Sebelum membaca, bisa follow akun Fb : Author A Amelia
Dhezia Anastasya (Dhezia) Pov~
Selama beberapa waktu hampir di seluruh belahan dunia berada dalam kekacauan, kami semua terkena dampak mematikan dari Virus yang tercipta di wilayah Wuhan, China. Pemerintah menutup hampir semua jalanan, termasuk di Los Angeles, California. Juga di beberapa Kota di Indonesia.
Kota kelahiranku juga kabarnya sama, Ibuku menelfon memberitahuku bahwa Kota Kudus yang biasanya ramai, tidak peduli siang ataupun malam hari kini berubah drastis. Sebagian pegawai kantor, guru dan PNS harus bekerja di rumah Work From Home (WFH), semua siswa diliburkan dari sekolahnya. Akibatnya para orangtua harus menanggung beban dalam pengasuhan anaknya di bidang pendidikan, tidak sedikit orang tua yang mengeluh karena anaknya sulit belajar jika dirumah, kesulitan belajar secara online, bahkan ada yang sampai bertengkar antara istri dan suami dikarenakan anaknya susah belajar.
Sebagian buruh pabrik diliburkan atau bergantian hari kerjanya, misal sebagian bekerja pada hari senin sampai hari rabu, sebagian lagi hanya bekerja hari kamis sampai hari sabtu. Para wirausaha kacau bisnisnya, pedagang kaki lima juga sepi pembeli, jam operasional restoran atau warung warung juga terbatas, pedagang kaki lima dan warung di pinggir jalan tidak boleh buka diatas jam 9 malam dikarenakan adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Satpol PP berlalulalang memutari jalanan memantau seluruh masyarakat agar tetap mematuhi peraturan mengenai Corona Virus yang berbahaya, sementara masyarakat menengah kebawah di kotaku mengandalkan bantuan pemerintah untuk menghidupi istri dan anaknya.
Ibuku berkata semua orang hanya keluar rumah untuk membeli kebutuhan saja, sembako dan obat obatan. Sebagian orang- orang bahkan harus mengantri di Apotek hanya sekedar mendapatkan suplemen penjaga daya tahan tubuh, lalu meneruskan ke warung- warung untuk mengantri susu steril untuk diminum setiap harinya, demi memperhatikan kesehatan agar tidak terserang Virus yang berbahaya. Tidak jarang juga susu beruang habis setelah mereka mendatangi warung, lalu mereka berlari mencari ke warung yang lain.
Kami harus mengenakan masker saat keluar rumah, menjaga jarak dari kerumunan, dan rajin mencuci tangan. Jalanan yang biasanya ramai lalulalang kendaraan kini terlihat lenggang,hanya tampak satu dua orang saja melewatinya. Corona Virus .Ya, begitulah kami dan mereka menyebutnya, dampaknya membahayakan, kata ibuku banyak sebagian dari orang orang dari Kota Kudus yang terbukti positif harus menjalani isolasi mandiri dirumah, isolasi di Balai Desa, atau bahkan harus dibawa polisi dan tentara untuk melakukan isolasi di Donohudan, Solo.
Tidak jauh berbeda, di Los Angeles pun sama, pagi-pagi saat ada sinar matahari, kami di Amerika dianjurkan untuk berjemur selama kurang lebih setegah jam demi menjaga daya tahan tubuh agar tidak terkena Virus tersebut. Semua orang disini harus keluar memakai masker dan menjaga jarak, tetapi penduduk Amerika ada yang taat dan juga ada yang tidak taat terhadap aturan yang diberlakukan. Aku dan sahabatku Brielle adalah salah satu dari mereka yang tidak taat terhadap salah satu peraturan yaitu “jaga jarak”, kami bahkan masih sering berpelukan dimana saja.
Bedanya dari Negara Indonesia, di Amerika sudah terdampak Virus itu lebih dahulu, kami bahkan sudah Vaksin lebih dahulu di Negara ini, disaat masyarakat di Indonesia masih sibuk mencegah tetapi akhirnya juga terkena karena pencegahan yang kurang optimal. Tetapi, siapa sangka, dampak dari Virus yang menyeramkan itu pun aku harus di pulangkan ke Indonesia. Corona Virus mengubah semuanya!
Perusahaan di Bidang Industri Tas Sekolah, Xander Bag yang yang memberikan sponsor beasiswa kepadaku juga terdampak Virus tersebut sehingga mengalami kerugian dan menghentikan semua program beasiswa. Mungkin perusahaan itu bangkrut karena anak sekolah pada libur dan tidak membutuhkan tas karena belajar secara online, sehingga omset perusahaan itu kian memburuk, dan semua program beasiswa dihentikan.
Awalnya aku sangat merasa beruntung bisa kuliah di luar negeri, semua kerja kerasku belajar bahasa inggris dan TOEFL setiap hari terbayarkan sudah, bayangkan saja setiap hari aku harus menghafalkan kamus bahasa inggris beserta isinya, ya mungkin sebagian orang berkata aku seorang mahasiswi yang beruntung terlahir dari keluarga yang sederhana tetapi bisa menempuh study di Los Angeles California, tapi takdir tak lagi berpihak kepadaku, aku harus pulang ke Indonesia di akhir semester ke-2 ku.
Bagaimanapun juga, aku harus merasa beruntung bisa menempuh study S1 ku prodi Early Childhood Education selama satu semester, meski setelah itu harus teputus. Bagaimanapun juga, aku harus merasa beruntung pernah menaiki pesawat, itu impianku sedari kecil. Aku masih ingat betapa kedua orangtuaku dulu melarangku untuk berkuliah di luar negeri, orangtuaku takut jauh dariku, takut terjadi apa- apa denganku, aku anak perempuan pertama mereka sementara adikku masih duduk di bangku Sekolah Dasar(SD).
Akan tetapi, dahulu tekadku untuk berkuliah di luar negeri sangat hebat, setiap hari aku mengikuti bimbingan TOEFL dan mengikuti les untuk bisa lolos beasiswa kampus luar negeri. Akan tetapi takdir berkata lain, kini aku mulai sadar, memang izin dari orang tualah yang sangat penting. Dahulu mungkin aku lupa, aku hanya belajar sekuat tenaga, tetapi tidak memperdulikan izin dari orang tua.
***
Aku Dhezia Anastasya, orang orang biasa memanggilku “Dhezia” tetapi aku tidak begitu akrab jika dipanggil begitu, aku lebih menyukai panggilan ibuku kepadaku.
“Zia…"
Begitulah saat ibu memanggilku.
Dhezia Anastasya, itu nama yang diberikan kedua orang tuaku saat aku mulai bernafas di dunia ini. Disamping membantu kedua orang tuaku dirumah, aku mempunyai kebiasaan suka belajar sampai tengah malam sedari kecil. Karena sorenya aku berlatih menari, jadi aku belajar di malam hari.
Aku pandai menari, aku selalu mengikuti extra menari semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak- Kanak hingga sekolah menengah. Saat duduk di sekolah menengah, waktu istirahat kuhabiskan di gedung kecil tempat orang selalu dapat mendengar suara gamelan yang lembut atau penuh gairah dan semangat. Pada waktu- waktu tidak ada latihan untuk tingkatanku, aku duduk memukul gamelan.
“Setiap kali aku melewati gedung ini, kamu selalu disini, Zia. Kamu rajin sekali,” ucap seorang teman kepadaku.
“Aku menyukai suara gamelan,” sahutku kepadanya.
“Bukannya kamu bercita cita kuliah di luar negeri?” tanyanya.
“Iya, aku akan kesana, aku pasti bisa, aku sudah dijadwalkan mengikuti test TOEFL dan wawancara lusa nanti,” jawabku waktu itu.
"Jika kamu beneran kuliah di Amerika, akankah kamu memperkenalkan kesenian jawa disana?" tanyanya antusias.
"Iya, aku berencana mengambil jurusan Pendidikan Anak Usia Dini disana, akan aku perkenalkan suara gamelan dan jenis tarian jawa pada kelas musik dan tari anak nantinya, hehe," jawabku juga antusias waktu itu.
Aku ingat betul tentang percakapanku dengan salah satu teman SMA . ku dulu. Dan benar saja, aku lolos dan berhasil kuliah di Los Angeles, aku memperkenalkan tarian dan nyanyian dolanan jawa disana pada kelas mata kuliah musik dan tari bagi pendidikan anak usia dini.
***
~Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir tak ijo royo royo
~ Tak sengguh panganten anyar~
~ Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi~
~ Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira~
~ Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir~
~ Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore~
~ Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane~
~ Sun suraka surak hiyo~
~ Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir tak ijo royo royo~
~ Tak sengguh panganten anyar~
~ angon cah angon penekna blimbing kuwi~
~ Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira~
~ Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir~
~ Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore~
~ Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane~
~ Sun suraka surak hiyo~
Aku menari diiringi alunan musik Lagu Jawa Lir- ilir. pada Kelas Musik dan Tari. Tidak disangka, waktu itu dosen tariku yang belum pernah menyaksikan Tarian Jawa secara nyata didepannya terpukau melihatku! Aku mendapatkan nilai A pada Kelas Musik dan Tari.
Waktu itu, aku masih semester satu, saat aku sedang pengambilan nilai Tariku di kelas musik dan tari, tampak ada seorang laki- laki yang memperhatikanku dari jendela luar kelas, tertawa melihat tarianku, dia dari pertama waktu aku tampil membuka tarian hingga aku mengakhirinya tampak berdiri disitu. Gabriel Holdon, iya teman teman di kampus memanggilnya Gabriel, ia berasal dari keluarga Holdon.
Sementara waktu itu, aku hanya diam melihatnya menertawakanku, apakah itu lucu? aku menari? Tetapi jika itu Gabriel, aku tidak apa- apa dia menertawakanku, sebenarnya dia ganteng juga saat tertawa, lesung pipinya, hidung mancungnya, kulit putihnya, benar benar lelaki Amerika idaman perempuan di Indonesia.
"Apakah Gabriel sudah mempunyai perempuan di hatinya?" tanyaku pada diri sendiri.
"Ah tapi tidak mungkin aku mendekatinya, sementara aku hanyalah gadis timur berkulit coklat, sementara dia lelaki Amerika mancung berkulit putih," pikirku pasrah pada akhirnya.
***
Pukul 07.00 a.m. in Los Angeles,
“Huuufftt!!”
Dhezia membuka matanya dan duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang di dalam kamar tidur apartemen sederhana di pusat Kota Los Angeles. Semalaman ia tidak bisa tidur. Sebentar lagi ia akan meninggalkan kota
kesayangannya Los Angeles, studynya prodi Early Childhood Education, meninggalkan sahabatnya, Brielle. Dan juga laki- laki yang disukainya sejak semester pertamanya, Gabriel Holdon.
"Argh! Lupain cowok bule itu! Mungkin aku memang harus pulang ke Indonesia," gumamnya sambil memikirkan apa yang akan terjadi kemudian.
Jika ia dipulangkan ke Indonesia. Bagaimana kuliahnya selanjutnya? Bisakah Dhezia kembali kuliah di Amerika setelah Covid mereda dan ekonomi kembali membaik? Ataukah study nya harus berakhir sampai disini? Bagaimana bisa sponsornya yang merupakan perusahaan besar di bidang industri tas sekolah itu kini bangkrut
akibat virus yang menyerang di seluruh belahan dunia ini. Dan dampaknya sampai pada Dhezia yang kehilangan beasiswanya karena perusahaan yang menerbitkan sponsor beasiswanya itu bangkrut.
Tetapi, tidak ada gunanya juga Dhezia terus terusan memikirkan nasibnya. Dhezia percaya pasti ada hikmah dibalik semua yang terjadi pada dirinya saat ini.
Dhezia tersadar dari lamunannya, kemudian bergegas mandi dan berdandan, Dhezia mengenakan celana jeans berwarna putih, kemeja sederhana dengan tali pita di bagian perut, rambut panjang Dhezia diurai. Dhezia juga
mempunyai poni di dahi, membuatnya tampak anggun, kemudian menggunakan sepatu flat shoes kesukaannya, tidak lupa memakai masker hitam. Memang tampilan gadis Indonesia meski ia sedang berada di Amerika. Tak lupa juga ia mengirim pesan kepada Brielle dan meminta Brielle untuk bertemu dengannya di taman kampus.
(“Selamat pagi, Brielle, bisakah kau menemuiku nanti di kampus?”) tanya Dhezia lewat pesan singkatnya.
(“Hey, yo Anastasya! Bisa, kebetulan juga aku akan bertemu dengan Mr. Hilton hari ini di kampus,”) jawab Brielle.
(“Oke, nanti kita bertemu di Taman Kampus Fakultas Pendidikan dan Olahraga, ya! Sampai jumpa!”) balas Dhezia melalui pesan singkatnya.
Dhezia kemudian bergegas pergi ke kampus untuk mengurus semua berkasnya. Suasana kampus tampak sepi dikarenakan masih kondisi pandemi COVID-19. Setelah mengurus semua administrasi kepulangannya, Dhezia kemudian menemui sahabatnya untuk menyampaikan salam perpisahan kepada sahabatnya, Brielle Smith.
Dhezia dan Brielle telah bersahabat selama hampir dua semester. Dhezia mengenal Brielle waktu ia masih mahasiswa baru di kampus. Waktu itu diadakan kegiatan pengenalan lingkungan Universitas bagi semua mahasiswa baru. Seluruh mahasiswa baru dibawa oleh Pengurus Universitas berjalan mengelilingi fakultas.
Dhezia dan Brielle sama sama memasuki Fakultas Pendidikan dan Olahraga. Saat berkeliling di Area Kolam Renang Fakultas tersebut, Dhezia tidak sengaja terpeleset dan jatuh ke dalam kolam renang. Dhezia yang masih belajar berenang itu tampak kesulitan untuk menepi, mahasiswa baru lain menertawakan Dhezia.
Tetapi waktu itu, Brielle yang masih dengan mengenakan baju dressnya turun ke kolam renang menyelamatkan Dhezia.
"Terimakasih sudah menyelamatkan aku, siapa namamu? Aku Dhezia Anastasya," ucap Dhezia sambil menyodorkan tangannya ke arah Brielle.
"Brielle Smith. Senang bertemu denganmu, Anastasya. Lain kali lebih berhati hati ya," sambut Brielle meraih tangan Dhezia waktu itu.
Begitulah Dhezia dan Brielle saling mengenal hingga menjadi sahabat sampai sekarang. Brielle kemudian mengambil jurusan Pendidikan Olahraga dan Dhezia mengambil jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Meski berbeda jurusan, Brielle lah yang membantu Dhezia ketika menghadapi kesulitan selama hampir dua semester, dari mulai mencarikan apartemen yang cocok untuk Dhezia, berdiskusi bersama menyelesaikan tugas kuliah hingga teman curhat tentang apapun.
"Brielle!" teriak Dhezia sambil berlari ke arah sahabatnya tersebut.
"Hey yoo, Anastasya!" jawab Brielle meloleh ke arah sumber suara.
Memang Brielle lebih suka memanggil Dhezia dengan nama Anastasya, karena kebiasaan orang Amerika memanggil dengan nama depan. Dhezia memeluk Brielle sangat erat, kemudian berkata,
"Terimakasih untuk semuanya, Brielle. Sudah menjadi teman terbaik selama aku disini," kata Dhezia dengan mata berkaca- kaca.
"Jangan lupakan aku, Anastasya! Aku harap kamu baik baik saja dimanapun kamu berada, dan takdir selalu berpihak kepadamu," ujar Brielle membalas pelukan Dhezia.
"Terimaksih Brielle," ucap Dhezia melepaskan pelukannya.
"Ini milikku, tapi aku mengasihkannya padamu, Anastasya. Sebenarnya ini jimat keberuntunganku, aku selalu menang Olimpiade Lompat Tinggi bukan?" jelas Brielle. Kemudian menyodorkan Katsina Doll miliknya.
"Tapi kan, ini kesayanganmu Brielle, bagaimana mungkin kamu mengasihkan ini untukku?" tanyaku padanya.
Brielle kemudian tersenyum dan menjawab,
"Tidak apa- apa, kasihkan kepadaku lagi saat aku butuh nanti ya Anastasya, aku akan mengunjungimu ke Indonesia ketika aku akan mengikuti Olimpiade Lompat Tinggi pada tahun yang akan datang!”
"Ah baiklah, terimaksih, Brielle" ucapku sambil tersenyum kepadanya.
"Jaga dirimu, Anastasya! Perlukah aku mengantarkanmu ke Bandara nanti?" tanyanya pada Dhezia.
Aku menggeleng sambil tersenyum kearahnya.
"Tidak usah, Brielle. Katamu, kamu akan menemui Mr.Hilton hari ini," tolak Dhezia. Kemudian berlalu sambil melambaikan tangannya pada Brielle.
Menurut Dhezia, dirinya akan semakin sedih jika pulangnya ke Indonesia harus diantar Brielle ke Bandara. Entah kenapa Dhezia merasa seperti Negara Amerika tidak mau menerimanya.
***
Setelah melambaikan tangannya pada Brielle tanda ‘selamat tinggal’, Dheziaberjalan keluar gerbang kampus menuju apartemennya hendak mengemasi semua barang- barangnya kemudian pulang ke Indonesia. Namun langkahnya terhenti ketika melihat laki- laki di seberang jalan. Laki laki yang menertawakannya saat pengambilan nilai di Kelas Musik dan Tari semester lalu. Ya itu Gabriel.
Dhezia tersenyum senang, ia berencana menghampiri dan menyapa Gabriel untuk yang pertama dan mungkin terakhir kalinya Dhezia di Amerika.
"Gab…,"
Dhezia yang hendak berteriak memanggil nama lelaki itu terdiam saat mengetahui ada perempuan yang memeluk Gabriel dari belakang sambil tertawa.
Kemudian Gabriel membalikkan badan dan mengecup bibir perempuan itu. Nicole. Ternyata Gabriel kekasih Nicole. Mahasiswi prodi Pendidikan Olahraga. Sama seperti Brielle. Tentu saja, Gabriel ganteng mana mungkin belum punya pacar. Dan pacarnya itu ternyata Nicole! Satu Prodi dengan sahabatnya, Brielle. Dan Nicole adalah musuh sekaligus saingan Brielle dalam nilai maupun dalam pemilihan peserta Olimpiade. Mereka tidak pernah akur. Sementara Dhezia menatap Gabriel dan Nicole di seberang sana. Tanpa terasa air mata Dhezia menetes
membasahi pipinya.
"Bahkan setelah kuliah sampai Amerika aku masih belum pernah merasakan bagimana rasanya mempunyai kekasih," ucapnya lirih. Kemudian menyeka air matanya, dan berlalu menuju apartemennya.
Sementara itu tampaknya Gabriel yang sedang bersama Nicole tampaknya melihat Dhezia di seberang jalan, tampak dari jauh gadis itu menyeka air matanya.
"Ia sedang menangis? Mengapa gadis penari itu menangis?" batinnya dalam hati.
Gabriel yang penasaran dengan perempuan yang dilihatnya menari kemarin seperti sedang menangis di seberang jalan sebelum berlalu itu pun mencari- cari alasan yang logis kepada Nicole agar bisa mengikuti kemana Dhezia pergi dan mengapa Dhezia menangis.
"Baby, aku lupa jika aku harus menemui Mr. Hilton hari ini, aku harus konsultasi mengenai Olimpiade yang dibatalkan karena situasi pandemi, bisakah sekali ini kau pulang sendiri?" tanyanya Gabriel pada Nicole.
"Oh tentu, no problem, silahkan bertemu Mr. Hilton sekarang Mr. Holdon, haha," jawab Nicole sambil tertawa. Kemudian mengecup sekilas bibir kekasihnya itu, dan berlalu meninggalkannya.
***
Setelah Nicole berlalu pergi, Gabriel kemudian berlari mengikuti arah Dhezia berjalan. Gabriel penasaran dengan gadis yang menarik perhatiannya ketika menari itu. Dan benar saja, dalam beberapa menit Gabriel menemukan Dhezia yang sedang berjalan menuju apartemen sederhana yang ditempatinya. Dhezia tidak menyadari jika ada seorang laki laki yang mengikutinya. Setelah hampir 20 menit berjalan. Sampailah Dhezia di depan apartemen tempat ia tinggal. Dhezia menaiki tangga menuju lantai dua. Lalu menuju pintu apartemennya. Dhezia mengeluarkan kunci hendak membuka pintu apartemen itu. Namun, ketika hendak masuk ada seorang laki laki menyapanya dari belakang punggungnya.
"Gadis penari?" sapa Gabriel.
Dhezia menoleh kebelakang. Berapa terkejutnya Dhezia ketika mendapati yang menyapanya ternyata Gabriel.
"Gab-Gabriel, I-iya ada apa, mengapa disini?"
Dhezia menjawab dengan pertanyaan beruntun karena ia gugup.
"Aku melihatmu menangis di seberang jalan tadi, ketika aku sedang bersama kekasihku," jawab Gabriel datar.
'Bersama kekasihku' entah kenapa kalimat Gabriel terakhir membuat Dhezia sakit hati mendengarnya. Tubuhnya bergetar.
“Seperti inikah rasanya perasaan yang tak berbalas?” batin Dhezia.
"Mengapa kau menangis?" tanya Gabriel lagi.
"Ah tidak, tadi ada sesuatu yang masuk di mataku, aku hanya kelilipan," jawab Dhezia mencari alasan.
"Tidak mungkin, jelas-jelas tadi kau menangis, aku melihatmu menyeka air mata di di seberang sana," jawab Gabriel menyanggah apa yang dikatakan perempuan di depannya itu.
Sementara Dhezia hanya diam tak bergeming. Enggan menjawab pertanyaan Gabriel. Hatinya sudah terlalu sakit mengetahui fakta tentang Gabriel yang sudah memiliki perempuan dihatinya.
Apartemen Dhezia berada di lantai dua dari gedung yang terdiri atas sepuluh lantai itu. Akses jalan antara pintu pintu apartemen yang berhadapan tidak lebar sehingga ketika ada penghuni apartemen lain yang akan lewat mereka harus menepi ke dekat dinding. Gabriel yang menyadari hal itu bergerak cepat mengambil kunci dari genggaman tangan Dhezia, kemudian membuka pintu Apartemen Dhezia dengan dua kali putaran kunci, dan Gabriel berhasil masuk ke dalam apartemen Dhezia.
"Hey, mengapa kau masuk?" protes Dhezia yang sontak terkejut melihat Gabriel kini masuk ke apartemennya.
"Kita bisa menganggu penghuni apartemen lain yang akan lewat jika terus berdiri disana, jadi kau tinggal disini?" tanya Gabriel santai sambil memandangi apartemen sederhana yang ditinggali gadis itu.
“Benar benar gadis timur yang rapi,” batin Gabriel. Ia melihat rak rak buku yang tertata rapi. Kasur dengan sprei yang rapi, semua barang barang di apartemen Dhezia sangat terawat, tak ada debu yang menempel diantara barang barangnya itu. Jauh berbeda dengan Nicole yang sering berantakan kamarnya. Gabriel melihat figura yang terpajang di dinding.
“Ini foto kamu dengan keluargamu di Indonesia?” tanya Gabriel.
Dhezia hanya diam. Ia tak memiliki keinginan untuk menajwab laki laki bule itu.
Namun, sebenarnya Dhezia juga sedikit senang dapat melihat Gabriel dari dekat. Siapa yang menyangka laki laki bule itu akan mengikutinya. Tetapi, Dhezia juga harus sadar bahwa laki laki di depannya itu sudah terisi hatinya.
Ada Nicole yang sudah menempati hatinya.
"Mengapa masih diam? Jadi mengapa kau tadi menangis?"
Lagi lagi Gabriel menanyakan hal yang sama.
"Memangnya apa pedulimu?" sahut Dhezia pada akhirnya.
"Hey, aku peduli, melihatmu menangis di seberang jalan tadi aku bergegas mengikutimu, aku bahkan menyuruh Nicole pulang sendiri!” jelas Gabriel.
“Nicole. Gabriel kembali menyebut nama kekasihnya itu. Tidakkah kau tau
Gabriel? Bahwa aku menyukaimu?” batin Dhezia.
"Iya mengapa kau peduli denganku? Sementara kau adalah kekasih
Nicole?"
Ucapan Dhezia membuat Gabriel gugup seketika. Benar juga, mengapa Gabriel harus peduli dengan gadis penari itu? Tidak, Gabriel tidak peduli, dia hanya penasaran dengan gadis penari timur yang bernama Dhezia dan mengapa Dhezia menangis saat melihatnya bersama Nicole di seberang jalan tadi.
"Cih! Mengapa bergantian kau yang diam?" ledek Dhezia pada Gabriel.
"Kau tidak suka aku peduli kepadamu? Aneh sekali, padahal semua gadis biasanya suka jika melihatku peduli dengan mereka," ucap Gabriel dengan percaya diri.
"Tidak, Aku tidak sama seperti mereka!" tolak Dhezia tidak mau disana samakan dengan perempuan lain.
"Hey, gadis penari, apa kau sadar aku ini siapa? Aku Gabriel Holdon! Tim Renang inti Amerika. Pemenang medali emas di Olimpiade Tokyo! Wahai gadis penari," jelas Gabriel panjang lebar memamerkan segudang prestasinya.
"Hihi..." sahut Dhezia. Ia yang mendengar ocehan laki laki di depannya itu pun tertawa geli dan rasa sakit hatinya kian menurun.
Dhezia memang perempuan yang sangat mengagumi laki laki berprestasi, terlebih lagi Dhezia datang ke Amerika dengan beasiswa. Dan juga, setau Dhezia sejauh ini Gabriel adalah laki-laki pertama yang memperhatkannya dan menyapanya lebih dahulu.
"Briel....," panggil Dhezia pada akhirnya.
Gabriel menatap Dhezia. Didengarnya suara gadis di depannya itu menyebut namanya. Sebenarnya Dhezia tidak buruk juga, Gadis berkulit sawo matang dengan rambut terurai itu lumayan manis. Berbeda dengan kekasihnya Nicole yang berkulit putih sewajarnya perempuan Amerika. Dhezia benar benar gadis idaman
para laki laki barat seperti Gabriel.
"Maf jika ini terburu- buru, tapi aku.... menyukaimu," ucap Dhezia menyatakan perasaannya.
Entah apa yang mempengaruhi Dhezia sehingga mendapatkan kekuatan untuk
menyatakan perasaannya pada Gabriel. Sementara Gabriel yang mendengar apa yang
dikatakan Dhezia barusan hanya mengangkat satu alisnya, meminta penjelasan
lebih.
"Dengar Briel…, aku Dhezia Anastasya, hari ini aku mengungkapkan perasaanku yang sudah ada sejak kamu melihatku menari pada kelas musik dan tari semester lalu," lanjut Dhezia.
“Jadi? Kau tadi menangis karena tau aku sedang Bersama Nicole? Maadkan aku,” ujar Gabriel penuh penyesalan.
"Tak apa, aku hanya merasa harus mengatakannya kepadamu, karena setelah ini aku harus pulang ke Indonesia, tidak apa apa kamu tidak membalas perasaanku karena aku tau memang hatimu untuk Nicole, bukan untukku,” lanjut Dhezia.
Gabriel yang mendengar perkataan tulus gadis di depannya itu kian merasa bersalah.
"Maaf, seharusnya aku tau ini lebih awal, agar aku tak menyakitimu, dan bisa berhati hati ketika sedang Bersama Nicole, Anastasya. Maaf juga, aku belum bisa membalas perasaanmu, Anastasya. Tetapi kita masih bisa berteman," jawab Gabriel merasa bersalah. Kemudian memeluk gadis di depannya itu.
Dhezia merasakan pelukan hangat Gabriel, ia merasa begitu menyedihkan. Harus di pulangkan ke Indonesia dan cintanya di tolak oleh Gabriel. Dhezia hanya tak habis pikir, bagaimana bisa ia menyukai pacar orang.Dan Dhezia tau jika Gabriel akan menolaknya jika ia mengungkapkan perasannya. Tetapi tidak apa apa, setelah ini mungkin ia tidak akan bertemu dengan Gabriel lagi. Jadi, Dhezia mungkin akan merasa lega.
"Barangkali memang benar, beberapa orang di dunia ini dipertemukan hanya untuk jatuh cinta, tapi bukan untuk bersama," batin Dhezia dengan rasa sedihnya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!