NovelToon NovelToon

The Last Elementis

Prolog

"Gracelia apa yang kau lakukan? Kembali!"

"Untuk apa?"

"Setiap langkahmu hanya membawa  kehancuran pada Zoeearth, bukan ini tujuan kita!"

"Tujuan?" Intonasi itu terdengar meremehkan. Sudut bibir ditarik sebelah memberi celah; sisa darah yang tadinya tertahan turun dengan bebas. Gracelia terkekeh. "Kesejahteraan Zoeearth sudah lama mati, kalian mengemas semuanya  atas dasar kemakmuran. Kalian sadar itu hanya bualan tapi kalian ... bahkan kau hanya bungkam!"

"Kau sudah salah, kau sudah terhasut ucapan alpha sialan itu!" Buku jari Zalena mengeras. Langkah Gracelia sudah sampai di bibir Death Valley. Ia tidak dapat percaya Gracelia benar-benar ingin menjatuhkan dirinya ke dalam Palung Hitam.

"Sudah terlambat." Gracelia bergumam pelan. Ia membentangkan tangannya, tubuh itu melayang ke udara menyatu dengan kabut pekat. Lima pilar yang mengelilingi Death Valley memancarkan lima cahaya berbeda. Pendar itu perlahan semakin terang mengiringi seluruh tubuh Gracelia yang juga diliputi cahaya. Melayang di atas lautan hitam yang mendidih, dikelilingi ratusan jiwa yang menentang, rasa takut Gracelia telah lama padam.

Ratusan garnisun berjaga di sekitar Death Valley  tanpa sadar melangkah mundur. Rakyat biasa yang tidak cukup memiliki kemampuan tidak berani melihat ke atas. Seolah cahaya jatuh dari langit, udara kini dipenuhi ratusan witchstone yang berpendar. Semua Elementis memegangi dada, melihat pada batu berlian yang melayang; merasakan kekosongan absolut ketika inti kehidupan sudah berpindah entah sejak kapan.

"Kau gila?!" teriak Zalena geram. "kau ingin membunuh semua Elementis dengan mencuri witchstone di tubuh mereka?!"

Camelia tahu witchstone bak jantung bagi seorang Elementis. Namun, setitik pun kepedulian tidak lagi tampak di matanya.

Hanya dengan mengepalkan tangan Gracelia mengambil alih seluruh witchstone. Lautan hitam Death Valley bergejolak. Pekat hitamnya menguar saat ditimpa cahaya. Gracelia tidak gentar saat percikan panas cairan hitam nyaris menguliti tubuh bawahnya. Gracelia tidak lagi peduli. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya.

Dalam sekali hentakan, tangannya terangkat ke udara. Ia perlahan menarik lengannya kembali, dengan tangan terkepal kuat ia menggiring seluruh witchstone yang kini ikut merosot ke bawah bersamanya. Semua orang membekap mulut tidak percaya. Bahkan Zalena yang berusaha menghalau tindakan sang adik, hanya bergeming dengan tatapan nanar.

Beberapa Elementis jatuh ke tanah, memegangi dada yang terasa sesak. Sementara yang lain tertatih, seekor serigala menerobos kerumunan merobohkan beberapa orang lagi yang masih berusaha menongka tubuh. Sang serigala melolong pilu sebelum akhirnya mengambil wujud manusia. Teriakannya dapat didengar semua orang.

"Apa yang kalian lakukan?! Kenapa tidak ada yang menahannya!"

Kemarahan itu dalam sekejap tergantikan menjadi tangisan tanpa suara. Pandangannya memburam oleh bulir air mata yang memenuhi kelopak. Bahkan jika kini penglihatannya terhalang, ia masih dapat melihat sosok pujaan hati di balik kabut itu masih menoleh untuk melihatnya. Seketika ia kehilangan tenaganya. 

"Gracelia ... kembali."

Namun, mata itu adalah fisik terakhir yang bisa ia lihat.

Dalam sekejap semua cahaya menghilang begitu pula tubuh yang sudah lebur. Seolah telah mendapat makanannya, luapan Death Valley perlahan tenang. Keadaan telah membaik, tetapi sudah terlambat untuk mengharapkan kehadiran seseorang kembali.

Gracelia, Elementis terkuat yang seharusnya menjadi ratu semua orang kini sosoknya telah hilang bersama keberadaan seluruh witchstone yang juga telah pupus.

"Cukup hal baik dan indah yang berulang. Kesalahan dan hal menyakitkan lainnya tetaplah menjadi kenangan."

Namanya akan terhapus, matanya terpejam, seluruh tubuhnya menghilang. Namun, harapan itu akan tetap hidup sampai kapan pun.

TLE 1

...Peta Zoeearth...

...by Thyta...

...****************...

Beberapa orang duduk mengelilingi meja lonjong panjang di ruang pertemuan istana. Seorang wanita berpenampilan mulia duduk paling ujung. Sebuah tiara emas bertengger di rambutnya yang hitam, mengukuhkan kedudukannya sebagai seorang ratu di Zoeearth.

Perkumpulan itu sudah berlangsung sejak tadi, merupakan rapat dadakan karena pemimpin Klan Agrios — klan binatang buas — tiba-tiba datang dengan amukan juga kehadiran perwakilan ras amagine yang ingin menyampaikan keluhan. Suasana sudah tidak sericuh sebelumnya, Kenan sang pemimpi Klan Agrios sudah ditenangkan.

"Sudah berapa lama penculikan ini terjadi Aldwin?"

Pria berkulit paling gelap meremas jemarinya. Wajah penuh kegusaran itu tampak jelas, tanpa sadar ia menggeleng dalam diam sebelum akhirnya menatap sang pemberi pertanyaan untuk menjawab. "Awalnya saya mengira hanya satu orang Yang Mulia. Namun, setelah memeriksa lagi ada tiga rumah yang sudah lama kosong. Sulit menentukan kapan dan sudah berapa lama mereka hilang. Tidak ada yang menyadari sebelumnya karena rata-rata yang diculik adalah wanita yang tidak lagi bersuami dan anak-anak yang tidak memiliki orang tua."

"Semua dari ras amagine?" Ratu serafina kembali bertanya.

"Benar Yang Mulia." Kali ini seorang berbaju zirah yang menjawab, sementara Aldwin turut merespons dengan anggukan.

"Tidak ada jejak yang kalian temukan?" Masih Ratu Serafina yang memberi pertanyaan, tapi tatapannya tidak lepas dari pria berbaju zirah, Ramos.

"Kesatria yang berjaga hanya melaporkan adanya aroma busuk di tempat kejadian. Semua tampak baik-baik saja. Aroma itu bahkan tidak lagi tercium setelah jarak dua meter. Kami menduga itu alasan kasus ini tidak cepat terkuak."

Entah kenapa semua orang tiba-tiba memandang ke satu arah, atmosfer seketika berubah saat gebrakan meja terdengar.

"Kalian menuduh Klan Agrios pelakunya?!" Emosi Kenan yang sudah padam kembali tersulut. Pria pemakai topi bulu beruang itu sangat tidak terima. Klan Agrios memang terkenal keras dan bengis. Namun itu hanya naluri hewaniah. Bagaimanapun mereka tetap setengah manusia yang memiliki hati nurani.

Ratu Serafina memperbaiki posisi duduknya. Ia tampak hati-hati saat berkata, "Kenan, kita di sini tidak menyudutkan klan-mu. Dengan belum terkuaknya pelakunya, siapa pun bisa jadi tersangka. Aku tidak mengharapkan tuduhan itu benar. Namun, kau harus tetap memeriksa kalau klan-mu benar-benar tidak bersalah."

"Tck! Kalian tahu bukan hanya Klan Agrios yang patut dicurigai, tapi seolah kekacauan hanya berasal dari kami, kalian bahkan tidak mempertimbangkan keberadaan makhluk itu!"

"Apa maksudmu Kenan?"

Bukan hanya Ratu Serafina yang bereaksi, semua orang dalam ruangan itu kini menatap Kenan dengan penuh tanya.

Tanpa di duga Kenan menyeringai. "Menurut kalian siapa di sini yang dapat datang dan menghilang secepat angin? Ribuan tahun lalu semua orang membenci Death Valley dan seisinya. Jadi ketika ada masalah seperti ini, bukankah dia patut untuk dicurigai. Kenapa dia tidak hadir? Bukankah dia juga harus memberi kesaksian?"

Hanya Ratu Serafina yang dapat memahami kalimat itu dengan baik sementara yang lain masih meraba-raba. Ketika sang ratu memikirkan satu nama, saat itu terpaan angin tipis datang dengan cepat membelai tengkuk semua orang. Ketika mereka menyadari, sosok berjubah hitam sudah muncul di sudut ruangan. Tudung yang menutupi kepala ia turunkan. Tangannya bersedekap santai. Punggungnya bersandar di dinding sementara kakinya menendang-nendang udara.

"Ragash." Tanpa sadar Ratu Serafina bergumam pelan.

Pria berjubah hitam itu tiba-tiba bersuara. "Ah ... daun telingaku terus bergoyang sejak tadi rupanya ada yang sedang memikirkanku." Lirikannya tiba-tiba menoleh ke satu orang. "Kau merindukanku Tuan Beruang?"

Seringaian di wajah Kenan bertambah. "Ras vampir memang panjang umur."

Dalam satu kedipan mata, Ragash sudah berpindah ke kursi yang kosong. Sorot matanya tajam saat tatapannya lebih dekat bertemu dengan Kenan. Namun, sesaat kemudian ia terkekeh.

"Lama tidak bertemu Ratu Serafina ... juga kalian semua. Apa yang aku lewatkan?" Ragash masih dengan senyum santainya, mengabaikan wajah serius semua yang di sana.

"Ragash, ada yang ingin kau jelaskan?" Suara Ratu Serafina terdengar tenang namun sorot matanya menunjukkan ia baru menahan sesuatu.

Yang ditanya malah menguap. "Tentang apa, tidur panjangku? Daging bangkai binatang? Buah yang hambar? Ah semua itu benar-benar buruk. Lihatlah kulitku nyaris berkeriput. Aku sampai —"

Gebrakan meja tiba-tiba terdengar dari arah kursi lain, Ragash menghentikan ucapannya.

"Seorang balita saja bisa mengerti pertanyaan itu, apa kau sedang mengelak?!"

Emosi yang terbit di benak Ratu Serafina dan Kenan tiba-tiba surut. Keduanya terpaku melihat wajah geram Aldwin, tidak disangka pemimpin ras amagine itu baru saja meninggikan suaranya.

Ragash juga cukup tersentak, tapi sesaat kemudian raut wajahnya sudah berubah. Ekspresi memelas sangat tampak dibuat-buat saat ia berkata,

"Kesadaranku belum benar-benar baik tapi kalian sudah melontarkan pertanyaan aneh. Jangan salahkan aku kalau jawabanku melantur."

"Kau benar-benar tidak tahu masalah ini?" Ratu Serafina kembali memastikan.

Ragash sudah mendengar kabar tentang adanya penculikan di Desa Saman saat ia menuju ke kerajaan. Walaupun begitu, ia memang tidak tahu masalah yang sebenarnya. Jadi ia hanya acuh tak acuh dengan semua tuduhan itu.

"Bagaimana orang tidur bisa tahu keadaan di luar?"

Kenan berdecak. "Sangat pandai bersilat lidah! Jadi itu yang membuatmu bangga berumur panjang selama ini?"

Ragash hanya tersenyum. "Lalu kau apa? Kau ingin aku memuji bulu beruangmu itu? Lucu sekali!"

Buku-buku tangan Kenan mencuat, sebelum emosinya meledak, Ratu Serafina sudah melerai.

"Sudah, tidak perlu saling menyalahkan. Ramos, kerahkan beberapa kesatria tambahan. Kita tidak bisa menemukan jawaban jika pelakunya belum tertangkap."

Ramos yang sedari tadi menahan napas berusaha menetralkan ekspresinya. Melihat perubahan emosi dari orang-orang di depannya, butuh sedikit usaha menarik pikiran jernihnya ke permukaan. Ia bahkan nyaris salah bicara. "Ampun Yang Mulia, keberadaan kesatria hanya membuat pelaku semakin berhati-hati."

Aldwin yang sudah tenang turut bersuara, "Benar Yang Mulia. Kesatria penjaga yang tersebar di seluruh Troas seharusnya sudah cukup menangani masalah ini."

"Dengan kata lain .... " Kenan dengan cepat menyela. "Pelakunya sangat baik membaca situasi, ia bertidak sangat hati-hati sampai tidak terdeteksi oleh para penjaga. Dia tidak bisa diremehkan."

Ucapan itu membuat Aldwin mengangguk. Semua orang memiliki pemikiran sama. Hanya Ragash, pria berjubah hitam itu seperti tidak benar-benar mendengarkan pembicaraan. Kepalanya hanya bergerak mengikuti siapa yang berbicara.

"Apa kota ini membutuhkan seorang garnisun?" Aldwin tampak hati-hati saat berkata namun ucapan itu sudah membuat ekspresi beberapa orang berubah. Bahkan Ragash mematung sejenak, pria itu tiba-tiba memusatkan pikirannya. Ia membatin, Oh jadi benar-benar seserius ini?

"Aku memiliki kandidat dari Klan Agrios jika memang diperlukan."

Ratu Serafina tidak menggeleng atau mengangguk terhadap tawaran Kenan itu. Ia masih sedang berpikir.

"Aku akan memilih orang yang pantas Yang Mulia, bahkan jika itu harus aku yang turun tangan," Ramos juga turut menawarkan. Namun Ratu Serafina tetap bergeming.

"Garnisun kerajaan sudah lama tidak bergerak." Ratu Serafina akhirnya bersuara setelah sekian detik. "Aku berharap kita tidak perlu mengerahkan garnisun dalam jumlah besar untuk menuntaskan masalah ini." Ia menjeda ucapannya, tatapannya menerawang sementara sorot mata itu menunjukkan kegelisahan. "Aku tidak tahu seberapa besar masalah ini, karena kita harus bergerak dalam diam, kurasa seseorang akan cocok menangani masalah ini. Dia bukan garnisun berpengalaman, juga bukan yang terkuat. Namun, ia memiliki tekad yang kuat untuk menuntaskan semua tugasnya. Aku rasa dia bukan pilihan buruk."

Ramos sebagai panglima kesatria penjaga yang juga bisa merangkap sebagai garnisun sewaktu-waktu, mencoba menerka siapa yang ratu maksud dari kesekian anggotanya. Cukup lama ia berpikir sampai akhirnya ia berhenti pada satu nama. Ramos lantas beralih menatap sang ratu, senyuman di wajah sosok mulia itu entah kenapa menambah keyakinan Ramos.

Gadis itu?

...🪄🪄🪄...

"Sedikit lagi, sedikit lagi."

Seorang wanita berusia dua puluan tengah bertengger di dahan pohon. Sebelah tangannya memeluk batang sementara tangan bebas lainnya meraih-raih ke udara. Pohon kersem ini memiliki ranting yang kecil-kecil, seharusnya mudah jika ditarik dari bawah. Namun, sosok yang mengincar buah-kecil-merah ini harus memberikan sedikit usaha karena pohon itu hanya menyediakan buah di pucuk paling atas.

"Dapat!" Entah apa yang dipikirkan wanita berambut brunette sesiku ini, seolah meraih buah itu adalah cita-cita paling mulia, setelah mendapatkannya ia bahkan lupa kalau pegangannya sudah lepas dari dahan dan tentu saja tanpa harus menunggu persetujuan tubuh itu akan langsung merosot ke bawah.

Pasrah. Usaha terakhir yang ia lakukan hanya menutup mata. Tidak ada teriakan ketakutan pun raut kekhawatiran. Tangan itu bahkan masih sempat memasukkan beberapa buah ke dalam mulut. Lalu saat merasakan tubuhnya melambat bahkan melayang, dengan santai kedua kakinya diturunkan.

"Aku masih bertanya-tanya kenapa seorang amagine suka sekali membahayakan diri? Apa mereka terlalu putus asa jadi ingin cepat-cepat mengakhiri hidup?"

"Justru menjadi amagine itu beruntung Aron. Apalagi dikelilingi makhluk-makhluk ajaib seperti kalian."

Pria bernama Aron itu berjalan mendekat. Ia menaikkan sebelah alis tapi tidak kunjung berbicara.

"Lihat ... Aku tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan diri ketika jatuh dari pohon, belum saja aku berteriak, pertolongan sudah datang."

"Bodoh." Intonasi tenang itu diikuti oleh jari yang mengetuk pelan puncak kepala pihak lain. Tangan itu juga sempat menggeser posisi sehelai daun yang hinggap di sana. "Jangan menyepelekan keselamatanmu, aku belum tentu terus ada tiap kau kesusahan."

Bukannya berterima kasih, wanita yang diceramahi malah terkikik. Sikunya bahkan dengan lancang mendarat di perut pria itu. Aron yang tidak siap hanya bisa melotot sebagai protes.

"Camel!" refleksnya kaget.

"Ahahaha maaf, maaf. Kau sudah seperti Paman Aldwin kalau serius begitu. Lagi pula aku ini amagine spesial. Kau lupa? Aku bisa jaga diri." Kali ini telapak tangan Camelia yang menyapa punggung Aron. Tidak sedang menggoda. Itu hanya sebuah tepukan bahu untuk meyakinkan sang pendengar.

"Kau tidak kembali? Seorang kesatria sepertinya sedang mencarimu."

"Sebenarnya aku belum ingin. Apa rapatnya sudah selesai?"

Aron mengangguk. "Kau satu-satunya kesatria perempuan dari ras amagine. Kau yakin tetap ingin menjadi garnisun?"

Kesatria penjaga sudah ada sejak masa-masa kelam Zoeearth. Meski sudah tertinggal lama, kekacauan yang pernah tercipta menyebabkan sistem keamanan yang diterapkan tidak luntur hingga saat ini. Garnisun pun tetap dibentuk. Mereka adalah kesatria pilihan yang nantinya akan mendapat tugas khusus. Camelia sudah menjalani setengah hidupnya sebagai kesatria penjaga, jadi ia ingin pengalaman yang lebih dari itu.

"Bibiku saja tidak melarangku kenapa kau khawatir?"

Aron mengembuskan napas halus.

"Tugasmu selama ini tidak cukup?"

Setelah membiarkan seekor tupai menaiki lengannya, Camelia baru menoleh untuk menjawab. "Hanya menjadi kesatria?" Ia berdecak. "Kau tahu tugas terkahirku di Albama? Kami hanya menyelesaikan kasus perampokan! Apa yang menegangkan dari itu?"

"Bukannya itu cukup?" Aron menatap Camelia dengan alis berkerut. "Kau hanya ingin hidupmu berguna, 'kan?"

Belaian di puncak kepala tupai ditekan sedikit lebih keras, Camelia mendengkus. "Astaga Aron! Kau tidak mengerti. Kau tahu siapa para perampok itu? Mereka hanya anak-anak di bawah dua belas tahun! Apa yang bisa kami lakukan? Hukuman cambuk pun tidak dibenarkan untuk mereka. Kami hanya mendapat kalimat maaf dan yah semua selesai begitu saja."

"Tapi Camelia...." Aron beralih memegang pundak wanita di depannya membuat tupai yang tengah bermain dengan keliman pakaian Camelia pergi menjauh. "Kau seorang amagine, " tekan Aron lagi. Berikutnya tatapannya menjadi berat, sisa ucapannya tertahan di tenggorokan.

Mendengar itu senyuman di wajah Camelia memudar. "Kau selalu saja begini." Ia menghindar, melerai pegangan itu juga menjauh dari tatapan Aron. "Aku tidak suka diremehkan."

"Aku tidak bermaksud—"

"Aku sudah terlahir begini Aron. Kau pikir mudah bagiku untuk menerima semua ini?Aku jelas keturunan penyihir bahkan bibiku seorang wizard, tapi kenapa aku berbeda? Aku cacat Aron! Aku bahkan lebih rendah dari seekor hewan biasa!"

"Camel—"

"Yah para amagine memang terlahir tanpa sihir. Mereka tidak bisa mengendalikan mҽҽña karena darah mengikat mereka seperti itu. Aku berbeda Aron aku hanya meminjam nama ras mereka, aku bukan seorang amagine. Aku juga tidak pantas menyandang gelar penyihir. Lalu siapa aku?"

Tangan Camelia mengepal memperlihatkan buku-buku jarinya. Percakapan ini entah bagaimana menyulut emosi. Namun, belum sempat ia melampiaskan lebih jauh, sebuah suara dari arah samping merebut atensinya.

Ada suara patahan tulang.

Aron menangkap perubahan itu dan langsung mengekor ketika melihat Camelia bergerak. "Ada apa?" bisiknya.

Camelia tidak menjawab hanya menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Ada semak belukar di depan, begitu itu disibak penampakkan sosok berjubah hitam yang sedang berjongkok di tanah masuk dalam bidang pandangnya.

Baik Camelia maupun Aron dapat melihat dengan jelas aktivitas apa yang sedang dilakukan sosok berjubah di sana.

Camelia menyeringai, "Bukankah pendengaran vampir sangat peka? Mereka menjadi sangat bodoh ketika sedang makan."

Intonasi itu penuh penekanan. Aron tetap diam saat melihat Camelia mengeluarkan busur dan panahnya. Tepat saat anak panah akan dilucurkan, ia mendengar Camelia berteriak, "beraninya kau memakan tupaiku!"

Sosok di sana mendengar dengan jelas. Namun, belum sempat ia bereaksi, tupai yang menggantung di tanganya menghilang bersamaan dengan anak panah yang melesat cepat. Melihat bagaimana makanan penutupnya berakhir menempel di pohon, ia menyeka sudut bibirnya dan berkata dengan suara rendah. "Siapa yang menganggu waktu makanku."

"Apa makhluk malam seperti kau masih punya wajah berkeliaran di sini? "Camelia berjalan mendekat, ia mencibir melihat beberapa bangkai binatang berserakan di tanah. Ia bahkan mengutuk saat melihat ada buah-buah yang tidak termakan dengan baik. Ia mengumpat. "Menjijikkan!"

Ragash adalah satu-satunya makhluk malam yang bertahan saat ini. Ia diciptakan dari laut hitam, Death Valley. Seperti halnya laut hitam yang mengisap darah, Ragash juga bangkit sebagai makhluk yang mengonsumsi darah. Semua orang kemudian menyebutnya vampir. Selama ini ia dalam pengawasan Ratu Serafina. Ragash dibiarkan berkeliaran selama tidak mengonsumsi darah manusia. Namun, melihat bagaimana dia makan, Camelia merasa perbuatan ini sama-sama tercela.

"Kakek Tua, pulang saja kau ke laut hitam!"

Ragash tadinya sangat marah, tapi melihat siapa dua orang ini ia hanya memejamkan mata dan tersenyum. "Oh kau Anak Nakal?" Ia menyeringai, "Lama tidak bertemu."

TLE 2

Camelia duduk pada sebuah kursi rotan di halaman yang penuh rumput hijau setumit. Di belakang berdiri sebuah rumah kayu yang dindingnya dianyam dari bambu. Tangan Camelia dipenuhi berbagai macam biji dan buah. Rumah yang posisinya bersampingan dengan hutan membuat tupai dan beberapa hewan hutan lainnya datang berkunjung. Mereka tampak jinak, seolah sudah terbiasa.

Camelia berdecak tiga kali. Ia berjongkok sambil menaburkan biji dan buah itu ke tanah. Raut wajahnya tampak kesal saat ia berkata, "Semua pohon akhir-akhir ini memang sangat pelit. Mereka jadi jarang berbuah. Aku hanya punya buah awetan dan biji-biji kering ini. Kalian makanlah."

Seekor tupai melompat melewati kawanan, ia meraih biji kacang almond yang ada di tangan Camelia. Setelah diperhatikan tupai itu memang enggan memungut biji dan buah yang berserakan di tanah. Camelia tidak terganggu, ia bahkan menawarkan lagi begitu makanan yang dikunyahnya habis. Semakin lama halaman semakin ramai. Burung yang hinggap di pohon tak ayal ikut mendekat.

Atensi Camelia beralih pada rumput yang bergoyang. Setelah diperhatikan rupanya itu sekawanan tikus liar yang sedang mengendap-endap. Langkah mereka berhenti tiap kali Camelia bergerak. Lalu saat dirasa tepat, tikus-tikus itu dengan cepat meraih satu makanan lalu kembali menghilang di balik semak.

Melihat itu Camelia terkekeh. "Ah gemasnya."

Tangan Camelia saling menepuk begitu makanan habis. Tersisa beberapa burung yang mengais di tanah juga tiga ekor tupai yang melompat-lompat. Namun, begitu mendengar keributan mendekat, semua hewan itu terbirit kabur. Camelia menoleh, rupanya itu suara dari beberapa anak kecil dari ras amagine. Sepertinya mereka tertarik melihat hewan-hewan yang mengerumuni halaman. Sayangnya semua sudah pergi saat mereka tiba.

"Yah sudah tidak ada."

Seorang anak laki-laki lain memukul puncak kepala gadis kecil yang baru berbicara.

"Kau menakuti mereka!"

"Benar."

"Kau membuat mereka pergi."

Dua anak perempuan lain ikut protes. Semuanya lalu menunduk mencari di balik rumput. Tidak ada yang mengacuhkan Camelia sampai wanita itu berbicara.

"Hei! Anak-anak mereka sudah pergi!"

Salah seorang anak mengehentikan percarian lantas memandang Camelia, sisa anak yang lain turut ikut kemudian.

"Kenapa tidak menangkapnya, Kakak?"

"Apa Kakak bisa memanggilnya agar mereka bermain bersama kami?"

Mendapat pertanyaan itu, Camelia menggaruk tengkuk. Ia berpikir bukan ide bagus menyerahkan hewan-hewan itu di tangan anak-anak. Jadi ia mulai berpikir untuk mengalihkan perhatian.

Camelia langsung beralih pada tas pinggang di sampingnya. Ia biasa menaruh barang secara acak di sana. Barangkali dalam tas pemberian bibinya ini ia bisa menemukan sesuatu yang berguna.Tepat saat tangannya menyentuh sesuatu yang bundar, ia tersenyum. "Siapa di sini yang ingin jeruk?"

Seolah melupakan tujuan awal, anak-anak itu bergerak mendekat. Semuanya melompat-lompat sembari mengacungkan tangan.

"Aku!"

"Aku!"

Antusias itu membuat Camelia kewalahan. Siapa sangka jeruk yang mampu diambil tangannya baru satu buah saja. Ia lupa jika isi tasnya ini seluas jagat raya. Camelia gelabakan karena terus salah mengeluarkan barang. Hingga nyaris keliman baju robek karena ditarik, Camelia akhirnya mendapat buah dengan jumlah cukup. Keinginan anak-anak terpenuhi, mereka langsung melenggang pergi setelahnya.

"Fyuhhh! Anak-anak itu."

Sesaat kemudian wajah Camelia jadi memelas. Ia lupa jika itu adalah stok buah terakhirnya. Pasrah, Camelia hanya bisa memandang jejak anak-anak dengan tatapan nanar.

"Yasudahlah," cicitnya kemudian. Camelia hendak berbalik menjauhi halaman ketika netranya tidak sengaja menangkap sebuah pergerakan dari balik pohon. Itu hanya sekitar tiga meter dari tempat ia berdiri, jadi masih sangat jelas saat ia melihat tangan seseorang mencuat dari sana.

Terdorong rasa penasaran, Camelia lantas mendekat, sosok itu langsung menciut ke sisi lain. Namun, dia tidak menghindar lebih jauh. Saat itulah Camelia melihat seorang anak perempuan meringkuk di akar pohon. Rambutnya hitam lurus tergerai, tetapi wajah dan pakaiannya kotor oleh beberapa titik noda.

"Siapa namamu?"

Tidak ada jawaban.

"Hai, aku Camelia," ucap Camelia lagi sembari mengulurkan tangan.

Mendengar sapaan lembut, anak itu perlahan mengangkat kepala namun tangan Camelia dibiarkan menyapa udara.

Seperti biasa hanya dengan melihat Camelia bisa langsung tahu kalau di depannya ini seorang amagine. Hal itu membuat hati Camelia semakin tergerak.

Sadar jika anak itu tidak akan merespons, Camelia kembali meraih tasnya untuk mencari sesuatu. Ia mengambil secara acak, tidak tahu memberikan apa lagi karena di dalam ini hanya tersisa barang-barang kebutuhannya sehari-hari. Lalu saat tidak sengaja menyentuh sesuatu yang kasar, Camelia ingat masih memiliki beberapa biji bunga matahari dalam kantong goni kecil. Lantas dengan cepat ia keluarkan. Sesuai dugaan, anak itu mulai bereaksi. Awalnya tampak ragu untuk menerima pemberian Camelia, tapi pada akhirnya ia tetap meraihnya. Lagi-lagi Camelia ditinggalkan begitu miliknya telah diambil. Hanya saja kali ini Camelia merasa lega, ekspresi anak itu seperti mememdam sesuatu membuat hati Camelia terenyuh.

Saat anak itu sudah tak terlihat Camelia baru menyadari kalau anak itu menjatuhkan sesuatu. Benda berbentuk berlian tergeletak di tempat anak itu sebelumnya berdiri. Camelia langsung tahu jika itu palsu begitu ia mengangkatnya. Bobotnya ringan, jelas itu hanya kayu yang dipahat lalu dicat dengan warna merah. Sentuhan putih di beberapa titik membuat benda ini tampak nyata.

Witchstone?

Camelia tahu jika ini hanya sebuah replika. Hanya saja benda palsu ini selalu ia lihat di mana-mana. Seolah itu sangat penting. Namun, apa yang berharga dari sebuah pahatan kayu? Tidak ingin berpikir terlalu jauh, Camelia memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu berjalan menuju rumah.

Nanti saja akan kukembalikan jika bertemu lagi, batinnya kemudian.

...****************...

Seekor burung bertengger di ranting pohon paling tinggi. Daun yang tidak lebat memberi celah mata tajamnya memandang bebas ke bawah. Ukurannya sebesar burung gagak, tetapi ia memiliki sayap yang lebih besar. Itu adalah seekor peregrine falcon melihat bagaimana ciri fisiknya. Tubuhnya diselimuti bulu yang didominasi perpaduan hitam kelabu dan biru. Berparuh kuning besar dengan ujung lancip yang hitam. Bagian dada dan perut diisi lebih banyak warna putih dengan garis-garis hitam. Ekornya yang pendek menjadi pelengkap untuk mengetahui jika ia bukanlah elang. Namun, sang alap-alap kawah atau yang biasa disebut falkon itu selalu menyamakan diri dengan sang predator udara. Baiklah, jangan ingatkan ukuran tubuhnya yang hanya sebesar gagak. Karena dia benci itu!

Falkon itu bergerak turun ke ranting lain. Tatapannya bergerak mengikuti sesuatu yang melompat-lompat di tanah. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk menerkam buruannya, tapi saat itu datang matanya menangkap presensi hewan lain.

Serigala pengganggu! batinnya geram.

Sayapnya dengan cepat dilebarkan, tubuh depannya condong ke depan. Tatapannya penuh intimidasi. Ia memandang kelinci buruannya dan rivalnya secara bergantian. Sadar jika keberadaannya telah terdeteksi oleh sang lawan, ia membuka sayapnya lebih lebar dan turun dengan kecepatan kilat. Jarak begitu menguntungkan baginya, tapi siapa sangka serigala yang juga sudah berlari malah mengeluarkan auman. Sang mangsa akhirnya menjadi sadar akan bahaya hingga berusaha melarikan diri.

Falkon itu tidak habis kesabaran, ia memutar arah ingin menuntaskan masalah lebih dulu. Mulut serigala hitam terbuka lebar saat ia menghadangnya. Sebelah tangan itu mengais udara tetapi sang falkon dengan lihai menghindar. Ia berhasil menancapkan paruh di bulu hitam-lebat itu, tapi arah yang ia ambil terlalu jauh. Siapa sangka sang serigala meninggalkannya di belakang dan dengan curang mengejar target seorang diri.

Tidak ingin kalah saing, burung itu mengepak sayap lebih cepat. Sayangnya begitu posisi keduanya sejajar, mulut serigala itu sudah menahan buruan mereka. Ia kalah telak. Memekik karena marah, sang falkon turun dengan cakarnya, itu sangat tegas saat menargetkan punggung sang lawan. Ia mengikis bulu bagian atas, tapi belum sempat cakarnya menyentuh daging, sang serigala balas menerkam.

"Sialan! Kembalikan buruanku!"

Burung itu mengoceh sembari berusaha meraih mangsanya, tapi ia terus dibuat terbang ke atas oleh cakar tajam sang serigala.

"Tidak ada yang mengikat hewan di hutan ini milik siapa. Aku yang lebih dulu menangkapnya." Serigala itu menjawab dengan tenang, masih terus mempertahankan posisinya.

"Kau mencuri milikku!"

"Ambil kalau kau bisa."

Sang serigala berlari menembus semak, gerakannya cepat namun media tanah yang tidak rata telah merugikannya. Ia unggul beberapa saat, tapi sang falkon masih dapat menyusul.

Kali ini cakar sang falkon benar-benar menancap di bulu hitam sang serigala, masuk semakin dalam ke lapisan kulit yang tak terlihat. Warna merah mengotori permukaan atas begitu tautan menyakitkan itu terlepas. Kelinci di mulutnya terjatuh saat ia mengerang. Ia kecolongan, sang falkon berhasil merebut buruannya.

Sedikit pasrah, sang serigala tidak memberi perlawanan berarti, tetapi mulutnya sempat meraih beberapa helai ekor sebelum burung itu terbang jauh. Ia meringis karena denyut perih di punggungnya. Sebelum burung itu benar-benar menghilang, ia sempat berkata, "sayang sekali." Anehnya suaranya tidak terdengar kecewa. Malah ada kesenangan lain dalam kalimatnya. Ia memandang burung itu hingga tak terlihat. Ada beberapa helai bulu yang hilang di bokong sang falkon. Entah kenapa pemandangan itu sedikit menggelitik.

Burung yang malang, batinnya.

...****************...

Di sebuah rumah, seorang wanita berusia dua puluan sedang memasukan butir-butir batu kecil berwarna abu kehitaman ke dalam sebuah wadah bening. Wadah itu memiliki bentuk seperti buah pear, tetapi memiliki leher bulat dan panjang dengan diameter yang lebih kecil. Pekerja menara di Pyrgos menyebutnya tabung reaksi. Begitu digoyangkan, serbuk putih yang sudah berada di dalam menyatu dengan serpihan gelap yang baru saja dimasukkan. Ada percikan api kecil yang terbentuk sebagai reaksi, tetapi itu langsung padam membuat si pemegang menautkan kedua alisnya.

"Apa yang salah?" gumamnya.

Di sisi lain, seseorang masuk dari pintu depan langsung melepas pelengkapan panah yang melekat di tubuhnya. Ia menoleh pada sosok yang duduk sejak tadi. Namun, karena tidak mendengar apa yang baru saja wanita itu ucapkan, ia hanya abai malah menanyakan hal lain. "Sudah seminggu aku tidak melihat bocah itu, dia belum pulang juga?"

Wanita yang ditanya masih menatap fokus pada wadah bening di tangannya. Ia menambahkan beberapa serbuk hitam lagi. Alisnya masih mengerut.

"Jangan tanyakan itu padaku Camelia, aku tidak punya sayap untuk memantaunya di udara."

Camelia memutar bola matanya.

"Walaupun kalian tidak sejenis dia masih saudaramu."

"Aku tidak bilang dia bukan."

"Tapi batu-batu itu lebih mendapat perhatian."

"Camelia!"

"Aletta?!"

Perdebatan nonesensial itu terhenti saat Aletta menarik napas panjang. Ia meletakkan wadah yang dari tadi digenggamnya dengan hati-hati. Kedua telapak tangannya lalu menyentuh permukaan meja dengan cepat, tetapi itu sama sekali tidak menimbulkan suara. Ia mendongak, menatap Camelia dengan sorot mata tertahan.

"Daripada berdebat ... kemari dan bantu aku." Ekspresi itu berubah depresif. "... Kenapa tidak menyala lagi?!"

Camelia tidak langsung iba. Ia sibuk memeriksa ketajaman satu-persatu anak panahnya. Saat mendengar kepak sayap mendekat ia menghentikan gerakannya sesaat dan menoleh pada Aletta. Ia berkata,

"Dia cukup panjang umur untuk ukuran orang tidak tahu diri yang nekat tinggal di sarang binatang buas. Aku sungguh terkesan. Kenapa Klan Agrios tidak mengusirnya?"

Aletta tampak sedikit kesal, tetapi ia masih bereaksi dengan mengangkat bahu.

"Itulah, kau sadar sekarang? Serbuk-serbukku ini lebih butuh diperhatikan? Cepat bantu aku!" Aletta mengangkat wadah beningnya lagi, kedua alisnya bergerak memberi kode.

"Bertahun-tahun bekerja di Pyrgos rupanya tidak banyak membantu. Kau masih payah seperti biasanya." Camelia akhirnya berjalan menghampiri.

"Jangan berpura-pura. Aku tidak akan lupa kau yang memaksaku bekerja di sana. Lagi pula aku bukan seorang alkemis, tidak ada yang bisa menuntutku."

Camelia tetap fokus menatap sesuatu di dalam sana. Serbuk putih sudah bercampur dengan zat lain yang ukurannya lebih besar. Beberapa memberi refleksi cahaya ketika mata Camelia bergerak. Ia mengangkat alis setelah menilik tiap partikel, seolah memahami sesuatu.

"Tidak punya kalimat pembelaan yang sedikit lebih baik?" Ia melirik Aletta dengan sinis. "Siapapun selalu mendapat hal baru ketika belajar."

Aletta tersenyum abai. "Bukan itu jawaban yang aku mau. Cepat dapatkan solusinya atau kita akan berakhir dengan lampu minyak lagi malam ini."

Camelia menatap malas, tetapi tetap menurut melanjutkan pengamatan. Ia seharusnya sudah memberikan jawaban, tetapi bunyi debum di lantai  mengurungkan niatnya. Dua wanita itu sama-sama menoleh ke asal suara.

Tetesan darah memenuhi lantai di sepanjang jalan menuju pintu keluar. Itu berpusat pada kelinci yang tergeletak kaku. Burung familier melangkah masuk kemudian. Anehnya, Aletta sama sekali tidak menyukai pemandangan itu. Seolah paham situasinya, Camelia mengangkat tangannya untuk menutup telinga.

"Kau ingin aku masak dengan kelinci itu?! Cepat bersihkan darah menjijikkan itu atau kucabut semua bulumu sekarang!"

Mengabaikan amarah Aletta yang memuncak, Camelia melepas sebelah tangannya lantas dengan santai berkata, "Terima kasih oleh-olehnya Niles. Sup daging berkuah di malam hari sepertinya cukup menghangatkan, tapi mengingat cuacanya ... kelinci panggang dengan bumbu melimpah juga bukan ide buruk."

Aletta memelototinya dengan tajam, tetapi Camelia hanya memandang wadang bening di tangannya dengan santai.

"Kalian harus mengolahnya dengan baik!" Burung falkon yang bernama Niles tiba-tiba meninggikan suaranya. Baik Aletta maupun Camelia langsung membatinkan satu hal.

Ada apa dengan anak ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!