.

Alona menyeritkan alisnya. "Lah, mereka kan sudah berbuat jahat padamu, Leon. Masa dilepaskan begitu saja. Tidak, aku tidak mau," katanya.

"Alona, lepaskan mereka!" Leon kembali memerintah, dengan berteriak.

Mendengar teriakan Leon, terpaksa Alona melepaskan keduanya. Leon juga memberikan penjelasan bahwa kedua orang itu adalah kakak sepupunya yang sedang memberinya pelajaran karena dia di skors dari sekolah.

"Kalau begitu, seharusnya kalian memarahiku. Leon tidak bersalah, dia di skors juga gara-gara melindungiku, maafkan aku ...." ucap Alona lirih.

Alona belum melihat kedua pria itu, tapi dia sanggup meminta maaf karena memang itu kesalahannya. Namun apa yang ia dapatkan?

Plak!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!