Hari yang sangat melelahkan bagi karyawan restoran ternama bertepatan di alun-alun kota. Suasana begitu ramai sampai-sampai pengunjung tiada hentinya memenuhi area tersebut.
"Hari ini rame banget ya," ucap Kartika, wanita muda berambut kuncir kuda. Ia mengeluh dengan kakinya yang terasa pegal akibat melayani pelanggan yang begitu ramai.
"Ya syukurlah rame, siapa tau kita dapet tip dari bos," balas Laura. Dia satu-satunya yang menggunakan hijab di antara teman-teman wanitanya. Senyumnya mengembang melihat begitu ramai pengunjung hari ini.
Walau kakinya tidak bisa ia pungkiri terasa ingin minta diistirahatkan sebentar, namun semua tidak bisa ia lakukan, sebab masih banyak pengunjung yang belum mendapatkan pesanan mereka. Ia sendiri sedang menunggu temannya menyiapkan pesanan pelanggan.
"Bisa jadi perkataan lo bener. Kayak tempo hari waktu mall ini ngadain festival, kita dapet tip lumayan tuh dari pak Bos," balas Kartika dengan semangat.
Lelahnya akan terbayar, walau itu terkadang masih dalam dugaan mereka, siapa tahu beneran kan.
Laura dan Kartika tertawa ringan. "Ayo semangat!" seru Laura sambil mengangkat tangannya ke udara.
Kartika juga mengangkat tangannya mengikuti Laura. Satu sama lain saling memberi semangat agar bisa menyelesaikan pekerjaan mereka dengan mudah tanpa beban.
Namun, tiba-tiba Kartika melihat sosok pria tampan yang baru saja memasuki restoran. Ia langsung berhenti Dan menatap pria itu dengan mata yang membelalak. "Gue rasa, dia tuh beneran kayak prince charming yang datang dari cerita dongeng deh." ucap Kartika dengan mata berbinar-binar.
Laura yang mendengar percakapan itu, hanya melirik sekilas dan balik lagi fokus ke pekerjaannya. "Hmm, iya kali. Tapi buat gue, dia cuma orang biasa aja."
Kartika menggigil kegirangan. "Gila! Lo liat gak sih? Dia pake jas yang pas banget, keliatan banget dia kayak superhero yang lagi nyamar jadi orang biasa. Mungkin dia sebenarnya seorang pangeran dari kerajaan yang jauh banget, yang datang ke sini cuma buat menyelamatkan kita dari rasa capek!"
Laura mengangkat alis. "Wah, hebat juga lo ya. Punya imajinasi seluas itu."
Kartika menahan napas. "Tapi lo nggak ngerti, di senyumnya itu, senyuman yang bisa bikin seluruh restoran ini tiba-tiba jadi dingin, terus semuanya jadi lebih terang. Gue rasa kalau gue senyum balik, gue bisa dapet jackpot!"
Laura hanya mengangguk pelan. "Mungkin dia cuma punya hobi senyum aja. Lo jangan kebawa perasaan."
Kartika langsung melompat sedikit. "Tapi lo bayangin deh! Kalau dia senyum ke gue, tiba-tiba restoran ini bakal berubah jadi taman bunga, terus semuanya jadi wangi! Atau mungkin, kalo gue ngomong sama dia, tiba-tiba dia bisa nyariin gue semua makanan yang gue pengen tanpa gue harus ngomong!"
Laura tertawa ringan. "Ya kali, dia jadi semacam mesin pembuat makanan instan."
Kartika tidak bisa berhenti tersenyum. "Iya! Tapi lo nggak ngerti, dia itu kayak tipe cowok yang bisa bikin apapun yang lo inginkan jadi kenyataan, kayak lampu ajaib gitu. Lo cuma usap dia, dan boom! Makanan langsung ada di depan mata!"
Laura cuma mengangkat bahu. "Ya kalau dia bisa bikin makanan muncul cuma dari senyum, kenapa gak dia langsung bikin semua restoran ini jadi kosong, biar kita bisa pulang cepet?"
Kartika melongo, "Eh, iya juga! Kalau gitu, gue bisa minta dia teleportasi gue langsung ke tempat tidur, dan tidur sampe besok siang."
Laura mengangguk dengan serius. "Nah, itu baru masuk akal. Panggil aja dia, suruh dia buat cepetin waktu buat kita."
Kartika masih tersenyum-senyum, matanya terpaku pada pria tampan yang lagi duduk. "Gue rasa, kalau dia senyum lagi, semua karyawan di sini bakal berubah jadi malaikat. Semuanya bakal jadi sempurna."
Laura memutar bola mata. "Lo kebanyakan nonton film deh."
"Tapi, beneran, dia tuh kayak... kayak... dewa yang turun ke bumi buat ngajarin kita cara hidup bahagia!" ucap Kartika dengan semangat.
Laura menggeleng pelan. "Yaudah, kalau lo pengen nungguin dia jadi dewa, gue sih siap-siap aja."
Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang dari arah belakang restoran, mencari pegawai yang bisa membantunya. Pandangannya langsung tertuju ke Laura. "Ra sini," panggilnya sambil mengayunkan tangan kanannya.
Laura yang mendengar namanya dipanggil, langsung melihat ke arah Bram, pemilik restoran, yang berdiri tak jauh darinya. "Iya, Pak!" Laura langsung menghampiri. "Ada apa, Pak?" tanyanya, alisnya sedikit berkerut, penasaran apa yang membuat bosnya memanggilnya.
Bram mengeluarkan secarik kertas putih dan memberikannya kepada Laura. "Ini, kamu beli semua yang tertulis di sini, di tempat biasa. Saya nggak sempat banyak kerjaan di dapur. Belilah yang cepat. Barang ini lagi dibutuhkan. Uangnya ini."
Pria bertubuh gempal itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku pakaiannya dengan tergesa-gesa, lalu memberikannya pada Laura dan meninggalkan gadis itu begitu saja.
Laura mengangguk pelan. "Iya, Pak!" Ia segera berlari keluar restoran. Hati dan pikirannya hanya terfokus pada pembelian barang tersebut dengan cepat, agar pelanggan puas dengan pelayanan mereka dan agar bosnya tidak marah. Memang sudah biasa, jika sedang sibuk begini, semua pasti kena ocehan dari Bram.
Laura melihat seorang pria tampan berjas rapi dengan beberapa orang berjas lainnya masuk ke dalam mall. Kakinya sulit dikendalikan, terlebih lagi di lantai tersebut terdapat tumpahan saus.
Kakinya meluncur begitu saja hingga terlihat pria yang sibuk melirik area sekitar, tanpa menyadari Laura yang meluncur cepat ke arah pria itu, terus berjalan tanpa melihat. Sampai akhirnya,
Brak!
Mereka berdua sama-sama terhempas ke lantai.
"Ah... Sakitnya!" Laura merintih kesakitan. Tubuhnya terasa seperti remuk tak berbentuk.
Penglihatan yang berbayang di mata Laura, kepalanya merasa pusing tujuh keliling. 'Apa yang terjadi dengan gue? Ayo kuat, Laura.' Ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit itu.
Tiba-tiba suara bisik-bisik terdengar, serupa dengan ribuan lebah yang siap menyerang. Gadis itu perlahan sadar, ia melihat banyak orang berkerumun di sekeliling mereka, membicarakan kejadian ini. Bola matanya mengitari semuanya, lalu berhenti sejenak menatap pria tampan di depannya.
Pria itu juga menatap Laura dengan ekspresi datar dan dingin. Seolah-olah badai besar sedang mengancam dan siap menghancurkan pohon yang kuat.
Tubuh Laura merinding seketika. Ia pun bergerak perlahan untuk meminta maaf atas kelakuannya. Meskipun tubuhnya masih terasa sangat sakit, ia dengan pelan bangkit dan sedikit membungkukkan tubuh. "Ma-maafkan saya, Pak! Sa-saya nggak sengaja!" Perasaan salah begitu menyelubungi dirinya. Ia sadar kalau ia yang salah dalam hal ini.
Laura merasa sangat ketakutan, tubuhnya bergetar hebat. Apa yang akan terjadi padanya setelah ini? Ia merasa seperti telah membuat kesalahan besar, padahal semuanya tidak disengaja.
Begitulah, terlalu semangat memikirkan pekerjaan, sampai-sampai ia lupa tentang kondisinya sendiri. Mengingat kondisi mall yang sangat ramai, ia terburu-buru dan malah mencari masalah.
Gadis itu tidak menyangka, tubuhnya semakin sakit. Kepalanya terasa semakin berat, bahkan penglihatannya mulai berputar lagi. Penglihatannya perlahan semakin gelap.
......................
Garis mata dengan bulu mata lentik yang sedari tadi tenang, kini bergerak perlahan. Gadis itu terbangun, namun matanya masih enggan terbuka. Tangannya diangkat untuk memegang kepala yang mulai terasa sakit kembali.
"Sakit banget kepala gue. Kenapa bisa begini, ya?" lirihnya pelan, menahan rasa sakit yang tak kunjung hilang.
Perlahan ia membuka mata dengan sesekali berkedip. Sinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela sebelah kiri begitu menyilaukan.
Laura menatap ke sana kemari, kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Ia akhirnya duduk perlahan. Matanya melirik ranjang yang lembut dan elastis, seprai berwarna coklat tua yang menyelimuti tubuhnya.
Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang terasa cukup megah baginya. Pandangan Laura terhenti saat melihat seorang pria duduk di sebelah kanannya. Bola matanya melebar, napasnya terhenti sejenak.
Gadis itu terperanjat melihat pria tampan yang mengenakan jas rapi, celana biru dongker, dan kemeja putih.
Di samping itu, pria tersebut tersenyum tipis, tangannya disilangkan di dada.
Pria itu duduk dengan santai di kursi sofa berwarna abu tua, matanya menatap Laura. Sementara, wajah gadis itu terdiam, mematung, seolah tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.
Flashback...
Renggra Wijaya adalah nama yang menggetarkan dunia bisnis di Jakarta. Dengan wajah tampan, pembawaan tenang, dan kecerdasan yang melampaui usianya, ia telah berhasil membangun kerajaan bisnis yang mencakup properti, teknologi, dan kuliner.
Tidak hanya dikenal sebagai pengusaha sukses, ia juga seorang filantropis yang kerap membantu mereka yang membutuhkan tanpa banyak publikasi.
Sosoknya yang rendah hati, meski dikelilingi kemewahan, membuatnya dikagumi dan sulit dijangkau oleh banyak orang.
Hari itu, Renggra sedang melakukan kunjungan ke salah satu mall terbesar di Jakarta. Mall yang kebetulan berada di bawah naungan bisnisnya. Kehadirannya membuat suasana mall berubah.
Para staf dengan tergesa-gesa menyambutnya, tak ingin terlihat ceroboh di depan sang pemilik. Langkah Renggra penuh keyakinan, pandangannya menyapu setiap sudut dengan ketelitian yang khas.
Ia tidak hanya seorang pemimpin yang mengandalkan bawahan, tetapi juga pria yang memantau langsung setiap detail dari bisnisnya.
Perlahan Renggra berjalan sembari mengamati suasana mall dengan teliti. Posturnya tegap, auranya dingin namun memancarkan kewibawaan yang sulit diabaikan.
Di balik kesuksesan dan penampilannya yang sempurna, ada satu hal yang selalu ia jaga jarak dari wanita. Ia tidak pernah bersentuhan dengan wanita, kecuali dengan dua orang. Ibu angkatnya yang ia hormati dan adiknya yang ia sayangi.
Namun, kesibukan mall hari itu mempertemukan Renggra dengan sebuah insiden yang di luar kebiasaannya. Seorang wanita berhijab, mengenakan pakaian kerja, datang dari arah berlawanan dan tanpa sengaja menabraknya.
Gadis itu terhuyung ke belakang, nyaris terjatuh. Tubuhnya sedikit membungkuk, tampak gugup dan canggung. Bibirnya bergerak mengucapkan permintaan maaf, wajahnya merah padam karena malu.
Namun, Renggra hanya diam. Tatapannya tetap datar, tanpa menunjukkan sedikit pun emosi. Seolah-olah tabrakan tadi hanyalah angin lalu.
Namun, beberapa detik kemudian, gadis itu terlihat kehilangan keseimbangan. Tubuhnya limbung, hampir seperti ingin pingsan.
Mata Renggra sempat menyipit, seolah menimbang apa yang harus ia lakukan. Tapi, sebelum pikirannya sempat mempertimbangkan lebih jauh, tubuhnya bergerak lebih cepat daripada logikanya. Dengan tangannya yang kokoh, ia menangkap gadis itu sebelum tubuhnya benar-benar terjatuh ke lantai.
Seketika suasana di sekitar menjadi hening. Semua orang yang melihat kejadian itu terperanjat. Renggra Wijaya, pria yang dikenal dingin dan tidak pernah bersentuhan dengan wanita, kini memegang seorang wanita di hadapan umum.
Wajahnya tetap tenang, tapi ada kilatan tak nyaman di matanya.
Di sisi lain, Angga, asisten sekaligus sahabat dekatnya, berdiri membeku. Pria itu ternganga, matanya membulat seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Angga tahu betul prinsip Renggra. Sejak kecil, sahabatnya itu punya pandangan yang keras terhadap wanita. Sesuatu yang tumbuh akibat masa lalunya yang penuh luka.
Sebagai asisten pribadi, Angga selalu memastikan jarak Renggra dari interaksi fisik dengan wanita. Bahkan dalam situasi formal seperti acara bisnis atau pertemuan besar, Renggra selalu menjaga prinsipnya untuk tidak menyentuh tangan wanita sekalipun untuk berjabat tangan. Tapi hari ini, di depan mata kepala Angga, sahabatnya melanggar prinsipnya sendiri.
'Gue nggak salah lihat kan? Renggra… nyentuh cewek? Ini nggak masuk akal!' Jantung Angga berdegup kencang.
Angga buru-buru melangkah mendekat. "Sini gue aja yang membawanya pergi," ucap Angga yang tidak mau wanita yang dipegang Renggra mengalami hal yang lebih mengerikan seperti wanita yang pernah tidak sengaja menyentuh Renggra.
Hanya menyentuh saja bisa kehilangan arah, apalagi sampai Renggra yang pegang, berarti dunia Wanita itu akan segera kiamat.
Angga dengan cepat mengulurkan tangannya, siap mengambil alih tubuh Laura dari genggaman sahabatnya.
Namun, sebelum tangannya mencapai gadis itu, Renggra dengan cepat menepis tangan Angga. Gerakannya tegas, membuat suara tepukan kecil terdengar jelas di tengah suasana mall yang mulai lengang.
"Jangan lo sentuh wanita ini!" ucap Renggra dengan nada dingin bercampur sinis. Matanya menyipit, seolah memperingatkan Angga untuk tidak mencoba hal yang sama lagi.
Angga terdiam, seolah kena pukulan tak terlihat. Sepanjang hidupnya sebagai sahabat sekaligus asisten Renggra, belum pernah sekalipun pria itu bertindak seperti ini terhadapnya.
Tubuhnya membeku, sementara pikirannya mulai berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menyesakkan.
'Apa-apaan ini? Renggra... dia serius banget soal cewek ini? Apa gue kelewatan sesuatu?' Angga melirik gadis di tangan sahabatnya itu. Matanya membulat sedikit, campuran antara bingung dan takut.
Renggra tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Dengan satu gerakan mantap, ia mengangkat tubuh Laura dengan gaya bridal style, lalu berjalan santai menuju pintu keluar mall. Langkahnya mantap, penuh wibawa, seolah tidak ada yang berani menghalangi.
Angga masih berdiri mematung di tempat. Pandangannya terpaku pada punggung Renggra yang semakin menjauh. 'Astaga, apa gue mimpi? Dia nyentuh cewek, terus... dia gendong gitu? Gue nggak salah lihat kan?'
Namun, detik berikutnya, pikirannya beralih. 'Tapi... kalau ini soal bawa cewek ke tempat lain buat urusan penting, apa nggak sebaiknya gue ikut? Ya ampun, gimana kalau ini salah paham besar?'
Angga menelan ludah. Cepat-cepat ia mengejar Renggra, langkahnya terburu-buru seperti hendak menghentikan sesuatu yang buruk.
Security mall yang melihat Renggra membawa seorang wanita dengan santai juga ikut terperanjat. Beberapa pengunjung yang masih berada di sana mulai berbisik-bisik, sebagian memandang dengan iri, sementara yang lain menyimpan spekulasi liar.
Renggra tiba di mobilnya yang sudah menunggu. Tanpa ragu, ia membuka pintu belakang dan menempatkan Laura di pangkuannya.
Tubuh gadis itu yang kecil terlihat nyaman bersandar di dada bidangnya, sementara tangan Renggra tetap kokoh menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
Angga segera masuk ke mobil dan duduk di samping sopir, mencoba membaca situasi. Ia melirik melalui spion ke arah sahabatnya yang duduk diam dengan pandangan terpaku pada wajah Laura. Ada ketenangan di raut wajah Renggra, tetapi juga ketegangan yang tidak biasa.
"Ga," suara Renggra memecah keheningan, nada suaranya rendah namun penuh otoritas. "Batalkan semua rapat hari ini. Gue ada urusan. Lo langsung aja ke perusahaan. Kalau ada kerjaan yang harus gue lihat, kirim lewat email."
Angga menelan ludah. "I-iya, Reng."
Namun, ia tidak bisa menahan diri lebih lama. Dengan hati-hati, Angga mencoba mencari celah, suaranya sedikit ragu. "Tapi, Reng... lo yakin nggak ada yang salah dengan ini? Maksud gue... lo tau kan gimana gosip bakal nyebar?"
Renggra menoleh, sorot matanya tajam seperti belati. "Lo cuma perlu nurut. Gue nggak butuh opini lo sekarang."
Angga langsung terdiam, mulutnya terkunci rapat. Namun, di dalam hatinya, berbagai spekulasi terus bermunculan. Ada sesuatu yang berbeda dengan Renggra hari ini, dan Angga tidak yakin apakah itu pertanda baik atau buruk.
Mobil melaju perlahan meninggalkan keramaian mall, menyisakan rasa penasaran di antara semua orang yang melihat kejadian tersebut. Sementara itu, Renggra tetap diam, menatap gadis di dekapannya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Rahang tegas, wajah putih mulus, alis tebal, bulu mata lentik, rambut hitam pekat dengan potongan bagian samping pendek tipis, berponi bela tengah menyamping satu sisi, hidung mancung simetris, bibir ya, tipis berwarna merah jambu. Kata sempurna saja tak bisa menandingi keelokan pria di sampingnya itu.
Laura tak berhenti memandangi pria di sampingnya yang tersenyum tipis menjadi mendatar. Ia pun mengedipkan kelopak matanya sadar, bahwa seorang wanita tidak boleh memandangi pria yang bukan mahramnya. "A-anda siapa ya?" Laura tidak mau hanya diam saja, mereka berdua arungi.
Kembali garis bibir pria itu meninggi sebelah. "Tentu Kau berada di kamarku. Kau nggak sadarkan diri tadi," balas Renggra.
Ia sempat cemas dengan keadaan gadis yang pingsan secara tiba-tiba saat menabraknya. Semua itu gara-gara takutkah, atau memang kondisinya kurang baik?
Renggra tadinya akan memanggil dokter keluarga jika wanita di hadapannya belum juga pulih dalam jangka waktu setengah jam. Ternyata saat dia ingin mencoba menelpon Angga, gadisnya sadar dengan menggerakkan tangan untuk memegang kepalanya.
Syukurlah jika itu pertanda gadisnya syok saja. Pria itu akan memanggil dokter untuk mengecek kesehatan gadisnya jika masih merasakan sakit.
"Apakah Kau mengingat siapa aku?" Renggra ingin memastikan bahwa Laura mengingatnya.
Kedua alis gadis itu mendalam, kembali ia menatap dalam pria di hadapannya itu. Bola matanya memindai untuk mencari jawaban.
Bayangan terlintas dengan kejadian tadi. Di restoran tempatnya bekerja sedang banyak orang yang membeli, sehingga ada barang yang habis.
Bosnya menyuruh membeli barang di luar mall. Berlari dengan cepat, sampai menabrak seorang. Wajahnya sama dengan pria yang berada di sampingnya. Kembali Laura terperanjat. 'Gawat!' debaran jantungnya memacu kian cepat.
Ia pun bergerak turun dari atas tempat tidur dan berdiri tegap. "Maaf Pak! Ta-tadi saya menabrak anda?" saat ini gadis itu ketakutan. Ia sepertinya dalam masalah besar. Tapi anehnya ia berada dimana saat ini?
Apakah ia telah di tolong pria di hadapannya itu dengan dalil untuk meminta pertanggung jawaban atas kesalahan yang ia perbuat? Namun tampaknya pria di hadapannya baik-baik saja. Apa sebenarnya pria itu juga terluka makanya ia duduk saja di kursi?
Laura meneguk salivanya begitu susah dalam masalahnya ini. Debaran jantungnya saja begitu tak beraturan memompa.
Kerutan alis Renggra menjadi naik sebelah. Apa sebenarnya yang di pikirkan gadisnya? Tampak sekali terlihat mati ketakutan. Walau begitu Laura terlihat menggemaskan. Renggra menjadi kikuk sendiri. "It doesn't matter! Ada syaratnya!"
Gerakan jari jemari Laura begitu lincah meremas kedua tangannya. Apakah ia ternyata dalam masalah? Tampaknya pria di hadapannya tidak mudah untuk melepaskannya. "Baru kali ini meminta maaf harus ada syaratnya, Pak," protesnya. Bukan tak geli Renggra mendengar gadisnya tanpa takut mengeluarkan apa yang ia pikirkan.
"Tapi nggak apa-apa sih, jika itu bisa membuat Anda memaafkan saya secara ikhlas." Laura ingin juga secepatnya enyah dari pria di hadapannya itu. Ia bisa kembali pada pekerjaannya yang belum selesai. "Apa syaratnya, Pak?" walau ia takut tak sesuai harapannya. Asal jangan berurusan dengan uang. Gadis itu tak memiliki banyak uang untuk menebus kesalahannya. Soal tenaga masih bisa ia sanggupi.
Lagi-lagi garis bibir pria tampan itu meninggi. Semudah itukah mengajak gadisnya berkompromi? Renggra ingin mengetahui jawaban yang tentu wanita di hadapannya itu akan menolak. "Kau akan segera menikah denganku. Jarak waktunya satu minggu ke depan. Kau juga akan tau pelan-pelan siapa aku?"
Bola mata Laura kembali mendelik. Ia tidak ingin mempercayai ucapan yang di lontarkan pria di hadapannya itu. Menikah? Ia belum siap! Masih banyak tanggungan hidupnya.
Laura mengigit bibirnya untuk mencari alasan yang tepat untuk menolak ajakan pria di hadapannya itu. Ia juga masih sangat muda, di tambah ia tidak mau misalnya di jadikan istri simpanan pria di hadapannya itu. Lampu terang tampaknya menghidupkan kepalanya yang tadinya gelap gulita, buta akan sebuah alasan.
"Masalahnya saya sudah menikah Pak!" bohongnya. "Apa Bapak nggak malu menyuruh wanita yang sudah menikah, lalu menikah lagi dengan Anda?" semoga kebohongan yang di buatnya memberi jalan keluar dari syarat yang terbilang aneh itu.
Walau sebenarnya Laura tertarik pada pria yang terbilang tampan. Siapa sih yang tidak menyukai raut wajah pria di hadapannya. Mempunyai istri banyak tampaknya tidak akan cukup juga untuk memuaskan hasrat si pria. Laura sudah hilang rasa duluan terhadap Renggra.
Kali ini bukan garis bibir saja yang meninggi, bahkan tawa kecil itu di keluarkan oleh Renggra. "Apa aku nggak salah dengar ya? Setahuku, kau itu bernama Laura Anindia, usiamu 23 tahun. Tinggi sekitar ya 155 centimeter. Kau berstatus masih single, masih berkerja di mall baru sekitar satu tahun." santai Renggra mengukur kekurangan dan kebohongan yang gadisnya buat.
Penolakan itu telah terbukti dari wanita di hadapannya itu. Pendirian yang sampai saat ini masih tetap kokoh. Beribu alasan pasti banyak sekali dalam benak pikiran gadis di hadapannya itu. Renggra bukan tak tahu siapa Laura.
Laura menelan salivanya yang kelat, sembari meremas-remas sisi pakaiannya. Ternyata pria ini tahu dengan identitasnya. Namun ia tidak akan tinggal diam. Ini menyangkut masa depannya. Semua jalan hidupnya ialah yang menentukan.
"Bapak nggak boleh melakukan tindakan ini tanpa meminta pendapat dari saya dulu. Masalah saya hanyalah sedikit menabrak Anda tanpa sengaja. Bapak juga dilihat baik-baik aja. Enggak semudah itu saya harus menyerahkan diri saya dan menikah dengan Anda. Kita juga nggak saling mengenal," tolak Laura tegas.
Bukan Renggra tak memiliki banyak alasan untuk mengambil yang sudah menjadi miliknya. "Sudah bicaranya? Mari perkenalkan identitas saya. Nama saya Renggra Wijaya, Kau pasti kenal bukan?" Renggra ingin tahu, apakah gadisnya akan mengingat sesuatu.
Laura tersentak. Bukannya namanya Renggra Wijaya itu adalah pria tampan berhati iblis itu. Apalagi desas-desus tentang pria yang menyukai sesama jenis itu. Detak jantung Laura semakin berdegup kencang. Kisah pria itu saja sudah tersebar bahwa menyingkirkan wanita yang menyentuhnya.
Seharusnya ia di singkirkan dong, bukan di nikahi. Oh atau jangan-jangan semua kabar itu hanya angin belaka. Nyatanya wanita itu di nikahnya. Sudah berapa banyak wanita yang menjadi istrinya? Laura membuang napas kasar. Ia tak mau dijadikan permainan pria di hadapannya itu.
Namun apa yang harus ia lakukan? Laura berperang dalam pikirannya mencari jalan keluar dari masalahnya.
Renggra semakin penasaran dengan apa yang dipikirkan gadisnya itu. Dari pada menunggu penolakan yang berujung tak berkesudahan pembicaraan mereka, ia pun mencoba permainan yang seru untuk menjahili Laura.
Renggra berdiri mendekati Laura dengan wajah sinisnya. Sedangkan Laura mendengar suara langkah kaki Renggra menuju padanya, ia langsung tersadar dan melihat Renggra dengan perasaan cemas, sulitnya menelan saliva. Ia saja sampai mundur dan terduduk di tempat tidur.
Kedua tangan Renggra memegang kedua sisi tempat tidur untuk mengunci pergerakan Laura yang tampak sekali kedua mata gadisnya memindai, pertanda rasa ketakutan itu terlibatkan.
Bagaimana tidak begitu, wajah mereka berdua sangat dekat, jantung Laura rasanya ingin melompat keluar area. Seumur-umur ia tidak pernah sedekat ini dengan pria manapun. Ia sangat takut jika Renggra berbuat sesuatu terhadapnya.
"Berpikirlah! Jangan coba untuk menolakku! Ini adalah hukumanmu! Siapa suruh kau menabrakku tadi? Kau juga taukan, aku nggak suka dengan wanita? Sedikit aja dia menyentuhku," Renggra menyeringai. "Akan berurusan dengan pihak tertentu."
Bola mata Laura semakin memindai dengan detak jantungnya tak beraturan, bukan ia tidak ingin mempercayai. Tapi berita itu memanglah begitu. Akan tetapi Laura tegap dalam pendirian. Pasti pria di hadapannya itu menikahi semua wanita yang menyentuhnya.
Emang masih ada yang percaya bahwa pria ini tidak menyukai wanita mana pun? Apalagi kalau sudah di suguhkan dengan penampilan yang seksi. Kucing saja tidak menolak di berikan ikan asin. Apalagi pria di hadapannya ini. Mustahil Laura mempercayai semua itu.
"Tapi untukmu, aku beri keringanan. Jika Kau masih menolak, maka habislah keluargamu sampai ke akar-akarnya. Ingat juga yang satu ini, masa depanmu akan hancur!" Renggra menjauhi gadisnya dengan kembali berdiri. "Pikirkan dengan benar, mana yang cocok untukmu." senyuman sinis itu ia sematkan agar gadisnya berpikir panjang.
Laura masih pada modenya. Lidahnya sangat susah untuk mengeluarkan sebuah kata-kata. Tubuhnya saja sangat bergetar melihat kedua mata Renggra yang terlihat ingin menelannya hidup-hidup.
"Aku keluar dulu. Nanti ada yang mengurusmu. Tenang-tenanglah di kamarku. Jangan membuat ulah," ucap Renggra dengan tatapan mengancam. Ia pun segera berlalu meninggalkan gadisnya di kamar untuk berpikir sejenak.
Laura baru bisa bernapas lega dengan menundukkan kepala. Buliran cairan yang mendesaknya untuk segera di keluarkan, begitu saja lolos dari tempatnya.
Ia tak habis pikir, mengapa harus dirinya yang menikah dengan pria itu? Apalagi melaksanakan pernikahan dalam jangka waktu yang singkat. Gadis itu tidak tahu harus apa. Pikirannya melayang kemana-mana, rasa gelisah, cemas, dan takut menjadi satu. Ia tidak mau di jadikan sebagai istri simpanan atau permainan pria hidung belang. Isak tangis akhirnya pecah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!