"Aku tidak mau mengerti dan tidak mau tahu. Pokoknya aku ingin ibumu segera mengembalikan semua perhiasanku sekarang juga." Rania mulai menitikkan air mata.
David kaget. Rania kini menangis di hadapannya.
"Berapa harga semua perhiasan itu? Aku akan menggantinya."
"Kamu tak akan bisa membayarnya." Rania tersedu.
"Berapa? Katakan saja aku akan langsung mentransfernya padamu sekarang juga."
"Kamu tak akan sanggup membayar nilai historis yang ada pada perhiasan itu. Perhiasan itu adalah peninggalan ibuku yang telah tiada." Rania menatap nanar suaminya.
David langsung mematung. Dia kini dilema, kalau begitu perhiasan itu pasti sangat berarti untuk istrinya, namun sangat tak mungkin baginya untuk menentang keinginan sang ibu.
Di usianya yang sudah hampir menginjak kepala tiga, tak sekalipun dia berani menentang semua keputusan ibunya, selama ini David menjadi anak patuh yang begitu berbakti pada sang ibu, apalagi semenjak kematian ayahnya. David memegang tanggung jawab untuk menjaga ibu dan kedua adiknya, selalu berusaha untuk selalu membahagiakan mereka.
Karena sang ibu baginya mempunyai peranan yang sangat penting di hidupnya, David yakin jika keberhasilan yang berhasil diraihnya hingga saat ini berkat didikan dan doa dari sang ibu tercinta.
"Maaf. Aku tak bisa," ucap David penuh sesal sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Rania yang masih menangisi perhiasannya.
Rania terduduk di lantai dengan tangis yang menjadi. Tak menyangka jika suaminya sendiri bahkan tak berani untuk mengambil kembali perhiasannya, menentang keinginan ibunya.
Rania kini hanya berharap jika ibu mertuanya memang tidak bermaksud memiliki perhiasan miliknya, seperti perkataan suaminya tadi, Widuri hanya ingin menunjukkan kuasanya di rumah ini, menunjukkan jika siapa saja harus mendengarkan perkataannya menuruti keinginannya dan tak akan ada yang berani menentangnya.
Rania menyeka air matanya. Dia tahu jika ini hanya permulaan saja. Di hari pertamanya di rumah ini bahkan Widuri telah menyambutnya diluar ekspektasi. Sang mertua pasti akan semakin mengintimidasinya setelah ini karena dia juga tahu jika dirinya memang bukan menantu yang diinginkan.
Seandainya saja dia tahu jika kesepakatan pernikahan yang dilakukannya akan membawanya masuk pada titik ketidakberdayaan ini.
***
Sehari sebelumnya.
Pernikahan mewah dan megah yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang itu telah selesai diselenggarakan. Menyisakan sisa-sisa pesta yang mulai dibereskan oleh para pegawai hotel. Sembari membereskan sesekali mereka berbincang, berdecak kagum atas pesta yang tidak tanggung-tanggung dihelat secara besar-besaran.
Namun rupanya kemegahan pesta tak menjamin jika mereka yang menikah benar-benar karena saling cinta, bisa saja karena sebuah perjanjian atau kesepakan belaka.
Itulah yang terjadi di pernikahan antara Rania, putri tunggal pengusaha Pramono Rahardjo dan David Bratasena, CEO muda sukses yang perusahaannya ada dimana-mana. Keduanya menikah hanya untuk keuntungan perusahaan semata. Jadi malam ini di kamar Presidential suite room yang sudah diubah menjadi kamar ala pengantin baru jangan mengharap sesuatu terjadi, jangankan bercumbu memadu kasih, keduanya bahkan tidur terpisah dan tak saling peduli.
Pagi harinya. Rania keluar kamar sudah berpakaian rapi, tampak anggun dan menawan di hari pertamanya dengan status sebagai istri. Dia disambut oleh David yang sedang berbicara dengan ketiga asistennya. Rupanya asisten Rania juga sudah ada disana, tanpa diperintah bahkan keduanya langsung masuk ke dalam kamar untuk membereskan barang-barang milik bos mereka.
"Siang ini kita akan makan siang bersama dengan direktur utama PT Asian group. Jangan sampai telat." David melirik istrinya.
Rania tak menyahut, fokusnya hanya ada pada sarapan pagi di atas meja.
"Kamu sudah sarapan?" tanyanya basa-basi sambil menarik kursi.
"Batalkan jika kamu sudah ada janji makan siang dengan siapa saja. Makan siang dengan direktur itu sangat penting untuk perusahaan kita," ucap David lagi.
"Baiklah-baiklah." Rania menjawab sambil akan memasukkan roti ke dalam mulut.
"Oh iya, satu lagi."
"Apa lagi?" Rania melirik suaminya jengkel.
"Antarkan sendiri barang-barang milikmu ke rumahku. Jangan menyuruh asisten atau pegawaimu. Ibuku tak akan suka." David lalu pergi meninggalkan kamar diikuti oleh para asistennya.
Rania hanya mendelik kesal, tak lama kedua asistennya keluar kamar dengan mendorong sebuah koper dan beberapa barang miliknya.
Di kediaman David
Seorang wanita paruh baya, dengan dandanan yang anggun dan menawan walau di usianya yang tak lagi muda tampak terus mengerutkan keningnya melihat beberapa koper milik menantu barunya turun dari dalam mobil.
Bukan hanya beberapa koper, ada banyak sepatu juga tas branded semuanya dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam sana.
"Mana yang punya semua barang-barang ini?" tanyanya pada ketiga orang suruhan Rania.
"Nona Rania sedang sibuk. Dia menyuruh kami untuk membawa semua barang ini kesini," jawab salah seorang dari mereka.
"Juga untuk membereskannya lagi dengan rapi di dalam kamar."
Widuri membelalakkan matanya tak percaya, sesibuk apa menantu barunya hingga tak sempat untuk mengantarkan sendiri barang miliknya kesini. Alih-alih menyapa dan mencoba mengambil hatinya, sang menantu baru bahkan berani hanya mengirimkan para pegawainya saja.
"Dasar wanita tak punya tatakrama. Seharusnya dia sendiri yang datang kesini. Kenapa hanya menyuruh para pegawainya saja! Apa dia pikir rumah ini hotel apa? Seenaknya bisa datang dan pergi begitu saja." Widuri berjalan dengan kesal, meninggalkan ketiganya yang bingung harus melakukan apa lagi.
Dia lalu menyuruh kepala asisten rumah tangga untuk mengarahkan ketiga orang itu membawa semua barang milik menantu barunya ke dalam kamar David.
Dengan jengkel dia langsung menelepon sang putra.
"Jangan memanjakan istrimu. Ajari juga dia sopan santun. Seenaknya saja dia menyuruh para pegawainya untuk membawa semua barangnya kesini, tanpa terlebih dahulu menemui dan meminta izin dulu pada ibu. Dia memang istrimu tapi ingat nyonya di rumah ini tetaplah ibu, dia tak bisa bebas melakukan apapun di rumah ini tanpa seizin ibu. Sampaikan itu padanya."
"Iya ibu. Maafkan istriku." David menghela napas kesal, dia tak percaya jika Rania tak mendengarkan perkataannya tadi pagi, padahal dia sudah mewanti-wanti.
David yang sudah tahu betul karakter ibunya, tak akan dengan mudah menyukai Rania begitu saja, apalagi dia nekat menikah dengannya tanpa restu sang ibunda yang ternyata sudah memiliki gadis pilihannya sendiri untuk sang putra.
Walaupun dijelaskan ibunya tak akan mengerti jika pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis belaka, yang ibunya pikir jika mereka menikah karena saling mencinta.
Siang harinya
Rania dan David sadar pernikahan mereka membawa keduanya ke dalam kehidupan yang penuh sandiwara. Seperti kali ini keduanya berlagak seperti suami istri yang tengah di mabuk kasmaran. Mereka terus saja melemparnya senyuman penuh kebahagiaan pada semua orang ketika mereka tengah makan siang bersama.
David duduk di samping istrinya, tersenyum lebar sambil memakan makanannya.
"Aku sudah menyuruhmu untuk mengantarkan semua barangmu ke rumahku sendiri, jangan hanya menyuruh para pegawaimu," ucap David pelan, dengan senyuman palsu yang terus berkembang di wajahnya.
"Aku sibuk," jawab Rania singkat juga sambil melirik suaminya tersenyum.
David juga melirik sang istri, tatapan keduanya beradu.
"Ibuku tak menyukai cara seperti itu. Kamu harus segera meneleponnya dan meminta maaf." David masih memaksakan senyuman di wajahnya.
"Baiklah sayang. Aku nanti akan meneleponnya, kamu jangan khawatir," jawab Rania sengaja dengan suara yang keras agar semua orang mendengarnya, tak hanya itu, Rania juga sengaja memegang tangan sang suami sambil pura-pura menatapnya penuh cinta.
Sontak saja hal itu membuat semua orang ikut tersenyum dan bahagia melihat kemesraan pengantin baru itu. Mereka merasa jika keduanya adalah pasangan yang sangat cocok dan serasi, selain karena sama-sama mempunyai fisik yang sempurna, cantik dan juga tampan, keduanya juga merupakan pewaris tahta dari kerajaan bisnis orang tua mereka.
Setelah makan siang, David dan Rania kembali harus berpisah karena kesibukan mereka masing-masing, Rania harus kembali ke kantornya juga David yang harus menghadiri beberapa pertemuan.
Keduanya kembali memamerkan kemesraan palsu mereka, saling berpelukan sebelum masuk ke dalam mobilnya masing-masing.
"Usahakan untuk pulang cepat." David tersenyum.
Rania tak menjawab, dia hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan.
Di dalam mobil, Rania bergidik sambil mengusap kasar pipinya yang tadi dicium oleh David, melihat itu Gea, sahabat sekaligus asisten pribadinya yang duduk di kursi depan di sebelah supir hanya menahan tawanya.
"Akting kalian bagus sekali, kalian terlihat seperti pasangan suami istri yang saling mencintai."
Rania tak menggubris perkataan Gea, rupanya dia sedang kesal mengingat perkataan David jika ibunya marah padanya.
"Ada apa?" Gea melihat Rania heran.
Rania menghela napas panjang. "Sepertinya hidupku tak akan baik-baik saja setelah ini."
"Kenapa?"
"Sepertinya menikah dengan pria yang tak aku sukai belum cukup membuat hidupku menderita, aku juga harus bermental baja menghadapi mertua yang gila hormat."
Rania lalu mengingat pertemuan pertama dirinya dan sang calon ibu mertua beberapa hari sebelum pernikahan. Alih-alih menyambutnya hangat, calon mertuanya malah terus menunjukkan wajah sinisnya. Menatapnya tidak suka sambil terus berbicara tentang kriteria menantu idamannya.
"Saya lebih suka menantu yang diam di rumah saja, mengurus rumah sambil menunggu suaminya pulang kerja."
Rania melirik David.
"Ibu. Rania masih harus bekerja. Dia harus mengurus perusahaan milik ayahnya. Tapi ibu tidak usah khawatir, pekerjaannya tidak akan membuat Rania lupa akan tugasnya sebagai seorang istri." David melihat ibunya.
"Bukan hanya sebagai seorang istri. Tapi juga sebagai seorang menantu." Widuri berbicara dengan tegas.
Rania mengerutkan keningnya tak mengerti. Dia akan mengatakan sesuatu namun David menahannya.
"Tentu saja ibu. Dia pasti paham akan hal itu."
"Baguslah. Beritahu istrimu juga akan peraturan di rumah kita. Katakan jika dia harus selalu menuruti apapun yang ibu katakan, dia memang istrimu tapi semua di rumah itu tetap ibu yang mengaturnya."
"Baik ibu." David mengangguk. Lain halnya dengan Rania yang tercengang tak percaya.
Widuri kembali mengatakan banyak hal lagi tentang apa yang harus Rania lakukan dan tidak lakukan jika sudah menikah dengan putranya nanti. Rania yang sudah jengah tak sepenuhnya mendengarkan, dengan mimik wajah malasnya dia bertopang dagu sambil memainkan sendok di tangannya.
Seandainya saja jika bukan karena perusahaan ayahnya yang sedang membutuhkan investasi besar, maka dia pasti akan mundur dari pernikahan ini. Membayangkan situasi sulit yang harus dihadapinya setelah pernikahan nanti.
"Ajak saja suamimu untuk pindah dari rumah ibunya." Gea mengagetkan Rania yang sedang termenung.
"Tidak bisa. Tertuang di perjanjian pra nikah jika aku harus bersedia tinggal bersama mertuaku."
"Dasar anak mami." Gea mencibir.
Rania hanya memegang kepalanya pusing.
Malam hari.
Rania turun dari mobil, Gea dan supirnya lalu pamit untuk pulang.
"Besok pagi kami akan menjemputmu." Gea melambaikan tangannya.
Rania tertegun sejenak melihat rumah besar nan mewah dan super megah di depannya.
Dia lalu melangkah kakinya setelah sebelumnya menarik napas panjang. Ini adalah kali pertamanya memasuki rumah itu, rumah keluarga besar suaminya, rumah yang mulai saat ini harus dia tempati dan entah sampai kapan dia mampu bertahan di sana.
Rania akan membuka pintu yang menjulang tinggi, namun sebelum tangannya terangkat, pintu itu telah di buka dari arah dalam.
Beberapa pelayan berpakaian serupa menyambutnya dengan setengah membungkuk. Seorang diantara mereka lalu mempersilahkan istri dari tuan mereka untuk masuk.
Rupanya kedatangannya sudah ditunggu oleh nyonya rumah, dengan wajah angkuhnya Widuri memperhatikan Rania yang berjalan mendekatinya.
Selain ibu mertuanya yang menyambutnya sinis, Rania juga melihat dua adik iparnya sama-sama melihatnya tak suka.
"Akhirnya kamu pulang juga." Widuri melihat jam besar di dinding.
"Iya ibu. Pekerjaanku sangat banyak."
Widuri terus menatap wajah menantunya tajam.
"Pekerjaan tidak bisa dijadikan alasan, harusnya kamu sudah pulang sebelum suamimu pulang."
Rania tak menjawab, dia hanya menghela napas mendapatkan sambutan pertama yang kurang mengenakkan dari mertuanya.
"Baiklah ibu. Aku ingin beristirahat."
"Apa aku sudah menyuruhmu untuk pergi?" Widuri kesal.
"Apa tidak ada yang mau kamu sampaikan?" Widuri mengharapkan permintaan maaf menantunya atas kejadian tadi siang.
"Oh iya. Soal tadi siang. Maaf ibu aku sangat sibuk hari ini jadi kau tidak sempat mengantarkan barang milikku."
"Apa kamu pikir rumah ini adalah hotel? Bisa datang dan pergi seenaknya sesuka hati?"
"Aku kan sudah minta maaf ibu." Rania kembali akan melangkah.
"Tunggu dulu."
"Masih ada yang ingin ibu sampaikan?" Rania kembali menghela napas panjang sambil melihat ibu mertuanya lagi.
"Suamimu belum makan malam. Kamu harus membantu menyiapkan makanan untuk suamimu."
"Apa?"
"Apa perkataanku kurang jelas?"
"Tapi ibu. Banyak pelayan di rumah ini. Mereka bisa menyiapkan semuanya kan?"
Widuri terkesiap mendapatkan jawaban tak terduga dari menantunya.
"Ibu. Dia berani sekali menjawab perkataan ibu." Gendis memegang lengan ibunya, gadis berusia 19 tahun itu tampaknya ingin memanasi sang ibu.
"Berani sekali kamu menjawab perkataan ibuku?" Gilang menambahi. Adik David nomor dua itu juga tampaknya sangat ingin melihat kakak ipar baru mereka dimarahi oleh ibu mereka.
Rania menggelengkan kepalanya tak percaya. Selain ibu mertuanya rupanya dia juga harus menghadapi adik-adik iparnya yang juga sama saja.
"Aku lelah. Aku mau istirahat. Dimana kamar suamiku?" Rania memutar tubuhnya membelakangi mereka bertiga
Widuri merapatkan giginya kesal. Dia akan berteriak memanggil menantunya namun diurungkan melihat David yang sedang menuruni tangga.
"Kamu sudah pulang?" David melihat istrinya.
"Dimana kamarmu. Aku lelah." Rania lagi-lagi menarik napas dalam-dalam sambil melihat suaminya.
David tak menjawab, dia hanya memanggil salah satu pelayan untuk mengantarkan Rania ke kamarnya.
Rania menaiki tangga dengan santai, tak memperdulikan tatapan sinis mertua dan kedua adik iparnya.
Beberapa saat kemudian.
Rasa lelah dan jengkelnya membuat Rania segan untuk keluar kamar, padahal beberapa kali pelayan memanggilnya atas suruhan nyonya besar.
Setelah mandi, dia hanya membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sambil memperhatikan kamar sang suami yang besar dan cukup luas itu.
Tak berselang lama, suaminya masuk ke dalam kamar, berjalan mendekatinya dengan sedikit kesal.
"Kenapa tidak turun ke bawah? Ibu menyuruhmu untuk turun."
"Harus berapa kali aku katakan jika aku lelah." Rania menutupi wajahnya dengan selimut.
"Aku hanya ingin kamu tahu jika aku tak suka jika kamu terus membuat ibuku kesal dan marah." David menatap tajam sang istri yang berbaring di atas tempat tidur.
"Aku tak bermaksud membuat ibumu marah, tapi sepertinya memang ibumu itu pemarah."
"Jaga mulutmu. Jangan mengatakan hal buruk tentang ibuku." David sedikit membentak.
Rania langsung menyingkap selimut di wajahnya, dia beranjak dari tidurnya, berdiri menghampiri sang suami yang sedang marah.
"Baiklah-baiklah. Aku juga hanya ingin kamu tahu aku akan menjalankan kehidupanku sesuai keinginanku, aku tidak suka diatur, tidak itu olehmu apalagi oleh ibumu."
"Ingat jika kamu adalah istriku. Kamu harus menuruti apa perintahku." David memegang lengan istrinya
"Aku memang istrimu. Bukan pesuruhmu. Aku akan menuruti apa katamu jika itu masuk akal menurutku." Rania menepis kasar tangan suaminya.
"Jangan memanfaatkan statusmu sebagai suamiku. Ingat pernikahan ini hanya sebatas kesepakatan. Jangan kamu kira hanya aku saja yang diuntungkan dari pernikahan ini sehingga aku harus selalu menuruti apa katamu. Kamu dan perusahaanmu juga sama-sama diuntungkan, jadi mari kita saling menghormati. Jangan merasa sok berkuasa satu sama lain."
David tiba-tiba tersenyum. Dia kembali memegang tangan istrinya, tapi tidak sekasar tadi, kali ini dia meraih tangan sang istri dengan lebih lembut.
"Satu hal yang harus kamu tahu. Aku sama sekali tak diuntungkan dengan menikahimu, perusahaanku akan baik-baik saja dengan kita menikah atau tidak, tapi sebaliknya, perusahaanmu yang sudah banyak sekali diuntungkan, jika kita tak menikah perusahaan ayahmu pasti sudah bangkrut saat ini. Jadi baik-baiklah menjaga dirimu di rumah ini. Lakukan apa perintahku dan yang paling penting jangan membuat ibuku kesal apalagi marah." David tersenyum sinis sambil menatap wajah istrinya.
"Karena kalau tidak. Menghancurkan perusahaanmu akan semudah seperti menjentikkan jari ini." David menjentikkan jarinya.
Rania terhenyak mendengar semua perkataan suaminya. Dia tertegun mencerna tiap kata demi kata yang disampaikan David padanya.
David tersenyum menikmati kekagetan istrinya, dia yakin jika ayah mertuanya belum menceritakan situasi yang sebenarnya tentang perusahaan mereka pada putri kesayangannya ini. David lantas memilih untuk pergi dari sana, membiarkan sang istri seorang diri agar lebih leluasa mempertimbangkan semua perkataannya tadi.
Sepeninggal suaminya, Rania cepat-cepat mengambil ponselnya, dia harus segera mencari tahu akan kebenaran ucapan suaminya.
"Apakah yang dikatakan oleh suamiku itu benar ayah? Perusahaan kita sekarang bergantung pada perusahaannya" Rania bertanya pada sang ayah di ujung telepon.
"Iya sayang. Maaf ayah tak memberitahumu jika perusahaan sebenarnya sedang terlilit hutang yang banyak."
"Kenapa ayah merahasiakan masalah sebesar ini padaku?"
"Kamu tak akan mengerti, kamu baru terjun di dunia perbisnisan ini. Ayah juga tak ingin membuatmu khawatir. Tapi kamu jangan cemas, berkat suamimu perusahaan kita akan baik-baik saja."
"Lucu sekali. Tidak mau membuatku khawatir tapi menjadikanku tumbal, memaksaku menikah dengan orang asing hanya demi untuk menyelamatkan perusahaan. Ayah memang luar biasa." Rania menutup saluran teleponnya.
Rania geram. Mengetahui kenyataan jika perusahaannya kini bergantung sepenuhnya pada perusahaan milik suaminya sangat membuatnya kesal, dengan begitu kini suaminya pasti akan bertindak semena-mena padanya. Dia yakin jika dengan alasan perusahaan, David akan dengan mudah mengatur hidupnya.
Namun ada hal lain yang membuatnya penasaran, jika memang benar perusahaan suaminya sama sekali tak diuntungkan oleh pernikahan ini, kenapa suaminya mau membantu perusahaan ayahnya, dan kenapa harus pernikahan yang dijadikan syaratnya.
Keesokan paginya.
Rania tengah berdandan ketika David masuk sambil bergegas berjalan menuju kamar mandi. Dia hanya melirik suaminya sekilas tak memperdulikan dimana suaminya tidur tadi malam.
Selesai mandi, David berjalan menuju walk in closet miliknya yang saat ini terpaksa harus berbagi tempat dengan barang-barang milik istrinya.
Selagi dia memilih baju, Rania juga masuk ke dalam sana, mencoba mencari sesuatu.
"Dimana mereka menyimpan semua perhiasanku?" gumam Rania pada dirinya sendiri sambil terus memperhatikan kotak kaca di bawah sana dimana seharusnya perhiasannya itu disimpan oleh orang-orang suruhannya kemarin.
Lama mencari, Rania tak kunjung menemukannya hingga menarik perhatian David yang baru keluar dari kamar mandi setelah selesai memakai baju.
"Apa yang kamu cari?"
"Semua perhiasanku. Aku sudah menelepon orang-orang yang kemarin membereskan semua barang-barangku. Katanya mereka menyimpannya disini." Rania mulai terlihat panik.
David terlihat ikut mencari. Namun sama seperti istrinya dia juga tak menemukan perhiasan milik Rania yang kini raib entah kemana.
"Kalian mencari apa?"
Keduanya dikagetkan oleh kedatangan Widuri yang tiba-tiba.
"Rania mencari kotak perhiasannya." David melihat ibunya.
"Oh itu. Ada pada ibu."
Rania kaget. Dia langsung melihat ibu mertuanya.
"Kenapa bisa sampai ada di ibu?" katanya heran.
"Ibu hanya ingin menyimpannya saja, takut hilang."
"Terima kasih ibu sudah mau menyimpannya. Boleh aku minta perhiasanku kembali ibu. Aku akan menyimpannya disini."
"Sudah ibu bilang kan jika ibu yang akan menyimpannya."
"Apa?" Rania mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Nak. Apa kamu sudah selesai bersiap? Kalau sudah cepat turun, gendis dan Gilang sudah menunggumu untuk sarapan." Widuri tak menghiraukan Rania, hanya meliriknya sekilas lalu berjalan pergi meninggalkan kamar mereka.
Rania yang masih dibuat tak percaya melihat suaminya.
"Kenapa ibumu seperti itu?"
"Ibuku hanya ingin membantumu menyimpan semua perhiasanmu. Bukan ingin mengambilnya darimu," jawab David santai sambil memakai jam tangannya.
"Aku tak butuh bantuan ibumu. Aku bisa menyimpan semua barang milikku sendiri." Rania mendekati suaminya.
"Suruh ibumu untuk mengembalikannya padaku. Perhiasan ibumu pasti jauh lebih banyak dan mahal, kenapa dia ingin mengambil perhiasanku?" Rania sudah kelewat kesal.
"Dia bukan ingin mengambilnya, tapi dia hanya ingin menyimpannya saja. Ibuku ingin kamu mempercayainya untuk menyimpan barang berharga milikmu padanya. Hanya itu saja. Masa kamu tidak mengerti?"
"Aku tidak mau mengerti dan tidak mau tahu. Pokoknya aku ingin perhiasanku kembali sekarang juga." Rania mulai menitikkan air mata.
David kaget. Dia tak menyangka jika kini Rania menangis di hadapannya.
"Berapa harga semua perhiasan itu? Aku akan menggantinya."
"Kamu tak akan bisa membayarnya." Rania tersedu.
"Berapa? Katakan saja aku akan langsung mentransfernya padamu sekarang juga."
"Kamu tak akan sanggup membayar nilai historis yang ada pada perhiasan itu. Perhiasan itu adalah peninggalan ibuku yang telah tiada." Rania menatap suaminya nanar.
David tertegun.
Di meja makan.
David duduk di meja makan sambil sesekali melirik ke arah tangga dimana istrinya tak kunjung turun.
"Mana istrimu? Kenapa belum turun juga." Sewot Widuri.
David tak menjawab, hanya melamun sambil melihat makanan di piringnya.
Tak lama, akhirnya Rania turun juga, dengan wajahnya yang sembab dia berjalan menghampiri mereka semua.
Rania duduk di samping suaminya.
"Mulai besok bangunlah lebih pagi, tugasmu menyiapkan sarapan untuk kita semua." Widuri melihat menantunya.
Rania tak menyahut, dia hanya terdiam menahan semua rasa kesal di hatinya.
"Usahakan pulang juga jangan terlalu malam. Kalau bisa sebelum gelap kamu sudah harus ada di rumah karena kamu juga harus menyiapkan makan malam untuk kita," tambah Widuri lagi berhasil membuat Rania semakin geram.
Dia yang sudah tak bisa lagi menahan berdiri sambil menatap wajah ibu mertuanya dengan sangat benci.
Namun David yang ada di sampingnya ikut berdiri sambil memegang tangan istrinya.
Dia berbisik.
"Ingat perkataanku tadi malam."
Rania dengan napas naik turun menahan amarah hanya bisa mengepalkan tangannya saja. Dia kembali duduk mengikuti suaminya.
Widuri tentu saja melihat kemarahan menantunya. Tapi bukannya takut, dia malah tersenyum miring dengan puas.
Rania terus terdiam geram, sama sekali tak mengisi piringnya dengan banyaknya aneka makanan di depannya, hal itu membuat David berinisiatif mengisi piring istrinya dengan sepotong roti.
"Owalah nak. Nasibmu memang tidak beruntung, bukannya dilayani kamu malah melayani istrimu yang pemalas itu."
"Coba kalau kamu menuruti perintah ibu untuk menikah dengan wanita yang ibu pilihkan untukmu. Sudah cantik, sopan, santun, lemah lembut dan yang paling penting orangnya sangat rajin. Apa kamu ingat jika dia seringkali mengirimkan makanan untuk kita." Widuri melihat putranya.
Gendis dan Gilang ikut tersenyum puas mendengar perkataan ibu mereka.
"Aku heran. Ibumu cari menantu atau tukang masak?" Rania melirik suaminya.
"Kalau tukang masak, kenapa kamu tidak menikah saja dengan semua pembantu di rumah ini." Rania berdiri, dia sudah tidak tahan mendengar ocehan mertuanya.
Dengan langkah cepat dia meninggalkan semua orang yang terbengong-bengong tak percaya mendengar ucapannya.
Terlebih dengan Widuri, dia membelalakkan mata dengan mulut terbuka.
"Menantu kurang ajar," gumamnya geram.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!