DILARANG BOOM LIKE😠
SUKA, SILAKAN BACA🥰
TIDAK BERKENAN SILAKAN TINGGALKAN 🙏
KARENA MENULIS ITU TIDAK MUDAH 🤗
****************************
"Tolong hentikan kegilaan papa! Jika minta yang lain mungkin aku akan dengan suka rela mengabulkan. Setidaknya, kalau pun papa ingin menjodohkan ku, kenapa tidak dengan anak rekan bisnis papa saja? Atau dengan wanita dari kalangan biasa juga rasanya aku tidak masalah, asalkan bukan dengan dia!" telunjuk itu tepat mengarah di wajah wanita berjilbab biru yang sedang tertunduk lesu. Ia memeluk kuat nampan di dada. Merasakan, hunusan telunjuk tepat menikam jiwa. Menghantam ulu hati hingga terasa nyeri. Menjadikan tubuh mungil itu menegang, takut.
Gadis berjilbab biru itu, namanya Sania, sering dipanggil Nia. Umurnya baru menginjak kepala dua. Ia bekerja paruh waktu sebagai pembantu di rumah itu. Dia juga masih kuliah, semester lima disalah satu universitas di kota itu.
"Aku nggak ngerti dengan jalan pikiran papa, kenapa bisa menjodohkan aku dengan wanita cacat seperti dia?! Entah pelet apa yang sudah di berikan di makanan papa? Sehingga begitu kekeh ingin menjadikan dia sebagai menantu? Apa sih lebihnya dia? tidak ada yang bisa dibanggakan!" suara lantang, wajahnya merah padam menandakan ia tengah meluapkan amarah.
Belum puas melampiaskan kesalnya, ia kembali bersuara "Bikin malu. Apa kata teman-teman, keluarga juga rekan bisnisku, jika mereka tau aku memiliki istri cacat? Dan jika aku punya anak, dia juga pasti akan merasakan hal yang sama, malu dengan teman-temannya karena punya ibu cacat seperti dia. Ah.........!" nada bicara semakin ketus, lama-lama, kata-katanya semakin tidak berperasaan. Selalu kata cacat dan cacat yang bermain di lidah jahanam itu.
Air mata Nia luruh menetes kelantai. Tanpa mampu lagi ia tahan. Biasa, ia memilih tidak peduli jika ada orang mengatainya di belakangan. Baru kali ini ia dihina secara terang-terangan, sakit terlampau sakit.
"Cukup!" Suara itu menggelegar diruang keluarga. Bersamaan dengan satu bunyi tamparan.
Plakkk.....!
Dirga menyentuh sebelah pipi yang terasa kebas. Ya, laki-laki bermulut jahanam itu Dirga, anak satu-satunya pak Ramlan, usianya hampir di kepala tiga. Sudah punya pacar, namun belum berniat menikah. Lebih tepatnya sang kekasih lah yang meminta dirinya untuk menunda dulu, karena ia masih ingin fokus berkarir sebagai sekretaris di perusahaan sahabat Dirga.
Sejak kecil belum pernah ia merasa telapak tangan pak Ramlan, ini pengalaman pertama kali. Sebab pak Ramlan adalah tipe orang tua penyayang juga penyabar. Namun kali ini, ucapan Dirga benar-benar keterlaluan.
"Kalau memang kau menolak perjodohan ini, papa tidak masalah. Asal jangan kau hina Nia!" marah pak Ramlan pada putranya yang minim akhlak.
Dirga tertawa sinis, tatapannya kembali lekat pada gadis cacat yang ada dihadapannya. "Hanya gara-gara dia" telunjuk itu kembali menghunus wajah Nia. "Papa sampai menamparku? Tunjuk Dirga pada dirinya. Sama sekali ia tak bisa terima. Ini satu penghinaan atas harga diri yang ia miliki.
"Hebat....!" tiga kali tepukan tangan dimainkan, jangan lupakan tawa sinisnya. "Tak kusangka di balik wajahmu yang selalu tertunduk sok polos itu, tersimpan akal busuk!. Selamat sudah berhasil mencuci otak papaku, tapi sorry tidak dengan aku" Dirga semakin menatap benci pada Nia.
"Berhenti menyalahkan Nia! Dia tidak tau menahu tentang perjodohan ini! Ini semua hanya rencana papa dan almarhumah ibu mu. Kalau kamu tidak berkenan ya sudah, tinggal papa batalkan saja. Tidak perlu mulutmu berkata kotor seperti itu!. Hari ini papa benar-benar kecewa, ternyata papa gagal sebagai orang tua" Mata tua pak Ramlan menatap Dirga penuh kecewa. Setelah mengatakan itu, pak Ramlan mengayun langkah menuju kamar pribadinya. Jangan lupakan tangan kanan yang sejak tadi memegang dada kiri. Menahan rasa sakit karena ada yang menusuk jantungnya.
Sania masih terdiam membisu, sekarang ia merasa sangat bersalah. Karena dirinya pak Ramlan sang majikan harus bertengkar hebat dengan anak kandungnya sendiri, Dirga.
"Puas kamu ha....? sesaat kepergian pak Ramlan bentakan kembali Nia dapatkan.
"Mulai hari ini, jangan pernah muncul dirumah ini lagi!!! Cam kan itu!!!" peringatan keras, penuh intimidasi. Setelah mengatakan itu, Dirga juga turut pergi, bukan ke kamar seperti pak Ramlan, tetapi garasi. Masuk ke dalam kuda besi, dan menghidupkan mesin. Kalau sudah setres begini, ia butuh pelampiasan, apartemen Geby jadi tujuan. Kekasih yang sudah tiga tahun dipacari.
Nia luruh ke lantai, nampan ditangan lepas begitu saja. Tangisnya pecah, sungguh ini terasa sakit. Berkali-kali memukul dada yang terasa sesak, berharap memberi ruang agar oksigen bebas masuk ke paru-paru.
Sedikit pun tidak pernah terlintas di hati untuk menjadi istri, apalagi menguasai harta Dirga, bermimpi saja ia tidak berani. Siapa lah dia, hanya wanita yang selalu dipandang sebelah mata karena kekurangan fisiknya.
Puas menumpahkan air mata, Nia bangkit dari lantai, meraih nampan dan mengemaskan kembali dua gelas kopi di atas meja yang tak tersentuh. Dibawa kebelakang untuk segera dicuci. Sesuai perintah Dirga, ia harus segera pergi, dan tidak akan pernah menampakkan wajahnya lagi. Itu artinya hari ini terakhir dia bekerja di rumah pak Ramlan. Setelah sebelumnya dirumah inilah dua tahun tempat ia menggantungkan hidup. Bagaimana nasibnya setelah ini? Nia pun tidak tau. Tapi jika dengan ia pergi Dirga merasa puas, maka itu yang akan ia lakukan.
Tangan Nia menggantung, saat akan mengetuk pintu kamar pak Ramlan. Ia ragu, takut tidak bisa mengucapkan salam perpisahan pada lelaki tua yang sudah dianggap bagai ayah sendiri. Pak Ramlan terlalu baik padanya. Saking baiknya, pak Ramlan berniat menjodohkan dirinya yang cacat dengan anaknya yang sempurna.
Pak Ramlan orang yang sangat baik, sudah Nia anggap bagai ayah sendiri. Tanpa bertemu pria tua itu, Nia tidak mungkin bisa berkuliah hingga semester lima. Semenjak sang ayah berpulang, jangankan uang untuk kuliah, untuk makan bersama sang ibu saja ia sering kekurangan.
Tangan yang menggantung, akhirnya Nia tarik kembali. Mungkin dengan bahasa surat, lebih mudah menyampaikan pengunduran diri, juga salam perpisahan. Dan tidak lupa disalah satu paragraf Nia selipkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Ramlan juga Dirga.
Sania menaruh surat itu diatas meja santai pak Ramlan yang ada di taman belakang. Karena biasanya, laki-laki tua itu, tiap hari akan berantai di sana. Tidak lupa Nia menimpa surat itu dengan asbak rokok yang biasa digunakan untuk menampung abu pembakaran.
Cepat Nia melakukan semuanya, tidak ingin jika berhadapan dengan lelaki berwajah teduh, mengubah niat yang sudah terbangun kuat, pergi.
***
Apartemen Geby
Dua insan baru saja mengerang panjang, seiring pelepasan yang keduanya dapatkan. Nafas keduanya masih terdengar memburu, sisa mengejar puncak *******.
Dirasa sedikit mulai tenang, Dirga mencabut diri dan berguling di sisi wanita berwajah seksi yang tengah terpejam, menikmati sisa-sisa percintaan.
Satu kaki, Dirga gunakan untuk menarik selimut yang hampir terjatuh kelantai, guna menutupi tubuh polos mereka. Setelah memberi kecupan sayang di kening sang pacar, Dirga merapatkan badan memeluk tubuh langsing Geby dan ikut menyusul berlayar ke alam mimpi.
Sungguh perbuatan laknat yang tidak pantas untuk ditiru.
Bersambung.......
Pak Ramlan dibuat naik pitam. Emosinya kembali melonjak, kala selesai membaca surat yang tergeletak di atas meja santainya. Sama sekali tidak menaruh curiga, mengira hanya kertas biasa. Tapi setelah dicermati, semakin menumbuhkan rasa penasaran.
Pelan pak Ramlan mengangkat asbak rokok yang menimpa sebagian kertas. Setelah kertas ditangan, pelan membuka lipatan demi lipatan. Alangkah terkejutnya dia, saat mata mulai menggulir membaca tulisan tangan Nia.
'Assalamualaikum....pak
Semangat...! semangat......! Nia yakin bapak lelaki kuat, he...he..... Becanda pak.
Pak...., Nia pamit ya? Hari ini, terakhir Nia bekerja dirumah bapak. Tolong halalkan makan minum Nia selama dua tahun ini. Juga tolong dimaafin jika Nia maupun keluarga ada melakukan salah baik sama bapak maupun kak Dirga.
Sebelumnya, Nia pengen ngucapin banyak terima
kasih atas kebaikan bapak juga kak Dirga. Terima kasih karena telah mempekerjakan wanita cacat seperti Nia. Orang lain mungkin akan berpikir seribu kali untuk menerima Nia bekerja, secara....., Nia berbeda dari orang kebanyakan.
Tanpa pertolongan bapak dan kak Dirga, mungkin kuliah Nia juga hanya berakhir di semester satu. Terdengar lucu tapi itulah faktanya pak. Nia janji, akan tetap menyelesaikan kuliah Nia. Karena sejak Nia kecil, Almarhum bapak selalu bilang ingin melihat Nia memakai toga. Soal biaya bapak jangan khawatir, Nia masih punya sedikit tabungan. Jadi, berhentilah mengirim uang di rekening Nia, jika itu masih bapak lakukan, maka Nia akan memblokir pertemanan kita, he.... Bukan mengancam ya pak, Nia hanya ingin belajar berdiri di kaki sendiri. Sudah terlalu banyak kebaikan yang bapak berikan pada Nia juga ibu.
Jangan pernah mengungkit kejadian masa lalu, karena itu akan membuat almarhum bapak tak tenang di alam sana. Kami sekeluarga sudah ikhlas. Semua yang terjadi adalah garis takdir dari Allah. Itu bukan salah kak Dirga. Tolong tetap rahasianya semua ini dari kak Dirga.
Dan satu lagi pak, tolong jangan jodohin Nia sama kak Dirga lagi. Nia nggak pantas buat dia'
Nia...
"Jika itu yang Nia inginkan, akan bapak kabulkan. Biarkan suatu hari nanti, Dirga yang bodoh itu akan menyesal karena menolak wanita sebaik dirimu. Dan bila saat itu tiba, bapak adalah orang pertama yang akan menertawakannya" monolog pak Ramlan penuh kegetiran. Cepat ia melipat kembali surat yang barusan dibaca. Dan menyimpan kedalam saku celana.
***
Dua manusia laknat, kembali bermain pacuan kuda. Seakan tidak pernah puas, mereka kembali mengulang pergumulan, saat terbangun dari tidur yang lumayan panjang.
Permainan diakhiri ketika keduanya kembali mengerang panjang. Petanda surga dunia kembali mereka dapatkan.
Kini keduanya berada di meja makan. Geby dengan baju kaos putih over size nya, sedang Dirga masih bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek selutut. Setelah sebelumnya mereka membersihkan diri seadanya.
Karena rasa lapar yang mendera. Cepat Dirga memesan makanan secara delivery. Dua porsi nasi goreng seafood sebagai pilihan santap malam kali ini.
Dirga dengan telaten menyajikan nasi goreng ke dalam piring. Sedang Geby sibuk menggulir layar hape. Sekali-kali terlihat senyum di wajah seksinya.
"Siapa?" Dirga meletakkan dua piring nasi goreng yang barusan selesai ia tata ke dalam piring. Satu piring di angsurkan ke hadapan Geby. Satu piringnya lagi untuk dirinya.
Geby melirik Dirga sekilas, lalu kembali fokus pada layar hape yang masih menyala. "Teman..." jawaban singkat yang sudah biasa Dirga dapatkan.
"Makan dulu Geb, ntar nasinya dingin!"
"Ia sebentar, dikit lagi..."
Disela-sela suapan, Dirga masih mengamati gerak-gerik Geby yang masih sibuk dengan layar hapenya. Kalau sudah begini, Dirga hanya bisa menggeleng kepala. Tidak ingin memicu pertengkaran, Dirga memilih menikmati nasi goreng. Lagian, ini pemandangan yang sudah biasa ia dapatkan.
Puas berbalas pesan, Geby meletakkan hape di samping piring nasi gorengnya. Baru akan memulai menyantap makanan yang sudah mulai dingin. Dirga sendiri sudah menyelesaikan makan malamnya. Menarik teko kaca, lalu mengisi gelas kosong dengan air putih.
Selesai satu suapan, Geby menatap Dirga yang tengah membasahi kerongkongannya.
"Ada apa?" Dirga tau ada sesuatu yang ingin Geby katakan.
"Besok, anak-anak kantor ada acara di puncak"
"Kok mendadak?"
"Ia..., soalnya mereka juga baru ngasih tau sekarang. Jadinya kan.....aku juga baru pada tau" Geby memasang wajah cemberut. Jurus jitu meluluhkan Dirga.
"Kita udah janji lho Geb, besok mau ngabisin waktu berdua. Jarang-jarang kita bisa liburan bareng. Apalagi semenjak kamu jadi sekretaris, kerjaannya sibuk melulu. Mana ada waktu untuk aku" Dirga meluapkan uneg-uneg yang selama ini ia pendam sendiri.
Kali ini wajah Geby benar-benar marah. "Maksud kamu apa sih...? Bukannya kita barusan ngabisin waktu bersama. Padahal sebelumnya aku udah bilang, capek..., akunya juga baru pulang kerja. Tapi demi kamu, aku nurut. Sekarang giliran aku ingin have fun bareng temen-temen kamu kayak keberatan gitu. Kamu jadi laki-laki selalu egois, suka mentingin diri sendiri!"
Tling........
Bunyi sendok berdenting nyaring beradu dengan piring, saat dibanting kuat oleh Geby yang tergerus emosi.
Sesaat setelahnya kaki kursi juga turut berderit nyaring, Geby bangkit meninggalkan nasi yang baru dicicipi satu sendok. Mengayun langkah menuju peraduan. Hatinya tengah panas, kalau sudah begini selera makannya pasti menghilang.
Lagi-lagi Dirga menarik nafas panjang, kalau sudah begini dialah yang terpaksa mengalah. Ia pun bangkit menyusul Geby yang barusan pergi.
Dari belakang, dipeluknya tubuh langsing Geby dengan erat. Menciumi ceruk leher juga pipi sang kekasih, "ia....kamu boleh pergi" desahnya pada akhirnya.
Spontan Geby memutar posisi, menghadap Dirga dengan wajah sumringah. "Beneran kamu ngijinin aku buat pergi?" matanya berbinar kebahagiaan.
Dirga mengangguk mengiyakan. Seulas senyum kecil ia selipkan. "Tapi ingattt...!!! Jangan nakal!" mencubit gemes dihidung bangir Geby.
Geby yang antusias membalas dengan mengecup bibir Dirga. Bukan Dirga namanya jika dengan mudah melepaskan Geby. Dengan cepat ia menahan tengkuk Geby. ******* rakus, bibir seksi bentukan piler. Kalau sudah dalam kondisi begini, keduanya pasti kembali hanyut dalam kubangan dosa.
***
Dirumah Sederhana berukuran tiga enam.
Sania baru saja menjalankan sholat isya. Kali ini doa yang dipanjatkan lebih panjang. Mengadukan nasib juga kehidupan yang akan datang. Memasrahkan diri dalam petunjuk Tuhan.
Wanita tua yang duduk dikursi roda yang tak lain buk Fatimah, menatap bangga pada putri tercinta. Ia yang tidak sengaja melintas di depan pintu kamar Nia, melihat pemandangan yang menyejukkan mata.
"Ibuk?" Sania yang baru selesai dengan ibadahnya, baru menyadari ada buk Fatimah di depan pintu kamar.
Buk Fatimah memutar roda kursinya, masuk ke dalam kamar Sania. Nia sendiri masih sibuk membereskan perlengkapan shalat.
"Ibuk belum tidur?" Nia duduk pinggir kasur kapuknya, menghadapkan kursi roda buk Fatimah kehadapannya.
"Barusan terbangun, haus....jadi ibuk pergi ke dapur mencari minum. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Besokkan mau kuliah, sorenya juga mau kerja kan? Jadi harus cukup istirahat" buk Fatimah tau, bagaimana capeknya Sania setiap harinya. Ia menatap teduh wajah ayu Sania.
Raut wajah Sania berubah, ketika masalah kerja disinggung.
"Kenapa?" insting seorang ibu yang kuat, dapat menangkap ada sesuatu yang sedang Sania pikirkan.
"Nia nggak lagi kerja buk" Nia tertunduk lesu.
Sebenarnya buk Fatimah terkejut mendengar kabar Nia tidak lagi bekerja. Setau buk Fatimah, keluarga pak Ramlan dikenal baik.
"Apa Nia ada ngelakukan salah?" buk Fatimah mencoba mencari tau penyebab Nia berhenti bekerja.
Nia menggeleng lemah. Ia masih tertunduk tidak berani menatap wajah ibunya.
"Lalu....?"
Sania mengangkat wajah, menatap dalam
wanita yang sudah melahirkannya. Ia masih ragu-ragu untuk bercerita.
"Pak Ramlan ingin menjodohkan Nia dengan anaknya" baru mendengar sedikit cerita Nia, buk Fatimah terkejut luar biasa. Karena yang ia tau, anak pak Ramlan adalah laki-laki sempurna. Mapan materi, juga ganteng fisiknya. Mana mungkin semudah itu pak Ramlan ingin menjodohkan dengan Nia yang dia sendiri juga tau bagaimana kondisinya.
"Kak Dirga menolak keras perjodohan ini. Kak Dirga menuduh Nia lah yang meminta pak Ramlan untuk perjodohan ini. Dia marah dan meminta Nia untuk tidak lagi datang kesana, hik.....hik....." Nia menangis juga akhirnya.
Buk Fatimah mengelus sayang pucuk kepala Nia. "Sekalipun Nia nggak pernah bermimpi buk" ucap Nia disela tangisnya.
"Iya..., ibuk percaya..., udah nggak usah nangis, soal rezki kita pasrahkan sama Allah"
Bersambung......
Hampir sebulan semenjak tidak lagi bekerja paruh waktu dirumah pak Ramlan, Nia dengan segala keterbatasannya berjualan kerupuk di lampu merah. Tidak ada kata malu atau pun menyerah. Selama yang dikerjakan halal, Nia akan semangat melakukannya.
Sudah mencoba berkali-kali memasukkan lamaran dirumah-rumah makan, semisal diterima jadi tukang cuci piring pun ia rela. Hanya saja semua menolak Nia yang cacat, dan menganggap Nia hanya bercanda karena mana bisa Nia bekerja dengan tangan yang seperti itu.
Tidak cukup dirumah makan, Nia juga mencoba melamar di tempat laundry, tapi semua menolak dirinya. Inilah sebabnya ia sangat berterima kasih pada pak Ramlan, orang berhati mulia, yang pernah mempekerjakan Nia tanpa memandang kekurangan. Hasil pekerjaan Nia pun tidak pernah dipermasalahkan.
Tabungan Nia yang tak seberapa, semakin hari semakin menipis, mau tak mau Nia menawarkan diri pada tetangga untuk membantu menjualkan kerupuk udang. Mengambil untung dua ribu dari tiap bungkusnya saat kerupuk laku terjual.
Di sinilah Nia saat ini, perempatan lampu merah. Berjualan kerupuk udang. Satu tangan mengapit keranjang. Sedang tangan satunya digunakan untuk memegang satu bungkus kerupuk yang akan ditawarkan.
Panas terik, debu dan polusi serta asap kendaraan sudah menjadi makanan Nia selama seminggu ini. Ia akan sedikit terseok-seok saat berlarian membawa keranjang dagangan yang berisikan belasan bungkus kerupuk udang, menuju para pengguna jalan yang sedang berhenti di lampu merah.
Sesekali ujung jilbab segi empat berwarna baby pink, yang menjuntai panjang, dijadikan sapu tangan untuk mengelap keringat yang bercucuran di dahi. Berbaju kaos lengan panjang warna krim, serta mengenakan rok plikset hitam sebagai bawahan itulah seragam Nia hari ini. Warna pakaian yang dinilai serampangan. Jauh dari kata modis apalagi seksi. Bagi Nia bisa menutup aurat secara sempurna itu yang paling utama. Lagian baju yang dipakai terbilang bersih, meskipun warnanya sudah mulai memudar.
Sungguh penampilan Nia tidak masuk kedalam selera laki-laki kota yang mencintai wanita dari luarannya saja. Laki-laki yang lebih mengutamakan penampilan ketimbang iman.
Termasuk Dirga yang secara tidak sengaja melihat keberadaan Nia diantara anak-anak yang ngamen, memandang dengan tatapan meremehkan, jijik dan nggak banget.
Dulu dia bersikap biasa saja pada Nia, malah terkadang mengantarkan Nia ke kampus pun ia pernah, dimintai tolong oleh pak Ramlan tentunya. Namun setelah tau pak Ramlan sempat berniat menjodohkan dirinya dengan Nia, rasa benci itu tidak bisa ditolak lagi. Bercokol tertanam kuat dalam hati, sehingga hanya kata membenci yang ia peruntukkan untuk Nia.
Nia dan Geby tak bisa di bandingkan, dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Geby yang tampil seksi nan modis dengan rok mini kekurangan bahan, serta baju kemeja putih transparan yang terbuka dua kancing di atasnya, sungguh pemandangan yang menggoda iman. Apalagi sepertinya Geby duduk dalam posisi menantang di samping Dirga yang sibuk dengan setirnya. Ada rasa bangga tersendiri bisa menjadikan Geby sebagai kekasih. Secara body yang langsing namun sintal, juga cara berpakaian Geby yang benar-benar memenuhi nafsu dirinya sebagai lelaki dewasa.
Seringai licik muncul diwajah Dirga saat melihat Nia berjalan mendekati mobilnya. Dirga sengaja menurunkan kaca di samping Geby. Geby melirik penuh tanda tanya pada kekasihnya itu. "Kenapa diturunkan?"
Dirga hanya menunjuk dengan dagunya. Geby mengikuti arah pandang Dirga. Seorang gadis yang sedang menjinjing satu keranjang penuh kerupuk lah yang jadi tumpuannya.
"Mau beli kerupuk itu?" Geby menyerngit bingung, tidak biasanya Dirga memakan makanan yang dijual serampangan pinggir jalan, terkesan jorok.
Dirga tidak menjawab. Namun seringai licik masih melekat di wajahnya.
"Mau kerupuk mbak?" tanya Nia lembut pada Geby yang terduduk bingung. Ia kembali melirik pada Dirga.
"Kamu mau?" Geby kembali memastikan.
Deg.....
Nia baru menyadari ternyata ada laki-laki yang sedang ingin ia hindari. Menatap dirinya dengan tatapan meremehkan.
"Sebenarnya aku nggak makan, makanan yang dijual dijalan-jalan seperti ini, jorok soalnya. Apalagi penjualnya..." Dirga menelanjangi penampilan Nia dari ujung kaki sampai ujung kepala. "ca-cat" sambung Dirga tidak berperasaan.
Nia berniat pergi, jujur hatinya sakit, namun membalas ia tak kuasa.
"Eh....mau kemana kamu?" tahan Dirga setengah berteriak yang menyadari pergerakan Nia.
"Ni sayang....tolong kasih sama pengemis itu! itung-itung sebagai uang kompensasi" ucapnya sombong sambil memberikan satu lembar uang merah pada Geby untuk di berikan lagi pada Nia yang dianggap sedang mengemis.
Geby sedikit ragu, entah kenapa kelakuan Dirga terlihat aneh dimatanya, tidak pernah-pernah Dirga bertingkah seperti itu. Biasanya palingan cuek-cuek saja, saat ada pengemis yang mengetuk kaca mobilnya.
"Maaf mbak, saya bukan pengemis, permisi! Tolak Nia, masih menjaga adab meski Dirga memperlakukannya hina. Nia pergi meninggalkan mobil Dirga, di saat bersamaan lampu kuning juga sudah menyala.
"Makanya jadi perempuan sadar diri, sudah tau cacat, masih aja mimpi kepengen jadi istri gue" gumam Dirga dalam hati. Sambil melajukan mobil matanya menangkap Nia yang berjalan ke arah lampu merah yang mulai menyala.
Nia memilih cuek, tetap melanjutkan berjualan meski hatinya tengah hancur. Urusan hati belakangan, sekarang bagaimana caranya agar ia bisa membawa pulang uang.
"Kamu kenapa sih...?" Geby yang sejak tadi melihat tingkah aneh Dirga, akhirnya mengucap tanya.
"Kamu tau siapa perempuan cacat tadi?"
"Penjual kerupuk tadi maksud kamu?"
"Ia, siapa lagi emang"
"Emang dia kenapa?"
"Kamu tau, dia itulah mantan pembantu dirumah yang di jodohkan papa dengan ku" sekilas Dirga melirik Geby yang duduk di sampingnya.
"Puuuuttttt ha....ha...." tawa Geby akhirnya pecah.
"Kok kamu malah ketawa sih?" Dirga merasa tersinggung.
"Kamu serius wanita itu yang akan dijodohkan papamu?" Geby bertanya serius.
Kali ini Dirga hanya mengangguk.
"Puuutttth" Geby kembali tertawa.
"Kok malah ketawa lagi sih?" Dirga semakin kesal.
"Ya iyalah aku ketawa, secara selera papa kamu nggak banget"
"Makanya kita aja yang nikah, biar papa nggak lagi jodoh-jodohin aku" kali ini Dirga bicara serius. Ini bukan kali pertama ia mengajak Geby untuk menikah, sudah sering.
"Nggak-nggak!" tolak Geby cepat. " Kita kan udah sepakat, nikahnya entar aja, pas akunya udah siap" ucap Geby mengingatkan kesepakatan yang pernah mereka buat.
***
"Baru pulang?" tegur pak Ramlan pada Dirga yang baru saja masuk ke dalam rumah. Jam di dinding sudah mengarah diangka satu pagi. Saat pulang kerja tadi, Dirga sekalian mengantar Geby pulang, dan tentunya singgah untuk menuntaskan hasratnya terlebih dahulu, baru kemudian pulang kerumah.
Langkah Dirga tertahan, ini kali pertama pak Ramlan mengajak ia bicara setelah kejadian saat itu.
"Apa alasan sampai pulang selarut ini, hem....?"
"Kerja" jawab Dirga singkat.
"Kerja apa ngerjain cewek murahan itu?" sinis pak Ramlan yang mulai geram dengan tingkah Dirga.
"Heh....." tawa Dirga juga tak kalah sinisnya.
"Jika ia kenapa?, aku sudah dewasa, bebas mau memilih wanita manapun tapi tidak dengan si cacat itu!"
"Tutup mulutmu!!!" Teriak pak Ramlan, penuh emosi. " Sudah papa bilang, papa tidak akan memaksakan itu lagi, tapi ingat satu hal jangan sampai kau menyesal satu hari nanti! dan disaat penyesalan itu datang, papa orang pertama yang akan menertawakan kebodohanmu!" Setelah mengatakan itu pak Ramlan memilih pergi. Dirga benar-benar anak pembangkang. Tidak akan membuka mata selama ia tidak melihat kebenaran yang ada.
"Dasar cacat! Padahal kau sudah henyah dari rumah ini, tapi kenapa papa begitu membelamu? Dasar wanita pembawa sialll!" Dirga menyugar kasar rambutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!