NovelToon NovelToon

Si Kembar Bunga Desa

Giliran menjaga Sang Ibu

Wanita paruh baya yang kini terbaring lemah di atas kasur tampak sangat pucat. Sudah satu minggu ia jatuh sakit dan tak bisa bangun, bahkan obat dokter sudah ia patuhi semua untuk di minum. Namun, masih saja tak ada perkembangan. Tak memiliki biaya untuk pergi ke kota, akhirnya hanya memilihi rawat di rumah dengan meminum obat saja. Fatim, ibu dari Ayuna menatap sedih sang anak. Seragam putih abu-abu yang Ayuna pakai saat ini membuatnya yakin jika sang anak tengah menghadapi kesulitan.

"Ayuna, pergilah Nak. Kemarin kakak mu sudah menjaga ibu, ini memang sudah jadwalnya kakak mu pergi sekolah. Bukankah hari ini kamu ada lomba cerdas cermat di seolahmu?" tanya Fatim mengusap punggung tangan sang anak.

Ayuna menggeleng mendengar ucapan sang ibu. "Tadinya Kakak bisa saja izin, Bu. Hari ini kelas kan tidak belajar karena ada lomat itu. Tapi kakak Ayana tidak mau. Pertandingan hari ini menentukan Ayuna mendapatkan sertifikat yang bisa membantu untuk kuliah nanti, Bu." curhat Ayuna  tampak sedih.

Ia tahu keluarganya tak memiliki biaya untuk sekolah berikutnya. Itu sebabnya ia ingin mendapatkan beasiswa dengan cara apa pun agar bisa sekolah tinggi dan menjadi orang sukses yang bisa merubah kehidupan keluarganya. Tak hanya itu saja, Ayuna bahkan bertekad untuk ikut memajukan desanya saat ini.

"Yuna...pergilah. Ibu baik-baik saja. Kejar cita-citamu, Nak. Pergilah ke sekolah ibu akan mendoakanmu menang, Yuna." ujar Fatim berharap sang anak mau menurutinya.

Sejenak Yuna terdiam menundukkan kepala sedih. Antara ingin pergi dan takut jika sang ibu kenapa-napa. Hingga Fatim kembali bertanya.

"Berapa lama waktunya berlomba?" tanyanya.

"Dua jam, Bu. Itu baru lombanya belum penilaiannya." jawab Ayuna lirih.

Fatim pun tersenyum. "Waktu yang sangat sebentar. Itu bisa kamu lewati dengan baik dan Ibu akan tidur menunggumu pulang. Sekarang siapkan makan siang ibu dan obat serta air. Nanti ibu akan makan sendiri lalu tidur menunggumu pulang." Ayuna mengangkat wajahnya menatap sang ibu tak yakin dengan apa yang ia dengarkan.

"Tidak, Bu." Lagi-lagi sang ibu pun membujuk anaknya hingga Ayuna pun patuh. Ia menyiapkan semua keperluan sang ibu dan bergegas berangkat ke sekolah untuk ikut bertanding. Ia memeluk dan mencium sang ibu penuh sayang. Rasanya sangat berat meninggalkan sang ibu sendirian di rumah namun berkat keyakinan dari sang ibu, Ayuna patuh. Ia bergegas menuju sekolah tak lupa meminta tetangga untuk mendengarkan sang ibu jika ada apa-apa.

Rasanya Ayuna tidak tenang selama di sekolah. Belum lagi ia melihat sang kakak yang justru tampak heboh di pinggir lapangan menjadi suporter sang kekasih yang bermain basket. Sungguh Ayuna tak habis pikir dimana rasa simpati Ayana padanya dan sang ibu. Menjadi suporter bukanlah hal yang sangat penting sehingga ia tak mau menggantikan Ayuna menjaga sang ibu. Sekali pun Ayuna memohon ia tak perduli. Baginya tugas menjaga ibu sudah ia penuhi kemarin.

"Heh, Ayuna! Kamu ngapain ke sekolah? Ibu siapa yang jaga?" sentak Ayana ketika ia melihat sang adik ke sekolah lantas Ayana menghampiri adiknya.

"Ibu menyuruhku mengikuti lomba dulu, Kak." jawab Ayuna menunduk.

"Aku tanya ibu sama siapa di rumah? sendiri kan? Awas yah kalau ada apa-apa aku yakin ayah pasti akan marah besar sama kamu." ia pun pergi meninggalkan sang adik yang ketakutan.

Ingin Ayuna kembali pulang, namun ia mengingat sang ibu yang juga tak mau ia jaga hari ini. Baginya perlombaan sang anak sangatlah penting untuk masa depannya. Hari itu di sekolah Ayuna memasuki ruangan perlombaan dengan doa yang terus ia panjatkan.

Semua pendukung tampak menyambutnya dengan heboh. Ayuna memang sudah di kenal dengan murid cerdas di desa itu. Banyak yang sangat menyukai sosok Ayuna terlebih para guru yang selalu mengikut sertakan Ayuna jika ada kegiatan di sekolah mau pun di luar sekolah. Bahkan jiwa sosial Ayuna yang begitu besar membuatnya sangat dekat dengan para warga desa tersebut meski usianya masih terbilang kecil. Berbeda dengan Ayana yang lebih suka bermain dengan temannya dan sibuk di dunia percintaan masa remaja.

***

"Bu! Ibu!" Di sini di rumah tampak suara teriakan Fikram menggema kala salah seorang tetangga yang Ayuna titipkan untuk melihat keadan sang ibu memanggil pria itu pulang. Ia panik kala melihat Fatim tertelungkup di kamar mandi dengan tubuh yang sudah dingin.

"Ibu!!!" teriaknya menangis melihat keadaan sang istri.

"Maaf, Pak. Tadi ibunya saya panggil-panggil tidak ada suara. Jadi saya buka pintu yang tidak tertutup rapat ternyata Bu Fatim sudah telungkup dan badannya dingin. Saya tidak berani memindahkannya." Mendengar itu Fikram menggendong sang istri menuju tempat tidur.

Matanya menatap ke sekeliling dimana makanan sepertinya sudah di makan oleh sang istri hingga tak bersisa. Obat bahkan juga sudah ia minum di sana, namun satu yang tidak ia temukan. Yaitu keberadaan Ayuna.

"Dimana Ayuna?" tanya Fikram yang mencari sang anak.

"Tadi Ayuna pamit ke sekolah katanya ada lomba, Pak." jawab tetangga.

Saat itu satu persatu tetangga sudah mulai berdatangan. Fikram yang mendengar sang anak pergi ke sekolah begitu tampak murka. Tatapannya sangat penuh amarah dan tangannya terkepal kuat.

"Ayuna, awas saja kau." geramnya melangkah meninggalkan rumah serta sang istri yang di temani banyak para tetangga. Entah mengapa saat ini ia tak bisa menahan amarahnya lagi melihat sang istri yang sudah pergi tanpa bisa kembali lagi.

Lelah di tubuhnya bahkan ia abaikan begitu saja. Fikram tiba di sekolah dan berteriak di depan ruangan kelas yang ramai saat itu.

"Ayuna!" panggilnya mencari di mana anak keduanya itu berada saat ini.

Ayana yang berkumpul dengan temannya pun berlari mendekati sang ayah. "Ayah, ada apa?" tanyanya heran.

Tanpa menjawab, Fikram justru bertanya lagi. "Dimana Ayuna? Cepat bawa ke sini." belum saja Ayana beranjak membawa sang adik, Ayuna sudah datang berlari sebab di beri tahu oleh sang guru.

"Ayah, ada ap-"

Plak! Plak! Plak

Tamparan bertubi-tubi membuat Ayuna tak bisa melanjutkan pertanyaannya. Tamparan terakhir bahkan sampai membuat tubuhnya terhempas ke dasar lantai. Anak remaja itu menjatuhkan air mata memegang pipinya yang sangat panas bahkan kepalanya sampai terasa kram mendapat pukulan kuat tangan sang ayah.

"Dasar anak pembunuh, Kau!" Teriakan yang Fikram lontarkan membuat Ayuna tercengang syok. Air matanya berjatuhan mendengar ucapan kasar itu. Apa maksud perkataan sang ayah? siapa yang terbunuh? Ibu...Ayuna menangis berlari keluar sekolah mengingat sang ibu satu-satunya orang yang bisa mengalami hal itu.

"Ibu...Ibu." Ayuna menangis berlari semakin kencang sepanjang jalan. Ia tak perduli dengan tatapan orang padanya. Hingga langkah Ayuna terhenti di halaman rumah dan melihat banyak tetangga yang sudah datang saat itu. Ayuna berjalan pelan dengan air mata yang semakin banjir ia keluarkan.

Nasib Ayuna Di Mulai

Ayuna menangis memeluk gundukan tanah yang bertabur dengan bunga berwarna warni. Ia tak perduli bagaimana sang ayah yang memaki dan mendorong tubuhnya kasar. Ayana juga ikut menghakimi sang adik yang menyebabkan ibu mereka meninggal.

"Pembunuh kamu, Yuna! Pembunuh. Gara-gara kamu ibu meninggal." Ayana berteriak mendorong tubuh sang adik yang menangis tanpa melawan.

Kepergian sang ibu nyatanya tak cukup membuat kesedihan Ayuna sampai di situ saja. Setiap hari ia selalu melewati segala macam lampiasan amarah dari sang kakak mau pun sang ayah. Hingga waktu berlalu sangat cepat, Ayuna kini tampak berdiri dari kejauhan menatap nanar sekolah yang pernah ia tempati menempuh pendidikan namun tak sampai selesai.

Air matanya jatuh, di sana ia melihat sang kakak kembar yang tengah melompat girang bersama teman-temannya di lapangan usai mendapat amplop kelulusan. Sementara dirinya yang tak melanjutkan sekolah karena tuntutan dari sang ayah harus bekerja membantu mencari uang makan mereka.

"Dari mana saja kamu? Lihat jam berapa ini, Yuna!" sang ayah yang sudah menunggu anaknya untuk makan siang di tempat kerja tampak murka. Sebab ia sudah menunggu Ayuna sedari tadi lantaran sangat lapar.

"Maaf, Ayah." hanya itu yang Ayuna katakan pada ayahnya.

"Makan nih maafmu!" Ayuna terkejut saat kepalanya yang menunduk justru di siram air oleh Fikram. Ia berusaha tak menangis saat ini. Ayuna sadar dirinya memang salah sedari awal seharusnya ia tetap menjaga sang ibu hingga tak membuat ibunya terjatuh seperti itu.

Sampai kapan pun Ayuna sangat yakin jika sang ayah tak akan mau memaafkan dirinya. "Pergi kamu! Dasar tidak berguna!" umpatnya melihat Ayuna hanya diam saja di perlakukan sedemikian rupa kasarnya.

Ayuna melangkah pergi meninggalkan sang ayah yang tengah memakan makan siangnya. Ayuna bergegas ke rumah membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Setelah ini ia akan menjadi buruh cuci dan apa pun di rumah-rumah warga. Dan  sore harinya Ayuna  akan menjadi guru les anak-anak yang sudah membayar mingguan padanya. Berkat kepintaran yang ia miliki membuat Ayuna mempunyai ladang penghasilan.

"Hari ini seharusnya aku juga lulus dan membawa ijazahku ke makam ibu...maafkan Ayuna yang lalai yah, Bu? Bahkan Ayuna tidak menepati janji untuk menjadi wanita sukses dalam pendidikan." ia bergumam sedih kala tengah sibuk mencuci  baju di rumah salah satu warga yang terbilang cukup mampu di antara warga lainnya.

Dari arah lain, lamunan Ayuna di tangkap oleh wanita paruh baya pemilik rumah tersebut. Ia menghela napas sedih melihat Ayuna yang sangat cantik dan baik hidup dengan begitu menyedihkan saat ini. Semua warga sangat tahu bagaimana Ayuna  berbakti pada kedua orangtuanya.

"Ayuna, kamu sakit?" tanya wanita itu menyentuh pundak Ayuna pelan.

"Eh, ibu?" Ayuna terlonjak kaget mendengarnya dan mengatakan jika ia baik-baik saja.

"Bulan depan kami ada keluarga yang pindahan dari luar negeri ke kota dekat desa kita. Apa kamu mau kerja sama mereka? Gajinya lumayan dan kamu juga bisa memiliki peluang untuk lanjut sekolah di sana. Keluarga saya orangnya baik sekali kok kamu jangan khawatir." lagi-lagi tawaran yang sangat menggiurkan Ayuna dapatkan dari orang berbeda.

Sebelumnya ia mendapat tawaran ke luar negeri bekerja dan akan di sekolahkan juga dan masih banyak lagi. Namun, jawabannya masih sama. Ayuna menolak demi tetap menjaga sang ayah di desa dan dekat dengan kuburan sang ibu. Cita-citanya untuk lanjut sekolah sudah sirna sejak kepergian sang ibu bahkan ia harus di paksa berhenti sekolah oleh sang ayah.

"Tidak, Bu. Saya mau di sini saja kerja dan merawat ayah. Ibu sudah tidak ada, siapa yang mau masakin ayah kalau bukan saya, Bu?" ujarnya membuat wanita itu menggeleng tak habis pikir.

Sungguh menjadi orangtua Ayuna begitu beruntung memiliki anak sebaik ini. "Semoga jalanmu di mudahkan yah, Ayuna? Ibu hanya bisa memberikan jalan untuk kamu dan keputusan tetap ada di kamu."

Saat itu setelah pulang, lagi-lagi Ayuna memikirkan tawaran yang memang sangat menarik untuknya. Sadar akan dirinya saat ini, Ayuna pun menggelengkan kepala berusaha menyingkirkan pikiran tersebut.

"Kenapa, mau sekolah lagi?" saat itu sang ayah yang sudah pulang melihat anaknya melamun dapat menebak sebab itu bukan pertama kali ia melihat Ayuna bimbang. Sering kali sang anak meminta restunya namun Fikram tetap tak mau. Bahkan Ayuna berjanji akan membawa sang ayah hidup dengannya jika ia sudah berhasil. Bagaimana pun juga Ayuna tak akan tega membiarkan sang ayah tinggal hanya dengan sang kakak yang tak tahu apa pun sampai saat ini.

Dari arah luar Ayana yang baru tiba di rumah tampak tak senang mendengar itu.

"Apa ayah? siapa mau sekolah? Ayuna? Terus biaya kuliah aku gimana, Ayah?" dengan wajah manjanya Ayana merengek pada sang ayah. Bagaimana pun ia tak akan mau berbagi baya pada sang adik.

Keputusannya sudah mantap masuk universitas dan tempat tinggal yang sama dengan sang kekasih yang juga berasal dari desa itu.

"Kak Ayana, aku tidak akan sekolah. Dan aku yang akan bantu ayah untuk biaya kuliah kakak. Asal Kakak putus dengan Berson." ujar Ayuna yang tahu jika pria yang di sukai sang kakak sangatlah buruk.

Tanpa menjawab apa pun, Ayana sontak mendorong kasar Ayuna hingga terhempas ke dinding rumah tubuhnya. "Siapa kamu berani ngatur aku? Kamu itu pembunuh, Ayuna. Lihat kita semua seperti ini karena ibu tidak ada. Kamu penyebab ini semua."

Ayuna kembali di sudutkan dengan masalah yang tidak henti-hentinya mereka sebutkan itu. Bisa Ayuna tebak sang ayah akan kembali marah jika mendengar kata-kata itu. Benar, tak lama kemudian Fikram mendekati Ayuna dengan wajah begitu murkanya. Bukan tak sengaja, Ayana yang memang sangat tak suka dengan sang adik sengaja selalu memanfaatkan kesalahan yang pernah Ayuna lakukan untuk membuat sang ayah mengikuti maunya.

"Ingat, Ayuna...tugasmu hanya kerja untuk kakakmu. Tebus kesalahanmu itu yang sudah membuat ibumu meninggal. Jangan pernah berpikir untuk yang tinggi-tinggi apa lagi membawa ayah ikut denganmu. Mengerti!" Fikram pergi masuk ke kamar dan meninggalkan Ayuna yang menangis di dinding rumah itu. Ayana pun tersenyum puas melihat sang adik yang tak bisa melakukan apa pun saat ini.

"Heh enak saja mau sekolah ikut-ikutan aku. Sudah cukup Ayuna, selama ini kita satu sekolah dan mereka semua selalu memuji kamu. Itu bukan hal mudah buat ku. Aku lah Ayana satu-satunya. Dan kamu cukup menjadi penunggu desa ini saja." ujar Ayana dalam hati saat ia duduk di kamarnya tersenyum puas.

Berdemo

Tatapan mata dari Ayuna nampak berkaca-kaca saat menyaksikan kepergian sang kakak. Ayana berangkat dengan beberapa temannya menuju kota pagi ini juga. Mereka bersama-sama keluar dari desa dengan wajah yang begitu antusias untuk memulai kehidupan penuh perjuangan di kota orang. Sungguh rasanya Ayuna ingin berlari mengejar dan ikut berjuang dengan mereka dan juga sang kakak. Tapi apa daya, ijazah pun belum ada di tangannya sampai saat ini. Air mata pun jatuh seketika kala menyadari tak ada harapan lagi untuknya memiliki pendidikan yang tinggi. Hanya bisa bekerja dan bekerja yang bisa Ayuna lakukan saat ini.

"Makanya kalau orang tua kasih tahu di dengar baik-baik. Sudah sekarang masak sana buat ayah makan. Sebelum kerja." patuh Ayuna melankah masuk ke dapur.

Rumah yang sederhana ini penuh dengan kenangan sungguhh membuat Ayuna semakin sesak rasanya. Entah sampai kapan ia akan tetap di rumah ini tanpa ada tujuan.

Singkat waktu berlalu begitu cepat tak terasa waktu sudah berputar hingga dua tahun lamanya. Dimana usia Ayuna dan Ayana sudah berada di angka dua puluh tahun. Ayuna tampak kerja di kantor desa di bagian perbendaharaan. Hanya berbekal ijazah paket c saja membuatnya terbantu setidaknya itu bisa jauh lebih baik. Sehari-hari Ayuna sangat sibuk. Selain mengurus sang ayah ia bekerja di kantor desa belum lagi sore hari sampai malam ia mengajari anak-anak les.

Malam hari yang melelahkan bagi Ayuna, ia pulang dengan wajah lelah membuka pintu rumah namun kedatangannya di sambut dengan sang ayah. "Kakakmu besok pulang libur semester, jangan lupa siapkan uang taksinya." pintah sang ayah yang begitu tak memiliki perasaan berkata demikian pada sang anak.

"Iya, Ayah. Ini ada upah hari ini dan kemarin yang belum Ayuna belanjakan buat dapur. Ayah bayarkan saja buat biaya taksi Kak Ayana." ia memberikan uang di tasnya pada sang ayah dan masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Lelah yang menyerang tubuh Ayuna membuat gadis itu tak sanggup lagi untuk mendebatkan soal sang kakak. Hanya bisa ikhlas bekerja sangat lelah namun tanpa merasakan hasil kerja dengan bebas.

"Besok Kakak datang. Aku harus bicara dengannya. Seharusnya Kakak bisa cari penghasilan di sana tanpa perlu membebankan ayah lagi apa lagi hanya untuk biaya taksi pulang seperti ini." ujar Ayuna berpikir akan menasihati sang kakak.

Malam pun berganti siang dengan cepat. Ayana datang di sambut dengan bahagia oleh sang ayah. Selama kuliah ini adalah liburan ketiga kalinya ia pulang ke desa tanpa membawa apa pun untuk orang di rumah. Sungguh begitu tak berperasaan Ayana  tanpa perduli sedikit pun membelikan makan yang murah pun untuk sang ayah tidak ia lakukan.

"Kak, aku mau bicara." ujar Ayuna memasuki kamar sang kakak saat itu yang tengah berbaring tertawa dengan ponsel miliknya.

Jelas Ayuna melihat benda canggih itu sudah termasuk mahal untuk sang kakak. "Kakak ganti ponsel lagi?" tanyanya yang tertarik dengan ponsel yang di mainkan oleh Ayana.

"Apaan sih? kepo banget jadi orang. Iya ponsel baru memang kenapa? Sewot." mendengar nada tinggi dan tak suka dari sang kakak membuat Ayuna menghela napasnya kasar.

"Kak, apa tidak sebaiknya kakak cari kerja sampingan di sela kuliah dari pada kakak pulang ke sini tidak ada hal apa pun juga yang menghasilkan." lembut dan hati-hati Ayuna berucap agar tak mengundang marah sang kakak. Sayang, rasa tak suka Ayana pada sang adik membuatnya sangat mudah naik darah.

Tiba-tiba saja tubuh Ayuna terjingkat kaget kala Ayana melempar gelas yang ada di meja nakas samping tempat tidurnya. Keributan itu terjadi hingga terdengar keluar kamar. Sang ayah yang tengah memperbaiki motor di depan rumah langsung berlari.

"Ada apa ini, Ayuna? Ayana? Kenapa ribut-ribut?" tanya sang ayah menatap tajam bukan pada keduanya, sudah jelas tatapan marah itu ia tujukan pada Ayuna yang menunduk takut.

"Ini ayah, Ayuna minta aku tidak usah pulang ke desa nyuruh kerja di kota. Mentang-mentang dia kerja. Padahal aku kuliah juga kan buat ngangkat nama keluarga kita yang sangat susah. Setelah aku kuliah juga pasti bisa aku ganti kok uang yang kalian keluarkan." kesal Ayana bicara sembari berteriak-teriak.

"Bukan begitu, Kak. Aku hanya ngasih masukan saja. Itu kan bisa lumayan buat nambah biaya kuliah kakak kalau kerja di hari libur begini," Mata Ayana memutar malas mendengar ucapan sang adik.

Rasanya sudah lama rumah ini tampak tenang sejak kepergian Ayana ke kota. Namun, hari ini keributan pun terjadi kembali.

"Sudah keluar kamu dari sini, Ayuna. Bikin ribut saja, kakak mu pulang kan kangen sama ayah. Kamu mau ayah mati kakakmu tidak bisa melihat juga seperti ibumu yang kamu bunuh itu?" Air mata Ayuna pun jatuh.

Entah kenapa ia hanya bisa menerima saja tanpa melawan pada pria yang benar-benar menyakitinya ini. Sekali pun Fikram tak pernah menatapnya sebagai anak lagi sejak kejadian saat itu.

***

"Kami menolak keras adanya pembangunan pabrik di sini. Desa kami desa yang memiliki banyak penghasilan tanpa adanya pabrik yang bisa menyebabkan pencemaran di desa kami!"

"Betul, kami tidak setuju!"

Suara ribut-ribut saat itu terjadi di depan kantor desa. Bukan hanya warga namun salah seorang wanita yang justru bekerja di kantor desa itu sendiri yang menjadi pemimpin demo mereka siang itu. Teriknya matahari yang menembus kepala sama sekali tak menyurutkan semangat mereka semua. Wanita cantik yang begitu lembut terdengar meneriakkan suara lembutnya dengan lantang berdiri di barisan paling depan dengan suara yan di pakai pengeras suara.

Potensi di desa memang sangatlah menjanjikan jika di kelola dengan benar, air yang memiliki sumber di pegunungan bahkan begitu sangat memiliki kualitas yang begitu baik. Dan juga tanah yang sangat subur untuk di jadikan pertanian sangat mempengaruhi pendapatan warga desa selama ini.

Keributan terus terjadi di desa kala itu, namun satu yang menarik perhatian. Di dalam ruangan dengan tirai jendela yang ia singkapkan seorangg pria tersenyum kecil melihat wanita cantik di depan sana.

"Dia siapa?" tanya pria itu.

"Oh itu salah satu anak Pak Fikram, Tuan. Dia penggerak demo di desa ini. Entah apa yang membuatnya begitu berani melawan progres yang kita ajukan ini."

Di luar sana mereka yang berdemo tampak di paksa mundur. Beberapa pihak keamanan yang di tugaskan sudah mendorong paksa mereka bahkan ada yang menarik paksa warga untuk bubar. Keributan pun semakin tak terindahkan saat ini.

"Pak, kami hanya menyuarakan suara kami saja. Jangan seperti ini. Kami berhak mempertahankan desa kami untuk tetap asri!" teriak Ayuna tampak marah.

Jangan sampai kepolosan para warga desa membuat orang-orang jahat bisa memanfaatkan desa mereka dengan mudahnya. Tidak, Ayuna tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia akan memperjuangkan desa ini dengan sebaik mungkin.

Satu persatu para warga mulai mendapat kekerasan. Beberapa dari mereka tampak terjatuh di lapangan.

"Awh!!" pekik Ayuna terdorong kasar dan tersungkur ke tanah.

"Ayo berdiri," ujar sosok pria yang berdiri di tengah-tengah keributan saat itu. Ayuna yang terduduk di tanah kesulitan berdiri sebab banyak orang di sekelilingnya saling berdorongan. Tubuhnya terhimpit banyaknya orang.

Ayuna menatap tajam pria tampan yang berdiri di hadapannya dengan kokoh meski sekeliling nampak gaduh saat itu. Uluran tangan putih itu tepat di depan wajahnya saat ini. Bukannya meleleh melihat ketampanan pria tersebut, Ayuna justru menatapnya tak suka bahkan penuh kebencian. Yakin jika pria inilah dalang dari semua yang terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!