..."Yang sebenarnya gila Fitasha atau Ana? Fitasha yang terlalu egois, atau Ana yang terlalu naif?"...
...-...
"Permisi, kemana arahnya Nositisen?"
Detektif Radislav Lenkov bertanya kepada seorang kakek yang sedang memberi makan kucing sekitar. Radislav merasa salah membaca peta, itu yang menyebabkan Fitasha Lenkov, istrinya merasa kesal.
"Sayang, seharusnya aku yang membaca peta! Aku sudah berkali-kali bilang padamu bahwa aku adalah pembaca yang andal!" Ujar Fitasha merengut.
Kakek tersebut memberitahu Radislav bahwa kota Nositisen hanya perlu berbelok kearah kiri setelah menempuh jarak 5 kilometer lagi.
"Baiklah, aku akan menebus kesalahanku. Kita akan makan di restoran terdekat di sekitar sini, oke?" Radislav merunduk, ia mensejajarkan tingginya dengan tubuh Istrinya yang sedang duduk di dalam mobil, berusaha menyakinkan bahwa dia jujur.
"Oke."
Kakek tersebut tersenyum. "Sebelum pergi ke Nositisen, saya akan memberikan seekor Ikan keberuntungan milik saya."
Kakek yang diketahui bernama Peter itu masuk ke dalam rumahnya. Selang waktu yang dekat, dia membawa seekor Ikan yang berada di dalam plastik.
Anastasia Lenkov,.anak dari Radislav yang hampir tertidur langsung membuka matanya. Dia ternganga melihat Ikan yang dibawa Peter.
"Ikan!" Pekiknya girang sambil menjulurkan tangan, menandakan bahwa dia ingin memeluk bungkus Ikan tersebut sampai ke tujuan.
"Baiklah, terimakasih banyak." Radislav mengangkat topinya sebagai bentuk hormat. Keluarga mereka sangat menghargai pemberian.
Mobil mereka pun kembali melaju menuju kota Nositisen. Namun, saat melintasi sebuah restoran, Radislav memberhentikan mobilnya di sana. Ia ingin mengajak keluarganya mengisi tenaga terlebih dahulu setelah tiga jam perjalanan.
Restoran tersebut tampak sepi. Mereka memutuskan untuk duduk di meja paling pojok. Ana masih setia membawa Ikan tersebut dan kucing keluarga bersamanya, memastikan bahwa Ikan dan kucing itu tersebut tidak mati kepanasan di dalam mobil.
Ana yang berusia 14 tahun tersebut duduk bersama Adiknya, Iriana Lenkov yang berada di sebelahnya. Mereka memesan Ikan bakar, sementara Fitasha hanya memesan Jus Limau karena dia sedang tidak berselera makan.
Sembari menguyah, Ana memperhatikan bagaimana seorang pelayan memeras jeruk nipis di atas makanan mereka. Ana mengernyit heran, bukankah itu hanya akan membuat ikannya menjadi asam?
"Permisi, tuan, kenapa makanan kami diberikan sedikit perasan jeruk, ya?" Ana mengangkat tangannya, mata tajamnya menatap intens sang pelayan yang berhenti melakukan aksinya.
Pelayan tersebut tersenyum dengan makna yang tidak terbaca. "Baiklah, kau akan segera mengerti."
Dia berbalik dan pergi menjauhi meja keluarga Lenkov. Ayahnya, Radislav memberitahunya bahwa jeruk nipis dapat menyembunyikan bau anyir yang terdapat pada bangkai. Ana langsung mengeluarkan buku catatannya dan menuliskan perkataan Radislav barusan.
Dia hanya gadis yang polos dan naif, percayalah.
"Seharusnya kau tidak bertanya soal itu. Pelayannya jadi marah, kan? Kau makan sendiri saja ikan amis itu." Berbanding terbalik dengan Radislav, Fitasha merasa tidak enak dengan orang yang baru saja melayani mereka.
"Sudahlah, sayang. Anas hanya sedikit penasaran. Dia juga harus diberikan ilmu dasar sebelum menjadi detektif sepertiku." Melihat Radislav yang menepuk dadanya sendiri sebanyak dua kali membuat Fitasha terkekeh.
Setelah selesai memakan semua makanan itu, Radislav membayar makanan tersebut di kasir. Tidak, tidak menggunakan kredit atau debit, tetapi dengan kartu namanya sendiri. Pembayaran atas nama Lenkov.
Keluarga Lenkov yang diketahui hanyalah empat orang. Dengan keberadaan Radislav yang sangat kuat akan membuat mereka menjadi penduduk paling dihormati di kota Nositisen. Semoga saja.
"Kau turunkan dan bereskan semua barang-barang ini. Kami akan pulang nanti malam."
Fitasha memasukkan ponsel ke dalam tasnya setelah mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang. Dia menggandeng Iriana menjauh dari rumah tersebut. Ana hanya menganggukkan kepala.
Radislav langsung pergi ke kantor cabang, sementara Fitasha dan Iriana pergi untuk sebuah acara sosial yang membingungkan. Sungguh, dia benci diperbudak seperti ini.
Dia mengamankan Mimo, kucing peliharan keluarga dan Sakana, Ikan keberuntungan yang Peter berikan.
Ana merapikan semua barang-barang dengan telaten. Satu lagi, jangan sampai ada yang sulit ditemukan!
Siang menjadi malam, hawa semakin mendingin dan Ana sudah berganti pakaian menjadi tracktop kebanggaannya. Tangannya lihai meracik bumbu di dapur, pisau menciptakan suara berulang dan tetesan setiap hujan mempunyai atmosfer tersendiri bagi penikmatnya.
Ting, tong.
Iblis itu pulang, Fitasha pulang. Dengan terburu-buru, Ana membuka pintunya. Tampak Fitasha langsung merubah raut wajahnya. Jika Ana boleh menebak, maka dia berasumsi kartu keluarga Lenkov milik Fitasha tidak dapat digunakan karena saldonya telah habis. Sungguh menyedihkan.
"Selamat datang."
"Kau sudah masak? Radi sebentar lagi datang. Jangan membuat masalah."
Pinggulnya berlenggok masuk ke dalam rumah, diekor oleh Iriana yang begitu melewatinya langsung menjulurkan lidah kepadanya.
Entahlah, perasaan sakit apa ini?
"Radi bilang masakanmu kurang garam. Kau bisa memasak tidak, sih?!"
Fitasha bersandar di pintu kamarnya dengan penuh amarah. Ini sudah jam 11 malam, tapi Ana masih mendapatkan semprotan batin dari Fitasha karena masakannya tidak ... enak?
Ayolah, Fit! Ana sedang kelelahan. Berikan dia sedikit waktu untuk beristirahat.
"Jangan ulangi lagi besok. Sia-sia aku memarahimu, seperti kau mengerti saja."
Fitasha pergi, menyisakan jejak pertanyaan di benak Ana.
Yang sebenarnya gila Fitasha atau Ana? Fitasha yang terlalu egois, atau Ana yang terlalu naif?
Pertanyaan itu berputar tanpa henti. Dia termenung di dalam kamarnya yang belum dirapikan. Dadanya sesak, napasnya memburu menahan isak tangis.
Memang, Fitasha akan peduli jika dia punya air mata?
...Kenapa? Kenapa dia akan masuk penjara anak ini?...
...-...
Deru mobil bersatu dengan suasana gaduh dari sekolah terbesar di kota Nositisen itu. Bangunan klasik dengan interior khas kerajaan berdiri megah, menandakan bahwa sekolah ini merupakan sekolah idaman seluruh anak.
Meskipun Nositisen adalah kota kecil, fasilitasnya sangat memadai untuk ukurannya. Tak heran jika Radislav dipindahkan ke sini.
Fitasha memakirkan mobil. Iriana terkesima karena ini bangunan termegah yang pernah ia kunjungi. Berbeda dengan Ana, gadis itu hampir setiap hari melihatnya; tentu saja di buku bacaan yang sudah menjadi makanannya setiap hari.
Namun, satu hal yang ia takuti adalah pergaulannya. Sebenarnya, mereka juga dari keluarga kelas atas, tetapi pergaulan di sana pasti akan menyimpang, mengingat bahwa dia adalah anak yang aneh dan anti sosial walaupun berasal dari keluarga Lenkov.
Tenang saja, Ana sudah mengemban bela diri sejak berumur 8 tahun, belajar dari teman Ayahnya. Jadi jika ada yang melecehkannya, dia sangat senang bila mendapat kesempatan untuk mematahkan leher orang yang berani mengganggunya.
Fitasha membawa mereka menyusuri lorong-lorong kelas, menyaksikan bagaimana keributan sangat terasa di sini. Mendengarnya saja membuat perut Ana serasa diaduk-aduk.
Klenting!
Lonceng di atas pintu berbunyi.
Membuka pintu ruangan kepala sekolah, mereka langsung disambut hangat olehnya. Kepala sekolah tersebut terlihat muda, bahkan baru berusia 36 tahun. Dia tampak menyusun laporan perkembangan murid.
"Oh, selamat pagi, Nyonya Lenkov. Apakah dua orang di belakangmu adalah cikal bakal Ayahnya?" Katie Abas tersenyum hangat.
"Silakan duduk."
Fitasha masuk sembari memberikan gestur hormat. Dia duduk di depan kepala sekolah, diikuti oleh Iriana dan Ana di samping kanan dan kirinya.
"Sebelum itu, izinkan saya memberikan soal ujian singkat untuk mereka. Hanya berisi 10 soal dalam 10 menit."
Ibu Abas menyerahkan dua lembar kertas yang penuh dengan tinta hitam dengan pulpen berdesain klasik, tetapi mewah.
Sementara Fitasha berbincang dengan kepala sekolah, mereka mengerjakan tesnya. Mudah sekali, hanya soal Aljabar dan sedikit Sains untuk permulaan.
Iriana mengakui bahwa dirinya tidak cukup pintar. Selain sibuk dengan acara sosial, dia juga kurang suka membaca buku. Hari-harinya penuh dengan berinteraksi bersama relasi sosialita yang hanya mengerti sesuatu seperti fashion.
"Apakah sudah selesai? Bisa berikan kepada saya?"
Ana mengangguk, bahkan dia sudah selesai 4 menit yang lalu. Ingatan tajam adalah ciri khas berpikirnya. Mengaitkan teori dengan dunia nyata adalah hal yang menurutnya wajar, itu membuat Ana terlihat unggul dalam berpikir logis.
Berbeda dengan Iriana. Iriana baru mengerjakan 4 soal, dia berpikir keras dan tidak dapat mengingat satupun rumus Aljabar yang pernah di pelajari di sekolahnya dulu. Sungguh, dia benar-benar gugup.
Ibu Abas membaca kertas mereka satu persatu dan menandai bagian mana yang salah sebagai acuan pembelajaran. Sayangnya, salah satu dari mereka tidak lolos seleksi. Itulah yang Ibu Abas katakan dan membuat dunia Iriana segera hancur, tak sanggup menerima amarah Fitasha.
"Baik. Jika dilihat dari ketepatan mengerjakan, sepertinya Anastasia sudah menguasai materinya, ya? Hebat sekali." Ia bertepuk tangan untuk Ana yang bahkan tidak mengharapkan hal itu sedikitpun.
Kenapa? Kenapa dia akan masuk penjara anak ini?
Fitasha tersentak. Rasanya tidak dapat menerima fakta bila Iriana tidak lolos seleksi tersebut. "Bagaimana dengan Iriana? Bukankah dia sama-sama cerdas? Bisa saja dia menyaingi Anastasia."
"Maaf, Nyonya Lenkov. Saya yakin, Iriana sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, dilihat dari kemampuannya dalam berhitung dasar sulit dibuktikan sekarang," Ibu Abas tersenyum sembari menunjukkan kertas Iriana yang penuh dengan coretan merah, menandakan bahwa dia gagal mengerjakannya.
"Kita bisa melakukan tes kesenian. Mau mengerjakannya?" Kepala sekolah begitu bijak, Kate Abas bahkan menawarkan opsi tes yang lain untuk membuktikan kelayakan saudari Lenkov untuk memasuki sekolah bergengsi tersebut.
Mereka berempat berjalan kearah keruang kesenian, dibantu oleh penjaga ruang kesenian yang turut membukakan pintu ruang kesenian untuk mereka.
"Wah!" kata itu spontan keluar dari mulut Iriana.
Interior di dalamnya begitu mewah, bahkan alat musiknya lengkap. Tidak bisa membayangkan bila semuanya dimainkan dalam waktu bersamaan.
"Iriana, saya ingin kamu memainkan lagu dasar."
"Misalnya?"
"Lagu dari Mozart, kamu bisa memainkannya?"
Teng!
Baru saja kepala sekolah memberitahunya, tuts Piano sudah dibunyikan oleh Ana di piano yang lain. Dia memainkan lagu dengan tempo nada yang cepat, yaitu Rush E.
Jari lentik dengan polesan kuku biru tua itu menari-nari di atasnya, menciptakan melodi presisi bagai seorang musisi dengan karya terindah yang pernah orang dengarkan.
Dua kosong untukmu, Iriana.
Tanpa sadar, seseorang di balik piano besar itu membunyikan melodi lembut yang sebenarnya tidak dapat berpadu dengan Rush E yang terkesan cepat tetapi menggelegar.
Jreng!
"Erick? Oh, Nak, pergilah ke kelasmu. Bukankah kelasmu tidak punya jadwal kesenian hari ini?" Ibu Abas menekan tuts Piano yang membuat benda itu mengeluarkan suara memekik.
"Maaf, saya perlu ketenangan."
"Saya tidak akan mengambil sekolah ini. Jika Ibu berkenan, tolong masukkan saudari saya. Dia sangat berharap dapat bergabung dengan sekolah Thronakht." Ana menepuk bahu Iriana. Itu membuat Ibu Abas berpikir sejenak, takut salah mengambil langkah dalam memasukkan seseorang ke sekolah bergengsi ini.
"Baiklah."
Ana sudah mabuk bicara, dia perlu pulang segera.
...Hidup hanya tentang berjuang. Ambil hasilnya, nikmati, dan mati....
...---...
Tangan itu melukis sebuah kata-kata di bukunya. Bait demi bait, sebuah perjalanan monolog yang berkecamuk dalam benak Iriana terus berjalan sempurna.
Menurutnya, dia bagus dalam pelajaran bahasa. Kecerdasan Linguistik Iriana dapat diandalkan.
Jika siang hari adalah waktu yang tepat untuk beristirahat dan bersantai layaknya seorang bangsawan, maka hal itu tidak berlaku bagi Ana.
Dia dipinta Fitasha untuk menjaga Iriana yang sedang mengerjakan Pekerjaan Rumah di ruang tamu. Padahal, kamar Iriana leluasa, bahkan bisa digunakan untuk lima anak tidur di sana.
Fitasha tahu bahwa Ana memiliki kemampuan bela diri yang baik. Sejak dini, dia sering diajak Radislav untuk mengunjungi kantornya.
Dia banyak belajar gerakan bertahan dari Narapidana. Tak heran, dia mendapatkan julukan 'kriminal kecil' dari tetangganya dahulu.
Iriana mengerjakannya dengan duduk di lantai, dan bertumpu ke meja rendah yang biasanya digunakan untuk menyimpan kopi atau rokok milik Radislav.
Ana duduk di sofa putih. Dibantu dengan kacamata, dia menerawang seluruh materi bahasa yang Iriana tulis di atas kertas tersebut. Sesekali mengoreksinya jika terdapat kesalahan penulisan.
Merasa bosan, Iriana mengambil buku catatan kecil berwarna biru miliknya. Di sana, dia menuliskan beberapa kalimat-kalimat yang sekiranya mengusir kebosanan—dan membuat Ana sedikit terharu.
Hidup hanya tentang berjuang, ambil hasilnya, nikmati, dan mati.
Kematian itu menjemput, bukan dijemput.
Selama kamu menangis, kamu masih manusia.
Hanya tiga kalimat yang berhasil Ana baca, karena sisanya tertutupi oleh rambut ikal panjang milik Iriana yang lembut. Berbeda dengannya yang lurus, tipis serta jarang dirawat.
Maklum, shampoo di rumah hanya untuk Iriana.
Suara kaki memijak datang menghampiri mereka. Fitasha datang dengan kaus putih dan rambut dikuncir kuda, bersedekap dada di tembok.
"Apakah kakakmu melakukan sesuatu yang buruk?" Tanyanya sambil melirik ke Ana dan kembali menabrakan pandangan kearah Iriana.
Iriana terkekeh. "Tidak, kok."
Haish! Syukurlah! Batin Ana. Walaupun dia memang tidak macam-macam sedari tadi, bisa saja adik ceriwis itu mengatakan hal tidak senonoh tentang dirinya.
"Baguslah. Kalian berdua pergi tidur!" Perintahnya.
Fitasha berlalu, Ana bangkit dari sofa, disusul oleh Iriana yang kesulitan berdiri akibat terjepit antara meja dan sofa.
"Duh, gimana sih, ini?!"
Sret.
Lembar perlembar dibukanya. Mata itu sudah lelah untuk terbuka, seharusnya Ana pergi tidur. Namun, dia memanfaatkan sedikit waktunya untuk menyerap ilmu.
Dia menguap, kemudian meletakan bukunya di samping bantal dan menjelajahi alam mimpi.
Waktu berlalu, jam bergulir cepat sampai menunjukan pukul 15.10 sore. Sudah waktunya Ana bangun dan dia benar-benar melakukannya. Tangannya terulur untuk menghalangi benda apapun yang memaksanya untuk menutup mata.
Dia melihat kearah jam. Mata dengan Silinder 3 itu kurang dapat menangkap angka. Dia langsung meraba nakas, mencoba menemukan benda keramat yang disebut kacamata.
Ana memakainya. Dia melihat ke sekeliling, mencoba memindahkan buku di sampingnya ke nakas dan bersiap mandi.
Tunggu, apa?
Mau bermain?
Tulisan dengan ... tinta darah?
Darah siapa? Dan kenapa? Kenapa orang ini menggunakan darah untuk menulis?
Ana mendekatkan indra penciumannya kearah sampul buku tersebut. Bau amis, anyir dan besi berkarat bersatu. Jika ini dijadikan parfum, maka Ana adalah orang pertama yang membelinya.
Darah ini segar, orang yang melakukannya baru saja melakukan pembunuhan. Atau mungkin ... ini darahnya?
Sontak Ana bangun dan pergi ke cermin. Dia memutar-mutar tubuhnya dan berusaha merasakan rasa sakit. Jika tidak ada, maka artinya itu bukan darahnya.
Pertanyaannya, itu darah siapa?
Dia langsung teringat Iriana yang menulis hal semacam ini. Dia datang ke pintu dan membukanya dengan amarah.
Sayangnya, pintu itu masih dalam keadaan terkunci. Berarti bukan Iriana, karena Iriana tidak dapat mengakses kamarnya.
Lantas ... pembunuh itu masih ... di dalam?
BRAK!
Kamar Ana langsung terhubung dengan ruang tamu, tempat di mana sekarang Fitasha sedang bersantai sambil menggulir layar ponsel.
Itu membuat Fitasha terkejut, jantungnya berdetak cepat dan tangannya lemas. Beberapa detik, dia baru dapat merespon gertakan maut itu.
"APA YANG KAU LAKUKAN?! Kau tahu, kan, kalau Iriana sedang istirahat?!" Bentaknya. Sungguh, Ana dalam keadaan panik dan tidak dapat merespon kalimat itu.
Fitasha melangkah meninggalkan ruang tamu. "Masaklah! Sebentar lagi Radi pulang. Jangan sampai kurang garam."
Baiklah.
Suara dentingan piring beradu dengan sendok adalah suara merdu yang wajib dijadikan konten ASMR keluarga Lenkov.
Radislav tampak mengunyah kentang, sembari menegak minuman bersoda. Dua asupan makanan itu adalah asupan kesukaan Radislav.
Sebagai pencuci mulut, Radislav meminum air putih biasa. Tujuannya agar dia tidak merasakan hal-hal aneh di lidah saat selesai makan di mulutnya.
"Iriana, bagaimana sekolahmu?" Tanya Radislav. Iriana tersipu, tak mungkin dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta dengan seorang pria di hari pertamanya!
"Baik, Ayah."
Mereka bercakap-cakap, terkadang mereka bertiga tertawa bersama. Wajar bila Ana membandingkan kehidupan suramnya dengan aura bahagia yang dimiliki Iriana.
"Aku perlu ke kamar, ada sesuatu yang harus ku kerjakan."
Tanpa menunggu persetujuan mereka, Ana melengos pergi dari tempat itu.
Dia benci melihat keluarganya tertawa, bahkan tanpa dirinya.
Buku lagi. Kali ini, dia merasa pusing yang hebat ketika membacanya. Memutuskan untuk meletakkan buku dan pergi tidur, Ana merasa tangannya bukanlah tangannya,
Ada hal aneh,
Dan Ana tidak tahu itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!