NovelToon NovelToon

ISTRI DARI IBU

PERNIKAHAN

Noval duduk dipelaminan bersama seorang gadis cantik, yang baru saja di nikahinya. Wajah yang dipaksakan ceria, membuat Noval jenuh bukan kepalang.

Bagaimana bisa sang ibu memilihkan istri untuknya, tanpa memberitahu.

Noval hanya sedikit takjub ketika menyebut nama gadis itu ketika ijab tadi.

Gadis cantik yang berbalut busana pengantin syar'i berwarna putih nampak tersenyum bahagia menyalami para tamu undangan.

Gadis yang dulu berkulit mengkilat karena terbakar matahari, yang selalu bertelanjang kaki, dan berlari juga meloncat dari satu pohon ke pohon lain, mirip dengan ... Ah, Noval tak habis pikir. Bagaimana Ibunya bisa tertarik dengan gadis urakan ini.

Noval sangat ingat siapa nama gadis yang baru saja ia sebut diijab kabul barusan.

Ya... Gadis itu bernama Hafsah Nadia Anggraini. Namun Noval tak melihat sang Ibu yang dulu menjewer telinga gadis itu,

kemana dia?

Noval Budimana Pramudi, begitu nama lengkapnya, sejak lulus SLTA, ia melanjutkan pendidikan ke universitas ternama dan langsung bekerja, Noval jarang pulang, karena kesibukannya.

Kini ia menjabat sebagai kepala HRD di sebuah perusahaan ternama.

Sebenarnya, Noval memiliki wanita pujaan hati yang bernama Puspa Handayani, sekretaris perusahaannya.

Namun sang ibu menolak dan sudah menjodohkannya, maka impiannya untuk menikahi gadis pujaannya pupus sudah.

Beruntung Noval tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Puspa. Hingga ia menyetujui begitu saja perjodohan ini tanpa mengetahui jika istrinya sekarang adalah teman masa kecilnya.

Noval mengingat bagaimana kelakuan sang istri di masa kecilnya. Ketika itu siang hari selepas dhuhur, seperti biasa Noval berangkat untuk mengaji di sebuah TPA di masjid terdekat.

"Noval...!" suara teriakan menggema di gendang telinga.

Noval menoleh asal suara.

Seorang gadis berkulit mengkilat terbakar matahari, celana pendek dengan kaos butut.

Satu lagi, gadis kecil itu suka bertelanjang kaki. Kakinya lincah menari, menjinjit, bahkan melompat, agar sengatan panas aspal tak buat telapak kakinya melepuh.

Riapan rambutnya yang memerah dan jarang disisir itu nampak tergerai di pipinya yang juga memerah. Nama gadis itu Hafsah Nadia Anggraini. Gadis tomboy dan selalu urakan.

"Mau kemana Nov?" tanya gadis itu sambil melompat-lompat.

"Mau ngaji, kamu gak ngaji?" tanya Noval.

"Loh, bukannya Bu Ustadzah Aminah libur ya dua hari?' tanya Hafsah yang langsung mengingatkan Noval.

"Lupa..."

"Main kelereng yuk," ajak Hafsah bersemangat.

"Nggak mau, nanti bau, lagian aku kan udah mandi," jawab Noval menolak ajakan Hafsah sambil menggeleng.

"Hafsah!!" sebuah teriakan nyaring.

Seorang ibu tengah berjalan cepat menuju mereka.

Wajah Hafsah seketika pias. Gadis itu tak bisa melarikan diri dari sosok wanita yang makin lama makin dekat saja dengan mereka.

"Kemane aje lu ye... Udah mau ashar, belon juga pulang, hah!" bentakan dan jeweran langsung menyambar telinga gadis itu.

Gadis kecil itu meringis, namun tak ada teriakan minta ampun keluar dari mulut Hapsah. Karena jika ia melakukan itu maka jeweran sang ibu makin keras di telinganya.

"Ampun mak... Sakit!!" akhirnya ia tak tahan karena memang jeweran itu keras adanya.

"Mendingan lu sakit ama gue luh, dari pade gue nanti yang di hajar malaikat pake cambuk, gara-gara nggak ngedidik elu Sah!" omelan sang emak tak memperdulikan ringisan anak perempuannya.

"Tuh, lu liat Noval, udah ganteng mana pinter lagi, pasti mau ngaji, padahal die tau kalo sekarang libur, nah elu...!" emak terus mengomel.

Lalu ia menggendong Hafsah seperti kanguru. Gadis kecil itu melingkarkan erat pelukannya di leher sang ibu yang masih mengoceh.

"Pulang, mandi!" ucapnya sambil mencubit bokong anak perempuan satu-satunya itu.

Noval menggeleng melihat kelakuan mereka yang kini meninggalkannya.

Ia menghela napas panjang.

"Tadarusan di masjid aja deh, sekalian nunggu ashar," ujar Noval mantap.

‘Nov!” lamunan Noval buyar.

"Apa kita harus mengadakan pesta lagi di kota?" tanya Hafsah, Noval mengangguk.

"Kan teman-teman ku di kota semua, tadi aja yang datang hanya dua orang saja," jawab Noval setelah membersihkan dirinya.

Noval menatap istrinya yang masih mengenakan pakaian pengantin.

"Kenapa belum ganti?" tanya Noval heran.

"Iya, ini mau ke kamar mandi," jawab Hafsah kemudian cepat-cepat masuk ke kamar mandi.

Sampai di kamar mandi, jantung Hafsah berdetak cepat, satu buliran bening menetes di pipinya.

"Mak ... Hafsah udah nikah mak...," ujarnya parau sambil memejamkan mata.

Sedangkan di ranjang yang telah dihias cantik, Noval merebahkan tubuhnya yang penat. Pikirannya melayang kembali saat ia dan Hafsah masih bocah.

Senyuman kembali terpatri ketika mengingat bagaimana ia menangis karena kehabisan kelereng.

Hafsah terus meledeknya "cengeng!" , sambil menjulurkan lidahnya, hingga...

Bukk!

"Adu...duh....!"

ringisan Hafsah ketika telinganya di tarik ke atas oleh sang ibu yang tadi ditabraknya.

Ya, siapa lagi kalau bukan ibunya, karena ayah Hafsah sudah meninggal dunia ketika Hafsah berusia 3 tahun.

Kadang para ibu-ibu suka memarahi ibunya Hafsah yang kelewat kasar sama anak gadisnya.

Namun jawaban sang ibu tak bisa di sangkal oleh para ibu-ibu.

"Duh, kagak kenape-nape deh, aye kasar ame Hafsah, daripada entar jadi anak gak keruan!''

"Pan nyang di tanya di akhirat, aye!"

Pernah waktu itu ibunya Hafsah ingin membotaki kepala putrinya itu, gara-gara gak mau pake kerudung pas berangkat sekolah.

Beruntung tangan sang Ibu yang sudah memegang gunting di tepis oleh pak Ustadz Rando yang kebetulan lewat.

"Biar, biar malu dia kalo botak!" serunya kala itu.

Wajah sang Ibu memerah karena marah.

"Lu tuh udah kelas 6 SD Sah!" jerit sang Ibu, "apa mau Ayah lu di cambuk terus kulitnye karena elu kaga pake jilbab!"

Ustadz Rando menghela nafas berat, sedangkan Hafsah tengah menangis tersedu.

Lalu Ustadz Rando memakaikan jilbab pada Hafsah.

"Ayo, sama paklik, kita ke sekolah, udah telat," ujar ustad Rando sambil menggandeng tangan Hafsah.

Kejadian itu berlangsung dihadapan Noval yang berdiri mematung, dan tersadar lalu segera berlari mengejar Ustadz Rando dan Hafsah, karena ia juga hampir kesiangan.

Ustadz Rando lah yang menjadi wali Hafsah ketika ijab kabul tadi, Ustadz Rando adalah adik kandung almarhum Ayahnya Hafsah.

"Aku lupa nanya, kemana emaknya Hafsah tadi," ujar Noval dalam hati.

“Kok lama dia di kamar mandi?” tanyanya heran ketika menanti wanita yang baru saja jadi istrinya beberapa jam yang lalu.

"Sah .. Hafsah!" teriak kecil Noval memanggil istrinya.

Tak ada sahutan.

"Hmm ... Lama kali ya, secara itu baju penganten kan susah bukanya," ujar Noval kemudian.

Lalu tiba-tiba sifat jahil Noval muncul, ketika ingat jika Hafsah takut akan gelap. Tentu saja pria itu mengenal baik gadis itu. Karena masa kecil Hapsa bersamanya kelas dua SLTP.

Secara perlahan Noval turun dari ranjang, mengendap-endap berjalan menuju saklar, dan ....

Tep ....

Noval menahan tawa dengan membekap mulutnya, menunggu reaksi dari dalam kamar mandi, namun tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.

"Ada apa?" suara lembut terdengar di telinga Noval.

Noval menegakkan tubuhnya, matanya melihat kamar mandi yang masih menyala lampunya. Noval tertegun.

“Eh?”

Bersambung.

Karya baru othor nih mohon dukungannya ya.

Next?

PENGANTIN BARU

"Hei... Ada apa?" tanya gadis yang melambaikan tangannya ke wajah Noval.

"Eh... Ah... Nggak apa-apa," jawab Noval kaget.

Ketika wajah Noval menoleh arah jendela kamar, di lihatnya lampu teras padam.

"Sial!" gerutunya dalam hati, "salah lampu."

Hafsah berlalu dari hadapan Noval, menuju meja rias, hendak di bukanya hijab namun urung ketika tiba-tiba Noval bertanya.

"Emak mu mana Sah?"

Sesaat hati Hafsah terenyuh mengenang kepergian sang Emak selamanya. Lama ia tak menjawab pertanyaan Noval yang baru berapa jam saja telah menjadi suaminya itu.

"Sah,"

Panggilan Noval membuyarkan lamunan Hafsah. Lalu dengan nafas berat Hafsah menjawab.

"Emak udah meninggal dua pekan lalu Nov."

"Innalillahi wa inna illahi radjiun," ujar Noval kaget, "aku turut berduka ya, maaf, aku gak tau."

Lalu secara perlahan, jemari Noval menyentuh pipi Hafsah yang basah.

"Kamu nangis Sah?" tanya Noval polos.

Hampir saja nafas Hafsah berhenti kala jemari Noval menyentuh pipi nya pertama kali, namun suasana hatinya yang melow mendadak berantakan ketika mendengar pertanyaan Noval.

"Enggak, aku gak nangis," jawab Hafsah kesal.

"Lah ini pipimu basah," ujar Noval masih mengelap pipi Hafsah dengan ibu jarinya.

"Itu iler...!" seru Hafsah hingga membuat Noval menarik jemarinya dan mengelap di bajunya.

"Ih, jorok!" sergah Noval.

Lalu mata mereka beradu, getaran listrik menjalar di hati masing-masing. Noval mengecup perlahan kening sang istri. Sebagai pria tentu ia paham apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ini malam pertama mereka.

Hafsah pun terbuai ketika Noval, mulai menjalankan aksinya. Hingga ketika berada di atas rajang, saat si pria hendak menyentuh bagian paling bawah. Hafsah menahan tangan itu.

“Aku sedang haid ...,” ujar Hafsah lirih.

Noval menggulingkan tubuhnya ke sisi Hafsah, lalu mendengus kesal.

"Haaaah!!" kemudian Noval membelakangi Hafsah dan tak lama terdengar dengkuran halus.

"Hmm... Maaf ya suamiku, waktunya belum pas," bisik Hafsah ke telinga Noval.

"Hmmm..." jawab Noval lalu kembali mendengkur.

Hafsah merasa bersalah pada suaminya, padahal ia juga sudah berada di atas awan, namun ia teringat baru saja mendapat siklusnya subuh tadi. Gadis itu bisa memejamkan mata setelah jarum pendek hampir menyentuh angka dua dini hari.

Usai sholat subuh di masjid, Noval pulang ke rumah dan mendapati Istri dan Ibunya tengah menyiapkan sarapan.

"Assalamu'alaikum," ucapnya memberi salam dan di jawab secara berbarengan oleh kedua wanita yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

Noval duduk di ruang tengah sambil membaca koran. Hafsah datang membawa secangkir teh dan pisang goreng yang masih hangat, dan meletakkannya di atas meja.

"Teh nya Nov," ucapnya pelan.

"Eh...eh..." Ibu menyahut, "kok manggil nama sama suami?" tanya sang Ibu.

Hafsah langsung menutup mulutnya dengan nampan, namun karena terlalu keras, nampan yang terbuat dari stainless itu beradu dengan bibirnya.

Plak!

"Aduh...!" Hafsah mengaduh pelan. .

Noval langsung berdiri memeriksa bibir Hafsah.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Noval dengan nada khawatir.

Noval menyingkirkan nampan yang menutupi bibir Hafsah.Tiba-tiba ....

Cup!

Noval mencium cepat bibir istrinya. Wajah Hafsah bersemu merah, melirik mertuanya, melirik penulis dan ... melirik pembaca.

"Duh... Malu," ucap Hafsah setengah berbisik pada Noval yang menatapnya datar.

"Kenapa malu, kitakan udah halal sayang," ujar Noval santai lalu merangkul pinggang istrinya yang ramping.

"Ih... Udah ih.. " ucap Hafsah makin memerah wajahnya.

Noval makin mempererat pelukannya. mereka saling menatap, desiran aneh menyergap di hati keduanya. Noval tak menampik kecantikan Hafsah, dalam benaknya masih tersimpan pertanyaan besar.

"Apakah benar gadis ini yang dulu berkulit mengkilat terbakar matahari?"

Sedangkan Hafsah juga masih ragu dengan perasaan yang menguasainya sekarang.

"Apakah aku sudah jatuh cinta pada suamiku ini?"

"Ehem...," suara deheman mengagetkan mereka.

Noval melepas pelukannya. Sedang Hafsah langsung berlari masuk kamarnya. Di dalam kamar, Hafsah menenangkan kembali degup jantungnya yang tak beraturan.

Setelah menghela nafas berulang kali, barulah ia keluar kamar dengan memeluk nampan di dadanya.

"Sah, lusa kita berangkat ya ke kota, cuti ku hanya sampai empat hari lagi," ujar Noval yang membuat pipi merah Hafsah memudar.

"Tapi empat puluh hari emak gimana?" tanya Hafsah kemudian.

"Kamu tenang aja soal itu Sah," jawab mertuanya, "nanti Ibu yang urus semuanya."

Lalu dengan kepala tertunduk, Hafsah hanya mengangguk lemah.

Hari begitu cepat beranjak, kini malam telah bergayut. Bintang bertaburan menghiasi pekatnya langit. Dalam peraduan, Noval menghadap tubuhnya pada Hafsah.

"Bisa ceritakan, keadaanmu dulu?" tanya Noval yang membuat kening Hafsah berkerut.

"Maksudnya?" tanya Hafsah memalingkan wajah ke arah suaminya.

"Aku ingat, aku tak lagi melihatmu lagi ketika kelas dua SLTP,'' ujar Noval lagi.

Dengan nafas berat Hafsah kembali mengingat sebuah kejadian yang membuatnya harus keluar dari sekolah.

"Apakah kau sangat ingin tahu Bang?" tanya Hafsah lagi.

Noval mencium kening istrinya, lalu turun ke hidung kemudian dengan lembut memagut bibir istrinya yang ranum. Lama ....

"Ya, aku ingin tahu," jawab Noval lalu merapatkan tubuhnya.

Air Mata Hafsah mengalir. Gadis itu masih merasakan bagaimana dulu sang ibu mendidiknya begitu keras.

"Jangan sedih sayang, ada aku di sini," ucap Noval sambil menghapus airmata sang istri.

"Percayakah kamu, jika yang kau lakukan adalah hal pertama kali aku dapatkan?" tanya Hafsah dengan suara bergetar.

"Maksudmu, ciuman ini?" tanya Noval mendelik tak percaya.

Hafsah mengangguk. Noval menarik lebih dalam lagi tubuh istrinya hingga kini mereka sangat dekat. Deru napas terdengar keras di telinga Hafsa, Noval mulai terangsang ketika mengetahui jika ia adalah laki-laki pertama untuk istrinya itu.

"Jadi kamu belum tersentuh sama sekali?" tanya Noval lagi.

Hafsah kembali mengangguk. Lalu menghentikan cumbuan Noval yang mulai memburu.

"Bang ... Aku masih belum bersih," ujar Hafsah lagi sambil berurai air mata. Noval menghentikan cumbuannya.

"Aku akan cerita kemana waktu itu," ujar Hafsah kembali.

“Tapi jika kau tak ingin jangan memaksa sayang,” ujar Noval masih setia dengan mencium dan mengecup wajah sang istri.

“Katanya tadi pengen tau,” rengek Hapsah lalu cemberut.

“Aku halal untukmu Bang, jadi jangan khawatir ya. Aku pasti menyerahkan diriku padamu,” lanjutnya lagi.

Noval menatap wajah sang istri yang makin cantik. Sampai sekarang ia masih tak percaya dengan rupa Hafsah yang ia pandangi saat ini.

“Mana kulitmu yang mengkilat dibakar matahari dulu sayang?’ tanyanya menggoda.

“Bang,” rengek gadis itu malu.

“Aku sangat ingat, bagaimana kau mengalahkan semua kelereng anak laki-laki,” lanjutnya yang membuat Hafsah makin malu.

“Tentu waktu yang merubahnya Bang,” sahut Hafsah lirih.

“Hmmm ... bibirmu membuatku candu sayang,” ujar Noval kembali mengecup bibir sang istri.

“Sudah sayang, jangan terlalu berlebihan. Ini juga tidak baik,” ujar Hafsah menolak halus cumbuan sang suami.

“Memang ada dalilnya?” tanya Noval memancing pengetahuan sang istri.

“Memang tidak spesifik melarang. Tapi Abang harus mencumbuku di atas pakaianku. Tidak bersentuhan langsung ke kulitku,” jawab Hafsah.

“Dalam hadits yang lain dari Aisyah RA: "Jika salah satu dari kami (isteri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, maka beliau Saw menyuruh isterinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya." (HR. Bukhari). lanjutnya

Bersambung.

Wah mesti pake sarung ya.

Next?

KISAH MASA LALU

"Sah...!" seru sang ibu pada gadis kecil yang tengah menyusun buku-bukunya kedalam tas.

"Ya Mak!"

"Lu udah siapin buku lu Sah?" tanya emak.

"Udah Mak!" jawab Hafsah.

"Ya udah, tunggu bentaran, Emak mo ke warung!" seru emak lagi.

"Iya Mak!" jawab Hafsah lagi, sambil mengingat bahwa tak satupun buku yang tertinggal.

Setelah memastikan, Hafsah keluar dari kamarnya, menuju ruang tamu sambil menunggu Emak pulang dari warung. Kebetulan hari ini Hafsah masuk siang, usai dhuhur baru ia berangkat sekolah.

Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada pohon mangga depan rumah, di lihatnya sebuah layang-layang tersangkut di sana. Jiwa bandel Hafsah tiba-tiba muncul.

"Emak masih lama gak ya?" tanyanya dalam hati.

Kemudian secara perlahan ia keluar rumah melihat kanan kiri, takut Emaknya tiba-tiba muncul. Setelah Hafsah yakin Emaknya masih lama di warung, Hafsah melepas jilbab yang menutupi kepalanya.

Lalu dengan cekatan, ia menaiki pohon mangga, ia angkat tinggi-tinggi roknya, hingga betisnya yang putih terlihat. Sampai di atas, tangannya menjulur menggapai layang-layang.

"Hup... Kena..." layang-layang berada di tangannya.

"Hafsah!!!"

Deg!

"Turun luh!"

Buru-buru Hafsah turun. Setengah melompat dari pohon mangga yang tingginya satu meter.

"Hup!"

Kaki Hafsah mendarat mulus di tanah. Lalu di tatap wajah Emaknya yang memerah menahan amarah dan sedang memegang jilbab yang tadi di lepasnya.

Dengan langkah lebar, Emak langsung menggapai tubuh Hafsah dan menarik bajunya. Setengah terseret, Hafsah terjajar mengikuti langkah emaknya.

Gedebuk!

Hafsah terjatuh. Lalu dengan cepat Emak menyambar sapu.

Dan di pukulinya kaki Hafsah yang putih itu berkali-kali, di bawah terik matahari.

Tiap mulut Hafsah mengaduh maka makin keras pukulan yang ia dapatkan di kakinya.

Hafsah hanya memejamkan mata dan mengigit bibirnya menahan sakit luar biasa.

"Lu tuh, gue sekolahin biar bener, tapi gini balasan lu ke gue??!" sentak Emaknya, "elu berani, buka jilbab lu demi layangan, udah itu elu angkat erok lu, ampe keliatan kulit lu!"

Pukulan demi pukulan terus di rasakan Hafsah di kaki hingga ia tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan ketika dipukuli emaknya.

Mata Hafsah mengerjap, kakinya terasa kebas dan linu. Ia mencoba menggerakkan kakinya, namun terasa sakit sekali. Hafsah mencoba bangkit.

"Ssst... Berbaring aja Sah, jangan banyak bergerak," suara berat yang Hafsah kenali.

Hafsah menatap wajah yang menahan pundaknya, agar tetap berbaring.

"Paklik?" tanya Hafsah.

"Iya," jawab Ustadz Rando lembut, "kakimu mengalami pembengkakan Sah."

"Emak mana Paklik?" tanya Hafsah ketika menyadari bahwa dirinya berada di UGD.

"Emak ada di rumah," ucap Ustadz Rando lembut.

"Mau ke emak aja Paklik, Hafsah gak mau di sini," ujar Hafsah sambil berlinang air mata.

"Udah, sembuh dulu ya," ucap Ustadz Rando menenangkan Hafsah.

"Mak... Emak...huuu... !"

"Ssst...sss... Udah tidur, biar cepat sembuh," ucap ustad Rando sambil membaca doa lalu meniupkan di pucuk kepala Hafsah yang langsung tertidur pulas.

Sedangkan di rumah, sang emak nampak terpekur melihat telapak tangannya yang bergetar. Jika saja Ustadz Rando tak datang mungkin kaki Hafsah bisa tak utuh lagi.

"Ya Allah... Aye apain anak aye ya Allah...?" tanyanya lirih dengan suara bergetar sambil bercucuran airmata.

Ya, Ustadz Rando tengah ke warung untuk membeli minyak goreng, namun niatnya teralihkan ketika melihat kakak iparnya memukuli kaki ponakannya yang tak bergerak dan terbaring di pekarangan rumah.Dengan berlari, ia langsung merampas sapu yang di pegang kakak iparnya.

"Astaghfirullah Mpok Aida!" serunya.

"Biarin! Biar die tau rasa!" seru Emaknya Hafsah.

"Mpok mau Hafsah gak punya kaki!" seru Rando langsung berlari ke arah Hafsah yang bergeming.

"Sah... Sah..." ucap Rando, "astaghfirullah, Hafsah pingsan."

Lalu di gendongnya Hafsah, matanya menatap wajah Aida Harun dengan tajam.

Aida tercekat, tubuhnya terhuyung kebelakang.

"Jika sampai kaki Hafsah dipotong, saya nggak segan-segan bawa Mpok Aida ke kantor polisi!" ujar Rando geram.

Lalu Rando berlari membawa Hafsah, beruntung ada tetangga yang lewat menggunakan motor, lalu mereka pun berlalu dengan kecepatan tinggi ke UGD di puskesmas.

Para tetangga langsung mendatangi Aida yang jatuh bersimpuh. Menolongnya untuk masuk rumah lalu meninggalkannya yang kemudian ia menjerit histeris.

Aida menatap pigura yang berisi foto mediang suaminya. Tak menyangka kekerasannya mengakibatkan sang putri harus dirawat inap selama beberapa hari. Adik iparnya yang mengurus semua.

“Mpok!” panggil pria yang bergelar ustadz itu.

Rando Ahmad Setiawan tiga puluh delapan tahun. Usianya tua dua tahun dari Aida Hasan, ibunya Hafsa. Pria itu juga telah memiliki istri namun belum dikaruniai anak. Rando menghela napas melihat kondisi kakak iparnya.

“Kenapa sampai begini sih Mpok?” tanya Rando miris.

“Aye gelap mata Ndo,” jawab Aida lirih, air matanya tak berhenti turun.

Rando duduk di teras, sedang Aida ada di ruang tamu. Rumah mendiang Nando Rahmat. Rumah sederhana yang dibangun secara bertahap semenjak Nando meninggalkan rumahnya sendiri untuk diberikan pada sang adik.

“Masuklah Ndo,” suruh Aida.

“Maaf Mpok. Saya di luar aja,” tolak pria itu.

Aida diam, ia sangat suka bagaimana adik iparnya itu menghormati dirinya yang sudah janda. Nando hanya sesekali menengok ia dan putrinya. Terkadang pria itu menyelipkan uang untuk jajan Hafsah.

“Dokter bilang kaki Hapsa mengalami pembengkakan Mpok,” ujar pria itu memberitahu.

Aida memejamkan matanya. Sungguh seribu sesal mendera hatinya. Bermaksud ingin mengajari sang putri dengan didikan yang keras malahan membuat anaknya cacat nantinya.

“Beruntung tidak merusak jaringan apapun, sepertinya kulit Hafsah sudah kebal dipukuli ibunya sendiri,” lanjut Rando sedikit berkelakar.

“Nggak lucu Ndo!” sengit Aida malu.

“Maaf,” ujar pria itu pelan namun masih didengar telinga Aida.

“Gue mau jenguk anak gue Ndo,” ujar Aida lagi.

“Buat apa? Buat mukulin dia lagi?” tanya Rando menyindir.

“Ya lu gila aje Ndo. Masa gue tega kek gitu!” seru Aida tak terima.

“Lah tadi sampai anak pingsan dipukuli di bawah terik matahari itu siapa ya?” sindir Rando lagi.

Aida menangis, ia benar-benar menyesal. Tetapi Rando memiliki rencana lain untuk keduanya agar berubah dan menjadi lebih baik.

“Saya akan pisahkan Mpok sama Hafsah,” ujarnya yang membuat tangisan Aida berhenti.

“Apa Lu bilang?” tanyanya sesenggukan.

“Kalian harus dipisahkan sampai kalian sadar dan belajar jika semuanya salah!” terang pria itu lagi.

“Lu mau bawa lari anak gue!?” teriak Aida lagi.

“Iya ... dari pada anak itu mati di tangan ibunya sendiri!” sentak Rando yang membuat Aida bungkam.

“Saya sebentar lagi mau keluar kota selama beberapa minggu. Saya nggak bisa nengokin kalian. Saya takut, Hafsah kembali badung dan Mpok malah membunuhnya!” lanjutnya mulai takut akan pikiranya sediri.

“Ndo!’

“Saya akan masukkan Hafsah ke pesantren!”

“Apa!?”

Bersambung.

Next?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!