"Risma, jaga dirimu baik-baik di sini yah."
"Kenapa kamu jahat sama aku Wanda? Kamu bilang, kita akan menjadi teman buat selama-lamanya. Kenapa kamu harus meninggalkan aku di sini?"
"Maafkan aku Ris, bukan maksud hatiku untuk mengingkari janji pertemanan kita. Tapi keadaan yang memaksa aku untuk mengingkari janji perteman yang kita buat," kata laki-laki yang bernama Wanda pada temannya.
"Aku tidak bisa kehilangan kamu Wanda, kamu adalah teman terbaikku. Ingatlah, bagaimana kita melewati hari bersama selama ini."
Saat itu, air mata sudah tidak bisa ditahan lagi. Gadis cantik itu menumpahkan seluruh air mata yang sedari tadi ia tahan.
"Maafkan aku, tidak mungkin untukku bertahan sendirian di kota ini. Aku harus mengikuti kemana orang tuaku, karna aku tidak bisa hidup sendiri."
Laki-laki itu menghapus air mata yang tumpah dari mata bening milik gadis cantik yang menjadi sahabatnya saat ini.
"Jangan menangis Risma, walaupun kita jauh, kita tetap menjadi teman baik. Tidak akan mengubah pertemanan di antara kita, sejauh mana pun jarak kita berdua."
"Tidak akan sama Wanda, saat kamu ada di sini dengan kamu tidak ada. Semuanya akan jauh berbeda," kata gadis itu terus menangis.
"Tunggulah aku kembali Risma. Aku janji, aku akan datang menemui kamu di sini."
Laki-laki itu memeluk sahabatnya dengan erat. Gadis itu membalas pelukan sahabatnya, dengan dekapan yang tak kalah eratnya.
"Aku akan kembali," kata laki-laki itu lirih.
"Jarak tidak akan memisahkan hubungan perteman yang kita jalin selama bertahun-tahun lamanya," kata laki-laki itu kembali.
"Tuan muda, bisakah kita berangkat sekarang? Karna Nyonya dan Tuan sudah ingin berangkat sekarang," kata sopir itu.
"Tunggu sebentar!" kata Wanda sambil melepaskan pelukan sahabatnya.
"Risma, aku harus pergi sekarang. Berjanjilah, kamu akan baik-baik saja di sini. Aku akan kembali secepat mungkin," kata Wanda sambil beranjak pergi.
Tangan Risma terus memegang tangan Wanda. Tangan Risma engan untuk melepaskan tangan Wanda sahabtnya.
"Selamat tinggal Risma," ucap Wanda lirih sambil terus melangkah.
.....
Di bawah pohon ara yang sangat rindang. Seorang gadis sedang asik memainkan biola kesayangannya dengan penuh penghayatan.
Ia menutup matanya sambil terus menggesek biola kesayangannya itu. Tanpa melihat kiri dan kanan, tangannya terus bermain dengan sangat terampil.
Bunyi yang di timbulkan dari gesekan biola itu sangatlah menyayat hati setiap orang yang mendengarkan alunan itu.
Sedih dan pilu, itulah yang tergambarkan dari alunan biola yang sedang gadis itu mainkan.
Tanpa di sadari oleh gadis itu. Dua pasang mata sedang menyaksikan permainan sang gadis dengan penuh penghayatan.
Bahkan, seorang dari dua pasang mata itu, tanpa sadar menumpahkan cairan bening dari sudut matanya.
Selesai permainan biola, gadis itu mendapatkan tepuk tangan yang sangat meriah dari dua penonton yang tidak ia undang itu.
Gadis itu sedikit merasa kaget, saat ia mendengarkan tepukan tangan dari dua orang penonton tidak di udang itu. Ia langsung membuka mata yang awalnya terpejam rapat.
"Selamat ya Risma, alunan biola kamu sukses membuat mata kaka perih lagi," ucap Syima.
Risma tidak menjawab perkataan kakak sepupunya. Ia hanya tersenyum tanpa rasa bersalah pada kakak sepupunya.
"Kalian sejak kapan ada di sini?" kata Risma pada kedua kakak sepupunya.
"Udah datang dari awal kamu main biola. Tapi kamu pernah menyadari apapun yang ada di sekita kamu, jika kamu sudah asik dengan biola mu," kata Wira.
"Gak juga, kalian datang tanpa bersuara, makanya aku gak merasakan kehadiran kalian," kata Risma dengan wajah datar.
"Kalo kita bersuara, kita gak akan bisa mebdengarkan nada yang menyentuh hati lagi dong," ucap Syima.
"Siiip, benar seratus persen," ucap Wira sambil mengangkat jempolnya.
Risma hanya menggelengkan kepalanya, saat melihat kedua kakak sepupunya yang saling membenarkan perkataan mereka satu sama lain.
"Mau kemana kamu Ris?" kata Wira saat melihat adik sepupunya beranjak dari tempat duduk.
"Mau pulang," ucap Risma singkat dengan suara datar.
"Lho, udah selesai yah permainannya?" kata Syima.
"Udah," kata Risma.
"Kok udah sih, kaka ingin lihat kamu main lagi," kata Wira.
"Udah sore kak, mau pulang aja," kata Risma sambil melajukan langkahnya.
Kedua kakak sepupunya ini hanya bisa saling pandang saat melihat Risma berjalan semakin menjauh.
Mereka tidak akan menemukan kehangatan dari gadis itu, saat bicara dan saat bersama. Yang mereka rasakan hanyalah kesedihan yang tidak pernah berujung dari adik sepupu mereka ini.
"Kak Wira, apakah kita tidak bisa melihat Risma yang dahulu lagi buat selamanya," ucap Syima dengan nada sedih.
"Aku rasa, jika Wanda kembali kesini lagi, maka akan ada Risma yang dulu. Risma yang periang dan ceria."
"Tidak adakah cara lain buat mengembalikan adik kita yang dulu kaka?"
"Aku rasa tidak ada Syima. Kita sudah mencoba banyak hal untuk membuat Risma kembali seperti dulu lagi. Tapi semuanya tetap saja tidak ada hasilnya sedikitpun."
Syima melepas napas beratnya, ia merasa beban yang ada di dadanya semakin berat saja, setelah mendengarkan perkataan Wira barusan.
....
Setelah pulang sekolah, seperti biasanya Risma akan kembali mengunjungi pohon ara yang berada berseberangan dengan jalan raya.
Pohon ara ini, berdiri kokoh di sebuah lahan yang awalnya akan dijadikan lapangan sepak bola.
Tapi sampai saat ini, lahan itu tidak pernah di bangun apapun, ia hanyalah tetap menjadi lajan kosong yang tidak ada penghuni.
Risma menjadikan tempat ini srbagai tempat favorit nya. Karna di sinilah, tempat mereka menghabiskan banyak waktu bersama.
Di lahan ini jugalah pertama kali Risma belajar bermain biola. Karna lahan ini adalah lahan yang jauh dari perumahan dan kesibukan kota.
Risma akan datang kelahan kosong ini setiap hari. Hanya untuk melepaskan rasanya selama ini ia pendam.
Rasa yang tidak berujung, dari sebuah penantian panjang yang tidak tahu, kapankah akan berakhir.
Risma memainkan biolanya sambil menutup matanya rapat-rapat. Terdengar alunan nada sedih yang menyayat hati.
Nada ini adalah sebuah perwakilan perasaannya yang sangat sedih. Perasaan kehilangan dan perasaan hampa dalam penantian.
Makanya, setiap ada yang mendengarkan alunan biola Risma, mereka akan terharu bercampur sedih.
Jika hati lembut, tak jarang, air mata akan mengalir pula dari mata orang yang mendengarkan alunan biola ini.
Risma terus menggesekkan biolanya dengan penuh penghayatan. Ia tidak memperdulikan, ada apa disekilingnya.
Selesai Risma memainkan biolanya, seseorang memberikan tepuk tangan untuk permainan Risma.
Risma engan untuk membuka matanya, karna ia tahu itu adalah kakak sepupunya yang selalu bertepuk tangan setelah permainannya selesai.
"Bagus sekali permainan biola kamu," ucap seseorang yang sedari tadi menyaksikan permainan biola Risma.
Risma kaget saat mendengakan suara asing yang baru pertama kali ia dengar. Ia membuka matanya lebar-lebar, untuk melihat siapakah yang mempunyai suara itu.
Saat Risma membuka mata, ia melihat seorang laki-laki sedang duduk di depannya. Dengan beralaskan sendal, laki-laki itu sepertinya sudah lama berada di depan Risma.
"Siapa kamu!" ucap Risma sedikit ketakutan.
"Namaku Yudha, jangan takut, aku tidak akan menganggu kamu kok," kata laki-laki yang mengaku bernama Yudha sambil bangun dari duduknya.
"Ngapain kamu kesini? Sejak kapan kamu berada di sini?" kata Risma dengan waspada.
"Aku kesini hanya kebetulan lewat saja. Saat aku lewat, aku mendengarkan sebuah alunan nada yang sangat menyentuh hati dan menggetarkan jiwa. Aku memilih untuk mampir buat melihat suara apa itu, ternyata setelah aku lihat, itu adalah suara biola yang dimainkan dengan hati," kata Yudha panjang lebar.
"Oh ya, aku sudah datang sejak lebih dari lima menit yang lalu," kata Yudha lagi.
Risma terdiam saat mendengarkan apa yang di katakan Yudha barusan. Ia tidak tahu mau bilang apa pada laki-laki asing yang ada di hadapannya saat ini.
"Siapa nama kamu," kata Yudha saat melihat tidak ada tanggapan dari gadis cantik yang ada dihadapannya saat ini.
"Aku harus pergi," kata Risma sambil bangun dari duduknya.
"Tunggu dulu, aku ingin tahu nama kamu, jangan pergi gitu aja dong," kata Yudha menahan Risma.
Risma menatap tajam kearah Yudha, ia tidak ingin Yudha tahu namanya. Tapi Yudha yang mendapat tatapan tidak bersahabat itu hanya bisa mempersembahkan senyum terbaiknya.
"Jangan takut padaku, aku tidak akan menyakiti kamu kok. Aku hanya ingin berteman saja," kata Yudha dengan nada lembut.
Mendengar ucapan Yudha barusan, mata Risma melotot. Ia tidak pernah ingin berteman dengan siapapun, apa lagi orang asing yang baru muncul. Sedangkan orang yang sangat dekat saja bisa menyakitinya, apalagi orang yang baru muncul.
"Tidak, aku tidak butuh teman. Aku tidak suka berteman. Aku harus pergi," kata Risma sambil berjalan dengan langkah besar.
"Hei! Tunggu! Tunggu aku!" kata Yudha sambil berusaha mengejar.
Yudha memegang tangan Risma, ia mencoba membuat gadis itu mengerti, kalau ia hanya ingin tahu nama dan alamat gadis itu saja.
"Lepaskan aku!" teriak Risma.
"Aku hanya ingin tahu nama kamu, kenapa kamu terlihat emosi seperti itu sih?" kata Yudha tidak mengerti.
"Aku tidak butuh teman, aku tidak suka teman dan tidak akan pernah berteman," kata Risma sambil berteriak.
Air mata mengalir dari mata hitam berkilau milik Risma. Ntah kenapa, hatinya sangat sedih saat mendengarkan kata teman yang Yudha ucapkan.
"Hei! Kenapa kamy menangis sih? Aku tidak bermaksud buat menyakiti kamu. Aku hanya ingin tahu nama kamu, itu aja. Jika kamu tidak ingin mengatakan nama kamu, aku tidak akan memaksakannya lagi. Tapi tolong jangan menangis, aku tidak enak hati."
Yudha melepaskan tangan Risma yang ia pengang. Ia melihat wajah gadis itu, sangat mengibakan.
Ntah kenapa, gadis itu malah menangis saat ia tanya siapa nama. Hal yang sangat amat tidak pernah ia temui selama ia hidup di dunia ini.
Biasanya, para gadis yang berebut-rebut untuk tahu namanya. Dan para gadis yang selalu mengejar dirinya, hanya untuk tahu namanya saja.
Tapi kali ini, hal yang baru Yudha temui di kota ini. Sambutan pertama saat ia menginjakkan kaki di kota yang baru, adalah penolakan dari seorang gadis.
......
"Kenapa lagi kamu sayang?" kata mama saat melihat Risma pulang dengan mata sembab.
"Gak ada apa-apa kok ma, Risma kelilipan tadi."
"Anak mama gak akan bisa bohongin mama sayang. Apa yang terjadi sebenarnya, ayo ceritakan pada mama," kata mama sambil memegang tangan Risma lembut.
Risma menantap mata mama dengan penuh rasa pilu. Ia merasa sangat sedih dan tidak tahu harus apa lagi sekarang.
Mama membalas tatapan pilu Risma dengan tatapan penuh kasih dan kehangatan. Membuat gadis itu tidak punya cara lain, selain bercerita apa yang ada dalam hatinya.
"Kenapa harus ada rasa rindu dalam hati Risma ma? Kenapa Risma tidak bisa hidup normal seperti yang lain?" kata Risma sambil memeluk mama.
"Sayang, semua orang punya rasa rindu dalam hati mereka masing-masing. Bukan hanya kamu, mama juga punya. Tapi, setiap orang punya caranya sendiri untuk menyikapi rasa rindu mereka."
"Mama tidak tahu bagaimana cara Risma menyikapi rasa rindu yang ada dalam hati Risma. Tapi mama sarankan, cobalah Risma memikirkan hal yang lain selain rasa rindu itu," kata mama sambil membelai rambut Risma.
"Risma sudah coba mama, tapi Risma tidak tahu caranya harus seperti apa lagi. Risma tidak ingin rindu, tapi Risma tidak tahu caranya bagaimana supaya tidak merasakan rindu," kata Risma sambil terus menangis di pelukan mama.
"Risma, cobalah melupakan apa yang terjadi. Sudah tiga tahun berlalu sayang, kenapa Risma masih tetap terpuruk dalam rindu."
"Risma juga tidak ingin terpuruk mama, tapi Risma tidak tahu cara bagaimana supaya tidak terpuruk. Risma ingin melupakan rasa rindu, tapi tidak bisa."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!