Apa yang akan kamu lakukan jika mendapati suamimu berselingkuh dengan wanita lain?
Marah?
Mengamuk?
Menangis?
Atau menghajar si pelakor?
Sudah biasa bukan? Lalu bagaimana kalau membalas si pelakor dengan turut merebut suaminya?
****
Suasana malam yang dingin, di tambah derasnya hujan dan guntur yang bersahut-sahutan. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat dua sejoli yang tengah asik memadu kasih di sebuah kamar hotel melati, dengan jendela yang mereka biarkan terbuka membuat angin dingin menerpa kulit polos mereka.
"Auh ... kau selalu luar biasa, Mas. Andai saja aku menemukanmu lebih dulu ketimbang wanita culun itu," tukas si wanita yang tengah menikmati serangan dari si pria, dari bibirnya yang berhenti keluar suara lenguhan aneh seakan apa yang sedang mereka lakukan begitu menyenangkan, dan dia menikmatinya ... tentu saja.
"Sabarlah, Jen. Setelah nanti aku bisa mendapatkan semua harta warisan istriku tentu aku akan menikahimu dan menyingkirkan suami payahmu itu." Si pria bergerak semakin liar mengejar puncaknya sendiri.
Jeni yang membelakangi si pria dan bertumpu pada dinding tampak mendongakkan kepalanya, menikmati pelepasan yang entah sudah ke berapa kalinya mereka dapati malam ini.
"Lalu kapan warisan si culun Sarah itu akan turun, Mas? Aku bosan setiap hari hanya mendengar janji manis mu saja. Sedangkan di rumah aku masih harus melayani seorang suami miskin yang bahkan untuk membeli ****** ******** sendiri pun tak mampu," rutuk Jeni sambil bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa percintaan panas mereka.
Pria itu, sebut saja namanya Bima. Mengikuti langkah Jeni ke dalam kamar mandi dan memeluknya dari belakang, menikmati kucuran air hangat dari shower di atas kepala mereka bersama.
"Mas mohon sabarlah sedikit lagi, Sayang. Hanya sebentar, dan setelah itu akan Mas pastikan kamu akan selalu di limpahi harta dan kebahagiaan. Pegang janji Mas."
Wajah Jeni yang semula tertekuk kini mulai tersenyum, dengan memutar kepalanya ke belakang dia mencuri sebuah kecupan ringan di rahang kokoh selingkuhannya itu.
"Hah, kau memang meresahkan, Sayang. Lihat, dia baru saja tertidur dan kecupan mu membangunkannya lagi. Untuk itu aku menuntut tanggung jawab kembali."
Jeni tergelak saat Bima mengangkat tubuhnya masuk ke dalam bathub, dan melanjutkan lagi kegiatan panas mereka di sana.
Tanpa mereka sadari beberapa cahaya merah kecil berkedip di beberapa titik, merekam semua kegiatan panas mereka malam ini.
****
"Lembur lagi, Mas?" sambut Sarah pada Bima yang baru saja pulang saat jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, wajahnya tampak lelah dengan baju yang sebagian besar basah entah oleh air hujan yang sejak tadi turun deras atau basah karna hal lain.
"Iya, kejar setoran supaya bisa nafkahin kamu dan kita nggak kelaparan." Bima nyelonong masuk begitu saja tanpa menghiraukan uluran tangan Sarah yang hendak mencium tangannya.
Sarah memandangi tangannya yang mengambang di udara, sebentar kemudian tampak rahangnya mengatup dengan tatapan tajam di layangkan ke arah suaminya.
Bima yang tengah sibuk membuka dasinya menoleh saat tak melihat Darah mendekat dan menyiapkan sesuatu untuknya, sedangkan perutnya kini sudah sangat lapar karna olahraga malamnya dengan sang gundik.
"Kamu ngapain pake bengong di situ? Nggak liat suami baru pulang bukannya di siapin apa kek? Aku laper tau nggak?" bentak Bima kesal.
Sarah menggeragap dan bergegas cepat menuju makan setelah meletakkan tas kerja suaminya di sofa.
"Ta- tapi ... di rumah cuma ada mie instan sama telur doang, Mas. Tadi aku telpon-telpon kamu buat nitip makanan tapi kamu nggak angkat," ujar Sarah menjelaskan dengan sesopan mungkin.
Bima yang sebelumnya sibuk memainkan ponselnya untuk berbalas pesan dengan Jeni kini mengangkat wajahnya dan memberi tatapan tajam pada Sarah.
"Apa kamu bilang? Mie instan? Sama telur? Kamu pikir aku anak esde di kasih makan itu doang terus kenyang? Lagi pula kenapa nggak belanja dari siang sih kalo tau bahan makanan habis? Apa aja kerjamu di rumah sampe harus nunggu aku pulang dulu baru bilang? Kamu tau nggak aku kelaparan sekarang?" hardik Bima sambil menggebrak meja.
Sarah terjingkat saking terkejutnya, kepalanya menunduk dalam tak berani menatap wajah Bima yang sedang di kuasai emosi.
"Ma- maaf, Mas. Hari ini aku ...."
"Halah udahlah nggak usah alasan aja kamu! Aku tau kerjamu di rumah pasti cuma malas-malasan sambil scroll sosmed kan? Jangan mentang-mentang orang tuamu kaya jadi kamu bisa seenaknya ya, Sarah! Bahkan kalau nggak ada aku sekarang mungkin sekarang perusahaan orang tua kamu itu udah bangkrut!" maki Bima memotong ucapan Sarah.
"Astaghfirullah, Mas! Aku nggak kayak gitu!" bantah Sarah membela diri.
Bima meraup wajahnya kasar. "Iya kamu nggak bisa kayak gitu karna orang tuamu itu pelit! Jangankan sama aku menantunya yang udah kerja bertahun-tahun di perusahaan mereka, sama kamu yang anaknya sendiri aja mereka perhitungan dengan cuma ngasih kita uang bulanan sepuluh juta! Mereka pikir aku kerja di sana itu suka rela? Bisa-bisanya aku cuma di gaji setara direktur biasa. Padahal aku juga kan menantu mereka!"
"Jadi sekarang, aku nggak mau tau! Kamu siapin makanan enak buat aku! Aku nggak peduli kamu mau beli atau masak atau apalah pokoknya aku mau ada makanan enak di depan aku, SEKARANG!" bentak Bima tak berperasaan, bahkan lagi-lagi meja yang tak bersalah itu menjadi sasaran gebrakannya.
Sarah gemetar, hatinya serasa di cabik-cabik mendengar bentakan demi bentakan yang di layangkan Bima padanya. Padahal dahulu Sarah bersikeras hendak menikah dengan Bima yang hanya karyawan biasa di kantor sang Papa karna kelemah lembutan Bima padanya.
" Ta- tapi, Mas. Ak- aku ... aku udah nggak pegang uang lagi, Mas. Sisa uang tempo hari kan kamu minta yang kata kamu buat modal usaha," desis Sarah lirih.
Bima menatap Sarah berang. "Jadi kamu mulai perhitungan sama aku? Aku ini suami kamu loh, Sarah. Dan aku mulai usaha itu juga supaya bisa menafkahi kamu! Masa begitu juga kamu ungkit-ungkit? Kamu nggak ikhlas bantuin aku?"
Sarah menggeleng pelan, dia tak tahu kalau sebenarnya uang yang di pinjam oleh Bima yang di katakan untuk membuka usaha baru itu sudah di habiskan oleh Jeni untuk berfoya-foya.
Karna sudah kelaparan sekali dengan berat hati Bima merogoh kantongnya dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari sana.
"Ini, kamu pergi sekarang cari makanan buat aku. Aku nggak mau tau dalam setengah jam kamu harus sudah ada lagi di sini, aku sudah lapar dan aku nggak mau nunggu lama."
Sarah menerima uang itu dan menatapnya lama.
"Tapi, Mas. Ini sudah hampir setengah empat pagi, dimana ada penjual makanan yang masih buka?"
Bima berdiri dengan kekesalan semakin kentara di wajahnya.
"Ini ada isinya kan?" Bima menunjuk kepala Sarah dengan telunjuknya. "Kamu pikir sendiri! Aku nggak mau tau, pokoknya setengah jam lagi harus sudah ada makanan di sini. Atau kamu rasakan sendiri akibatnya nanti."
Bima berjalan menjauh meninggalkan Sarah menuju kamar mereka.
Sarah yang mengamati kepergian suaminya tersenyum miring saat tubuh sang suami sudah hilang di balik pintu kamar.
"Kamu tunggu saja pembalasanku, Mas."
Dengan mengendarai motor metiknya Sarah berkeliling mencarikan makanan yang sekiranya cukup dengan standar suaminya. Beberapa kali dia sempat menjumpai penjual sarapan pagi yang sudah mulai menata dagangannya, namun dia ingat Bima bukanlah penyuka makanan dengan porsi minimalis seperti itu, selama berumah tangga Sarah tau benar kalau porsi makan suaminya kurang lebih sama seperti porsi kuli.
"Nah, itu ada tukang nasi goreng," gumam Sarah saat melihat gerobak nasi goreng yang tampak masih buka.
Sarah membelokkan motornya ke dekat gerobak itu dan tampak di sana penjualnya tengah tertidur di meja yang dia sediakan untuk pelanggan.
"Bang, maaf saya mau beli." Sarah sedikit menggoyangkan tubuh si penjual nasi goreng yang terdengar mendengkur halus itu.
Setelah beberapa kali memanggil sambil menggoyangkan tubuhnya, akhirnya si penjual bangun dengan terkaget-kaget.
"Astaghfirullah!" serunya sembari meraup muka.
"Eh, eh. Mau beli ya Neng?" tanyanya sambil tersenyum kikuk dengan mata masih memerah khas orang baru bangun tidur.
Sarah tersenyum melihat tingkah penjual nasi goreng yang absurd itu.
"Iya, Bang. Tolong buatin tiga bungkus ya, tapi jangan terlalu pedes."
Abang penjual itu lekas berdiri dengan penuh semangat. "Siap, Neng. Mangga duduk dulu, biar Abang buatkan."
Abang penjual mulai meracik nasi goreng di atas wajan penggorengan khusus, suara khasnya terdengar begitu santer di dini hari yang dingin itu. Aroma nasi goreng yang harum membuat perut Sarah yang memang belum makan sejak siang turut kerongkongan.
"Duh, laper. Semoga aja nanti Mas Bima makannya nggak kayak orang kesurupan supaya ada sisanya," gimana Sarah membayangkan bagaimana biasa Bima makan.
Tiga bungkus nasi goreng itu pun di rasa Sarah akan kurang baginya, namun bagaimana lagi? Sarah juga harus menyisihkan uang untuk membeli bahan masakan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau Bima tak lagi memberinya uang.
"Kok malem-malem begini keluar beli makan sendiri, Neng? Suaminya kemana?" celetuk si Abang penjual sembari mengaduk nasi goreng di atas wajan.
Sarah yang tengah melamun sambil memegangi perutnya tampak terkesiap.
"Ah, eh ... u- udah tidur Bang, nggak tega mau bangunin. Makanya saya pergi sendiri. Lagipula deket kok dari rumah," ujar Sarah berbohong. Padahal tempat penjual itu lumayan jauh juga dari rumahnya.
"Jadi ini buat makan Eneng sendiri? Banyak banget Neng," ucap Abang itu lagi.
Sarah yang terjebak dengan jawabannya sendiri pun tampak kebingungan, karna tidak mungkin dia bilang kalau suaminya yang memaksa dia untuk pergi.
"Abang sendiri kok jam segini masih buka?" tukas Sarah mengalihkan pembicaraan.
Abang penjual mulai menata nasi goreng yang sudah matang beserta telurnya ke dalam kertas pembungkus nasi.
"Ya ... kalau saya mah, memang dari siang jualan sepi, Neng. Makanya maksain buka sampe malem, istri saya katanya lagi butuh duit buat beli skinker. Yah, karna saya sayang istri makanya pergi pagi pulang pagi juga saya jabanin demi istri tercinta mah, Neng."
Sarah terharu mendengar ucapan bang penjual nasi goreng tersebut, kalimat yang sederhana namun begitu menyentuh dan membuat Sarah teringat akan rumah tangganya yang berbanding terbalik dengan apa yang di sampaikan penjual itu.
Seorang penjual nasi goreng saja sampai rela tidak pulang ke rumah saat larut hanya untuk bisa memenuhi permintaan istrinya akan skinker. Sedangkan Bima? Jangankan memberi uang lebih untuk skinker Sarah, untuk uang belanja saja dia sudah enggan memberi karna tau Sarah di beri uang bulanan oleh orang tuanya yang sudah uzur. Dari penghasilan perusahaan yang di kelola oleh Bima.
"Nih, Neng. Udah beres nasi gorengnya, di jamin enak dan bikin terbayang selalu sama rasanya," ucap Abang penjual dengan ramah.
Sarah tersenyum dan menerima bungkusan nasi goreng itu. "Berapa semua, Bang?"
"Murah, Neng. Tiga bungkus cuma 36 ribu aja."
Sarah tersenyum canggung dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada si Abang.
"Sebentar ya, Neng." Abang penjual itu bergegas menuju gerobaknya dan menarik laci yang sepertinya dia gunakan untuk menyimpan uang.
"Ini kembaliannya Neng, karna Eneng pembeli dengan jumlah pembelian paling banyak hari ini, jadi Abang kasih diskon seribu rupiah. Jadi kembalinya lima belas ribu rupiah ya, Neng."
Sarah mengangguk samar dan mengambil kembalian itu kemudian memasukkannya kembali ke dalam kantong celananya.
"Terima kasih ya, Bang. Kalau begitu saya permisi," pamit Sarah seraya berjalan menuju motornya.
"Siap, mangga Neng." Abang penjual mempersilahkan sambil mengayunkan tangannya.
Ctik
Sarah memutar kunci kontak motor dan mencoba menghidupkannya.
Hening
Berkali-kali Sarah menekan tombol start namun sama sekali tak ada reaksi yang diberikan motor metiknya tersebut.
Tak habis akal, Sarah turun dari motor dan mengengkolnya.
Satu kali.
Dia kali.
Tiga kali.
Sampai entah berapa puluh kali Sarah mencoba mengengkol motor tersebut sampai kakinya serasa perih dan mati rasa.
"Kenapa, Neng? Motornya mogok?" tanya si Abang penjual berlari kecil mendekati Sarah yang sudah basah oleh keringat.
Sarah mengangguk samar. "Iya, Bang. Nggak mau di hidupkan. Mana saya sudah kelamaan perginya."
Abang penjual tampak kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya sambil celingukan.
"Masih gelap begini, kayaknya nggak ada bengkel yang buka, Neng."
Sarah hampir menangis karna sudah hampir satu jam dia pergi, padahal Bima hanya memberinya waktu tak lebih dari setengah jam. Tak terbayang di pelupuk mata Sarah sekejam apa lagi hukuman yang akan di berikan Bima padanya seperti yang sudah-sudah.
Abang penjual itu tak sengaja melihat mata Sarah yang berkaca-kaca, rasa iba timbul di hatinya. Berkali-kali dia menatap Sarah dan gerobak jualannya bergantian.
"Kalau gitu pulang aja dulu, Neng. Biar motornya di titip di sini sama saya, besok baru di ambil. Katanya tadi rumah Eneng mah deket kan?"
Sarah menghapus air mata yang sempat jatuh dari pelupuk matanya. "Nggak, Bang. Saya bohong, rumah saya jauh dari sini."
Abang penjual itu terkesiap dan mengelus dada menyesali sikap Sarah yang terbilang nekat, padahal tak jauh dari gerobak penjual nasi goreng itu ada lokasi kuburan yang terbilang angker.
Namun bagi Sarah, tak ada yang lebih menakutkan ketimbang kemarahan Bima. Membuatnya sampai begitu berani dan nekat melintasi kuburan itu di dini hari yang terbilang sangat rawan. Tak hanya hantu, tapi juga begal.
"Ayo saya anter aja, Neng." Abang penjual mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah bangkit.
Merasa tak ada pilihan lain, akhirnya Sarah mengangguk menyetujui usulan si penjual.
"Ta- tapi gerobak Abang gimana? Di sini sepi loh. Takutnya ada maling," cetus Sarah yang tiba-tiba khawatir.
Abang penjual itu menuju ke arah laci penyimpanan uangnya dan mengambil beberapa lembar uang yang tampak tak begitu banyak dari sana. Mungkin saja itulah hasil dia menunggu pelanggan sampai sehari semalam. Sarah sampai tersentuh melihatnya, betapa tegasnya hati Abang penjual itu, walau hanya mendapat sedikit rejeki tapi dia tetap melayani dengan sepenuh hati.
"Udah aman, Neng. Ayo saya anter," tukas Abang penjual sambil menepuk tas pinggangnya yang sudah terisi uang yang tak seberapa dari lacinya.
Abang penjual menghidupkan motor bebek tuanya dan membantu Sarah naik di boncengan.
"Baca doa ya, Neng. Semoga kita selamat lewat kuburan itu," titah si Abang setelah motor melaju dan hampir melintasi area pekuburan.
Suara burung hantu terdengar santer begitu mereka melewati kuburan tersebut, tanpa sadar Sarah memegang erat baju si Abang karna ketakutan.
Motor terus melaju sampai mereka mulai memasuki kawasan pemukiman, cukup jauh dari lokasi kuburan tadi.
"Rumahnya yang mana, Neng?" tanya si Abang sambil celingukan melihat-lihat rumah-rumah yang di lewatinya.
"Itu Bang, yang cat pink." tunjuk Sarah pada rumahnya.
Motor berhenti tepat di depan rumah bercat pink dengan gaya minimalis milik Sarah, saat turun dan mengucapkan terima kasih Sarah dan Abang penjual itu di kejutkan oleh suara menggelegar Bima.
"Dari mana saja kamu wanita jal*ng?" bentaknya dengan ikat pinggang tergenggam erat di tangan.
"Dari mana saja kamu wanita jal*ng?" bentaknya dengan ikat pinggang tergenggam erat di tangan.
Sarah menatap penjual nasi goreng baik hati itu dengan tatapan tak enak, lalu dengan menunduk Sarah memilih buru-buru masuk dan kembali menutup pintu pagar.
"Masuk!" tegas Bima tanpa menoleh pada Sarah dan membiarkannya melintas begitu saja.
Matanya tajam mengawasi si Abang penjual dengan rahang bergemeletuk.
"Ah, emmm. Motor Mbaknya ada di gerobak nasi goreng saya, P- Pak. Tadi motornya mogok," jelas si Abang dengan gugup.
Bima sama sekali tak menjawab, hanya genggaman tangannya di ikat pinggang hitam itu tampak semakin mengetat.
Abang penjual menggaruk kepalanya yang di tutupi topi dengan kikuk. "Ka- kalau begitu ... sa- saya permisi, Pak."
Brmmm
Setelah mengatakan hal itu si Abang langsung saja ngacir dengan sepeda motor tuanya dengan kecepatan tinggi, walau kenyatannya motor itu tak bisa lagi melaju terlalu kencang.
"Wanita s*alan," geram Bima sambil beranjak masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan kasar.
Jederrr
Suara pintu yang di banting oleh Bima sampai terdengar menggetarkan kaca-kaca yang ada di jendela.
"Astaghfirullah!" Sarah yang tengah menata nasi goreng di atas piring sampai terjingkat saking kagetnya.
Bima berjalan cepat ke arah Sarah yang berada di dapur.
"Sepertinya kamu sudah mulai bod*h ya, Sarah! Bukankah aku bilang waktu kamu buat cari makanan itu cuma setengah jam? Lihat sudah jam berapa sekarang!" bentak Bima keras sambil menyabetkan ikat pinggangnya ke betis Sarah.
Ctarr
"Awww! Sakit, Mas!" lirih Sarah terisak kesakitan.
Sarah memegangi kakinya yang tampak memerah akibat sabetan kuat Bima tadi.
"Kamu nggak denger apa yang aku suruh?" marah Bima lagi.
Sarah beringsut mundur, berjaga-jaga kalau-kalau Bima kembali menyerangnya.
"Ma- maaf, Mas. Tadi Sarah keliling dulu, abisnya nggak ada warung yang masih buka. Sampai akhirnya Sarah ketemu penjual nasi goreng ini," sahut Sarah berusaha tenang saat menjelaskan, karna Bima biasanya akan semakin berang jika Sarah malah balas marah padanya.
Bima menatap nasi goreng yang masih tampak mengepul dan sudah tertata rapi di atas meja dapur. Air liurnya terbit ketika aroma nasi goreng yang sedap itu menembus penciumannya.
Prakk
Bima membanting ikat pinggangnya ke lantai dan berjalan cepat menuju piring berisi nasi goreng hangat itu.
"Kamu selamat kali ini," desis Bika sinis sambil membawa piring itu menuju meja makan.
Sarah menghembuskan nafasnya lega setelah Bima tak lagi terlihat di pandangannya.
Krucuuukkk
Perut Sarah berbunyi nyaring, dengan mata berkaca-kaca Sarah mengusap perutnya yang sedari kemarin siang belum terisi nasi sesuap pun. Ya, orang tuanya memang orang berada, namun Sarah tak pernah ingin menunjukkan kelemahan suaminya dalam menjaganya di hadapan kedua orang tuanya. Biar bagaimanapun dia bisa menikah dengan Bima juga atas permintaannya sendiri.
"Ya Allah, kuatkan hamba." air mata Sarah menetes pelan, mencoba mengusir semua gundah di dalam hatinya.
Sarah beranjak mengambil segelas air dan meminumnya hingga tandas.
"Sarah!" lagi dan lagi suara kasar Bima mendominasi Sarah, sampai dia menghentikan kegiatan minumnya sejenak walau tenggorokannya masih terasa kering.
"A- ada apa, Mas?" tanya Sarah setelah berada dekat dengan kursi dimana Bima duduk.
"Kamu nggak siapin aku minum? Kamu mau aku mati keselek nasi ini?" geram Bima kesal.
"Iya, sebentar Sarah ambil Mas." Sarah gegas kembali ke dapur dan mengambil sebotol air mineral kemasan beserta sebuah gelas menuju meja makan.
Currr
Sarah menuang air ke gelas dan dengan tak sabar Bima segera menyambar gelas itu setelah isinya hampir penuh.
"Pelan-pelan, Mas. Nanti tumpah," ucap Sarah yang setengah kaget saat Bima dengan tiba-tiba mengambil gelas yang sedang di isi dengan air.
Bima baru saja meminum seteguk air dan matanya langsung melotot ke atas dengan ekspresi entah.
Pyarrr
Bima melempar gelas yang di pegangnya sembarangan, sampai pecah berhamburan di lantai.
"Dasar wanita culun pembawa sial! Bisa-bisanya kamu kasih aku air minum dingin! Kamu lupa kalau sekarang itu hampir subuh, dan udara luar biasa dinginnya hah?" hardik Bima marah.
Sarah mundur satu langkah karna ketakutan.
"Sekarang pergi! Ambilkan aku air hangat dan cepat kembali ke sini," tegas Bima dengan mata melotot marah.
"Iya, Mas." Sarah berlalu menuju dapur guna membuat pesanan suaminya.
Bima masih saja ngedumel sendiri sambil tetap menikmati nasi goreng tiga porsi yang rasanya sangat cocok dengan lidahnya.
Sarah masuk ke dapur, menghapus sisa air mata di pipinya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.
"Kamu tunggu saja, Mas Bima suamiku, akan ada sebuah kejutan besar lagi untuk mu. Bersiaplah kamu bersama gundikmu itu untuk menikmati pembalasan ku."
****
Tok
Tok
Tok
"Assalamu'alaikum," suara ketukan pintu di susul salam dari luar rumah.
Jeni yang masih asik bergelung di dalam selimutnys segera beringsut, namun suara itu semakin kuat dan menyksanya.
"Ya, ya. Sebentar!" seru Jeni yang akhirnya memaksakan diri untuk bangun dan membuka pintu.
" Loh, masih gelap. Siapa ya?" bulu kuduk Jeni seketika merinding, namun tetap di lanjutkannya juga membuka pintu utama rumahnya yang kecil dan reot.
Driiiiitttt
bunyi engsel pintu yang sudah lama gak di minyaki.
"Loh? bang Adam? Kamu baru pulang?" tukas Jeni acuh dan membiarkan suaminya itu kesusahan membawa banyak barang di tangannya dan membawanya ke dapur.
Jeni duduk di kursi ruang tamu dengan tangan tak berhenti memainkan ponsel, seperti biasa berkirim pesan layaknya orang kasmaran dengan Bima.
"Mana?" celetuk Jeni saat melihat Adam yang baru kembali dari dapur sudah di todong di depan ceritanya."
Adam mendesah, ini bukan pertama kalinya istrinya bersikap tak baik dan ketus padanya sejak beberapa bulan terakhir.
"Sehari semalam jualan, harusnya dapat banyak dong ya," sindir Jeni saat tak melihat sama sekali uang yang di hasilkan suaminya dari berjualan.
"Cuma ini yang bisa Abang kasih, Jen. Tolong kamu atur dulu ya."
Adam mengulurkan beberapa lembar pecahan uang dua ribuan, sepulub ribu dan banyak lagi.
"Apa, Bang? Cuma segini kamu bilang?" Jeni meremas kuat uang-uang itu dan membuangnya ke lantai dengan wajah kesal.
"Lalu apa yang kamu lakuin seharian sampe pulang subuh begini bang?" desak Jeni yang sudah sangat jengkel Hatinya itu.
Adam melangkahkan kaki dan berjalan menuju sebuah kursi dan duduk di sana.
"Abang cuma jagain gerobak nasi goreng aja," ungkapnya pada sang istri.
Jeni cepat-cepat menutup pintu rumahnya dan mendekati Adam.
"Jangan bohong, Bang! Mana mungkin di era modern ini masih percaya tahayul? Kamu kasih ke siapa lebih uangnya, Bang? Nggak mungkin dari pagi sampai ke pagi lagi kamu cuma dapet segini doang?" ketus Jeni sambil menginjak-injak uang kecil yang tampa sudah lusuh itu.
Adam menghembuskan nafasnya pelan. "Abang sumpah, Jen. Beneran cuma itu, dagang sekarang sepi. Orang-orang sudah pada mulai mengirit pengeluaran mereka."
"Halah basi tau nggak, Bang! Alasan aja kamu tuh. Sekarang aku nggak mau tau, kamu harus bisa beli skinker yang aku mau itu. Terserah uangnya kamu dapet dari mana, asal semua keinginan ku terpenuhi," rutuk Jeni jengkel.
Mata Adam membelalak lebar saat mendengar ucapan tak berperasaan Jeni.
"Ta- tapi Jen, Abang sudah nggak punya uang lagi. Gimana kalau kamu pakai dulu uang kamu yang ada di bawah bantal itu, keliatannya banyak karna sampai tumpukan gitu Abang liat."
"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!