NovelToon NovelToon

Ibu Guru Kesayangan CEO

IGKC 1

Za, ini biskuit kesukaan Dewa, yang ini susunya. Lalu ini piyama tidur. Kalau hujan pakai yang lengan panjang."

Eiza hanya mengangguk sambil mendengarkan pesan-pesan dari Keylin, kakaknya. Ia memaklumi sikap Keylin yang posesif terhadap sang anak seperti ibu muda pada umumnya. Lagipula baru sekali ini Keylin meninggalkan Dewa selama beberapa hari.

"Jangan lupa setelah makan malam, bantu Dewa gosok gigi ya," tambah Keylin.

"Iya, Kak," jawab Eiza.

"Terus jadwal sekolahnya Dewa jangan sampai hilang. Ingat dia masuk jam delapan pulang jam sepuluh."

Eiza kembali mengangguk. Ia tidak mengerti mengapa anak berusia tiga tahun seperti Dewa sudah masuk sekolah setiap hari. Seingatnya dulu kala seumuran Dewa, ia masih bermain boneka dan berlari kesana kemari. Ia belum hapal huruf dan angka apalagi belajar bahasa Inggris. Anak generasi sekarang memang beda jauh dengan dirinya.

"Bagaimana, Sayang? Sudah selesai memberikan wejangan pada Eiza?" tanya Denis tersenyum miring. Pasalnya ia melihat wajah adik iparnya itu sudah keruh seperti air comberan.

"Hampir selesai. Tinggal menunjukkan obat-obatan dan nomer telpon yang penting buat jaga-jaga."

"Jangan lama-lama, Sayang. Satu jam lagi kita harus berangkat."

Keylin segera menggandeng tangan Eiza menuju ke kamarnya.

"Za, ini paracetamol untuk penurun demam, yang ini kompres sekali pakai. Ini minyak angin, dan...."

"Kak, aku bisa baca sendiri. Usiaku kan sudah dua puluh satu tahun. Mana mungkin aku tidak tahu tentang obat," potong Eiza kesal. Ia heran mengapa kakaknya ini bersikap seolah-olah akan pergi ke negeri seberang. Padahal kenyataannya ia hanya akan pergi ke Palembang selama tiga hari untuk menghadiri acara pernikahan sepupu Denis. Keylin dan Denis memang dimintai tolong untuk menjadi saksi pernikahan.

"Kakak hanya memastikan saja. Dan buku ini isinya nomer telpon penting. Dari dokter anak, tukang listrik, tukang galon air sampai catering sehat semua ada disini."

Eiza berdesah sambil menepuk dahinya sendiri. Keylin masih saja mencatat nomer telpon di buku. Padahal kakaknya ini baru saja dibelikan ponsel keluaran terbaru oleh Denis.

"Ada lagi, Kak? Kalau Kakak nggak keburu pergi, sebentar lagi Dewa pasti bangun terus nangis-nangis karena nggak mau ditinggal," ancam Eiza. Sebenarnya ia sudah lelah dengan banyaknya nasehat dan pesan yang diucapkan Keylin. Bahkan mamanya semasa hidup tidak pernah bicara sepanjang itu.

"Iya, Kakak berangkat sekarang. Sebentar lagi Mbak Siti datang, kamu suruh dia bersih-bersih rumah seperti biasa ya."

"Siap, bos," jawab Eiza.

"Za, kami pergi. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan menelpon kami," ucap Denis sebelum meninggalkan rumah.

"Titip Dewa ya, Za. Sayangi dan jaga dia untuk Kakak," ucap Keylin tiba-tiba.

"Deg."

Hati Eiza berdesir mendengar ucapan Keylin. Entah mengapa sang kakak seolah memberikan pesan terakhir kepadanya. Namun Eiza buru-buru menepis pikirannya itu. Ia memilih untuk.mengantar Keylin dan Denis sampai ke mobil.

Melihat pasangan suami istri yang selalu mesra itu, Eiza tersenyum sendiri. Ya, mereka adalah pasangan yang sempurna. Diam-diam Eiza berharap suatu hari nanti ia bisa membina rumah tangga yang bahagia seperti Keylin.

"Sampai jumpa, Kak Key, Kak Denis. Hati-hati," ujar Eiza melambaikan tangan. Ia menunggu sampai mobil kakaknya menghilang dari pandangan. Kemudian Eiza masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.

Sejak mamanya meninggal tiga bulan yang lalu, Eiza memang tinggal bersama Keylin dan Denis. Itu juga atas permintaan sang kakak. Jadi Eiza telah terbiasa untuk membantu mengasuh keponakannya, Dewa. Hanya saja tantangan terbesar kali ini adalah ia harus mengurus Dewa seorang diri di sela-sela kesibukan melamar pekerjaan sebagai guru.

"Semangat, Za," gumam Eiza sambil berjalan menuju ke kamar Dewa.

***

"Tante, boleh nggak makan ini?" tanya Dewa menunjukkan sebatang cokelat yang dibawanya. Suara cedal Dewa selalu terdengar lucu di telinga Eiza. Tak disangka kecil-kecil begini ternyata Dewa sangat jeli dalam menemukan cokelat yang disembunyikan Eiza di dalam laci.

"No, no, no. Dewa baru saja sembuh dari batuk. Mama larang Dewa makan cokelat."

"Tapi Dewa mau," rengek bocah laki-laki itu. Eiza segera merebut cokelat dari tangan Dewa.

"Mama dan Papa hari ini akan pulang. Kalau Dewa bandel, nanti Dewa bakalan dicubit sama Mama. Mau?"

"Nggak mau, Tante," jawab Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Anak pintar. Kita sekarang makan buah apel aja. Tante ambilin dari kulkas."

Eiza merasa lega karena selama tiga hari ini Dewa jarang sekali rewel. Dia juga bisa melakukan tugasnya tanpa hambatan apapun. Sekarang tinggal menunggu kepulangan Keylin dan Denis ke rumah.

"Mbak Siti, sekarang jam berapa sih?" tanya Eiza kepada pembantu di rumah Keylin.

"Jam sebelas, Non."

"Kok Kak Keylin belum nyampe ya?"

"Mungkin kena macet di jalan, Non."

"Kalau lewat tol harusnya nggak terlalu macet, Mbak," jawab Eiza. Ia meletakkan piring berisi buah apel di meja makan lalu mulai menyuapi Dewa. Tepat pada saat itu terdengar dering telpon di ruang tengah.

"Biar saya yang angkat, Non," ujar Mbak Siti keluar dari dapur.

Eiza masih melanjutkan menyuapi Dewa hingga tidak ada apel yang tersisa. Namun ia dikejutkan oleh suara Mbak Siti yang setengah berteriak. Sontak, Eiza menggendong Dewa dan mengajaknya ke ruang tengah.

"Mbak Siti, ada apa? Itu telpon dari siapa?" tanya Eiza melihat wajah Mbak Siti yang pucat pasi.

"Nyonya dan Tuan...."

"Kak Keylin dan Kak Denis kenapa, Mbak?" tanya Eiza tidak sabar. Firasat buruk tiba-tiba menyergap hatinya.

"Ini dari Pak Polisi, Non. Mereka bilang Nyonya dan Tuan...kecelakaan di jalan tol," jawab Mbak Siti terbata-bata.

IGKC 2

Eiza langsung menurunkan Dewa dari gendongannya. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil alih gagang telpon dari tangan Mbak Siti.

"Halo, apa Ibu masih mendengarkan saya?" terdengar suara pria memanggil dari balik telpon.

"Pak, saya Eiza, adiknya Keylin. Apa benar kakak saya dan suaminya mengalami kecelakaan?" tanya Eiza pilu.

"Benar, Mbak. Mereka sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit Harapan."

"Kalau begitu saya akan segera kesana, Pak. Terima kasih atas informasinya."

Eiza segera menutup telpon lalu bersin dengan keras. Setiap kali mendapat tekanan berat, penyakit sinusnya memang langsung kambuh.

"Mbak Siti, aku titip Dewa. Tolong jangan pulang dulu sebelum saya kembali dari rumah sakit. Nanti saya pasti akan hitung uang lembur untuk Mbak Siti."

"Iya, Non, saya akan menjaga Dewa. Non, tenang saja."

Eiza bergegas menyambar kunci motor beserta tasnya. Yang diinginkan Eiza hanyalah sampai di rumah sakit secepatnya untuk melihat kondisi sang kakak.

Kurang lebih setengah jam berkendara, Eiza pun tiba di rumah sakit itu. Napasnya tersengal-sengal ketika ia berlari ke ruang IGD. Ia segera bertanya kepada perawat yang bertugas.

"Suster, dimana pasien bernama Keylin dan Denis Handana yang mengalami kecelakaan di tol?"

Sebelum Eiza mendapat jawaban, pintu ruang UGD terbuka. Dari dalam keluarlah beberapa perawat yang mendorong dua buah ranjang beroda. Sosok pasien di atasnya tidak terlihat karena sudah ditutupi oleh kain berwarna putih.

Perasaan Eiza bergemuruh hebat. Lututnya terasa goyah, seolah tak mampu lagi untuk berpijak. Ia takut apa yang dicemaskannya akan menjadi kenyataan. Meskipun begitu, Eiza memaksakan diri untuk bergerak mendekati salah satu ranjang.

"Apa Mbak keluarga pasien?" tanya perawat yang memegang ranjang itu. Ia terpaksa berhenti karena Eiza berdiri untuk menghalanginya.

Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Eiza. Jantungnya berdentum kencang seiring dengan gerakan tangannya yang perlahan-lahan menyibak kain penutup. Dan ketika penutup itu telah terbuka seluruhnya, mata Eiza terbelalak lebar. Sontak air matanya jatuh tak terbendung ketika melihat sosok wanita yang terbujur kaku di hadapannya. Mata wanita itu terkatup rapat dan kulitnya begitu pucat.

"Tidak, ini tidak mungkin. Kak Keylin!!" jerit Eiza histeris.

***

"Bagaimana kondisimu hari ini, Cantik?" tanya seorang pria tampan yang memakai jas putih kebesarannya. Ia menepuk perut gadis kecil itu untuk memastikan kondisi pencernaannya tidak terganggu.

"Nita sudah tidak muntah lagi, Dok, tapi dia masih susah makan. Katanya perutnya cepat kenyang kalau diisi makanan," sahut ibu dari si gadis berambut ikal.

"Oh, kalau itu karena pengaruh asam lambung, Bu. Minum saja obat yang saya berikan secara teratur dua kali sehari. Dan jangan sampai telat makan. Nita juga tidak boleh makan makanan yang pedas dan asam."

"Baik, Dok, terima kasih."

"Turuti kata Bunda, ya, Cantik, supaya kamu nggak perlu ketemu Pak Dokter lagi," ujar pria itu sambil tersenyum kepada Nita.

"Tapi aku suka ketemu Pak Dokter."

Jawaban polos dari Nita membuat pria itu terkekeh. Ia tidak menyangka pesonanya sebagai pria terlalu kuat sampai anak kecil saja mengaguminya.

"Kamu boleh ketemu Pak Dokter lagi kalau sudah sehat."

Nita pun mengangguk senang. Sementara ibunya langsung menggandeng tangan Nita agar keluar dari ruang pemeriksaan sederhana itu.

"Kami permisi, Dok."

"Silakan, Bu. Sampai ketemu, Nita."

Usai Nita pergi, pria itu melepas jasnya. Ia meregangkan tangan ke atas sambil mengulum senyum. Tugasnya menolong orang lain telah selesai dan kini gilirannya untuk memanjakan diri. Sebagai lelaki dewasa yang masih lajang, ia butuh hiburan sejenak untuk menyegarkan pikiran.

Pria itu meraih ponsel dan hendak menghubungi seorang wanita, namun mendadak layar ponselnya berkelap-kelip. Ia sangat terkejut karena yang muncul adalah nama sang kakek, Yogi Handana.

"Halo, Opa, tumben menelponku siang-siang begini? Apa berat badan Opa naik lagi? Mau aku buatkan menu diet seimbang supaya Opa tetap macho dan awet muda di mata Tante Nancy?"

"Arion, dasar kamu cucu kurang ajar! Opa menelponmu bukan untuk konsultasi diet!" bentak Opa Yogi. Ia seringkali dibuat naik darah oleh tingkah menyebalkan dari cucu kesayangannya itu.

"Lalu untuk apa Opa menelponku?" tanya Arion dengan santai.

"Opa mau memberitahumu kalau...."

Suara pria tua itu mendadak parau. Sepertinya ia sedang menahan tangis sehingga tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

"Opa menangis? Siapa yang berani membuat Opa seperti ini? Aku pasti akan menghajar orang itu sampai babak belur!" geram Rakyan.

"Adikmu, Denis, dia...."

"Hah?! Denis yang membuat Opa menangis?" tanya Rakyan tidak mengerti.

"Bukan, Arion. Denis dan Keylin kecelakaan mobil, dan mereka...sudah meninggalkan kita untuk selamanya."

"Braakk!!"

Bagai tersambar petir, Arion menjatuhkan ponselnya ke lantai. Ia terduduk lemas di kursi dengan mata berkaca-kaca. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan segala kesedihannya.

Denis, satu-satunya saudara kandung yang dimilikinya telah tiada. Padahal ia tahu bahwa Denis tengah berbahagia bersama istri dan anak balitanya yang menggemaskan. Lalu bagaimana nanti nasib keponakannya itu tanpa kehadiran seorang ayah?

Arion memungut kembali ponselnya lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.

"Arion, tolong pulanglah sekarang ke Jakarta. Beli tiket pesawat dengan penerbangan tercepat. Pemakaman Denis tidak akan dilaksanakan sampai kamu hadir disini," tegas Opa Yogi.

IGKC 3

"Sudah Za, jangan nangis terus," ujar Lolita, sepupu Eiza. Ia tidak tega melihat Eiza yang terus menitikkan air mata di samping peti jenazah Keylin. Sementara Dewa yang berada di pangkuan Eiza terus bergerak gelisah. Nampaknya bocah kecil itu belum terlalu mengerti dengan apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya.

"Tante, kenapa Mama dan Papa bobok terus?" tanyanya kepada Eiza.

Eiza menghapus air matanya dengan telapak tangan lalu mengusap pelan pucuk kepala Dewa.

"Mama dan Papa sudah beristirahat dengan tenang, Dewa. Mereka nggak bisa bangun lagi."

"Kalau gitu kapan Dewa bisa main sama Mama dan Papa?" tanyanya membulatkan mata.

"Sekarang Dewa mainnya sama Tante Eiza. Dewa akan ketemu Mama dan Papa suatu hari nanti di Surga."

Dewa mengerucutkan bibirnya. Sepertinya bocah lelaki itu tidak puas dengan jawaban yang diberikan Eiza. Ia pun melorot turun sambil merajuk.

"Tante, aku mau makan biskuit," ucapnya mengguncang lengan Eiza.

"Za, biar aku yang menjaga Dewa. Kamu fokus saja mengurus pemakaman," ujar Lolita menggandeng tangan Dewa.

"Thanks, Loli, tapi aku masih nunggu keluarganya Kak Denis datang."

"Mungkin mereka dalam perjalanan. Aku temenin Dewa dulu."

Sepeninggal Lolita dan Dewa, Eiza duduk termenung sambil menatap peti Keylin. Sesekali ia melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah hampir dua jam Eiza menanti, tapi keluarga inti Denis belum terlihat. Ia memang tidak mengenal keluarga kakak iparnya itu. Namun seingatnya Denis memiliki seorang kakek dan kakak kandung yang berprofesi sebagai dokter. Ia pernah bertemu mereka sekali saat upacara pernikahan Keylin dan Denis tujuh tahun yang lalu.

"Apa aku telpon kakeknya Kak Denis aja ya?" pikir Eiza meraih ponselnya dari saku. Belum sempat ia menekan nomer telpon pria tua itu, terdengar derap langkah yang mendekat ke arahnya. Eiza pun mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan seorang pria tua.

"Kamu Eiza adiknya, Keylin?"

"Anda Opa Yogi?" tanya Eiza beranjak dari posisinya.

"Iya. Maaf Opa telat kesini. Itu karena Opa menunggu Arion, si anak bengal. Dia belum datang juga sampai sekarang. Katanya pesawatnya tiba-tiba delay."

Eiza mendesah pelan. Ia menebak bahwa yang dimaksud oleh Opa Yogi adalah kakak kandung Denis. Saat pertama bertemu pria itu, ia memang terkesan urakan. Meskipun seorang lulusan kedokteran, ia berpenampilan eksentrik dengan anting hitam di telinga kanan dan memiliki tato berbentuk laba-laba di bagian belakang leher. Eiza tak sengaja melihat itu saat diajak berfoto bersama di atas pelaminan. Barangkali pria itu seorang penggemar berat spiderman.

"Lalu bagaimana, Opa?"

"Kita lakukan pemakamannya sekarang tanpa Arion."

Opa Yogi bergegas melangkah dengan mencengkeram tongkat di tangannya. Sedangkan Eiza dan kerabat lainnya mengikuti dari belakang. Iring-iringan mobil tampak di sepanjang jalan raya menuju ke area pemakaman Bukit Daun.

Eiza berdiri sambil menggendong Dewa. Ia mendengarkan Pendeta yang tengah mengucapkan doa untuk menghantarkan jenazah Keylin dan Denis ke peristirahatannya yang terakhir.

"Hari ini kita berduka karena telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi, Keylin Prayoga dan Denis Handana."

"Tunggu, Pendeta!" teriak seorang pria yang memecah keheningan. Spontan seluruh pelayat menengok ke sumber suara itu, begitu pula dengan Eiza.

"Maaf, semuanya saya terlambat," ujar Arion dengan napas terengah-engah. Ia baru saja berlari turun dari taksi dengan menggandeng seorang anak perempuan menuju ke areal pemakaman.

"Arion, kamu ini bikin heboh saja. Opa kira kamu tidak akan datang," tegur Opa Yogi kesal.

"Opa, aku tidak mungkin melewatkan penghormatan terakhir untuk adikku."

"Kalau begitu cepat laksanakan tugasmu sebagai kakaknya Denis. Nania biar bersama Opa," titah Opa Yogi.

Arion mengangguk lalu mmendekati Pendeta. Sementara Opa Yogi mengelus rambut gadis kecil yang sepertinya adalah anak kandung Arion.

"Silakan lanjutkan upacaranya, Pendeta."

Prosesi pemakaman pun berjalan dengan khidmat. Meskipun diliputi suasana duka mendalam, Arion tetap turun tangan untuk memasukkan peti jenazah Denis dan Keylin ke liang pemakaman. Mereka sengaja dimakamkan secara berdampingan sebagai pertanda bahwa cinta sejati akan selalu bersama sampai ajal menjemput.

Sementara itu, air mata Eiza kembali berderai di pipinya. Ia menaburkan bunga di atas pusara Keylin dengan perasaan yang hancur. Sekarang ia benar-benar sebatang kara di dunia, tanpa orang tua dan kakaknya. Satu-satunya yang dimiliki Eiza hanyalah Dewa, peninggalan kakaknya yang begitu berharga. Di dalam hati, Eiza berjanji akan membesarkan Dewa dan menyayanginya seperti pesan terakhir dari Keylin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!