NovelToon NovelToon

When We First Met

1. Pria Aneh

Aku terbiasa sendiri, melakukan hal sendiri. Mandiri? Ya, orang menyebutku perempuan mandiri dan beberapa orang menyebutku menyedihkan. Mungkin kata menyedihkan lebih cocok denganku.

Tinggal di kota orang lain, tidak punya sanak saudara dan tidak ada sandaran. Aku hanya berdiri di atas kakiku sendiri. Itu lah aku, Luna namaku. Anak rantauan yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta.

Segera seusai shift sore, seperti biasa aku pulang dengan berjalan kaki. Udara malam ini benar-benar dingin. Sampai aku harus merapatkan jaketku. Jarak antara rumah sakit tempatku bekerja dan apartemenku tidaklah jauh, namun malam ini begitu terasa sangat jauh karena harus menghadapi badai. Anggap aku terlalu lebai.

Ah, aku harus segera mandi air hangat malam ini. Aku berhenti di depan apartemenku dan ada orang pingsan bersandar di pintu apartemenku.

Pria itu pingsan dengan kaki terkangkang, punggungnya tersandar pada pintu dan kepalanya menunduk.

Aku berjongkok di depannya. Mengamatinya lamat-lamat. Sepertinya dia orang baru, karena aku tidak pernah bertemu dengannya.

“Permisi,” kataku.

Pria itu tidak bergeming. Aku melihat keadaan sekitar dan keadaan sepi. Aku menghembuskan napas panjang dan kembali melihat pria aneh itu.

Aku mengulurkan tangan untuk mengetuk bahunya. “Bisakah kamu bergeser? Aku ingin masuk ke apartemenku.”

Pria itu bergerak, perlahan membuka mata dan menatap langsung ke arah wajahku. Tiba-tiba dia mencondongkan tubuhnya dengan wajah yang berkerut. Dia mengangkat satu tangannya dan menusuk dahiku dengan jemarinya. Kemudian dia menurunkan tangan, memejamkan mata dan kembali tidur bersandar di pintu.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan langsung berdiri. Aku membuka tasku dan mengambil kunci apartemenku di sana. Kemasukan kunci itu ke lubang dan mulai membuka pintu. Perlahan pria itu ikut jatuh ke belakang. Aku tidak langsung membukanya secara lebar. Aku membukanya perlahan-lahan.

Setelah terbuka setengah, aku mencoba masuk ke dalam apartemenku sendiri. Tangan kiriku terus memegang knop pintu sambil menahan pintu setengah tertutup agar pria itu tidak terbanting ke dalam apartemen.

“Ya, ampun dia berat banget.”

Aku merasakan ada pergelangan kakiku dicengkeram. Aku langsung terkejut dan menurunkan tatapanku.

“Lepaskan aku,” seruku.

Pria itu mendongak menatapku, cengkeramanya yang kuat membuatku terjatuh dan pintu apartemenku terbuka.

“Lepaskan aku!” Aku menarik kembali kakiku sambil berjuang masuk.

Namun lagi-lagi pria itu menangkapku dan posisi kami sungguh tidak enak dipandang. Dia berada di atasku.

“Kamu bukan Ryan.”

“Bukan, memang bukan.”

Lalu pria itu kembali pingsan dan sialnya dia berada di atas tubuhku. Tubuhku langsung kaku. Jantungku berdebar tak karuan. Aku ketakutan. Tanganku gemetar. Butuh waktu beberapa menit agar aku bisa menguasai diriku sendiri dan berpikir jernih.

Aku menelan salivaku sendiri dan menggeser tubuh berat pria itu dari atasku. Ia terjatuh ke samping dengan posisi terlentang. Dengan samar aku mendengar suara orang lain dari lorong. Aku panik dan takut. Apa yang akan dipikirkan orang lain terhadapku.

Entah otakku bagaimana tapi yang jalas kupegang kedua tangannya dan kuseret ke dalam. Setelah tubuhnya cukup masuk jauh aku langsung menutup pintu apartemenku.

“Ya ampun, aku pasti sudah gila.”

Setelah pria itu tidur pulas di lantai, aku meninggalkan dia dan segera mandi. Aku benar-benar lelah malam ini dan butuh air hangat.

Setelah mandi, aku mengambil air botol dan meminumnya hingga tandas. Akun sedikit melirik pria itu. Biasanya aku akan gugup jika ada orang tidak dikenal berada di apartemenku namun kali ini aku tidak punya firasat khawatir kecuali pria itu tiba-tiba berada di dekatku.

Ketika aku baru saja ingin ke kamar langkahku terhenti. Pria itu bukan saja sudah bangkit dari lantai. Sekarang dia duduk di sofa. Ia menunduk. Aku tidak tahu apakah dia tertidur atau sedang memulihkan kesadarannya.

Aku berjalan perlahan kebetulan kamarku dekat dengan ruang tamu.

“Kamu,” ucapnya.

Saat pertama kali mendengarkan suaranya. Jantungku terasa berdetak sangat cepat. Suaranya seakan bertalu-talu di telingaku.

“Namaku Alkins,” katanya dengan suara melantur.

Aku langsung berlari ke kamarku namun sebuah tangan mencengkeram tanganku. Aku ditarik dengan kuat ke arahnya dan ambruk ke sofa bersamanya. Aku buru-buru berusaha melepaskan diri.

“Jangan bergerak,” katanya dengan suara memohon sambil memegang tanganku. Mencoba menarikku ke sofa bersamanya.

Aku berusaha membebaskan tangan dari cengkeraman kuatnya.

“Lepaskan aku!” Aku berhasil keluar dari cengkeremannya dan ia masih ambruk di sofa.

Lalu aku terpaku di tempatku saat mendengar seseorang itu menangi. Orang itu adalah pria itu. Aku tidak mengenal pria ini tapi keterpurukannya membuatku susah untuk berpaling. Aku menatap Alkins dan pikiranku seolah berperang. Sebaiknya kubiarkan saja dia sendirian dan memberinya privasi karena aku tidak ingin terlibat masalah dengan orang lain. Atau aku terus berada di sampingnya.

Tapi entah mengapa aku merasakan simpati yang ganjil pada Alkins. Aku berjongkok dan kuulurkan tanganku untuk menyentuh bahunya.

“Kamu tidak apa-apa?”

Lalu tangannya terulur dan menggapai tengkukku dan dia menarikku ke arahnya. Aku dapat merasakan benda kenyal telah menyentuh bibirku. Seketika mataku langsung membulat dengan sempurna. Dengan spontan aku langsung mendorong tubuh Alkins dan aku berlari ke kamarku. Menutup pintu dan menguncinya.

Aku langsung beringsut di balik selimut. Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak tak karuan. Napasku tersengal. Tanpa sadar tanganku menyentuh bibirku sendiri. Rasa itu begitu asing, aku masih dapat merasakannya.

“Bibirku sudah tak suci lagi,” ucapku lirih.

Pertama kali dalam hidupku. Ciuman pertamaku diambil oleh pria asing yang tak aku kenal. Padahal ciuman pertamaku aku khusus untuk suamiku kelak.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Aku berguling-guling ke sana-ke sini layaknya anak kecil.

“Semoga ini mimpi. Semoga ini mimpi,” rapalku meyakinkan diriku sendiri.

Aku mencoba untuk menutup mata. Tapi entah kenapa rasanya sangat sulit sekali. Pikiranku berkeliaran ke mana-mana. Aku tidak suka dengan itu. Aku mengerutkan keningku berusaha untuk tidur. Bahkan aku menghitung domba-domba yang ada di benakku agar aku cepat terlelap.

“Aku ingin tidur.”

Dengan samar aku mendengarkan suara deringan dari luar. Suara itu jelas sekali.

“Apakah itu suara ponselnya?”

Jelas sekali bahwa sepertinya pria yang bernama Alkins itu enggan menjawab panggilan tersebut. Karena sedari tadi deringan ponsel itu masih terdengar.

Aku segera bangun dari ranjangku. Membuka pintu dan menyembulkan kepalaku. Mengawasi keadaan sekitar. Sepertinya bukan Alkins yang enggan menjawab pertanyaan itu namun pria itu rupanya sedang tertidur.

Perlahan aku mendekati Alkins guna untuk melihat siapa si penelepon, barangkali dia bisa membantuku untuk membawa Alkins pergi dari apartemenku.

Tak sengaja aku melihawa wajah Alkins. Meskipun tertidur, entah bagaimana dia masih tampak sedih. Alisnya bertaut, napasnya tidak teratur, tidak kunjung berganti dengan pola yang tenang.

Aku menggelengkan kepala guna agar aku bisa fokus pada tujuanku. Aku memperhatikan ponsel Alkins yang berada di sakunya. Aku segera mengambilnya dengan tenang dan rupanya si penelepon adalah Ryan.

Ryan adalah tetangga apartemenku.

“Ah, jadi kau teman mas Ryan.”

2. Sebelum Aku Dekat Denganmu

Sekarang jam 05.00 pagi dan saatnya aku bangun namun aku masih berbaring di tempat tidur, menatap kegelapann dan benakku berkontak-lonjak di seantero ruangan. Sungguh malas rasanya untuk memulai hari.

Aku menyuruh benakku untuk segera bangun.

“Bangun, bangun, aku harus segera bangun.”

Aku langsung bangun dan duduk di ranjang. Rin menelepon sebelum aku bisa beranjak untuk mandi, tapi aku membiarkan teleponnya masuk begitu saja tanpa ada niatan untuk mengangkatnya.

Aku melempar selimut dan berdiri lalu berjalan ke pintu untuk keluar kamar. Saat aku melewati ruang tamu tanpa sengaja sekelabat memori tentang pria bernama Alkins. Pria itu sudah pergi sejak kemarin malam.

Ya, saat aku mengangkat panggilannya rupanya dia adalah teman mas Ryan, tetangga depan apartemenku dan untungnya mas Ryan langsung membawanya pergi tanpa harus bertanya lebar yang pasti akan membuatku pusing.

Aku langsung mandi untuk menyegarkan badan, setelah lima belas menit aku sudah keluar dan langsung menuju ke dapur. Membuka lemari es untuk mengambil susu dan juga sereal. Jam enam lebih lima belas menit aku sudah harus berangkat bekerja.

Saat aku membuka pintu apartemenku kebetulan pintu apartemen di depanku juga terbuka. Seorang pria menatapku dengan sengit di depanku. Aku hanya bisa membalas menatap lantaran bingung bagaimana mungkin laki-laki ini sana dengan laki-laki mabuk yang kemarin pingsan.

Pria ini membuatku gentar. Sebab dia tampak marah. Dia mengawasiku seolah aku harus menyampaikan permintaan maaf atau penjelasan padanya. Alkins bersandar di pintu sambil bersedekap. Sikapnya defensif, seolah aku yang bertanggung jawab atas kejadian buruk yang dialaminya semalam.

Aku segera mengunci pintu apartemenku dan pergi dari sana. Sialnya Alkins seolah mengikutiku dari belakang tanpa kata apa pun. Aku dapat merasakan bahwa pria itu sedang mengawasiku dari belakang.

Aku segera masuk lift dan lagi-lagi Alkins mengikutiku. Dalam lift hanya ada aku dan Alkins.

“Kamu.”

Aku mendengar suara lembutnya yang menyusup ke telingaku dan menjalar ke setiap saraf di tubuhku. Aku langsung mendongak dan menatapnya.

“Ya?” Jawabku.

Alkins menatapku dengan tajam sejenak lalu sedikit menunduk ke depan sambil melengkungkan satu alis. Namun bibirnya sama sekali tidak terbuka dan itu membuat kesal. Lift ini terasa lama sampai lantai satu.

Oh hebat. Aku bertetangga dengan pria yang mabuk berat yang dingin seperti kulkas pintu dua.

Ting, suara lift terbuka dan aku cepat-cepat keluar untuk menghindari Alkins, sialnya karena aku gugup kakiku keserimpet. Aku siap-siap melenyapkan diri dan berbaur jika aku jatuh ke lantai. Namun anehnya aku tidak merasakan sakit apa-apa. Aku dapat merasakan sebuah tangan kekar menahan tubuhku dari belakang.

Aku langsung berdiri tegak, memasang tembok pertahanan tak kasatmata dengan sikap dan bahwa tubuh yang kaku. Alkins masih menatapku tanpa kata, jika menilai dari tatapan kerasnya yang tak mau beralih dariku. Dia hampir seperti menatapku dengan jijik dan itu membuatku semakin tak suka padanya.

Aku berdehem dengan gugup, “Terima kasih,” ucapku lalu pergi begitu saja. Aku harus segera menjauh dari pria bernama Alkins.

Sesampai di rumah sakit, seperti biasa aku melakukan operan shift dan setelah itu bekerja sesuai jobdesk masing-masing yang sudah di delegasikan. Huh, hari ini sangat luar biasa sibuk dan waktu tanpa terasa sudah memasuki jam dua siang.

Perutku terasa lapar, susu dan sereal yang aku makan tadi pagi seakan kini sudah melebur dan tapa sisa. Aku segera pulang dan di tengah-tengah perjalanan rupanya hujan lebat tengah mengguyurku.

Aku membenci itu, kenapa tidak pas aku sudah sampai di apartemen. Aku segera berlari ke tempat halte bus untuk berteduh sementara waktu.

“Huh, kenapa tiba-tiba hujan?”

Aku sedikit mengibas-ngibaskan bajuku yang terkena hujan dan tanpa sengaja saat aku menoleh aku bertemu Alkins. Alkins berdiri tepat di sampingku dengan menggunakan earphone di kedua telinganya.

Sebagai orang yang ramah bukankah aku harus menyapanya namun melihat dia yang seperti tak peduli dengan keadaan sekitar, aku mengurungkan diri untuk menyapanya. Pura-pura tidak melihatnya seperti yang dia lakukan padaku sekarang.

Hujan sepertinya semakin lebat dan angin mulai menerpa. Aku sedikit bergeser agar tidak terkena air hujan.

“Ah, ini sungguh membuatku tidak nyaman.”

Genangan air di depan halte bis semakin terlihat. Aku melihat sebuah mobil yang melaju dengan kencang. Aku bersiap-siap untuk menghindarinya.

Byur.. aku menutup mata dan aku merasakan sebuah detakan jantung yang bertalu keras. Itu jelas bukan suara jantungku. Aku mengenal suara jantungku sendiri. Aku mencoba untuk membuka mata dan yang aku lihat benar-benar membuatku terkejut.

Aku memeluk Alkins dari samping dan pria itu membuka payungnya untuk menghindari cipratan air. Sadar akan posisi kami yang ambigu. Aku segera menjauh. Ah, itu sungguh memalukan. Dia pasti berpikir aku orang aneh.

Aku menundukkan kepala karena benar-benar malu. Aku mencoba meliriknya dan sepertinya dia sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi dengan beberapa menit yang lalu. Dia masih berdiri tegak dengan wajah dingin dan kaku.

Saat aku ingin meminta maaf dan meluruskan semuanya namun bis datang dan dia langsung pergi tanpa kata. Aku hanya bisa menatapnya dengan bengong dan kesal.

“Ada apa dengannya?” Ucapku sungguh kesal.

...…...

Saat ini aku sudah berada di apartemenku. Aku sedang mengeringkan rambut dengan handuk di depan kaca. Entah kenapa aku terus menggerutu jika aku teringat dengan kelakuan Alkins. Seharusnya aku tidak memikirkan pria itu.

Namun otakku terus berputar Alkins, Alkins dan Alkins. Aku akui dia pria yang tampan dan tinggi. Jangan lupakan lengannya yang kuat dan dada bidangnya yang kokoh. Astaga aku ini sedang memikirkan apa.

Aku menghembuskan napasku panjang dan menatap pantulan diriku sendiri di cermin. Di lihat-lihat aku tidak begitu jelek, ya meskipun aku akui aku tidak secantik orang-orang di luar sana. Aku juga tidak terlalu pendek,150 cm bukankah itu sudah cukup.

Tapi mengapa tidak ada orang yang tertarik padaku. Terkadang aku berpikir apa salahku sehingga jodoh tak datang sampai umurku sudah berada di angka dua puluh tujuh.

“Oh, ayolah Luna. Apa yang kamu pikirkan? Kamu harus bersyukur. I’m sexy, Free and single.”

Aku langsung mengambil ponselku dan membuka aplikasi Spotify. Mendengarkan musik adalah jalanku untuk menikmati hari. Aku langsung bersenandung riang sambil mengeringkan rambut. Menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, sejenak melupakan masalah yang menimpa kehidupanku.

Besok aku libur bekerja, aku ingin tidur sepanjang hari tanpa melakukan apa pun.

3. Sebelum Kamu dan Aku Menjadi Kita

Sekarang jam 8.30 pagi, aku baru saja turun dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin. Aku mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Melihat apakah ada pesan di sana dan rupanya seperti biasa tidak ada satu pun pesan yang datang.

“Ah, apa yang aku harapkan.”

Aku menyetel musik kesukaanku. Menari adalah cara ampuh untuk mengusir pikiran-pikiran negatif. Aku terus bergerak menari sembil membereskan tempat tidurku. Setelah itu aku mengambil cucian kotor yang siap aku giling di mesin cuci. Ah, liburku kali ini aku buat untuk beres-beres apartemen.

Mencuci baju sudah, menyapu sudah, ah mandi yang belum. Aku mencium bauku sendiri dan aku harus benar-benar mandi. Namun suara ketukan dari pintu membuatku mengurungkan niat untuk mandi.

Aku segera berlari untuk membuka pintu.

“Hai, Luna.”

“Hai,” ucapku pada Ryan.

“Sepertinya kamu baru saja melakukan olahraga.”

“Apa?”

Ryan memberi kode pada dahiku dan refleks aku langsung menyentuh dahiku. Aku merasakan basah di sana. Ah, keringat itu membuatku malu.

“Aku ingin mengajakmu makan siang hari ini, jika kamu tidak keberatan.”

“Apa? Makan siang?” Tanyaku.

Apakah aku tidak salah dengar. Kami tidak terlalu akrab meskipun kami sering menyapa jika bertemu tapi bukanlah itu hanya etika jika bertemu tentangga.

“Ya, ada restoran dekat sini yang baru buka. Kebetulan aku mempunyai tiket gratis. Aku ingin mengajakmu sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menampung Alkins yang sedang mabuk kemarin.”

Aku berdehem dengan gugup. “Baiklah.”

“Kita akan bertemu lagi sebelum makan siang.”

Aku mengangguk dan menutup pintu begitu Ryan pamit. Aku langsung berlari ke kamar mandi dan menatap diriku sendiri di cermin.

“Apa yang baru saja aku katakan. Aku bersdia makan siang bersama Ryan dan pastinya ada Alkins di sana. Aku pasti sudah gila,”

Jujur saja ini adalah makan siang pertamaku bersama seorang pria. Meskipun itu hanya dengan tetangga. Aku tidak pernah sekalipun makan siang di luar dengan orang lain. Aku sering makan luar sendirian.

Aku sangat bingung dan gugup. Bingung dengan apa yang aku pakai nanti dan gugup dengan apa yang harus aku lakukan nanti. Aku tidak mau dikatakan wanita aneh.

“Apa aku sebaiknya tidak ikut saja. Aku beri alasan saja kalau aku tidak bisa pergi karena ada perlu mendadak.”

Semakin aku memikirkan semakin aku menjadi gila.

“Ayo lah Luna itu hanya makan siang biasa tapi masalahnya pada Alkins. Pria itu, aku tidak bisa dekat-dekat dengannya. Pria itu terlalu berbahaya.”

Aku mengambil sikat gigi dan juga pasta gigi. Aku menggosokkan gigiku dengan lembut. Lalu sekelebat bayangan Alkins di depanmu membuatku merasakan hal samar dalam hatiku.

“Tatapan itu,” ucapku.

...…...

Aku celingukan saat berada di kafe. Aku mengamati sekeliling dan menemukan Ryan dan Alkins sedang membicarakan sesuatu. Aku berjalan ke arah mereka dengan pelan dan gugup. Ah, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku yang berjalan ke arah mereka.

Aku dapat mendengar Ryan melemparkan pertanyaan pada Alkins.

“Jadi semuanya baik-baik saja. Bukan wanita kekanakan-kanakan ya, kamu lebih suka wanita yang lebih dewasa,” ucap Ryan.

Aku melihat ekspresi Alkins yang sepertinya tidak menyukai topik pembicaraan Ryan. Alkins dengan wajah datarnya dan juga dinginnya.

“Itu memang sifatnya,” ucapku lirih tanpa sadar.

“Huh? Hai Luna, kamu sudah datang.”

Aku mengangguk dan duduk di samping Ryan. Aku menatap Alkins sekilas. Pria itu hanya melirikku sekilas tanpa berminat menyapaku. Bahkan ketika Ryan memperkenalkanku.

“Baiklah karena kita semua sudah datang, mari kita bersulang.”

“Bersulang.”

Aku minum jus jeruk sementara Alkins dan Ryan minum cola.

“Luna, jangan sungkan-sungkan.”

“Baiklah,” ucapku.”

“Mari bersulang untuk itu.”

Aku menyuapkan pesanan yang sudah di pesan Ryan. Aku mencoba untuk bersikap biasa dan santai. Tapi memang dasar kau yang tidak pernah makan siang bersama orang asing dan lawan jenis tanpa sadar tanganku gemetaran.

Itu hal biasa yang aku alami ketika berada di tempat asing dan dengan orang asing.

“Ini sangat memalukan.”

“Aku akan ke kamar mandi dulu,” pamit Ryan.

Sepeninggal Ryan, suasana menjadi sunyi dan aku tidak menyukai itu. Aku memang tidak suka keramaian tapi aku lebih benci dengan kesunyian.

Aku sedikit melirik ke arah Alkins. Aku mengamatinya sampai mataku terjatuh pada tangannya yang sedikit memar. Ah, itu pasti karena ulahku. Aku menendang tangannya untuk melepaskan diri kemarin.

Aku merasa bersalah.

Aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk meluruskan semuanya dan meminta maaf. Aku mencuri pandang-pandang dengan Alkins dan sialnya mata kami bertabrakan dan itu membuat suasana menjadi awrkdawrkd.

“Itu tanganmu…”

Aku mencoba menatap Alkins dan pria itu menatapku juga.

“KAmu pingsan di lorong apartemen semalam saat aku tiba. Aku tidak tahu siapa kamu tapi kamu mencoba menarik kakiku jadi aku berusaha melepaskannya. Tanganmu hanya memar jadi kompres saja dengan air es. Aku membantumu untuk masuk ke dalam apartemen bukan untuk niat jahat lalu ponselmu berbunyi dan itu dari Ryan jadi aku mengangkatnya dan memintanya untuk menjemputmu. Maaf jika aku kurang sopan.”

Rahang Alkins menegang.

“Mari kita berkenalan dengan cara yang benar,” ucapku.

“Siapa namamu?” Tanyanya.

“Luna,” ucapku. Aku benci suaraku. Kedengarannya terlalu lemah dan bergetar.

Dia mengangkat dagu sedikit.

Aku mendengar langkah kaki mendekat dari belakang. Aku bisa memastikan itu adalah Ryan tanpa harus menoleh.

“Apa yang kalian bicarakan tanpaku?” Tanya Ryan.

Aku tidak menjawab begitu pula dengan Alkins, pria itu malah memandangku. Benar-benar memandangku. Matanya menemui mataku dan terus menatap tajam.

“Tidak ada,” ucapnya singkat.

Setelah makan siang kami semua kembali ke apartemen. Kami masuk ke dalam lift. Cara Alkins mundur selangkah sambil mempertahankan kontak mata membuatku agak tidak nyaman.

Alkins akhirnya memutuskan kontak mata dan mengeluarkan ponsel dari saku. Aku memanfaatkan untuk pergi ke bagian dalam lift. Jadi posisi kami, aku berada di tengah-tengah mereka paling dalam. Sementara Alkins dan Ryan berada di depanku.

Dari posisiku aku dapat memperhatikan Alkins. Aku menyimpulkan bahwa penampilan Alkins benar-benar bertolak belakang. Rambutnya seolah tidak bisa memutuskan apakah ingin berwarna cokelat atau pirang.

Kepribadiannya membingungkan, acuh tak acuh sehingga tidak peka. Sangat dingin dan pendiam.

Sikap tubuh Alkins yang santai bertentangan dengan tatapan galak yang aku lihat. Matanya seolah tidak bisa memutuskan apakah ingin melihat ponsel atau menatapku, karena silih berganti menatapku dan ponsel beberapa kali sebelum pintu lift terbuka.

Aku berhenti menatap Alkins dan menjadi terakhir yang keluar dari lift.

“Kamu shift apa hari ini, Luna?” Tanya Ryan.

“Aku libur.”

“Sampai besok?”

“Ya.”

Dan sepanjang jalan ke lorong ke apartemen, aku dan Ryan terus berbicara sementara Alkins tidak berbicaera sepatakh kata pun,.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!