"Akhirnya proyek Quantum Ark akan berfungsi hari ini," ungkap Teo, pemuda berusia 25 tahun yang sangat mengagumi teknologi canggih yang konon bisa mengubah sejarah kehidupan manusia itu.
Ia merasa sangat antusias menyaksikan peluncuran teknologi tersebut.
Teo melihat dan menyaksikannya dari dalam Dojo, tempatnya berlatih pedang kayu asal negeri sakura.
"Professor Agasa, aku mengenalnya. Ia adalah temanku. Namun aku tidak menyangka bila ia berhasil menghidupkan teknologi monster itu," ucap Kishimoto, guru dari Teo.
Ia sangat tidak menyukai teknologi yang mencoba untuk melampaui batas tatanan ilmu agama itu sendiri.
Kishimoto berpikir bila teknologi Quantum Ark akan menjadi bencana baru bagi umat manusia di masa depan.
Quantum Ark akan mulai diperagakan secara live dan disiarkan ke seluruh dunia pada hari ini, tanggal 12 Juni 2100. Seluruh warga dunia akan menyaksikan aksi terobosan manusia yang paling maju di zamannya.
"Kau sudah siap?" Tanya Profesor Agasa Minamoto. Ia menoleh ke arah temannya.
"Ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi umat manusia," ucap Mark Elon sambil tersenyum senang sebagai pemilik Quark Corp.
Sebuah kerangka besi campuran yang begitu besar berbentuk lingkaran berdiri tegak dengan diameter sekitar 100 meter. kerangka itu menjadi tempat untuk menopang energi saat Quantum Ark diaktifkan.
Kerangka besi solid tersebut ditopang oleh dua penjepit raksasa yang terbuat dari kerangka besi campuran juga. Kerangka tersebut akan menjadi pintu masuk ke dunia lain.
Ada lima puluh orang dengan pakaian khusus dari teknologi nano layaknya Iron man suit yang dilengkapi dengan peralatan canggih dan sistem navigasi ruang. Mereka telah berbaris di depan terowongan ruang itu.
Seluruh warga dunia menyaksikan secara live dari televisi dan gadget mereka. Beberapa orang di beberapa negara bahkan sampai mengadakan nonton bersama di alun-alun kota dengan layar LED besar.
"Siap?!" Teriak Mark Elon.
Ia melihat ke arah semua orang yang hadir.
"Semua sudah siap, Pak." Kepala divisi utama Quantum Ark bersiap di depan ratusan host admin yang mengontrol jalannya percobaan gila ini.
"Nyalakan," ucap Mark Elon. Ia telah memberi tanda. Dirinya merasa gugup.
"Buka pintu energi satu!" Seru kepala divisi.
"Pintu energi satu, terbuka!" Salah satu host admin memberikan konfirmasinya.
Energi mengalir ke panel lingkaran besi yang telah disulap sebagai pipa energi layaknya baterai.
"Buka yang kedua hingga kelima," ucap kepala divisi.
"Pintu energi dua hingga kelima, terbuka!" Seru lima host admin.
Energi yang mengalir sudah mencapai 50%. Kepala divisi meminta para host admin membuka lima pintu lagi untuk menyelesaikan pengisian energi.
"Lima pintu energi terakhir terbuka!" Teriak bersamaan lima host admin.
"Energi dalam pengisian 100%. Quantum Ark siap dijalankan!"
Informasi dari Autovisual Intelligence atau A.I pembantu telah dikonfirmasi. Mark Elon memberi perintah untuk menghidupkan panel lingkaran tersebut.
"Semoga perhitungan kita tidak meleset," ungkap Agasa begitu khawatir. Ia berharap percobaan pertama ini akan berhasil.
Panel kerangka lingkaran mulai bercahaya dengan menembakkan 10 tembakan laser yang mewakili 10 pintu energi ke titik pusat kerangka lingkaran hingga membentuk bola energi putih murni yang terus bercahaya sangat terang benderang.
Bola energi tersebut terus membesar dan memipih setipis cermin mengikuti bentuk dari panel kerangka lingkaran.
"Ini akan berhasil, Agasa!" Mark Elon berteriak. Ia begitu bersemangat.
"Aku harap begitu," jawab Agasa.
Cermin energi terbentuk seluas diameter panel kerangka lingkaran. Tahap pertama untuk membuka terowongan ruang berhasil. Selanjutnya, lima puluh orang yang terpilih untuk menjelajah dunia kuantum mulai mengaktifkan baju zirah mereka. Baju tersebut dinamakan Quark Suit.
"Kami siap, Kapten!" Komandan pasukan telah menyatakan kesiapannya.
"Laksanakan," balas Mark Elon.
Secara bergantian, Mereka mulai memasuki cahaya cermin terang tersebut. Setelah komandan masuk ke cahaya itu, sensor kamera dan sistem Quark Suit aktif otomatis dengan bantuan A.I.
"Energi, cek! Quark Suit aktif, cek! Kamera visual aktif, cek! Dan–," sesuatu hal terjadi. Saat ingin mengkonfirmasi kandungan oksigen pada baju suit, komunikasi terputus.
"Ada apa?!" tanya kepala divisi.
"Sepertinya ada sistem error, Pak! Alat navigasi ruang milik komandan tiba-tiba berubah arah dan error!" Teriak salah satu host admin.
"Apa!" Kepala divisi sangat terkejut.
"Cahaya apa itu?" Agasa melihat adanya kebocoran energi di sisi cermin energi.
"Mark! Cepat matikan Quantum Ark! Ada kebocoran energi!" Agasa berteriak.
"Kepala divisi! Matikan!" Mark Elon berteriak dari kejauhan.
Sebelum sempat di nonaktifkan, salah satu laser dari sebuah pintu energi yang terbuka bocor dan menembakkan laser energi secara acak ke arah ruang kontrol.
Setengah ruang kontrol terbakar dan lima host admin langsung hangus menjadi debu. Tayangan secara live ke seluruh dunia pun diputus secara paksa.
Di lain tempat, Teo yang sedang menonton peluncuran Quantum Ark merasa aneh ketika siaran live tersebut di putus. Ia mengernyitkan dahi, Teo merasa ada masalah di tempat peluncuran Quantum Ark.
"Lihat, sudah kubilang pasti akan ada masalah bila teknologi itu dinyalakan," ucap Kishimoto yang malah menambah kekhawatiran Teo.
Kembali lagi di area gurun.
"Mark! Awas!" Teriak Agasa.
Ia mencoba menyelamatkan Mark Elon yang berdiri berhadapan dengan datangnya laser energi yang bocor.
"Oh, no…." Mark Elon akhirnya tersapu oleh laser tersebut. Ia langsung tewas menjadi debu.
Agasa segera pergi meninggalkan tempat peluncuran Quantum Ark sejauh mungkin menggunakan mobil yang ia temukan tidak jauh dari dirinya.
Dengan keahliannya di bidang mesin, Agasa bisa menghidupkan mobil itu tanpa kunci dan pergi sejauh mungkin.
Pintu panel energi lainnya ikut bocor dan tidak terkendali. Energi yang membentuk cermin pipih berubah menjadi bentuk bola.
Suara gemuruh dari bola energi yang terus membesar ini sampai terdengar ke seluruh penjuru negeri. Cahaya yang dihasilkan oleh bola energi tersebut menyamai terangnya cahaya matahari.
Beberapa warga yang menyaksikan cahaya dari arah gurun begitu takjub, Walau mereka tidak tahu bahwa itu adalah sesuatu yang berbahaya.
"Ini gawat! Energi itu sudah menjadi matahari buatan!" Ungkap Agasa sambil menghentikan mobilnya.
Ia keluar dari mobil yang sudah lumayan jauh dari tempat peluncuran, kira-kira sejauh lima kilometer dari bola energi itu.
"Oh Tuhan, apa yang sudah aku perbuat?" Ucap Agasa. Ia terbelalak menyaksikan hasil kreasinya yang begitu menakutkan.
Bola energi berhenti membesar. Namun, tiba-tiba ia mengecil dan menghilang secara cepat, sebuah ledakan besar dengan suara bergemuruh layaknya ratusan petir menyambar terdengar.
DUM!!!
DUAR!!!
Bola energi itu meledak dan menyebarkan gelombang energi layaknya badai partikel ke seluruh penjuru dan terus merambat hingga menuju ke Agasa.
"Oh, ****!" Agasa mulai panik. Ia masuk lagi ke dalam mobil dan langsung melaju dengan cepat.
Agasa melihat badai energi itu dibelakangnya. Ia berusaha secepat mungkin kabur dari cengkeraman energi tersebut.
"Ini mustahil! Arrrggghhh!!!" Ucap Agasa.
Ia akhirnya terkena badai energi.
Badai itu terus meluas ke seluruh penjuru negeri dan menyebabkan matinya seluruh listrik, teknologi dan seluruh peralatan mengandung magnet.
Belum sampai di situ saja, badai energi partikel ini terus meluas ke seluruh penjuru dunia layaknya riak air hingga beresonansi dan menghilang sendiri.
Teo yang berada di dalam Dojo langsung keluar setelah gurunya memanggil. Kishimoto melihat adanya cahaya terang dari arah timur menghampiri dirinya.
Teo yang sedang membersihkan salah satu katana milik gurunya langsung sadar bila itu adalah badai energi. Ia mencoba untuk menarik sang guru dan mendorongnya ke dalam Dojo.
"Teo?! Kau?!" Kishimoto terkejut ketika pintu Dojo ditutup oleh muridnya dari luar.
"Maaf, tapi Anda harus selamat!" Teo tidak memiliki waktu lagi. Ia ikut tersapu oleh badai energi itu.
WUSH!!!
Di lain tempat, Agasa terbangun dengan perasaan bingung. Ia menoleh ke segala arah, berusaha untuk menyadarkan dirinya yang masih pusing.
"Apa yang terjadi? Ini di mana?" Agasa tidak mengenali tempat itu.
Ia melihat sebuah kota mati dengan gedung-gedung yang terbengkalai, jalanan yang ditumbuhi oleh pohon liar, dan beberapa mobil rusak yang sedang mengalami kemacetan tanpa pengemudinya terhampar luas di depan matanya.
"Apa ini negaraku?" Tanya Agasa pada dirinya.
"Kau salah, ini bukan di negaramu, melainkan di wilayah ibukota Indonesia," sela Teo. Ia muncul di hadapan pria tua itu.
"Apa?" Agasa kebingungan.
"Lihat papan tanda jalan itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Kau tidak berada di negaramu, melainkan di Indonesia," jelas pemuda itu.
"Tapi kenapa Indonesia menjadi seperti ini?" Tanya Agasa. ia tampak bingung.
"Ini bukan Indonesia yang kita kenal," pikir Teo. Ia coba menjelaskan.
"Ini adalah Indonesia yang lain. Atau aku harus menyebutnya sebagai dunia lain. Seperti dunia paralel." Teo menoleh ke arah Agasa.
"Apa? Dunia paralel?" Ucap Agasa yang tampak terkejut bukan main.
"Maksudmu saat ini kita berada di dunia paralel?!" Seru Agasa yang merasa terkejut. Ia sampai menarik kerah baju pemuda itu.
"Aku baru sampai sekitar sepuluh menit yang lalu sebelum dirimu, dan sepertinya kita harus mencari tempat yang lebih tinggi untuk bertahan hidup," ucap Teo.
Ia melihat jauh ke arah belakang Agasa.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Agasa, ia berbalik badan.
"Apa itu?" Tanya Agasa.
Ia melihat beberapa manusia dengan pakaian yang kotor dan wajah yang penuh luka menuju ke arah mereka berdua sambil berlari.
"Sebut saja itu zombie! Kau ingin mati atau hidup untuk menanyakan namanya?!" Teriak Teo.
Ia telah melarikan diri dengan memanjat gedung bertingkat menggunakan sebuah tali.
"Ayo!" Teriak Teo.
"Ba–bagaimana kau bisa secepat itu?!" Agasa merasa terkejut.
Ia segera bergegas menyambar tali yang menggantung dan segera naik merambat ke atas. Teo ikut membantu dengan menarik tali itu agar Agasa bisa cepat sampai ke atas.
Zombie itu mulai mendekati tali dan berusaha naik ke atas. Agasa berusaha secepat mungkin agar tidak tertangkap oleh para kumpulan mayat hidup itu.
"Tolong!" Teriak Agasa menjulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Teo.
Saat Agasa telah naik dan masuk ke dalam gedung lantai dua, Teo langsung memotong talinya menggunakan katana yang ada di punggungnya. Terlihat para Zombie itu terus berteriak merasakan kekecewaan karena santapannya telah lepas.
"Terima kasih," ucap Agasa.
"Tidak masalah," balas Teo.
Ia merebahkan dirinya di lantai sambil menghela napas seraya berpikir.
"Bila semua ini akibat dari ledakan badai energi Quantum Ark, maka kita benar-benar terjebak di dunia paralel ini, kan?" ucap Agasa.
"Menurutmu, berapa banyak yang terlempar ke dunia ini?" Tanya Agasa yang merasa penasaran.
"Aku tidak tahu," jawab Teo.
"Lalu bagaimana nasib dunia nyata?!" Agasa bertanya ke dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu," jawab Teo lagi.
"Kenapa Dunia paralel seperti dunia kita?" Tanya Agasa. Ia merasa bingung.
"Sudah, lebih baik kau diam saja. Sekarang kita berpikir bagaimana caranya untuk bisa kembali ke dunia nyata yang seperti kau bilang tadi. Aku tidak mau terjebak disini selamanya," ucap Teo.
Ia menoleh ke arah pria tua yang terlihat cukup pintar itu. Teo merasa bila Agasa masih mengalami syok karena terdampar di dunia lain.
"Bahkan bila dunia kita disebut sebagai the real world, lalu dunia ini apa? Aku dan kau berada di sini saat ini. Menginjak tanah, merasakan lapar dan haus, berdarah, dan bahkan juga bisa mati. Bukankah ini terlihat sangat nyata?! Kita bukan berada di dunia Metaverse milik Zuckerberg, melainkan multiverse milik Tuhan itu sendiri," pikir Teo yang membentak Agasa.
"Jadi, multiverse is a real?!" Ucap Agasa begitu terkejut.
"Kita harus mencari tempat tinggal, Informasi tentang kota dan juga dunia ini. Lalu mencari makanan yang tersisa di kota mati ini," pikir Teo. Ia berdiri dan melihat ke sekeliling.
"Aku setuju, Tapi sebaiknya kita mencari peta dari dunia ini. Aku ingin tahu bentuk bumi di dunia paralel ini, atau bisa dibilang di multiverse ini," ungkap Agasa.
Ia mulai melihat-lihat rongsokan barang di ruangan itu.
"Kakek, coba lihat ini," ucap Teo. Ia melihat keluar ruangan.
"Astaga! Apa ini surga tersembunyi?" Ucap Agasa begitu takjub dan terkejut.
Mereka berdua melihat hall ruangan yang sangat besar. Ternyata mereka berada di sebuah pusat perbelanjaan besar yang memiliki lantai tujuh. Namun, suasana di dalam pusat perbelanjaan sudah hancur semua. Barang-barang yang berada di toko juga sudah terbengkalai.
"Aku lupa kita ada di Jakarta. Kurasa ini adalah pusat perbelanjaan di bilangan Senayan," pikir Teo.
"Dari tadi kau terus memanggilku dengan sebutan kakek, tolong panggil saja Profesor Agasa atau Agasa pun juga boleh," ucapnya.
"Baiklah, kalau begitu. Namaku Teo Abraham, panggil saja Teo," ucapnya.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Agasa.
"Cari makanan, senjata tajam, dan peta dunia," jelas Teo.
Ia masuk ke sebuah food court bernama The Food Hall. Teo melihat meja dan bangku berserakan dan saling tindih, serta bercerai-berai satu sama lain.
"Profesor, aku akan ke arah kiri, kau coba pergi ke arah kanan," ucap Teo.
Ia menyusuri area kiri, Teo mengambil beberapa pisau dan beberapa hal seperti peralatan makan serta panci dan kompor portabel yang masih dilengkapi gas. Ia memasukkannya ke dalam tas belanja yang lumayan besar.
Agasa terus pergi ke arah kanan hingga ia menuju ke restoran Jepang. Ia melihat sebuah peta dunia yang terpampang di dinding dengan ukuran begitu besar. Agasa segera langsung menurunkannya. Ia merobek peta yang terbuat dari kain kanvas itu dengan sebuah pisau yang tergeletak di dekatnya.
"Akhirnya ketemu juga, sebaiknya aku kembali ke Teo," ucap Agasa. Ia menggulung peta itu dan kembali menuju ke tempat Teo berada.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Agasa yang datang menghampiri Teo.
"Memilah beberapa barang untuk dipakai bertahan hidup," jawab Teo.
Di depannya sudah tersedia dua kantong tas belanja hijau dengan tulisan "Save Earth" berisi berbagai keperluan alat memasak hingga dua tabung gas ukuran tiga kilogram.
"Profesor, sebaiknya kita pergi ke rooftop. Aku tidak mau menjadi makan malam para zombie bila terus di sini," ucap Teo.
Ia mengambil dua tas belanja yang lumayan berat dan mengangkatnya dengan kedua tangan. Lalu Profesor Agasa membawa dua tabung gas yang masih penuh terisi dengan kedua tangannya.
Mereka menuju ke lantai atas. Karena Teo sudah pernah ke sini sebelumnya, Ia tahu celah untuk menuju ke rooftop.
"Aku mendapatkan peta dunia yang sangat lengkap," ucap Agasa sambil menaiki tangga dengan mengangkat kedua tabung gas itu.
"Astaga, aku lelah…," keluh Agasa yang akhirnya duduk beristirahat di anak tangga.
"Jaraknya masih lumayan, kukira bangunan tujuh lantai tidak begitu melelahkan seperti ini," pikir Teo yang ikut beristirahat.
"Aku membenci teori dunia quantum, paralel atau pun multiverse! Sial!" Keluh Agasa yang begitu muak dengan pengetahuan miliknya.
Teo menggalang tenaga lagi. Ia kembali berdiri dan menoleh ke arah pria tua itu.
"Sebentar lagi gelap, kita harus bergegas sampai di atas dan menutup jalur masuk ke rooftop agar para zombie tidak kemari. Aku tidak mau saat sedang bermimpi harus menjadi cemilan ringan para zombie," ungkap Teo.
"Baiklah, ayo kita lanjut berjalan," sahut Agasa. Mereka melanjutkan jalannya lagi menuju ke rooftop.
Sesampainya di atas rooftop, Teo langsung melepas lelahnya dengan rebahan di lantai yang kotor. Ia menghela napas panjang sambil melihat langit dengan awan senja yang semakin menggumpal dan menghitam.
"Sebentar lagi hujan, dan juga akan berubah menjadi malam," keluh Teo.
"Aku tahu, sebaiknya kita membuat tenda untuk berteduh," sahut Agasa. Ia menggelar peta dunia itu lagi.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Teo. Ia melirik ke arah kirinya.
"Peta dunia," jawab Agasa.
"Luar biasa, kau langsung dapat petanya? Seakan-akan kita berada di dunia game virtual dan dibantu oleh A.I," ucap Teo menghayal.
"Lihatlah, kau pasti akan terkejut melihatnya," ucap Agasa yang tidak percaya setelah melihat secara menyeluruh peta tersebut.
"Apa?" Tanya Teo. Ia bangun dan merangkak menuju ke peta itu.
"Oh, ****! Apa ini!" Teriak Teo tidak percaya.
"Earthopean?!" Teo bertanya ke dirinya sendiri. Ia melihat judul dari peta dunia.
"Sepertinya di dunia paralel ini, yang kau sebut sebagai multiverse dari dunia kita adalah sebuah daratan benua yang seluruhnya masih tergabung jadi satu benua besar. Dan mungkin itu yang disebut sebagai Earthopean," pikir Agasa.
"Tapi kenapa nama tempat dan kota sama semua? Ini seperti seluruh wilayah negara di dunia beserta isinya di copy-paste di daratan Earthopean ini," pikir Teo yang merasa bingung.
"Bukan di copy, melainkan sama. Coba lihat daratan di wilayah Jepang. Bentuknya sama dengan di dunia kita. Namun di sini, Jepang malah bersatu dengan daratan Earthopean, Itu saja bedanya," jelas Agasa.
Ia melihat ke negara lain. Seluruh bentuk peta wilayah negara yang ada sama seperti di dunia nyata, namun hanya seperti dipadatkan jadi satu antar wilayah negara, jadi terlihat bersatu dalam satu daratan yang luas.
Misalkan negara yang dipisahkan oleh laut seperti Inggris akhirnya bersatu dengan daratan Eropa.
"Lalu, kita harus ke mana dan bagaimana?" Tanya Teo merasa bingung.
"Menciptakan Quantum Ark di sini dan kembali ke dunia nyata," pikir Agasa.
"Butuh 100 tahun bagi manusia di dunia kita untuk membuat rekayasa Quantum Ark hingga benar-benar bisa dipraktekkan. Dan sialnya, Itu gagal! Lalu, menurutmu apa di dunia kiamat ini bisa menciptakan hal itu? Bahkan untuk membuat satu mobil utuh untuk berjalan saja sudah menjadi hal yang mustahil!" Teriak Teo merasa putus asa.
"Jadi, kau berpikir bahwa tidak ada sisa-sisa dari peradaban di Earthopean?" Pikir Agasa.
"Bahkan tulang belulang penduduk lokal pun tidak ada," sindir Teo yang merasa kesal.
JEGEER!!!
Petir menyambar dan mulai bergemuruh. Matahari pun telah terbenam di barat. Agasa menggulung peta itu dan mulai merakit tenda ala dirinya.
"Bila kau masih punya otak, maka berdirilah untuk membuat tenda. Karena aku tidak ingin menjadi yang waras sendirian di sini," sindir Agasa.
"Kau menyebalkan," keluh Teo. Ia akhirnya segera bangun dan mulai membantu Agasa.
"Dingin sekali," ungkap Agasa.
Malam menjadi begitu sangat dingin, terasa embusan angin di kota mati ini begitu menusuk tulang. Api unggun yang dihidupkan oleh Agasa menjadi satu-satunya penghangat tubuh.
Agasa dan Teo berhasil membuat tenda sederhana dari beberapa bahan sisa di pusat perbelanjaan. Mereka begitu kelaparan, makanan yang ada dan terlihat masih layak untuk dimakan hanyalah kumpulan kaleng sarden.
Mereka juga tidak ingin tahu apakah makanan itu sudah melewati tanggal kedaluwarsa atau tidak. Yang terpenting bagi mereka berdua adalah mereka kenyang.
Buta tentang hari, jam, bahkan tahun membuat Teo merasa bodoh dan beranggapan bila dirinya tidak berguna.
"Seandainya tidak ada tabung gas ini, mungkin kita sudah mati kelaparan saat ini," singgung Teo.
Ia sedang menghangatkan sarden kalengan dengan kompor gas mini yang ia temukan di area food court.
"Kita harus mencari sumber makanan lain seperti binatang liar secepatnya," ucap Agasa. Ia mengulurkan tangannya mendekat ke arah api unggun.
"Seandainya ada, kukira mereka semua sudah punah saat ini. Bayangkan saja, berapa jumlah para zombie di dunia ini, dan berapa yang tersisa dari para binatang?" pikir Teo merasa ragu.
"Hey, coba lihat ke langit. Bintangnya begitu indah, bukan?" Ucap Agasa begitu takjub dengan cerahnya langit malam di kota mati.
"Di mana pun tempatnya, bintang akan selalu bersinar terang, dan sekarang tergantung dari dirimu untuk meluangkan waktu melihat semua itu atau tidak," ucap Teo.
"Kau bekerja sebagai apa di dunia nyata?" Tanya Agasa.
Tiba-tiba pria tua itu mengalihkan topik.
"Hanya freelancer," jawab Teo.
"Benarkah? Aku lebih percaya bila kau adalah seorang agen mata-mata," ucap Agasa.
Ia menenggak segelas air yang dirinya temukan di wastafel ruang karyawan yang berada di atas rooftop. Dan tentunya air tersebut sudah dimasak terlebih dahulu.
"Terserah kau beranggapan apa," ungkap Teo yang tidak ingin menanggapi.
"Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Tanya Agasa.
Pria tua itu menoleh ke arah pemuda yang terlihat begitu menikmati memasak sardennya.
"Bila kita hanya mencoba untuk bertahan hidup di dunia yang sepenuhnya sudah hancur karena kiamat ini, kukira kita hanya akan bertahan hidup kira-kira sebulan saja. Itu pun sudah merupakan keajaiban," pikir Agasa.
"Berpikirlah, kita tidak bisa berkomunikasi dengan dunia nyata, kita juga tidak tahu apakah ada selain dari kita yang terdampar di dunia ini atau tidak," ungkap Teo.
"Lalu cara apa yang paling efektif untuk bertahan hidup? Itu semua merupakan ketakutan terbesar bagi umat manusia di saat dirinya tersudut, bukan?" Tambah Teo.
Agasa menjelaskan siapa dirinya. Meski sedikit takut dengan anggapan dan penilaian Teo, ia harus jujur pada partner barunya itu.
"Aku adalah seseorang yang bekerja di Quark Corp. Dan aku salah satu petinggi yang bertanggung jawab atas ledakan badai energi itu." Agasa termenung. Ia merasa begitu bersalah.
"Aku tidak peduli hal itu, yang aku pedulikan adalah bagaimana kau gunakan otakmu untuk menciptakan sesuatu lagi, ciptakan sebuah kesempatan agar kita bisa pulang," jelas Teo yang begitu kesal.
"Kesempatan?" Tanya Agasa.
"Kita memiliki sumber daya yang tidak terbatas di dunia mati ini, Profesor," tegas Teo.
Agasa baru sadar akan ucapan Teo. Ia bisa menggunakan semuanya untuk apa pun.
"Kau benar, bila kita menyingkirkan rasa takut saat ini, kita memiliki akses tidak terbatas untuk membuat dan memakai apa pun di dunia ini, bahkan untuk membuat sebuah nuklir?" Pikir Agasa.
"Apa maksudmu?" Tanya Teo.
"Bila dunia ini adalah cerminan dari dunia nyata, artinya ada sumber daya selevel uranium yang di kembangkan di dunia ini. Coba pikirkan, bagaimana cara dunia ini kiamat selain karena perang dunia dan nuklir?" Pikir Agasa.
"Lalu apa maksudmu?" Tanya Leo kembali.
Teo merasa bila Agasa memiliki jalan keluar atas masalah terjebaknya mereka di dunia paralel.
"Kemungkinan besar, kita bisa membuat pintu keluar untuk pergi dari dunia ini," ucap Agasa tersenyum menatap Teo.
"Biar aku tebak, kau ingin menciptakan Arc Fusion Reactor?" Pikir Teo.
Ia langsung menebak. Maklum saja, Teo juga seorang penggila teknologi. Ia langsung berpikir ke mana arah pembicaraan dari Agasa.
"Benar, tapi dengan ukuran yang jauh lebih kecil, layaknya milik Tony Stark. Dan aku akan menamainya sebagai Arc Quantum Reactor," jelas Agasa yang begitu senang.
"Apa itu bisa dilakukan?" Tanya Teo.
Ia merasa ragu bila Arc Quantum Reactor bisa dibuat.
"Bila kita bisa mencapai laboratorium nuklir atau minimal pembangkit listrik tenaga nuklir, kita bisa melakukannya," ungkap Agasa.
"Tapi ini baru gagasan dasar, bukan? Kau masih harus merancang segalanya dari awal," pikir Teo.
"Itu benar, bila aku bisa membuat cetak biru dari Arc Quantum Reactor ini, kita bisa mewujudkan itu. Dan setelah itu, kita harus mencari negara mana yang memiliki fasilitas penunjang untuk merealisasikannya," jelas Agasa.
Teo jadi merasa yakin dengan ucapan dan semangat dari Agasa. Baru pertama kalinya ia berpartner dengan seorang yang jenius. Dan baru pertama kali ia begitu sangat bersemangat untuk bertahan hidup.
"Well, yang pertama, kita harus membuat cetak biru itu. Lalu yang kedua, kita cari informasi mengenai negara mana yang paling maju di dunia ini. Bila kita beruntung, kita bisa menemukan negara yang sudah mengembangkan nano teknologi. Dan yang ketiga, kita harus temukan cara untuk bisa pergi ke sana," pikir Teo.
"Aku menemukan beberapa kertas A3 dan A2 yang masih tersimpan rapi di kantor dekat gudang. Aku akan ke sana dahulu, jangan menggangguku!" ucapnya. Agasa pergi menuju ke kantor itu.
Namun, tiba-tiba ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Teo, "Dari mana kau mendapatkan katana itu?"
Agasa tertarik dengan katana yang berada di samping Teo.
"Aku mendapatkannya dari dunia nyata. Sebelum aku terdampar di sini, aku sebenarnya sedang berlatih kendo dan sedang melihat pedang katana milik guruku," jelas Teo.
"Jadi kau bisa kendo? Menarik. Apa lagi yang kau bisa?" tanya Agasa.
"Sedikit taekwondo, dan banyak tinjuan liar. Apa itu cukup?" Tanya Teo.
"Kau ternyata lucu juga, itu membuatmu sangat menarik, Teo," ungkap Agasa sambil tersenyum. Ia kembali jalan menuju ke kantor itu.
Teo memilih untuk memakan sarden yang sudah ia panaskan. Sambil bersandar di tepi dinding pembatas rooftop, ia menatap jauh ke depan.
Teo melihat betapa indahnya terang bulan yang menyinari kota yang begitu gelap seperti pemakaman. Teo melihat ke arah bawah, terlihat ada beberapa zombie yang terlihat sedang lalu-lalang mencari target segar.
"Tolong!"
Seorang anak berlari menghindari kejaran para zombie itu sambil memegangi lengan tangan kanannya yang terluka.
"Tolong!"
Ia terus berlari hingga menuju ke perempatan dekat gedung pusat perbelanjaan, tempat Teo dan Agasa berada.
"Tolong! Ada orang di sini?!" Teriak anak itu.
Ia tersandung kakinya sendiri dan berakhir tersungkur di atas aspal. Para zombie itu semakin mendekatinya. Detak jantung terus terpompa hingga tatapan mata anak itu seakan berkata, "Aku akan mati di sini."
Anak itu menghela napas, ia melihat pintu pusat perbelanjaan terbuka, anak itu segera berdiri kembali dan bergegas masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
Darah dari lukanya berceceran di atas aspal dan memancing penciuman para zombie itu. Hal tersebut membuat mereka semakin agresif dan mendekat.
Anak itu terus lari dan masuk lebih dalam dari pusat perbelanjaan. Ia menaiki eskalator yang telah rusak menuju ke lantai dua.
Terlihat dari belakangnya, para zombie terus mencoba untuk memasuki pintu pusat perbelanjaan yang tertutup ⅔ bagian saja. Ditambah lagi, pintu tersebut hanya muat satu orang saja.
Anak itu terus menaiki eskalator hingga menuju ke lantai tujuh. Sesampainya di lantai tujuh, ia duduk di lantai sebentar untuk menarik napas.
"Sakit! Aw!" Ucap anak itu.
DUAK!!!
Suara keras terdengar dari bagian pintu pusat perbelanjaan. Para zombie ternyata berhasil beranjak masuk dan mulai mengikuti jejak darah milik anak itu.
"Sial!" Teriak anak itu.
Ia lantas bingung. Dirinya sudah berada di lantai paling atas, namun ia tidak tahu harus pergi ke mana lagi.
"Woy! Bocah!" Teriak Teo dari koridor seberang.
"Cepat kemari!" Teriak Teo.
Anak itu menoleh ke arah asal suara. Tanpa bertele-tele, ia segera menghampiri Teo. Kawanan zombie yang menggila terlihat perlahan mulai menaiki eskalator menuju ke lantai lima.
Teo memandu anak itu untuk menuju ke rooftop. Ia menggunakan karbol yang begitu banyak untuk menghapus jejak darah dari anak itu.
Teo berusaha menghilangkan aroma darah milik anak itu untuk memutus indera penciuman para zombie.
"Terus naiki tangga itu! Nanti aku akan ke sana!" Teriak Teo.
Ia juga menjatuhkan satu panel besi dan beberapa furniture untuk membuat barikade koridor yang mengarah ke tangga rooftop. Setelah dikiranya cukup, Teo segera menyusul anak itu.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Teo yang merasa khawatir.
"Sakit sekali, Kak." Rintih anak itu sambil menahan luka di lengan kanannya.
"Kau terluka?" Tanya Teo.
Kedua mata anak itu mulai terasa buram. Pandangannya kian pendek. Tubuh anak itu mulai melemah.
"Begitulah..., Kak…." Tiba-tiba anak itu malah pingsan.
"Woy?" Teo terkejut ketika anak itu malah tidak sadarkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!