NovelToon NovelToon

Scenery Out The Window

Voice in the Twilight

"Apa kalian tahu tentang sekolah itu?" tanya seorang siswa di kelasnya pada teman-temannya.

"SMA Nusantara Senja?" jawab temannya balik bertanya.

"Bangunannya besar, lho. Tapi, siswanya sedikit. Bangunannya juga seperti selalu diliputi oleh awan mendung. Dan kabut tebal," tambah anak itu separuh berbisik.

"Bukan pilihan bagus saat lulus SMP," simpul seorang anak memudahkan.

Obrolan seperti itu yang belakangan kerap kali menjadi topik bagi siswa-siswi SMAN 279 tempatnya bersekolah. Yang mereka bicarakan sebenarnya sederhana. Tentang suatu sekolah yang jika sudah mendatanginya akan terasa terpisah jauh dari dunia.

Seperti ada di dimensi lain.

SMA Nusantara Senja. Sekolah swasta yang gedungnya merupakan peninggalan zaman Belanda. Sekolah yang sebenarnya bagus. Karena biaya masuk yang tinggi dan sarana sekolah yang lengkap. Dari gedung olahraga sampai kolam renang pribadi. Namun, kesan angker yang menyelimuti bangunan itu. Tak habis menambah gosip baru.

Semua berawal saat terdengar berita kematian seorang guru di SMA Nusantara Senja. Yang aneh adalah penyelidikan polisi yang dihentikan oleh pihak sekolah. Beralasan agar tidak mengganggu situasi belajar. Lagipula guru yang mati tak memiliki keluarga. Kematiannya tak akan menjadi hal besar.

Benar, 'kan?

Meskipun awalnya menolak dan tetap mencurigai sesuatu. Akibat reaksi penolakan keras dari para guru. Mereka pun terpaksa angkat tangan. Lagipula kematiannya tak mengganggu kehidupan masyarakat luas, dalihnya. Polisi pun menyerah.

Hal apa yang sebenarnya terjadi pada sekolah itu sebenarnya jarang menjadi pikiran baginya. Kelamaan mendengarkan telah merubah pikirannya. Ia berjalan menuju sekumpulan anak yang tengah asyik bergosip tentang SMA Nusantara Senja.

"Hai, sedang membicarakan apa?" basa-basinya.

"Momo tahu SMA Nusantara Senja?" tanya seorang anak.

Pemuda yang sebenarnya kurang nyaman dengan panggilannya itu lantas menjawab, "Tau. Yang ada orang meninggalnya itu, 'kan?" tanyanya mengkonfirmasi.

Seorang pemuda berpotongan pendek ala tentara yang tengah menyeruput cola berhenti menyedot. "Kenapa pihak sekolah memutuskan untuk tidak menindaklanjuti? Pasti ada hal misterius yang terjadi. Namun, sekolah berusaha menutupi. Bisa jadi guru itu dibunuh oleh roh jahat. Atau ada kutukan dari orang-orang yang pernah dibantai di sana!"

Maurice mematahkan, "Tidak ada hantu yang bisa membunuh. Apalagi roh-rohan. Korban film horor semua kalian!" cecarnya.

Seorang siswi yang duduk di samping Maurice lantas mematahkan balik, "Lalu, siapa? Apa tidak aneh kalau terjadi pembunuhan di sekolah. Dan pihak sekolah malah membiarkan. Yang parah malah melarang kasus itu diungkit kembali. Aneh nggak, sih? Aneh nggak, sih?" tanyanya histeris.

Maurice menopangkan dagunya dan tersenyum jahil. "Itu kan sekolah swasta. Bisa jadi mereka benar-benar tidak ingin situasi belajar mengajarnya terganggu. Jangan berpikiran aneh-aneh yang tidak masuk akal deh kalian."

Lain pendapat bagi seorang pemuda berkawat gigi, "Kata temanku kolam renang masih beroperasi sampai ada seorang siswa yang tenggelam. Penyelidikan dilanjutkan oleh kepolisian. Siswa itu dinyatakan murni tenggelam. Setelah itu kolam renang ditutup oleh pihak sekolah. Untuk guru... sepertinya dibunuh."

"Tapi benar, bukan? SMA Nusantara Senja pasti menyembunyikan sesuatu," kukuh seorang siswi berkepang dua.

Maurice memiringkan bibirnya dan berkata, "Sayang sekali. Sekolah sebagus itu. Rumor jeleknya banyak," tatapnya ke langit di luar jendela.

"Sekolah begitu apa bagusnya?" tanya seorang siswa.

Maurice memandang kosong. "Setidaknya itu pasti sekolah yang tenang," jawabnya datar.

Kelima temannya tertegun mendengar ucapan terakhir Maurice. Tak lama kemudian bel berdering. Pertanda waktu istirahat telah berakhir.

Sepanjang pelajaran Maurice hanya melamun. Yang berulang kali dicoretkannya di buku tulis bukan catatan akan pelajaran. Namun, nama sekolah itu. Tempat yang membuatnya penasaran. Kenapa ada sekolah yang semisterius itu? Dengan bangunan sekolah tua bernuansa gothic. Seperti membuatnya tersesat di Eropa abad pertengahan. Cat putih kusam yang terkelupas. Bukankah itu bagus? Apa yang membuat teman-temannya berpikiran buruk?

Mungkin benar jika di Sekolah Nusantara Senja pernah ditemukan orang meninggal. Dengan bekas luka tusukan di jantung. Mayat guru lelaki itu ditemukan mengambang di kolam renang pribadi SMA Nusantara Senja. Itu mengerikan. Tapi, tidak menurut Maurice. Menurutnya semua itu bagus.

SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja...

SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja...

SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja. SMA Nusantara Senja...

Teman sebangku yang bernama Nino mendengar ucapan pelannya. Menyenggol sikut Maurice. Bertanya lirih, "Kamu kenapa?"

"Terpesona oleh sesuatu," jawab Maurice. Tersenyum ramah.

Guru tetap menjelaskan pelajaran dengan semangat. Namun untuk Maurice, kelas itu seolah terpisah dari dunia nyata. Berangsur memasuki dunia slow motion. Di mana semua berjalan lambat dalam bingkai hitam-putih.

Apa pun yang diucapkan oleh guru tak terdengar. Gerak lamban seluruh teman yang tertangkap mata terasa menyenangkan. Matahari yang bersinar cerah tak bisa menembus perasaannya. Yang tersingkap oleh kegelapan SMA Nusantara Senja. Bagaimanapun sekolah itu telah memesonakan hatinya.

Maurice adalah pemuda yang sangat biasa. Pergaulannya luas dan semua teman baik padanya. Ada satu hal yang tidak pernah ia percaya adalah teman yang jahat. Ia dilingkupi oleh kebaikan sepanjang hidup. Pemuda itu jadi tidak percaya pada hal yang buruk. Ia percaya akan kebaikan.

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Waktu pulang sekolah. Hari itu berbeda dengan biasanya yang Maurice akan pulang bersama kesemua teman. Ia memilih pulang sendiri.

Ia sampai di depan sebuah rumah bertingkat dua bercat putih dengan gaya minimalis khas kaum urban. Langsung ditemui seorang wanita tengah baya yang tengah duduk di sofa sambil menonton televisi. Ia menengok dengan senyum hangat. Maurice duduk disisinya. Maurice menuturkan niatannya untuk pindah ke SMA Nusantara Senja selepas kenaikan kelas. Miranda melepaskan tangannya dari tubuh Maurice. Melihat putra kesayangannya aneh.

"SMA Nusantara Senja terkenal akan oknum pengajar dan pelajarnya yang tidak baik. Sebenarnya dulu itu tempat sekolah anak-anak kaum mogul. Tapi, semakin kemari. Hanya anak-anak berperangai buruk yang sekolah di sana," nasihat Miranda. Berusaha memancing sisi kritis putranya.

"Tidak masalah," yakin Maurice.

Segala rumor buruk yang terdengar dari SMA Nusantara Senja pada akhirnya hanya membuat Maurice semakin tertarik. Ingin menjajal sendiri semua itu.

Melihat kekerasan tekad pada kedua bola mata Maurice. Membuat mama yang sangat menyangi putranya itu menyerah. Ia tak ingin sesuatu terjadi padanya. Tapi, ia lebih tak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada putranya kini. Maurice adalah tipe pemerintah yang bisa saja melakukan hal nekat. Jika keinginannya tak terpenuhi. Khusus untuk mamanya sendiri.

"Jangan menyesal, ya?" usaha Miranda meyakinkan Maurice lagi.

Maurice terkekeh. "SMA Nusantara Senja adalah sebuah misteri yang terus melingkupi pikiranku, Ma. Aku percaya tidak akan ada hal buruk. SMA Nusantara Senja adalah sekolah yang luar biasa!" ucapnya semangat.

Setelah merasa berhasil meyakinkan mamanya. Maurice menaiki tangga dengan semangat. Merebahkan diri pada kasur berbedcover putih di kamarnya. "Yey!" lonjaknya girang.

Obrolan tentang SMA Nusantara Senja bukan hal baru untuk dunia. SMA Nusantara Senja telah terkenal karena kejelekan. Dan semakin terkenal setelah kematian seorang guru. Sisanya? Menurut Maurice baik-baik saja. Tak akan ada hal buruk terjadi.

Tidak ada dan tidak tahu itu beda tipis. Untuk Maurice sepertinya lebih tepat pernyataan yang kedua. Karena di SMA Nusantara Senja. Ada seorang siswi yang telah merasakan seluruh kepahitan dalam hidupnya. Karena sekolah itu. Karena hidupnya. Dan tidak ada seorang pun yang menganggapnya ada.

Maurice hanya memikirkan hal baik yang akan terjadi. Lalu, melanjutkan dengan senyuman yang memuakkan untuk gadis kesepian. Andai saja ia melihatnya.

Keesokan harinya Maurice memulai hari dengan senyum merekah yang berbeda dengan hari-harinya di SMAN 279. Maurice memang anak ceria dan selalu tersenyum. Itu hal biasa. Tapi, berbeda untuk pagi ini. Senyumannya terasa menyeramkan.

Keesokan harinya juga begitu. Terus saja ke hari-hari selanjutnya. Perubahan sikap Maurice menimbulkan kecurigaan. Sampai Nino mengetahui apa yang terjadi. Ia pun memberitahukan hal yang baru diketahuinya pada seluruh teman.

Berita keanehan Maurice yang ingin pindah ke sekolah yang paling dihindari menyebar ke sepenjuru SMAN 279. Kalau harus masuk sekolah itu: hanyalah pilihan terakhir. Karena terpaksa atau memang nasib. Dan Maurice tak memiliki alasan untuk semuanya. Alasannya hanya karena ia tertarik.

Aku Maurice. Dan aku paham reaksi aneh orang-orang. Untukku sendiri SMA Nusantara Senja luar biasa. Hantu, ilmu sihir, iblis, pembunuhan, seragam yang keren, gedung sekolah tua, misteri kolam renang perenggut nyawa. Bukankah itu hebat? Apa yang harus kutakutkan? Aku akan menikmati misteri itu dari dekat.

Sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Aku akan menikmati waktuku setelah itu.

Asyik, bukan?

(Disclaimer)

First Day in Nusantara Senja

Hari perdana untuk Maurice menyiapkan dirinya sebagai siswa SMA Nusantara Senja. Dipandangi dirinya yang tersenyum sendiri di depan cermin. Menatap dirinya dari atas kepala hingga ujung kaki dengan seragam SMA Nusantara Senja. Berbeda dengan seragam SMAN 279. Yang seperti seragam SMA pada umumnya.

Dilihat celana panjangnya yang telah tersetrika rapi oleh Mbok Ratih, pembantunya. Sekilas terlihat seperti celana SMP dengan warna navi yang lebih gelap. Atasan kemeja putih panjang dan blazer hitam lengkap dengan lambang SMA Nusantara Senja di dada kanan. Berkali-kali dibenarkan posisi dasi yang bermotif strip hitam-merah. Untuk meyakinkan di hari pertamanya ia sudah tampil sempurna.

Senyum tak kunjung mengempis. Dilupakan semua ungkapan negatif orang-orang. Ia menatap kalem wajahnya sendiri di cermin. "Are you ready?"

Maurice menuruni tangga dan melihat mamanya tengah dengan telaten menyiapkan sarapan. Ia tersenyum sehangat nasi yang baru matang. Dilihat jam tangan G-Shock-nya. Tak ingin membuang waktu. Diambil tas selempang hitamnya. Mengajak Miranda bergegas.

🎭 🎭 🎭

Mereka berhenti di depan sebuah pagar besar berkarat yang terbuka lebar. Maurice menuruni mobil itu. Menginjak dedaunan lembab yang berserakan di tanah. Kenapa daunnya banyak sekali? gerutunya dalam hati.

Saat Maurice memutuskan untuk segera memasuki bangunan sekolah melalui sebuah pintu kayu gelap. Besar pandangannya menangkap seorang pria tua yang tengah serius menyapu. Dalam pikirannya, jika telah ada yang membersihkan mengapa harus seberantakan ini? Pak tua berjenggot putih itu mengangkat sampah yang telah dikumpulkannya. Menghamburkannya kembali. Maurice memutuskan tetap mengamati. Ia melakukan hal yang sama berulang kali. Terus menyapu, namun kembali menghamburkan. Pak tua itu menyadari dirinya tengah diawasi dan menatap balik. Dengan matanya yang tajam. Tanpa menunggu lagi Maurice berlari.

Sesuatu terjadi lagi. Saat akan dinaiki tangga menuju pintu. Ia melihat ke arah jendela. Jika pada sekolah negeri pada umumnya yang tampak dari bagian luarnya adalah lorong. Yang tampak dari sana adalah kelas dengan para muridnya yang sibuk bercanda.

Jika pada sekolahnya dulu jendela dari kelas itu cukup tinggi—setidaknya harus berdiri untuk melihat keluar. Jendela pada bangunan SMA Nusantara Senja pendek. Sebatas meja sehingga orang-orang dapat berpangku tangan di kusennya. Bersamaan dengan itu. Maurice menyadari ada seorang siswi dari kelas yang tengah dipandangnya mengamati balik. Dengan pandangan yang dingin. Dengan sebelah mata yang tertutup eyepatch. Sangat tidak bersahabat.

Maurice mulai tenang. Diangkat kepalanya dan dilihatnya pemandangan dalam sekolah. Sambil berjalan mencari ruang guru ia berpikir, interiornya mirip rumah.

Perasaannya jauh lebih hangat. Saat telah berjalan di samping seorang guru yang terlihat ramah menuju kelas barunya. Jika melihat pemandangan dari luar. Tak ada bedanya dengan sekolah mana pun, kok.

Guru itu membuka sebuah pintu kayu. Sebelum masuk Maurice mengamati papan kayu yang tergantung di atasnya. Memberitahunya identitas ruangan yang akan ditempatinya mulai saat ini, kelas 2-A. Dimasuki kelas itu dengan berdebar. Suasana kelasnya biasa.

Saat guru masuk. Kelas yang berisik mendadak tenang. Menurutnya itu wajar. Karena karakteristik pelajar di negara ini semuanya begitu.

Dengan semangat Maurice mengembangkan senyumannya. Hendak memperkenalkan diri, "Namaku..."

Seketika ucapannya terhenti. Saat melihat seorang siswi dengan eyepatch yang duduk sendiri paling belakang melihatnya sepintas. Lalu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Pandangan ke luar jendela yang dingin. Dan gelap.

Selesai sesi perkenalan. Maurice ditawarkan pada beberapa pilihan tempat duduk. Benar juga. Berbeda dengan sekolahnya dulu yang seluruh kelas penuh terisi murid. Ada dua bangku di ruang kelas 2-A yang kosong.

Satu bangku yang bersebelahan dengan seorang siswa. Satu bangku lagi bersebelahan dengan si gadis misterius. Sedikit berpikir... akhirnya ia memutuskan untuk berjalan menuju tempat duduk bersama sang gadis.

Meski kesan pertamanya berlangsung kurang baik. Malah hal itu yang menariknya.

Hal aneh terjadi saat Maurice memutuskan untuk duduk bersama si siswi. Kelas yang semula masih sedikit ramai mendadak senyap. Dengan tampang salting. Maurice berjalan pelan menuju tempat duduk barunya. Dengan seisi kelas yang mengikutkan pandangan aneh. Ditaruh tas dalam kolong meja. Mengamati situasi yang masih terasa tidak enak. Dilepas blazer hitamnya dan duduk.

Saat ia telah duduk dipandanginya beberapa orang anak baik siswa maupun siswi membisikkan sesuatu ke telinga teman sebangkunya. Ditenangkan hati untuk reaksi yang jauh dari bayangan ini.

Dialihkan pandangannya melihat gadis itu. Diulurkan tangannya dan tersenyum mengajak berkenalan. Namun, gadis itu malah mengembalikan pandangannya. Pada pemandangan di luar jendela. Maurice menarik kembali tangannya sedikit kesal.

Sekolah ini jauh lebih mengerikan dari yang terlihat di luar sana. Dan meski orang-orang telah memberitahunya untuk berubah pikiran. Kini telah terlambat.

Pelajaran pertama: biologi yang diajarkan oleh wali kelas pun dimulai.

🎭 🎭 🎭

Saat tiba waktu istirahat. Dilihatnya gadis yang sejak tadi belum berucap sepatah kata pun itu tak meninggalkan tempatnya. Meski sebagian besar anak telah keluar untuk makan siang.

"Oh ya, nama kamu siapa?" tanya Maurice.

Di luar dugaan gadis itu menengok padanya. Lalu, ia menjawab lirih tanpa ekspresi, "Millhewi."

Maurice terkesiap sehingga tak langsung membalas ucapannya. "Aku Maurice. Ya, Maurice," ucapnya salah tingkah.

Gadis bernama Millhewi itu tersenyum hangat seolah memberi cahaya bagi tempat menyeramkan itu. Tapi, tidak dengan kata yang diucapkan selanjutnya. Yang seperti mengembalikan suasana kelam, "Mau apa kamu pindah ke sekolah ini?" tanyanya datar.

Diperhatikan lagi. Hanya Millhewi murid yang tak membuka blazernya. Maurice tak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Kalau tidak mau dijawab. Tidak usah dijawab," ucapnya lagi.

Dunia seakan membeku dan pemandangan di luar jendela terasa semakin dingin. Dengan Pak Tua yang berulang kali menyapu dan hanya menghamburkannya kembali.

"Di sini tak sebaik bayanganmu. Sebaiknya berhati-hati," beritahunya beranjak berdiri.

Maurice terduduk diam hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar juga. Sosialisasi. Penting, 'kan?

🎭 🎭 🎭

Di jalan menuju kantin. Ah, kantinnya jauh juga, gerutunya sambil beberapa kali menengok ke belakang.

"Halo, anak baru. Bagaimana aku harus memanggilmu?" Pemuda ini yang tempat duduknya tidak dipilih oleh Maurice. Seorang pemuda ramah berpostur ideal yang cukup tampan dan tampak menawan.

Maurice tersenyum. "Panggil saja Maurice. Bagaimana dengan kalian?" tanyanya balik.

"Namaku Jethro. Kalau mereka Edi dan Panji," jawab pemuda tampan itu.

Setelah cukup lama berjalan dalam diam. Anak yang bernama Edi bertanya, "Kenapa kamu tidak duduk bersama Jethro?"

Saat Maurice ingin melihat Edi ia memalingkan wajahnya."Memang kenapa?" tatapnya pada Edi yang belum melihatnya.

Maurice melihat Edi dan Panji. Postur mereka sangat terbanting dibanding Jethro. Mereka seperti karakter teman tokoh utama yang tidak begitu ganteng dan tugasnya hanya melawak atau memberi saran tidak berguna.

Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegak dari Jethro. Ia merangkul pundak Maurice. "Tidak perlu dipikirkan, Maurice. Nanti kamu mau makan apa?" tanyanya ramah.

"Nasi goreng," jawab Maurice.

"Wah, selera kita sama," ucap Jethro ramah.

🎭 🎭 🎭

Sementara di sisi lain sekolah itu. Seorang siswi berambut pendek yang tengah dikeroyok oleh sekelompok siswi lain di kamar mandi perempuan SMA Nusantara Senja. Mencoba berteriak memohon pertolongan. Tendangan dan pukulan melemahkan suaranya. Ia hanya merintih.

"Apa kamu senang sekarang ada yang mau duduk bersamamu, heh? Gadis jalang," tanya seorang siswi seraya menendangi tubuh siswi itu.

"Dasar cewek aneh. Kenapa kamu tidak enyah saja ke neraka sana?" tanya yang lain sambil memukuli tubuhnya. Dari badan sampai kaki.

Byuur. "Dasar sampah!" kata seorang siswi lain setelah menumpahkan air pel lantai kamar mandi yang hitam dan bau ke tubuh siswi itu.

Mereka lantas tergelak dan meninggalkan Millhewi yang menangis pilu. Bagaimana ia harus meneruskan hari ini? Seharusnya ia tak ingin buang air kecil. Seharusnya ia tak ke mana pun. Namun, mengapa dunia ini seolah tercipta hanya untuk memberikan pilihan buruk padanya? Seperti... hidup selalu jahat.

Bel berdering pertanda para murid dan guru harus kembali memulai KBM. Pelajaran Matematika diawali dengan absensi. Sampai saat guru memanggil murid dengan nomor absen terakhir.

"Millhewi." Diulangi hingga tiga kali panggilannya itu. Namun, tak menuai jawaban. Guru berjenggot itu menggeram kesal. "Ke mana anak itu?" Seisi kelas hanya cengengesan.

Maurice mengamati bangku di sebelahnya. Perasaan khawatir muncul pada apa yang terjadi pada chairmate-nya.

Untuk Maurice sendiri. Istirahatnya berlangsung menyenangkan. Ia mendapatkan banyak teman. Diterima dalam pergaulan. Dan kebahagiaannya berlanjut dengan sukses. Tapi, apa yang terjadi pada Millhewi benar-benar mengganggu konsentrasinya.

Dipindahkan duduknya ke tempat Millhewi dan mengamati pemandangan di luar jendela. Kalau-kalau dirinya muncul. Maurice tetap setia mengawasi pemandangan di luar jendela.

Kurang lebih satu jam kemudian pintu terketuk. Guru matematika bertampang batak menjawab ketukan dengan teriakan, "Siapa?!"

Suara di luar menjawab pelan, "Millhewi."

Guru itu menurunkan tangannya yang menggenggam kapur. Melihat pintu dengan wajah sangar. Dengan berat ia berkata, "Masuk!"

Perasaan Maurice tak enak membayangkan apa yang akan terjadi. Pintu kelas terbuka perlahan dan Millhewi memasukinya. Sebelum beranjak ke tempat duduk ia membungkuk dengan raut takut.

"Habis dari mana kamu?" tanya guru.

"Kembali ke rumah. Tadi baju saya..."

Belum menyelesaikan ucapannya Millhewi mengamati empat orang siswi yang duduk berdekatan: Nismaya, Lakstiara, Indah, dan Lina, alias pelaku dari semua yang terjadi padanya bertampang percaya diri sambil memelototinya dan mengacungkan genggaman tangan. Melihat situasi. Ia sadar walaupun mengadukan yang sesungguhnya. Keadilan tak akan pernah berpihak padanya.

"basah kuyup karena terpeleset di kamar mandi. Tapi, sebelum meninggalkan sekolah saya telah meminta izin," jawabnya.

Guru itu langsung menjambak rambut Millhewi. "Kamu pikir saya percaya, anak sontoloyo? Guru piket tidak mengatakan apa pun soal kamu."

Millhewi jujur. Guru itu yang berbohong.

"Dasar anak nakal! Kamu berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki dan kedua tangan memegang telinga!" perintah guru itu.

Millhewi beranjak melakukan yang diperintahkan oleh guru. Seisi kelas tertawa terpingkal-pingkal. Karena hal yang terjadi. Menjawab sedikit banyak pertanyaan Maurice saat istirahat. Ada apa dengan Millhewi?

Dari tempat duduknya. Maurice melihat Millhewi yang menunduk. Kedua kakinya gemetar. Wajahnya dingin dan tidak memerdulikan apa pun. Seolah yang terjadi padanya adalah hal biasa. Apa yang sebenarnya terjadi pada sekolah ini? pikir Maurice sambil menyalin tulisan guru di papan tulis.

Menurutnya guru itu kejam sekali. Tidak wajar. Maurice pikir mungkin alasan ia pindah kemari adalah untuk menyelesaikan pertanyaan itu. Ia merasa sangat prihatin dengan kondisi sekolah. Millhewi terlihat menahan tangis. Dan ia berhasil. Tak setetes air mata pun menetes.

Dua jam berlalu. Posisi gadis berambut pendek itu mulai goyah. Murid lain tertawa kecil.

"Maaf, Pak, bolehkah saya duduk?"

Namun, guru itu tak menggubris dan terus menerangkan, "Ini akan ada di ulangan minggu depan. Harus kalian pelajari yang baik."

"IYA, PAAAK!!!" jawab anak sekelas semangat.

"Pak...?" panggil Millhewi lagi.

Tubuhnya gemetar. Maurice menyadari sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Mereka semua kenapa, sih? pikirnya emosi sambil mengamati sesisi ruangan. Semuanya seperti tidak melihat Millhewi. Ini keterlaluan.

BRAK. "Pak Guru," teriaknya. Seisi kelas memandang sinis.

Guru itu menaruh bukunya dan merespon, "Ada yang perlu ditanyakan?"

Maurice menunjuk Millhewi yang wajahnya terlihat pucat. "Mungkin saya anak baru. Saya tidak berniat lancang. Tapi, jika dibiarkan lebih lama dia bisa... dia bisa..."

Guru bertampang gahar itu menengok Millhewi. Ia berkata, "Sudah, kamu duduk."

Millhewi bertampang lega dan membungkuk pada guru bernama Eros itu. "Terima kasih."

Tampang Maurice pun berangsur tenang dan mempersilahkan Millhewi menduduki tempatnya.

Maurice mengamati lagi dan sinyal permusuhan kembali terpancar. Yang entah dari mana. Dan untuk siapa. Maurice merasa ada yang tak beres dengan sekolah ini.

🎭 🎭 🎭

Bel pulang berbunyi. Kelas berakhir. Saat semua pelajar keluar dari kelas. Maurice kembali melihat ketidakseimbangan antara sekolah dengan jumlah pelajarnya. Kalau di sekolahnya dulu satu tingkat bisa diisi hingga sepuluh kelas. Di SMA Nusantara Senja kelas 2 hanya diisi oleh 5 kelas dengan anggota perkelas kurang-lebih 30 anak. Untuk kelas 3 keadaannya sama. Jika kelas 1 setiap kelasnya diisi 40 orang anak, tapi jumlah kelasnya hanya 4.

Alhasil banyak kelas kosong bernuansa horor. Wajar sih, peminatnya sedikit. Andai saja sekolah ini mau survive sedikit. SMA Nusantara senja bisa jadi sekolah yang terkenal.

"Kamu tahu apa alasannya?" tanya Millhewi yang sejak tadi berjalan di sisinya.

"Eh, apa? Memangnya aku bicara apa?" tanya Maurice.

Millhewi melanjutkan. "Semua karena sejarah kelam yang melingkupi SMA Nusantara Senja. Itu membuat Kepsek SMA Nusantara Senja gila."

"Maksudmu?" tanya Maurice.

Millhewi pun menceritakan asal usul julukan itu, "Sejak saat itu sekolah ini tidak pernah tenang. Tawa yang muncul pun hanya bohongan. Apalagi setelah kematian Pak Henry. Sikapnya semakin aneh. Sejak saat itu ia jarang datang."

Maurice memegang dagunya serius. "Itu semua seperti kasus yang harus dipecahkan. Seharusnya seseorang bisa menjelaskannya. Aku akan menyelidiki semua itu. Pasti!" ujarnya semangat sambil menonjokkan kepalan tangannya ke telapak tangan satunya lagi.

"Ha-ha. Jangan. Di sini ada setan pembalas dendam. Kalau kamu mengganggu. Nasib kamu akan sama seperti Pak Henry," peringat Millhewi.

"Oh, ya? Memangnya setan bisa membunuh?" tanya Maurice.

"Bisa, dong. Kalau setannya merasuk ke manusia. Kan ada namanya. Manusia setan," jawab Millhewi.

Dari kejauhan beberapa anak lain di kelas 2-A mengamati kedekatan Maurice dan Millhewi. Mereka melihat wajah Millhewi yang menikmati kedatangan dan keberadaan Maurice dengan benci. Karakteristik orang yang membenci itu sama, 'kan? Tidak suka melihat orang yang dibenci bahagia.

"Anak itu menyebalkan, ya?" kata Nismaya seraya menyilangkan kedua tangannya.

Lakstiara melanjutkan, "Bukankah seharusnya sekolah ini jadi neraka untuknya?"

"Tidak ada teman di neraka," sambung Lina.

Maurice yang merasa cocok dengan Millhewi. Merasa nyaman di sisinya. Mengajak pulang bersama. Walau gadis itu menolak. Sisi pemaksa Maurice berkata lain. Langsung ditarik paksa tangannya. Maurice paham sejak awal. Millhewi bukan tipe yang akan ngambek hanya karena hal begini.

"Oh, teman barunya Maurice?" tanya Miranda dari jok kemudi.

Millhewi dengan sopan menyalami tangan Miranda.

"Sebenarnya apa saja yang sudah terjadi di sekolah? Soal hantu itu kamu serius? Lalu, kamu tahu mengapa polisi dilarang mengungkit kasus itu lebih jauh?" tanya Maurice memburu.

"Beberapa tahun yang lalu ada kematian yang sama. SMA Nusantara Senja bukan sekolah yang suka mengurusi hal kecil. Jika cuma orang mati, sih, biasa. 'Keberadaan polisi cuma akan mengganggu', begitu kata Bu Ressel," cerita Millhewi.

"Sepertinya ada komplikasi," ucap Maurice yakin.

Wajah Millhewi berubah khawatir. Melihat Maurice yang bertopang dagu. "Komplikasi apa?" tanyanya.

"Antara Bu Ressel. Kasus kematian Pak Henry dan dilarangnya polisi untuk turut campur. Semua berhubungan. Ditambah dengan sikap guru yang tidak wajar. Sesuatu disembunyikan oleh seluruh penghuni SMA Nusantara Senja. Kamu tahu si tukang sapu tua? Aku yakin hal yang dilakukannya bukan tanpa makna. Tapi, ia menunggu seseorang untuk menyadari bahwa terjadi kesalahan."

"Sebaiknya kamu buang semua itu kalau sudah masuk SMA Nusantara Senja. Kamu benar-benar akan dihabisi. SMA Nusantara Senja itu sekolah tua. Lebih baik hidup biasa saja kalau tidak mau menderita," peringat Millhewi.

Mobil berhenti di persimpangan yang dimaksud Millhewi. Dari luar mobil ia melambaikan tangannya.

"Anak tadi matanya kenapa?" tanya Miranda.

Benar juga. Kenapa tidak terpikirkan?

"Sepertinya ia orang yang sangat ceroboh," jawab Maurice tersenyum kalem.

(Disclaimer)

"Apakah pemandangan di luar jendela menampilkan kebenaran?"

Apa yang terjadi pada Millhewi?

Apa yang akan Maurice lakukan?

Terus ikuti ceritanya!~~~~

Second Day in Nusantara Senja

Hari kedua bagi Maurice Anandratama Saputra Haryo. Di SMA Nusantara Senja yang terkenal angker dan misterius. Tapi, tidak untuknya.

Kali ini ia tiba lebih pagi sehingga bisa memasuki gerbang sekolah bersama anak lain. Di kejauhan tak tampak Pak Tua Penyapu. Mungkin ia hanya belum memulai aktifitas anehnya: menyapu dan kembali menghamburkannya kembali. Seperti orang sinting yang penuh makna.

Maurice melangkahkan kaki dengan wajah yang tertunduk muram. Tanpa alasan apa pun. Ia merasa akan ada sesuatu terjadi dalam hidupnya. SMA Nusantara Senja bukanlah pilihan untuk anak-anak yang memang telah bersekolah di sana sejak awal. Ini jalan hidup yang tak ada pilihan kedua. Tapi, untuk siswa seperti Maurice. Yang bisa dengan mudah masuk ke sekolah negeri bergengsi. Ini merupakan pilihan. Yang diambilnya guna menyelesaikan twist-twist dari misteri yang tersusun sendiri dalam pikirannya.

Bu Ressel. Ada apa dengan Bu Ressel? Ia percaya sepenuhnya berhubungan dengan lambaian tangan Millhewi yang tak terlihat ganjil. Namun, sarat makna. Lalu, Jethro juga. Reaksi anak-anak kelas 2-A. Perilaku guru yang tidak wajar. Kematian Pak Henry yang penyelidikannya dihentikan oleh pihak sekolah.

"Yo, Maurice, selamat pagi!" salam Jethro. Menepuk pundaknya akrab.

"Iya, selamat pagi," tunduknya lagi. Untuk pertama kalinya Maurice tidak tahu apa yang harus ia katakan pada teman baru. Jethro terlihat baik dan ramah. Seharusnya tak ada yang salah.

"Jethro, apakah ada hantu di sekolah ini?" tanya Maurice.

"Ada. Tapi, wujudnya manusia," jawab Jethro.

Maurice menenggak ludah. "Maksudmu?" tanyanya.

"Hantu itu yang selalu bersamamu." Jethro melongok jam tangannya. "Wah, aku duluan. Ada pertemuan klub sepak bola. Kalau mau bergabung hubungi aku, ya. Sampai jumpa." Ia berlari mendahului Maurice yang terdiam pasif diantara anak-anak lain yang bergegas menuju kelasnya masing-masing. Seperti gerak slow motion berlebihan yang membuatnya tertinggal dalam detak waktu.

Aku harus tetap memulai hari ini dengan orientasi akan kebahagiaan. Aku percaya kebahagiaan senantiasa akan mengikuti setiap orang yang mempercayainya. Aku tidak harus memikirkan semua itu.

Semua akan baik-baik saja.

🎭🎭🎭

Didorong pintu kelas yang sedikit berat pada engselnya.

"Pagi semua," salamnya berusaha seramah mungkin.

Millhewi sudah datang. Tetap pada pandangan ke luar jendela yang membosankan. Menopangkan dagu tanpa makna.

"Pagi," jawab Nismaya, gadis bertubuh gempal dengan kulit gelap dan rambut keriting. Sambil mendekati Maurice. Dan menghentikan langkahnya. "Hari ini Lina tidak masuk. Maukah kamu duduk bersama Lakstiara?" tawarnya.

Maurice berpikir sejenak. Dilihatnya Lakstiara di tempat duduk bersama teman-teman yang mengerumuninya. Gadis berkepang dua dengan bagian belakang rambut dibiarkan terurai. Menggunakan kacamata dan pemilik tahi lalat di atas bibir. Dilambaikan tangannya pada Maurice genit. Sebenarnya duduk dengan siapa saja bukan masalah untuknya. Hanya saja ia merasa lebih nyaman jika...

"Hari ini ada yang ingin kubicarakan dengan Millhewi." Maurice melepas tangannya dari pegangan Nismaya. "Lain kali, ya."

Apa dia bilang? Dalam batin Nismaya dan teman-temannya. Ini wujud pengibaran bendera perang dari pihak Maurice.

"Baiklah," respon Nismaya.

🎭🎭🎭

"Selamat pagi, Millhewi," sapa Maurice ramah beranjak duduk.

"Pagi," jawab Millhewi tidak ramah tanpa mengalihkan pandangan.

Maurice menopangkan dagunya pada kedua telapak tangan di atas meja. "Kamu tahu? Kata teman-teman di sekolahku dulu sekolah ini selalu ditutupi awan mendung. Ternyata tidak juga."

"Kenapa kamu menolak duduk bersama anak itu?" tanya Millhewi.

"Kalau aku bersamanya kamu sama siapa?" tanya Maurice balik tanya.

"Aku sudah terbiasa sendiri. Kumohon jangan buat posisimu terancam. Mereka tidak sebaik yang terlihat," peringat Millhewi.

"Bapak tukang sapu itu ke mana, ya?" tanya Maurice.

Millhewi tak menggubris pertanyaan Maurice.

"Oh, Millhewi, matamu kenapa?" tanya Maurice lagi.

Ia menutup eyepatch-nya dengan telapak tangan. Matanya yang satu lagi memandang kelabu. "Padahal kita baru kenal. Kenapa kamu baik sekali? Kamu belum tahu aku orang yang seperti apa."

Maurice tersenyum. "Menurutku semua orang itu baik."

Ia berkata lirih, anak kemarin sore. "Kata mereka aku setan. Padahal mereka yang telah menjadikanku seperti ini. Kamu akan menyesal kalau tidak mendengarkan nasihatku, Maurice."

Guru masuk. Pelajaran dimulai. Ditengah-tengah jam ke-empat speaker di pojokan kelas berbunyi, "Siswi dengan nama Millhewi dari kelas 2-A diharap datang ke ruang guru lantai 3."

Maurice melihat ke seisi kelas yang cengengesan aneh.

"Sudah datang, ya?" ucapnya sebelum berdiri. Ia berjalan keluar kelas tanpa meminta izin guru. Semakin aneh. Semoga ia baik-baik saja.

🎭🎭🎭

Kenyataan berkata lain. Ruang guru lantai 3 yang berarti ruang Kepala Sekolah. Millhewi menghadap wanita senja yang seluruh rambutnya telah beruban itu seorang diri.

"Dasar pembunuh," buka wanita itu dengan tatapan tajam.

Millhewi menjawab tenang, "Walau bukan saya yang melakukannya. Saya bersyukur Pak Henry telah mati mengenaskan. Ia pantas mendapatkannya. Sebuah akhir yang menyedihkan karena tak ditentukan sendiri oleh Tuhan."

"Saya bersumpah akan saya panjangkan usia kamu berada dalam penderitaan!" teriak wanita itu.

Ia menenggak ludahnya. "Seharusnya Ibu ingin membunuh saya."

Wanita itu menggigit bibirnya yang gemetar, "Akan saya lakukan. Akan saya habisi kamu sama seperti Henry..."

Ia bertampang menantang. "Ibu berkata begitu hanya untuk melarikan diri dari kenyataan bahwa Ibu telah membunuh Pak Herman."

"AAAAAH, DASAR ANAK BRENGSEK!!!!" DUAK! Sebuah buku hard cover melayang bebas dan menghantam kepalanya. Merintih. Dipegangi dahinya yang memar.

🎭🎭🎭

Berlari cepat ia kembali menuju kelas. Dibukanya pintu tanpa permisi dan langsung didudukkan tubuhnya. Seisi kelas—kecuali Maurice. Tercengir puas sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Ini hal biasa. Sosok bernama Millewi tak akan meneteskan air mata untuk sesuatu seperti ini. Jangankan buku. Kepalanya pernah menjadi landasan vas bunga. Ini hal kecil.

🎭🎭🎭

Jam istirahat tiba. Karena kantinnya terlalu jauh Maurice malas pergi ke sana. Dilihatnya Millhewi yang tidak terlihat ingin meninggalkan kelas. Dilanjutkan sesi investigasi.

"Aku masih penasaran tentang hantu yang kamu sebutkan. Sebenarnya apa?" tanya Maurice.

"Tidak usah banyak tanya. Suatu saat kamu akan melihatnya," jawab Millhewi.

"Jadi, hantu itu bukan kamu, 'kan?" tanya Maurice.

Millhewi memicing.

"E, eh maksudku, aduuh, ta, tadi..."

"Siapa? Jethro?" tanya Millhewi.

Saat sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba Nismaya, Indah, Lakstiara, diikuti beberapa anggota kelas lainnya menghampiri mereka. Meskipun mereka datang. Millhewi tak menganggap mereka ada. Maurice malah salah tingkah. Buruk untuk Millhewi.

"Menyingkirlah, Maurice!" perintah Nismaya yang tingginya tidak mencapai dada Maurice angkuh.

Millhewi menggebrak mejanya, BRAK! "Apa sih yang kalian inginkan?!!!" tanyanya.

Maurice memundurkan kursinya. Menjauh. Dilihatnya Nismaya dengan kasar langsung menjambak rambut pendek Millhewi. "Gadis kotor. Dasar pembunuh!"

Millhewi mengerang kesakitan berusaha melepaskan cengkraman tangan besar Nismaya.

Dalam batin Maurice, apa yang terjadi? Dilihatnya sisa anak yang masih ada di kelas. Sama sekali tak ada pandangan bahwa yang Nismaya lakukan adalah kesalahan. Namun, sebagai laki-laki. Juga teman Millhewi. Ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Terlebih di hadapannya sendiri.

Didekati Nismaya yang meneriakkan berbagai ucapan kotor pada Millhewi. Didukung oleh semua anak. Berusaha dilepaskannya tangan Nismaya dari leher Millhewi. "Hentikan! Apa sih yang kalian lakukan?" tanya Maurice.

Dengan tangan satunya gadis berbadan besar itu menjambak rambut Maurice, "Anak baru sialan. Tidak usah ikut campur!" teriaknya.

Indah turut berteriak, "Dia pembunuh dan perempuan jalang."

Dengan kekuatannya Maurice berhasil melepaskan tangan Nismaya dari rambutnya. "Kalian itu ngomong apa?" teriaknya balik.

Lakstiara menyilangkan tangan. "Anak baru, kami beritahu, ya. Yang membunuh Pak Henry itu dia," tudingnya sambil menjambak poni Millhewi.

Nismaya menengok ke belakangnya dan berkata, "Jethro, urus anak baru menyusahkan ini!"

Jethro dan kedua temannya, Edi dan Panji, menghampiri Maurice. Dua orang memegang lengannya dari belakang. Maurice memberontak. Kemudian Jethro memegang pelipis Maurice dan mengadukannya dengan dinding, duak! Dalam sekali dorongan. Dengan kekuatan tangannya sebagai kiper. Tak ayal membuat Maurice kehilangan kesadaran.

"Maurice!" Nismaya mengencangkan cekikannya pada leher Millhewi. "O, ohok ohok, huek..."

Tubuhnya meronta. Tapi, dengan kepungan lebih dari sepuluh anak perempuan. Tak memberinya banyak pilihan. Plaak! Plak! Plak! Berulang kali semua anak yang ada di sana menampar pipi dan menonjoki perutnya tanpa ampun.

Indah berkata di daun telinga Millhewi, "Setan itu bertempat di neraka."

"Apalagi setan pembunuh," lanjut Nismaya.

"Buruk rupa dan biadab," lanjut Lakstiara.

"Ka, kalian semua brengsek."

"Oh ya?" tanya Nismaya. DUAK! Tinju besarnya mendarat tanpa ampun di perut gadis itu.

"Ohok!" Cairan asam melontar dari lambungnya.

"Iiiihh, najis! Jijik banget! Dasar manusia setan penghuni neraka!" teriak Lakstiara menyemarakkan suasana.

"Bu, bukan aku yang menyebabkan kematian Pak Henry. Ia mati karena orang lain!" ucap Millhewi. Berusaha membela diri.

"Oh ya? Siapa?" tanya Indah.

"Mana aku tahu," teriak Millhewi.

Nismaya menarik poni Millhewi lagi. "Kalau jawab pertanyaan orang jangan sambil teriak! Ambilkan kapur!" perintah Nismaya pada seorang siswi.

Millhewi memberontak menggunakan seluruh kekuatannya. Namun, tetap saja percuma. Nismaya mendongakkan kepala dan membuka rongga mulutnya. Indah menuangkan sekotak kapur ke mulut Millhewi. Saat ingin dimuntahkan. Lakstiara melakban mulut Millhewi. Memaksa menelan.

Semuanya puas.

Semuanya senang.

"Dasar cewek aneh!" teriak seorang siswi.

"Dasar cewek setan!" teriak seorang siswa.

"Cewek gila!" teriak yang lainnya.

"Pembunuh!" teriak mereka semua.

Nismaya tersenyum sinis memandang Millhewi. Memerintahkan anak lain untuk membawa ember berisi air. Tanpa ragu Nismaya membenamkan kepala Millhewi. Tubuhnya meronta. Nismaya menarik lagi kepalanya sebelum Millhewi mati. Dibenamkan lagi. Begitu terus berulang kali.

Waktu istirahat bagi kelas 2-A dihabiskan dengan kesenangan yang berbeda. Menyakiti orang lain menyenangkan untuk mereka. Apalagi kalau yang disakiti itu pendosa.

Beberapa penghuni SMA Nusantara Senja meyakini dengan sepenuh hati. Pembunuh Pak Henry guru fisika itu adalah, Millhewi. Karena suatu alasan. Hanya ia yang memiliki motif untuk melakukannya. Membuat Bu Ressel semakin stres setelah kematian putra pertamanya, Pak Herman. Di sekolah itu juga.

Nismaya menarik keluar kepala Millhewi. Kelihatannya ia sudah tak sadarkan diri juga.

"Membosankan. Masa begini saja dia juga pingsan, sih?" tanya Lakstiara.

"Lebih baik mereka kita biarkan saja sampai sadar sendiri," usul Indah.

Sebelum kembali ke tempat duduknya sendiri: Indah, Lakstira, dan Nismaya melihat Maurice. Mereka berkata, "Di SMA Nusantara Senja, kekuasaan absolut berada di tangan Kepala Sekolah dan tradisi."

"Mungkin kita bisa memberitahunya setelah ia sadar," kata Indah.

Nismaya melanjutkan, "Itu kenapa tidak dianjurkan menjadi murid baru di sekolah ini."

Di balik semua itu. Jethro bertampang sedikit prihatin. Juga bingung. Dunia memang jarang memberikan pilihan yang bersahabat.

🎭🎭🎭

Maurice mengerjapkan mata. Samar-samar dilihat guru yang tengah menerangkan. Dipegang kepalanya yang terasa sakit. Perlahan diingat semua yang terjadi. Ia langsung menengok Millhewi yang menelungkupkan kepala. Disenggol lengannya lembut. Tubuhnya sedikit bergerak dan melihat Maurice. Ia tenang.

Millhewi langsung terbatuk memuntahkan sisa kapur di atas meja. Membuat ketenangan Maurice lenyap. Cairan kental berwarna putih–beberapa merah muda dan kuning membasahi permukaan meja. Membawa Maurice pada kecurigaan.

"Apa yang sudah kalian lakukan padanya?!" teriak Maurice.

PLAAK!!! Penggaris kayu panjang yang menjawab.

"Kamu tidak tahu sekarang masih jam pelajaran? Malah muntah di kelas. Sekarang teriak-teriak. Tidak diajarkan sopan santun sama orang tua kamu?!" tanya guru yang sedang mengajar.

Maurice berusaha menjelaskan. "Tapi Pak, tadi saat istirahat mereka semua... mereka..."

Belum menyelesaikan ucapannya. Maurice melihat Jethro. Ia menggeleng pelan dengan wajah kalem. Ini benar-benar keterlaluan, pikir Maurice.

Millhewi berdiri dan berlari ke luar kelas, "Akan saya bersihkan."

Maurice mengamati muntahan itu. Kotak kapur yang tidak pada tempatnya. Baru hari kedua ia sudah mendapatkan bahan menarik untuk diselidiki.

Pasti terjadi sesuatu pada Millhewi saat aku pingsan. Penyebabku pingsan adalah mereka. Tidak bisa diampuni. Rupanya di luar duniaku selama ini. Ada bagian dunia yang gelap. Aku memang anak kecil yang belum mengetahui apa pun.

Ia kembali duduk dan mengamati penjuru kelas. Beberapa orang anak melihatnya balik. Pandangan penuh permusuhan.

🎭🎭🎭

Bel pulang berdering. Murid-murid berhamburan melepas waktunya sebagai pelajar di sekolah aneh. Dan siap memulai hidup sebagai manusia biasa. Maurice memegang erat pergelangan tangan Millhewi.

Millhewi melihat Maurice penuh tanya, "Ada apa?" tanyanya.

"Kamu tidak boleh keluar tanpa aku," putus Maurice.

Millhewi tersenyum hangat. Sesuatu yang menenangkan pemuda itu. Di balik wajah Millhewi yang memucat. Begitu kontras dengan warna rambutnya. Mereka berdua berjalan beriringan keluar kelas. Tanpa memerdulikan pandangan sinis anak-anak lain.

Indah di tempat duduknya berkata pada teman-temannya, "Teman orang aneh pasti orang aneh juga."

"Teman pembunuh pasti akan jadi pembunuh juga," lanjut Lakstiara.

Jethro sendiri yang mulai merasa tak nyaman. Memilih segera meninggalkan tempat itu.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi?" tanya Maurice khawatir.

Gadis bertampang dingin itu tersenyum. "Kamu tahu? Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang tak begitu ingin dijawab," ucapnya.

"Begitu, ya. Apa?" tanya Maurice.

"Terkadang manusia tak begitu senang menceritakan penyebab dari kesulitan yang mereka alami. Seperti aku." Ia menutupi eyepatch-nya dengan punggung tangan. "Aku tidak pernah suka menceritakan alasanku mengenakan ini. Salah satu tugas manusia adalah memahaminya. Agar tidak menyakiti orang lain."

"Tapi, aku tidak menyesal sudah pindah kemari. Baru hari kedua aku sudah mengalami banyak hal menarik. Pengalaman kan lebih berharga dari berlian," kata Maurice.

"Tidak juga," balas Millhewi.

Maurice kukuh, "Itu kan peribahasa biasa?" tanyanya.

Millhewi tak merespon dan hanya menengok ke arah yang berlawanan dengan Maurice.

"Mau pulang bersama lagi?" tawar Maurice. Tanpa menunggu jawaban ditariknya pergelangan tangan Millhewi menuju mobil beserta mamanya yang telah menunggu.

Beberapa anak kelas 2-A menatap penuh kebencian. Selama ini mereka terbiasa melihat Millhewi menangis, diam, mengalah, kalah, dan menderita. Seukir senyum saja telah begitu mengganggu perasaan mereka.

Berbeda dengan Millhewi. Ia membenci anggota kelasnya. Maupun seluruh anggota SMA Nusantara Senja yang kerap kali melakukan bully padanya. Tapi, posisinya sejak awal memang lemah. Ia tak pernah punya kekuatan untuk menunjukkan kebenciannya.

Sabar itu kuat. Tapi, terlihat lemah. Di balik kelemahan itu. Tersimpan kekuatan yang mengerikan.

🎭🎭🎭

Di mobil Maurice.

"Kenapa kamu baik sama aku?" tanya Millhewi.

Wajah Maurice memerah, "So, soalnya kamu... soalnya kamu itu korban," jelasnya gelagapan, "dan korban itu harus... (suara hati Maurice: harus diapakan?) dibela. Aku kan pembela kebenaran." Ia tersenyum merasa menang.

Miranda menyeringai menopangkan pipinya di jendela sambil berpikir, dasar anak muda.

Millhewi terkikik kecil, "Kamu lucu banget."

"Ekhm, ekhm."

"Iiih, Mama kenapa, sih?" protes Maurice.

Maurice memikirkan pepatah tua jaman dulu, jangan berduaan. Kalau berduaan yang ketiga itu... Sudahlah.

Mobil berhenti di persimpangan yang sama dengan kemarin. Dan sama seperti kemarin juga Millhewi melambaikan tangannya dari luar.

"Terima kasih ya, Maurice Anandratama Saputra Haryo," katanya sambil tersenyum sebelum membalik badan.

Maurice membalas lambaian tangannya sambil tersenyum.

Saat mobil telah berjalan. Miranda yang tidak sabar langsung menanyakan perasaan putranya, "Kamu menyukainya?"

"Tidak, kok. Kami hanya teman," jawab Maurice memandang pemandangan di luar jendela ala ala telenovela.

"Orangtua jangan dibohongi, Maurice. Aduh, sepertinya Mama harus siap-siap punya menantu, nih," goda Miranda.

"Mama apa-apaan, sih? Aku masih kecil. Juga masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dunia ini luas," ujarnya sambil bertopang dagu mengamati pemandangan berjalan di luar jendela.

Waktu memang absurd. Banyak orang hidup bertahun-tahun lamanya, tapi tidak mendapatkan apa pun. Tapi, ada juga yang hidupnya hanya sebentar. Tapi, sudah mengalami banyak hal. Meskipun relatif. Sudut pandangnya dari mana pun sama. Menurut wanita itu. Meski baru dua hari putranya pindah sekolah. Pasti sudah ada banyak yang terjadi.

🎭🎭🎭

Sesampainya di rumah. Maurice langsung melempar tas ke sofa. Dilonggarkan dasinya dan langsung duduk santai sambil menyetel TV.

"Mama tahu? Bully itu benar-benar nyata, lho," beritahu Maurice.

"Nyata bagaimana?" tanya Miranda.

"Korban bully biasanya orang yang terpinggirkan. Sehingga dunia tidak melihat mereka atau malah menganggap tindakan bully hal biasa. Di sekeliling kita banyak korban tindak kekerasan yang terabaikan. Manusia terlalu berat untuk menyadarinya. Jika korban bully melaporkan apa yang terjadi. Dan malah disalahkan karena penyebab ia diperlakukan begitu. Kan jahat," jawab Maurice.

"Kamu bicara apa, sih?" tanya Miranda lagi.

Mata Maurice menatap layar televisi dengan pandangan kosong. "Terkadang beberapa orang harus belajar untuk mengurusi dirinya sendiri."

"Maurice, apa yang sudah terjadi pada anak tadi?" tanya Miranda.

Ia menengok mamanya lembut. Ingin mengulangi ucapan Millhewi. Tapi, diurungkan. "Mama juga." Ia tersenyum sebelum berjalan ke tangga.

Sesampainya di kamar segera dilakukan ritual melempar tas dan langsung membanting tubuh di kasur empuk. "Ini semua sangat menarik." Ia membalik tubuhnya dan mengusap bed cover putih. "Apa hanya itu? Semua ini tidak boleh selesai. Tidaak... boleh."

🎭🎭🎭

Sementara Millhewi di rumahnya. Dibukanya pintu perlahan. Ia melongok sedikit. "I'm home."

Suasana di dalam rumah terlihat sepi. Dilangkahkan kakinya masuk. Dinaiki tangga kayu menuju lantai atas. Sebelum sampai kamarnya. Dilewati sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka. Terlihat pemandangan seorang wanita paruh baya yang menangis pelan sambil memeluk bantal di lantai. "Mama?"

"Pergi kamu!!!" jawab wanita itu sambil melempar bantal yang tadi dipeluknya ke tubuh Millhewi.

Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan berlari keluar. "Mama pasti bertengkar lagi dengan Papa," pikirnya singkat.

Entah sejak kapan. Ia tidak pernah memerdulikannya lagi.

(disclaimer)

Keadaan bertambah buruk.

Pertanyaannya semakin rumit.

Apa yang akan Maurice lakukan untuk mendapatkan jawabannya?

Ikuti terus ceritanya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!