Alden bergegas turun dari ranjang saat Raka, asistennya, memberi kabar tentang Sarah, calon istri Alden yang akan dinikahinya seminggu lagi.
Alden melirik jam dinding di kamarnya sambil berjalan menuju lemari pakaian untuk berganti baju. Jam 1 subuh.
Alden bergegas turun dan nampak terkejut saat daddy Wira dan mommy Lanny juga keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi, siap untuk pergi.
“Daddy sama Mommy mau kemana ?” Alden mengerutkan dahi membuntuti langkah kedua orangtuanya menuju pintu utama.
“Polisi menghubungi Mommy-mu soal kecelakaan mobil yang dipakai Belle. Sekarang kami mau ke rumah sakit. Kamu sendiri mau kemana ?”
“Raka juga menghubungiku mengabarkan soal Sarah yang mengalami kecelakaan. Dan soal mobil yang dipakai Belle, kenapa polisi bisa menghubungi Mommy bukan om Rano atau Tante Mira ?”
“Apa Sarah dibawa ke rumah sakit Medika Griya ?” Daddy membuka pintu belakang untuk mommy Lanny yang masuk duluan.
”Apa jangan-jangan….” dahi Alden berkerrut.
“Jangan memikirkan sesuatu yang belum jelas. Lebih baik kamu cepat naik supaya kita tahu kejadian yang sebenarnya.”
Alden mengangguk dan berlari kecil menuju kursi penumpang depan. Pak Nur, sopir merangkap tukang kebun di rumah keluarga Hutama sudah siap di belakang kemudi.
“Belle sempat berteleponan dengan Mommy sekitar jam 6 sore tadi. Besok rencanananya dia akan datang ke rumah, membantu Mommy mencoba resep baru.”
Alden hanya diam mendengarkan mommy Lanny menjawab pertanyaan Alden yang sempat dilontarkannya sebelum naik ke mobil.
Suasana berganti dengan keheningan. Pikiran buruk langsung memenuhi otak Alden sementara daddy mencoba menenangkan mommy yang menangis karena khawatir.
Sampai di lobby rumah sakit, Alden bergegas turun dan setengah berlari langsung mencari ruang UGD, mengabaikan kedua orangtuanya yang turun belakangan.
Matanya langsung membelalak saat mendapati kedua orangtua Annabelle sedang duduk di deretan bangku dekat ruang UGD.
Tanpa menyapa, Alden melewati sopir kepercayaan keluarga Hutama yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun itu, menghampiri Raka yang sedang berbincang dengan dua orang polisi.
“Nona Annabelle ditemukan 50 meter dari posisi mobil karena tidak mengenakan sabuk pengaman,” ujar satu polisi saat Alden sudah berdiri dekat mereka.
“Apa dia di kursi penumpang atau pengemudi ?” tanya Alden dengan nada mulai emosi.
“Nona Annabelle terlempar dari kursi pengemudi. Sepertinya benturannya cukup keras hingga tubuhnya terlempar dari kaca mobil depan.”
“Ditemukan kandungan obat tidur di dalam darah Annabelle,” Raka memberikan satu lembar kertas yang berisi laporan pemeriksaan dokter secara garis besar.
“Dasar wanita jahanam. Dia benar-benar ingin menghancurkan hidupku !” Wajah Alden memerah karena rasa marah yang sudah siap meledak.
Alden menghampiri kedua orangtua Annabelle yang sedang berbincang dengan daddy dan mommy. Kedua ibu itu menangis.
“Apa Om puas sekarang ?” Alden menghempaskan kertas yang diberikan Raka ke dada papa Rano, ayah Annabelle, membuat pria paruh baya itu sedikit terdorong ke belakang.
“Alden !” bentak mommy Lanny yang terkejut melihat sikap putra tunggalnya.
“Tidak cukup menjadi toxic dalam hidupku, sekarang dia bahkan berniat menghancurkan hidupku sampai sehancur-hancurnya. Hari ini dia berniat membunuh calon istriku !” teriak Alden dengan wajah mengeras di akhir kalimatnya.
Papa Rano memungut kertas yang diberikan oleh Alden tadi yang terjatuh ke lantai. Kedua polisi dan Raka ikut mendekat, berjaga-jaga menahan Alden kalau sampai pria itu lupa diri karena terlalu emosi.
“Apa itu ?” daddy Wira terlihat mengerutkan dahi.
“Bukti kalau Annabelle mengkonsumsi obat tidur sebelum mengemudi. Dia bahkan melepaskan seatbeltnya. Pasti dia berniat meloncat dari mobil sebelum menabrakannya,” geram Alden menatap kedua orangtua Annabelle dengan mata memerah.
“Apa ada bukti kalau Annabelle berniat meloncat dari mobil dan sengaja menabrakkan mobil itu ?” tanya daddy Wira pada kedua polisi yang berdiri di belakang Alden.
“Sayangnya kamera yang ada di bagian depan seperti dicabut paksa sebelum mobil membentur pembatas jalan dan akhirnya menabrak pohon,” ujar salah satu polisi.
“Tolong carikan bukti yang sebenarnya, Pak. Supaya tidak ada kesalahpahaman,” pinta daddy Wira yang diangguki oleh kedua polisi tadi.
“Sekarang kalian juga puas ? Bahkan dia mencabut kamera mobil sebelum melakukan niat jahatnya !” Alden yang belum reda emosinya mendekati kedua orangtua Anabelle.
“Seharusnya sebagai orangtua kalian sadar kalau dia sudah menjadi wanita gila yang terobsesi denganku. Bukannya melarang dia mendekatiku, kalian sengaja menyodorkan dia pada mommy dan daddy supaya terus memberikan dukungan atas kegilaannya !” suara Alden semakin meninggi bahkan membentak kedua orangtua di hadapannya.
“Alden !” kali ini daddy Wira yang menegurnya. “Jaga ucapanmu. Om Rano dan Tante Mira sama terpukulnya seperti kita, apalagi kondisi Belle lebih parah daripada Sarah.”
“Jadi Daddy masih membela wanita gila itu ? Bukankah pilihannya sendiri melepas seatbelt dan mengkonsumsi obat tidur sebelum menyetir ? Tidakkah Daddy bisa melihat kalau ini semua bagian rencana gilanya supaya dia terlihat sebagai pihak yang baiknya ?” ucapan Alden dan senyuman sinisnya membuat mama Mira menangis sedih.
Sebagai ibu yang membesarkan Annabelle, mama Mira yakin kalau semua tuduhan Alden tidaklah benar.
“Maafkan Belle, Tuan Alden,” lirih papa Rano. “Maafkan anak saya yang telah membuat hidup Tuan terganggu. Kami berjanji setelah Belle sadar, kami akan pergi jauh-jauh dari keluarga Hutama dan tidak akan pernah membiarkan Belle kembali bertemu dengan Tuan.”
”Apa jaminan kalian bisa membuat anak gila itu bisa benar-benar jauh dariku ?”
“Alden !” bentak mama Lanny. “Jangan pernah sebut Belle sebagai anak gila !”
“Lalu kalau bukan gila, apa Mom ? Dia terlalu pandai bersandiwara di depan Mommy dan Daddy hingga kalian begitu menyayanginya seperti anak sendiri. Itulah yang membuat dia menjadi besar kepala dan semakin berani. Dan hari ini terbukti kan, kalau dia adalah anak gila yang terobsesi padaku. Bukan hanya berusaha mencegah pernikahanku yang tinggal seminggu lagi, tapi dia berusaha merenggut nyawa Sarah, calon istriku.”
“Mommy yakin kalau Belle tidak akan pernah sepicik itu !” mommy Lanny masih berusaha membantah keyakinan Alden.
“Apa Mommy tidak tahu bagaimana kegilaan orang yang terobsesi ? Mereka akan melakukan segala cara sekalipun harus membunuh ! Aku benar-benar berharap kematian akan menjemputnya !”
Plak !
Alden terkejut saat tangan daddy Wira menampar wajahnya. Selama 28 tahun menjadi putra tunggal daddy dan mommy, belum pernah Alden mengalami kekerasan fisik ataupun verbal.
“Jangan pernah bertindak sebagai Tuhan. Jaga perkataanmu, jangan membuat kami kecewa karena merasa salah telah membesarkanmu. Biar bagaimanapun belum ada bukti kalau Belle berencana mencelakai Sarah apalagi berniat membuatnya meninggal. Kecelakaan ini justru membuat kondisi Belle lebih parah.”
“Bukankah itu sepadan dengan perbuatannya ?” suara Alden masih terdengar sinis meski tidak seemosi tadi.
“Biarkan polisi mencari tahu kebenarannya,” ujar daddy Wira. “Besok kami akan membereskannya, Pak.”
Kedua polisi tadi langsung paham dengan ucapan daddy Wira dan akhirnya pamit dari hadapan mereka.
Empat orang perawat terlihat keluar dari pintu UGD mendorong brankar dimana Sarah berbaring.
“Mau dibawa kemana calon istri saya ?” Alden mencegah satu perawat pria yang berdiri paling depan.
“Dokter meminta kami membawanya ke kamar operasi,” sahut perawat tadi yang langsung mendorong kembali brankar Sarah.
“Kalian lihat sekarang ? Bahkan calon istriku sampai harus masuk kamar operasi !” Alden kembali mendekati kedua orangtua Belle dengan tatapan nyalang.
Daddy Wira menghamprii dokter yang ada di ruang UGD dan bertanya-tanya mengenai kondisi Annabelle dan Sarah. Ekspresi wajahnya nampak terkejut saat mendengar penjelasan dokter, namun beberapa detik kemudian terlihat daddy berbincamg dengan dokter yang terlihat mengangguk beberapa kali.
“Tuan Alden,” papa Rano menahan lengan putra majikannya itu sebelum Alden berlalu hendak menyusul Sarah ke kamar operasi.
“Mohon berikan kami kesempatan untuk tetap di sini sampai Belle sembuh. Kami mohon sebagai orangtua Annabelle.”
“Rano ! Mira !”
Mommy Lanny terpekik saat melihat kedua orangtua Annabelle berlutut di depan Alden yang sebetulnya juga terkejut. Namun rasa bencinya pada anak Rano dan Mira membuat Alden tetap bersikap dingin dan mendecih dengan wajah sinis.
“Jangan berharap maaf dariku kalau sampai terjadi sesuatu pada calon istriku ! Bukan hanya anak kalian yang kuharap mati tapi akan kubuat hidup kalian lebih menderita daripada kesakitan Sarah !”
“Alden !” Mommy Lanny kembali memekik dengan linangan air mata kesedihan dan kekecewaan sebagai ibu dari Alden Hutama.
“Mommy dan Daddy tidak pernah mengajarkanmu bersikap seperti ini. Om Rano dan Tante Mira sudah seperti orangtuamu sendiri.”
Daddy Wira yang baru saja keluar dari ruang UGD nampak terkejut melihat Rano dan Mira berlutut di dekat Alden.
Raka yang sejak tadi tidak berani ikut campur akhirnya ikut membantu daddy Wira yang meminta Rano dan Mira kembali berdiri.
“Mereka boleh memperlakukan aku seperti anak mereka sendiri di depan mommy dan daddy. Apa Mommy yakin kalau semuanya itu tulus mereka lakukan dan bukan demi anak mereka yang terobsesi padaku hingga membuatku stress ?”
“Alden !” bentak daddy Wira. “Semoga semua ucapanmu ini tidak akan membuat kamu menyesal seumur hidupmu !”
Daddy Wira berhenti di depan putranya dengan tatapan tajam. Terlihat tatapan sedih, marah dan kecewa terhadap putranya bercampur aduk dengan helaan nafas panjangnya.
“Operasi Belle sudah selesai. Malam ini mereka harus menempatkannya di ruang ICU karena keadaannya sangat kristis. Belle koma.”
Daddy Wira menatap kedua orangtua Belle dan langsung merangkul istrinya yang terkejut dan menangis mendengar kabar kondisi Belle.
Tanpa menghiraukan Alden, putra mereka, daddy Wira mengajak istrinya beserta Rano dan Mira naik ke lantai dua, dimana ruang ICU berada.
“Gadis gila itu benar-benar sudah merasuki daddy dan mommy. Bahkan mereka lebih khawatir pada kondisinya daripada keselamatan Sarah, calon menantu mereka,” gerutu Alden dengan wajah kesal pada Raka yang masih setia menemaninya.
“Dokter bilang kondisi Sarah tidak terlalu parah, Al,” ujar Raka. “Berbeda dengan kondisi Belle yang kritis. Bahkan sungguh ajaib karena Belle masih bisa bertahan hidup.”
“Sepertinya orang jahat agak sulit matinya, Ka,” Alden tertawa sinis.
Raka menghela nafas. Sebagai asisten dan sahabat Alden, sebetulnya ia sendiri bingung mengapa Alden begitu membenci Annabelle. Gadis itu memang menyukai Alden sejak lama, tapi tidak pernah mengejar-ngejar Alden dengan sikap berlebih.
“Jangan lupa ucapan om Wira tadi. Elo bukan Tuhan dan jangan sampai elo bakal menyesali semua ucapan elo hari ini yang menurut gue sudah kelewat batas. Biar bagaimana pun om Rano dan tante Mira adalah orangtua juga.”
“Orangtua yang sama obsesinya dengan anak mereka ingin punya menantu kaya untuk merubah nasib mereka,” Alden tertawa dengan nada mengejek.
Raka menghela nafas dan menggelengkan kepala, berharap Alden tidak akan bermimpi untuk mengulang waktu dan menghapus semua ucapannya hari ini.
Annabelle terkejut saat melihat tubuhnya terbaring di atas brankar dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Bahkan ada balutan perban dengan cairan betadine yang merembes di sela-selanya. Namun tidak ada rasa sakit terasa di tubuhnya.
Ingatan tentang kecelakaan yang baru saja menimpanya membuat hati Annabelle cemas. Ia mencoba menyentuh seorang perawat yang sedang menulis di papan resume medis namun selalu gagal.
Annabelle ingin berteriak namun suaranya tercekat hanya sampai di tenggorokan. Apa ini artinya dia sudah meninggal ? Namun saat melihat monitor yang tersambung dengan alat-alat di tubuhnya terlihat kalau detak jantungnya masih ada meskipun lemah.
Annabelle pun mencari kedua orangtuanya yang dia yakin pasti ada di luar, namun lagi-lagi tangannya tidak bisa menyentuh handel pintu malah tubuhnya seperti terjembab melewati daun pintu.
Annabelle pun bangun dan telinganya menangkap suara tangisan mama Mira. Matanya sendu menatap kedua orangtuanya dan juga orangtua Alden yang berdiri tidak jauh dari pintu ruang ICU. Annabelle berusaha berteriak memberitahu keberadaan dirinya di dekat mereka, tapi jangankan mendengar, menyadari kalau Annabelle berdiri di situ pun tidak.
Annabelle mengerutkan dahi saat melihat Alden keluar dari lift diikuti oleh Raka. Senyum tipis tersungging di bibir Belle, kondisi Alden yang baik-baik saja membuatnya bisa merasa lega.
”Belle kritis, Al. Koma. Secara medis sulit untuk sadar kembali,” mommy Lanny menghampiri putranua yang berdiri agak jauh, menatap tajam ke arah Rano dan Mira yang menahan kesedihan mereka.
“Karma begitu cepat datang pada niat jahatnya. Biasanya orang yang licik susah matinya,” ujar Alden dengan senyuman sinis.
“Alden !” bentak mommy Lanny sambil mengeratkan pegangan tangannya di lengan Alden.
Papa Rano sendiri sempat terkejut mendengar ucapan Alden dan sempat menatap putra majikannya dengan tatapan yang sulit digambarkan.
“Saya tahu berjuta-juta permohonan maaf tidak akan menghapus kesalahan Belle,” papa Rano berjalan mendekati Alden. “Saya berjanji akan membawa anak-anak dan istri saya jauh dari keluarga Tuan muda dan bersumpah tidak akan membiarkan satu anak saya mengganggu hidup keluarga Hutama.”
”Rano !” daddy Wira terkejut mendengar ucapan papa Rano yang sudah menjadi sahabatnya sejak masih di bangku SMP.
“Tapi saya mohon Tuan muda, saya mohon,” papa Rano mengatupkan kedua tangannya di depan wajah dan memohon pada Alden. “Tolong biarkan dokter memberikan pengobatan untuk Belle sampai titik terakhir di rumah sakit ini. Tadi dokter bilang kalau kondisi Belle tidak memungkinkan untuk dibawa pindah ke rumah sakit yang jauh dari sini. Kondisinya rentan dan tidak mungkin melewati perjalanan panjang di ambulans. Saya benar-benar mohon belas kasihan Tuan muda saat ini.”
”Berilah kami kemurahan hati untuk membiarkan Belle di sini dulu, Tuan muda,” mama Mira pun mendekat dan ikut bicara dengan linangan mata. Kedua tangannya ikut mengatup dan memohon pada Alden..
”Jangan seperti ini Mira,” mommy Lanny langsung memeluk mama Mira. “Tidak perlu kalian memohon begini, Alden tidak akan mengusir Belle sebelum dia sadar.”
Alden mendengus kesal mendengar pembelaan mommy Lanny. Di mata Alden, rasa sayang kedua orangtuanya pada Belle terlalu berlebihan.
“Tuan Alden,” seorang perawat memanggil Alden dan memintanya masuk ke sebuah ruangan.
Dokter di UGD yang memintanya naik ke lantai 2, sekalian Alden ingin menunggu Sarah yang masih berada di dalam ruang tindakan di lantai yang sama.
Hati Annabelle merasa sakit melihat perlakuan dan ucapan Alden pada orangtuanya, rasanya ingin berteriak dan menangis, tapi Annabelle hanya bisa menatapnya dengan wajah sendu.
“Sulit membenci pria itu ?”
Annabelle terkejut saat mendengar suara seorang wanita yang berdiri di sampingnya.
“Ibu bisa melihat saya ?” dahi Annabelle berkerut menatap wanita paruh baya yang terlihat masih cantik dan tinggi berpakaian putih.
“Tentu saja,” wanita itu tertawa tanpa menoleh ke arah Annabelle hingga ia tidak bisa melihat seperti apa rupa wanita itu secara jelas, hanya dari samping saja.
“Pengorbananmu yang luar biasa karena cinta membuat Sang Pemilik Hidup berbaik hati padamu. Jiwamu bisa kembali pada raga fanamu dalam 100 hari ke depan.”
“Sungguh ?” mata Annabelle langsung berbinar.
“Tetapi sudah pasti ada syaratnya.”
“Kalau memang aku bisa kembali hidup, aku akan membawa orangtuaku jauh dari keluarga Hutama hingga mereka tidak akan lagi tersakiti oleh pria sombong itu.”
“Pria sombong yang kamu cintai setengah mati,” ujar wanita itu sambil tertawa. “Bahkan di saat dia memaki orangtuamu, hatimu sakit, tapi tidak bisa membuatmu membencinya. Dengan sukarela kamu mengambil resiko kehilangan nyawa untuk cinta yang tidak pernah dianggap olehnya.”
Annabelle tersenyum getir. Apa yang dikatakan wanita di sampingnya benar adanya. Rasanya begitu sakit melihat Alden memperlakukan kedua orangtuanya seperti tadi sampai membuat papa dan mamamanya memohon. Tapi hanya sebatas sakit, Annabelle tidak bisa menghadirkan rasa benci untuk Alden.
“Apa yang harus aku lakukan untuk hidup kembali ?” tanya Annabelle sambil menatap kedua orangtuanya yang masih berbincang dengan tuan dan nyonya Hutama.
“Buatlah Alden juga mencintaimu.”
“Sangat mustahil,” Annabelle tertawa getir. “Kebencian Alden padaku sudah mendarah daging di dalam hatinya bahkan di setiap hembusan nafasnya. Bagaimana mungkin membuatnya jatuh cinta padaku ?”
“Tidak ada yang mustahil selama manusia melakukannya dengan tulus untuk mencapai tujuan yang baik.”
Annabelle menghela nafas. Jika diberikan kesempatan hidup kembali, Annabelle akan membuat Alden meminta maaf pada orangtuanya dan membersihkan namanya sekaligus memutus hubungan dengan keluarga Hutama.
“Kamu lupa menambahkan niat terakhirmu,” ujar wanita itu seolah bisa membaca pikiran dan batin Annabelle.
“Maksudnya ?”
“Kamu tidak ingin Alden kenapa-napa di tangan calon istrinya. Kamu masih ingin membuat Alden berpisah dengan wanita itu supaya hidup Alden bisa lebih aman.”
“Sepertinya aku tidak bisa berbohong pada Ibu,” Annabelle tertawa pelan.
“Bagaimana caranya aku bisa membuat Alden jatuh cinta padaku jika kondisiku seperti sekarang ? Membuatnya jatuh cinta pada orang yang terlihat saja susah, apalagi membuatnya peduli pada jiwa yang tidak kasat mata.”
“Kamu akan dipinjamkan tubuh manusia lain untuk membuat Alden merasakan kehadiranmu.”
“Tapi masih perempuan juga, kan,” ujar Annabelle sambil terkekeh.
“Ternyata otakmu sedikit bergeser karena terlempar keluar,” dengus wanita itu sambil menoleh ke arah lain.
“Maaf, aku bercanda. Sepertinya hatiku terlalu pedih tapi tidak bisa mengeluarkan air mata. Jadi daripada merasa tertekan, rasanya lebih baik menghibur diri sendiri.”
Tidak ada jawaban hanya gerutuan yang terdengar dari wanita tadi mendengar Annabelle tertawa pelan.
“Lalu tubuh siapa yang bisa aku pinjam ?”
Perbincangan mereka terputus saat mendengar suara brankar didorong dari arah yang berlawanan dengan ruang ICU.
“Sarah,” suara Alden membuat Annabelle menoleh dan berbalik badan mengikuti gerakan Alden yang bergegas menghampiri brankar Sarah yang dibawa menuju lift.
“Jiwamu akan meminjam tubuhnya,” ujar wanita itu sambil melirik pada Sarah yang terbaring di atas brankar dan berhenti tepat di depan mereka.
“Serius ?” Annabelle membelalak menatap tubuh Sarah. “Membuat Alden mencintai Sarah adalah hal mudah, tapi mencintai Annabelle yang terlihat sebagai Sarah sangat-sangat mustahil.”
“Cckkk belum sampai 1 jam kamu sudah melupakan ucapanku tentang yang mustahil dan tidak mustahil dalam hidup manusia.”
“Kalau aku tidak berhasil membuat Alden jatuh cinta pada Annabelle dalam 100 hari…”
“Terlalu banyak pertanyaan,” gerutu wanita itu. “Kamu hanya perlu menjawab mau atau tidak menerima kesempatan ini dan simpan semua pertanyaanmu. Hidup manusia memang sudah digariskan oleh Sang Pemilik, tapi bagaimana warna hidupnya ditentukan oleh usaha manusia itu sendiri.”
“Aku akan mengambil kesempatan ini,” ujar Annabelle sambil menoleh ke arah wanita yang masih belum menunjukkan wajahnya.
“Entah bagaimana ujungnya, aku akan berusaha semaksimal mungkin,” tegas Annabelle.
“Dasar budak cinta !” wanita itu kembali berdecih. “Tidak bisakah alasanmu mengambil kesempatan ini demi kebaikanmu sendiri bukan untuk pria tak berperasaan itu.”
Mata Annabelle membelalak. Sepertinya wanita di sebelahnya bukan roh biasa karena bisa-bisanya membaca suara hatinya.
“Ingat hanya 100 hari tidak bisa kurang atau lebih !” tegas wanita itu.
“Apakah hari ini sudah mulai hitungan mundur ?”
“Sejak wanita itu membuka matanya, jam pasirmu mulai berjalan dan menghitung mundur.”
“Apa…”
“Sudah kubilang simpan semua pertanyaanmu dan cari jawabannya sendiri saat jiwamu berdiam di tubuh wanita itu.”
“Satu pertanyaan terakhir, aku mohon,” Annabelle mengatupkan kedua tangannya membuat wanita itu menunda langkahnya hendak meninggalkannya.
“Kenapa harus membuat Alden jatuh cinta supaya aku hidup ? Tidak cukupkah hanya membuktikan diriku tidak bersalah saja ?”
“Itu dua pertanyaan !” decak wanita itu dengan nada kesal.
“Kamu telah memberikan hidup untuk Alden dengan cintamu karena itu hanya cinta Alden yang bisa membuatmu hidup kembali. Cinta yang tulus dari Alden bukan sekedar ucapan di mulut.”
Belum sempat Annabelle bicara, wanita itu sudah menghilang dari pandangannya.
Annabelle menghela nafas, menatap Alden yang terlihat samgat khawatir mengikuti brankar Sarah masuk ke dalam lift menuju kamar rawat inap biasa. Raka masih setia menemani boss sekaligus sahabatnya itu.
Alden benar-benar tidak peduli dengan kondisi Annabelle yang sedang kritis. Alden menolak permintaan mommy Lanny supaya putranya membesuk sebentar Annabelle yang terbaring di ruang ICU.
Mata Annabelle kembali menatap sendu kedua orangtuanya yang masih terpukul dengan kondisinya yang sebagian hidupnya dibantu dengan mesin.
“Kamu pasti bisa Belle !” Annabelle memberikan semangat pada dirinya sendiri. “Setiap kesempatan dalam hidup harus dicoba, apapun hasilnya nanti.”
Wanita di atas brankar itu mengerjap dan kembali memejamkan mata saat menangkap cahaya terang. Seperti belum terbiasa karena terlalu lama terlelap.
“Sayang, akhirnya kamu sadar juga.”
Deg.
Suara yang familiar itu tertangkap telinga dengan jelas dan sepertinya bukan mimpi karena hangatnya tangan pria itu langsung terasa saat bahunya disentuh.
Tapi panggilan sayang pasti bukan ditujukan untuknya, bukan untuk Annabelle. Panggilan itu hanya Annabelle dengar untuk Sarah, calon istri Alden.
Ya ampun ! Sepertinya ucapan wanita tanpa wajah itu benar-benar menjadi kenyataan. Jiwa Annabelle berada dalam tubuh Sarah !
Perlahan Annabelle membuka mata sambil mengerjap untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerangi ruangan.
“Sayang,” suara Alden terdengar kembali memanggil. Panggilan yang selalu diharapkan Annabelle, namun hanya dalam mimpi.
Annabelle merasa gugup saat matanya melihat wajah Alden begitu matanya terbuka sempurna, apalagi wajah Alden semakin dekat dan akhirnya mencium keningnya.
Annabelle memejamkan mata, merasakan hangatnya ciuman Alden tapi sayangnya bukan untuk dirinya karena sosok Sarah-lah yang dilihat Alden saat ini.
Mendadak kepala Annabelle terasa sakit. Serpertinya bukan hanya karena tidak sadarkan diri beberapa hari tapi pusing bagaimana harus bersikap sebagai Sarah di depan Alden.
Hanya satu yang Annabelle ingat, Sarah adalah wanita karir, pengacara terkenal, yang selalu dibanggakan Alden tapi sangat sombong pada orang-orang di sekitar Alden. Bahkan Sarah tidak pernah menganggap Annabelle saat mereka bertemu beberapa kali.
Annabelle mendorong tubuh Alden menjauh dan memegang kepalanya sambil mengernyit, bahkan ia juga menjambak rambut Sarah.
“Kamu kenapa, sayang ? Apa yang sakit ?”
Hatiku ! Hatiku sakit karena perlakuanmu pada Sarah seperti guci antik yang langka dan mahal…. Dan di mataku perlakuanmu sangat lebay, batin Annabelle.
“Aku panggilkan dokter.”
Alden yang panik langsung menekan tombol panggilan ke meja perawat. Baru selesai menekan, pintu kamar terbuka.
Annabelle sempat mengintip dari balik jemarinya yang ia gunakan untuk memegang kepala dan menutupi wajahnya.
Ternyata Raka dan mommy Lanny yang masuk, bukan dokter.
“Raka, cepat panggil dokter. Sepertinya Sarah sangat kesakitan,” perintah Alden.
Raka pun keluar lagi dan bergegas meminta dokter untuk datang pada perawat yang sedang berjalan menuju kamar Sarah.
“Sarah kenapa ?” tanya mommy Lanny dengan wajah datar sambil mendekat ke ranjang Sarah.
“Sarah baru saja sadar dan sepertinya sakit kepala,” ujar Alden dengan nada cemas.
Annabelle melirik kepada mommy Lanny yang terlihat mencibir dan tersenyum sinis. Terlihat kalau ibu Alden itu tidak menyukai calon menantunya.
“Jangan berlebihan, Al, wajar kalau Sarah merasa pusing setelah tidak sadarkan diri hampir 3 hari. Semoga saja hanya sekedar pusing, tidak sampai hilang ingatan,” ujar mommy Lanny dengan suara tenang namun masih tetap sinis di telinga Annabelle.
Tidak lama dokter pun datang bersama 2 orang perawat. Setelah menyapa Alden dan mommy Lanny, dokter langsung memeriksa tubuh Sarah.
“Kondisinya baik dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hasil MRI dan CT Scan juga baik, hanya tinggal menunggu luka-lukanya kering.”
“Tapi sejak sadar, calon istri saya merasakan sakit kepala terus, Dok.”
Terlihat mommy Lanny menghela nafas karena menahan kesal melihat sikap Alden.
“Wajar, Tuan Alden. Nona Sarah tidak sadarkan diri selama hampir 3 hari, selebihnya rasa sakit di kepala atau pusing disebabkan karena masih ada rasa trauma saat mengingat kejadian yang baru saja dialaminya.”
“Tidak adakah obat yang bisa menghilangkan atau minimal mengurangi rasa sakit kepalanya ?”
“Soal itu…”
“Jangan berlebihan Alden,” potong mommy Lanny. “Sarah baru juga sadar dan membutuhkan waktu untuk menormalkan pikirannya. Bersabarlah dalam dua tiga hari ke depan.”
“Betul yang dikatakan Nyonya Lanny, Tuan Alden,” dokter itu tersenyum. “Sudah biasa kalau pasien yang mengalami kecelakaan akan mengalami sedikit trauma di saat-saat awal mereka sadar. Biarkan Nona Sarah tenang dulu dan fokus pada kesembuhan luka-luka fisiknya.”
“Daddy dan Mommy sudah menyiapkan psikiater untuk mendampingi Sarah supaya lebih cepat pulih dari rasa traumanya.”
Ucapan mommy Lanny itu membuat Annabelle terkejut dan Alden sendiri menautkan dahinya.
“Tapi otak Sarah tidak terganggu, Mom. Kenapa harus memanggil psikiater segala ?” protes Alden.
“Daddy dan mommy tidak berpikir Sarah gila,” sahut mommy Lanny dengan nada yang sedikit meninggi.
“Nyonya Lanny benar, Tuan Alden,” dokter Irwan menengahi sambil tetap tersenyum. “Akan lebih baik jika seseorang yang mengalami trauma atas kejadian tertentu dibantu oleh seorang psikiater untuk mempercepat penyembuhan. Seorang psikolog atau psikiater bukan hanya dibutuhkan oleh orang yang terganggu otaknya alias gila.”
Alden hanya menghela nafas dan kembali mendekati ranjang Sarah dimana dua orang perawat tadi sedang membantunya merubah posisi sandaran tempat tidur menjadi setengah berbaring.
“Semoga psikiater bisa membantumu segera pulih dari rasa trauma, Sayang. Aku benar-benar membenci Annabelle karena membuatmu jadi seperti ini.”
Mommy Lanny mencibir mendengar ucapan Alden yang lagi-lagi memojokan posisi Annabelle padahal polisi belum menyampaikan fakta yang jelas.
“Kami permisi dulu Nyonya, Tuan Alden.”
Dokter Irwan dan kedua perawat tadi pamit meninggalkan kamar Sarah. Ketiganya menangkap jelas sikap tidak suka nyonya Hutama itu pada calon istri putranya.
Mommy Lanny kembali mendekati ranjang Sarah dan memperhatikan gerak gerik Alden yang dengan telaten memberikan minum untuk Sarah.
Annabelle yang sempat melirik langsung bergidik. Selama ini mommy Lanny memang enggan membahas soal calon istri Alden di depan teman-teman sosialitanya, tapi Annabelle tidak menyangka kalau rasa tidak suka mommy Lanny pada Sarah demikian dalamnya hingga sejak tadi hanya tatapan sinis yang ditangkap oleh Annabelle.
Alden pun dengan berat hati meninggkan Sarah dan menitipkannya pada mommy Lanny karena Raka minta waktu untuk berbincang dengan Alden, membahas soal pekerjaan kantor yang ditinggalkan oleh Alden dua hari kemarin.
“Psikiater akan datang siang ini dan jangan bersandiwara untuk menghindar,” tegas mommy Lanny saat Alden sudah keluar kamar. “Dia bahkan tahu kalau kamu berbohong atau tidak.”
Annabelle hanya diam mendengarkan ucapan mommy Lanny dan sekali-sekali mengerutkan dahi.
Pusing bukan karena takut dianggap berbohong tapi bingung bagaimana bisa membuat orang percaya kalau saat ini yang menempati tubuh Sarah adalah Annabelle. Pikiran dan perasaan yang dimiliki oleh Sarah saat ini adalah Annabelle.
Seorang psikiater bukan paranormal yang bisa melihat jiwa Annabelle di dalam tubuh Sarah. Annabelle berharap psikiater yang diminta mendampinginya akan sedikit percaya dan tidak akan menganggapnya gila.
Annabelle bergidik membayangkan kalau pada akhirnya dia akan dimasukkan rumah sakit jiwa karena dianggap gila dan berhalusinasi.
“Kenapa ? Takut ?” sindir mommy Lanny dengan senyuman sinis saat melihat tubuh Sarah bergidik.
“Tidak, Tante, saya tidak takut,” sahut Annabelle sambil tersenyum tipis.
Dahi mommy Lanny berkerut saat mendengar Sarah memanggilnya Tante, padahal sejak dilamar oleh Alden, tanpa persetujuan orangtua Alden, wanita itu langsung memanggil Tuan dan Nyonya Hutama dengan sebutan daddy dan mommy.
“Kepala saya masih sedikit pusing dan rasanya ingin segera mandi karena badan rasanya lengket. Tapi dokter melarangnya dan baru besok pagi saya boleh mandi sendiri,” Annabelle kembali melanjutkan perkataannya saat melihat mommy Lanny hanya diam dan menatap Annabelle dengan penuh selidik.
Terdengar pintu kamar diketuk dan belum sempat dijawab, seseorang sudah membukanya dan langsung tersenyum begitu masuk ke dalam.
“Apa kabar, Tante ?” sapa pria tampan itu sambil tersenyum lebar.
Ia langsung menghampiri mommy Lanny dan memberikan sapaan dengan pelukan dan cipika cipiki.
“Katamu baru akan datang setelah jam makan siang,” ujar momny Lanny dengan wajah sumringah.
“Hari ini sengaja aku cuti demi memenuhi panggilan Tante cantik,” puji pria itu sambil tertawa. “Apalagi calon pasienku ini sangat istimewa.”
Pria itu melirik Sarah yang sejak tadi menatapnya dengan alis menaut.
“Apa kabar, Sarah ? Sepertinya kita akan sering bertemu sampai kamu sembuh.”
“Kamu psikiaternya ?” mata Annabelle membelalak.
“Kenapa ? Ada masalah atau keberatan ?” pria tampan tadi tertawa.
“Tidak,” kepala Annabelle menggeleng. “Hanya tidak menyangka pria yang pernah berantem dengan Alden sekarang sudah jadi psikiater. Aku pikir kamu akan mengambil spesialis lain.”
Yudha, psikiater tampan yang juga sahabat Alden sejak masih sekolah, sama seperti Raka, mengerutkan dahinya mendengar ucapan sosok Sarah di depannya yang sedang senyum-senyum.
Masalah adu jotos antara Yudha dan Alden hanya diketahui Raka, tidak ada orang lain yang tahu. Dahi Yudha yang masih berkerut teringat akan satu nama lagi yang tahu kejadian itu. ANNABELLE. Hanya gadis itu yang tahu kejadian antara Yudha dan Alden.
“Yudha !” panggilan Alden di pintu kamar membuat saling tatap antara Sarah dan Yudha terputus.
“Mau ngapain elo di sini ?” ada nada tidak suka di ucapan Alden. “Jangan bilang…”
“Mommy yang minta Yudha datang ke sini dan membantu Sarah mengatasi traumanya pasca kecelakaan. Mommy yakin kalau Sarah pasti akan lebih nyaman berbagi cerita dengan orang yang sudah dikenalnya.”
“Seharusnya Mommy membicarakan dulu denganku kalau memang Yudha yang dipilih sebagai psikiater Sarah,” protes Alden masih dengan nada tidak suka.
“Kenapa ? Apakah kamu tidak menghargai niat baik Mommy yang ingin membantu kesembuhan Sarah ?”
“Bukan begitu, Mom.”
“Yudha datang kemari sebagai psikiater profesional bukan rivalmu. Lagipula Mommy yakin kalau Yudha sudah mendapatkan calon istri yang lebih baik lagi.”
“Mommy,” pekik Alden yang tidak suka dengan sindiran mommy Lanny.
Alden tahu kalau mommy Lanny tidak pernah menyukai Sarah dan terpaksa menyetujui pernikahannya dengan Sarah setelah Alden bersikeras meyakinkan mommy dan daddy-nya.
Alden menautkan alisnya saat melihat Sarah biasa-biasa saja malah senyum-senyum bertatapan dengan Yudha. Biasanya Sarah akan langsung menunjukkan wajah sedih saat mommy mengucapkan kata-kata sindiran dengan nada sinis.
“Hei, dia calon istri gue !” Alden yang mendekati Yudha mengibaskan tangannya di antara Yudha dan Sarah, memutus acara pandang-pandangan keduanya.
“Jangan coba-coba memanfaatkan situasi untuk merebut istri gue !”
“Ralat calon istri, belum sah jadi istri,” ujar Yudha sambil tertawa pelan.
“Gue datang sebagai psikiater profesional, Al, nggak boleh pakai perasaan saat menangani pasien. Tapi nggak janji kalau seiring waktu malah Sarah yang jatuh cinta sama gue,” ledek Yudha sambil terkekeh.
“Elo…” Alden langsung melotot dengan tangan terkepal.
“Nggak cukup luka di bahu kiri ? Mau nambah di bahu kanan biar seimbang ?” potong Annabel sambil tertawa.
Ucapan spontan Annabelle itu membuat Alden, Yudha dan Raka langsung membelalakan matanya dan menatap sosok Sarah yang masih tertawa pelan dengan tatapan penuh tanda tanya.
Bagaimana Sarah tahu ada bekas luka di bahu kiri Yudha akibat adu jotos dengan Alden ?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!