*Cinta di Langit Jingga
Windi Ria Finola
Ku tatap langit berwarna jingga di ujung danau.
Menahan perih mendenyut di dada.
Entah kapan kebahagiaan ini hadir.
Berharap dianggap ada meski tidak sempurna.
Mereka menuntutku menjadi sempurna.
Sementara garis takdir membuatku tidak berdaya.
Mengapa kau mencari cinta lain demi yang sempurna?
Sedangkan aku masih terikat olehmu.
Jika memang cinta untukku akan sama seperti langit jingga.
Yang selalu hadir di akhir waktu dan akan kehilangan setelah kamu pamit pergi.
Aku ikhlas.
Demi keridhaan Ilahi.
Aek Kanopan, 23 Maret 2023 ⁰⁰.⁰⁸WIB*
****
Arsy Aprilia nama itu tersematkan untuknya semenjak kelahirannya di muka bumi ini. Ia adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya meski pernikahan mereka berawal dari perjodohan.
Haris Prasetya atau mas Haris sebutan dari Arsy semenjak mereka menikah tiga tahun lalu. Usia mereka selisih 4 tahun disaat usia Haris sudah berkepala tiga. Ya, Haris sudah berusia 30 tahun itu berarti Arsy berusia 26 tahun.
Arsy menatap dua wanita paruh baya itu secara gantian kemudian beralih kepada suaminya yang tampak diam saja.
"Nak. Izinkan suamimu menikah lagi agar segera punya anak dan penerus keluarga ini."
Justru kalimat itu kembali terucap, diulangi oleh ibu kandungnya sendiri. "Kenapa harus menikah lagi demi mendapatkan anak, Bu? Hasil pemeriksaan juga mengatakan aku sehat, hanya kami belum di kasih rejeki oleh Allah." Arsy mengatakan itu kepada ibu Sandra sambil mencengkram tepian sofa.
"Tapi keluarga suamimu juga butuh penerus keluarga, Arsy. Pasti suami kamu juga menginginkan anak," sela Ibu Rahma, ibu mertua Arsy.
Cengkraman tangannya semakin kuat mendengar penuturan ibu mertuanya. Kini, Arsy dalam keadaan terpojokkan. Apalagi akhir-akhir ini Haris hanya diam saja saat perdebatan mereka masalah anak.
Arsy terus bergumam istighfar dalam agar hati tetap tenang meski sudah mulai goyah. Sekarang pandangannya ke arah Haris yang tampak diam saja sedari tadi.
"Katakan sesuatu, mas." Kata Arsy semakin membuat hatinya sakit manakala Haris justru tertunduk tanpa mengatakan apapun.
Arsy tidak lagi berbicara, ia lebih memilih beranjak dan pergi dari ruang keluarga tersebut. Masuk ke dalam kamar menuju kamar mandi. Di hidupkan kran air untuk menyamarkan tangisnya.
Sudah dua tahun ini Arsy terus saja dipojokkan tidak dapat hamil dan meminta memberi izin harus untuk menikah lagi.
Beberapa saat kemudian Arsy keluar dari kamar mandi setelah puas menangis dan berwudhu. Saat memakai mukenah, ia melihat Haris masuk ke dalam kamar. Tidak ingin menunda kewajiban, Arsya segera mengambil posisi untuk melakukan sholat.
Lagi-lagi dalam ibadahnya, Arsy kembali menangis pilu merasakan takdirnya. Belum juga sembuh akibat masa lalu, ia kembali diuji setelah hatinya kembali merasakan cinta yang halal.
"Arsy," panggil Haris lembut setelah melihat Arsy mengusap wajah dengan lembut usai berdoa.
Arsy menoleh, melipat sajadah kemudian bangkit mendekati Haris. Ia duduk disamping suaminya saat diberi isyarat agar duduk ditempat itu. Keduanya tampak diam beberapa saat.
"Maafin mas gak bisa bela kamu, Arsy. Mas juga tertekan setiap kali berkunjung ke rumah mama. Mereka selalu menuntut mas agar menikah lagi. Tapi, demi Allah mas gak akan lakukan itu jika kamu gak izinkan."
Arsy tahu bila Haris juga merasa tertekan selama menikahinya. Haris adalah cucu tertua dan anak tunggal. Belakangan ini ia tidak pernah ikut berkunjung ke rumah keluarga suaminya sebab tidak siap harus menerima dan mendengar yang selalu membuat hatinya terluka.
"Mas cinta aku, gak?" Tanya Arsy kepada Haris.
Haris merangkul Arsy dan membiarkan kepala istrinya itu bersandar di dadanya. "Kamu memang bukan cinta pertama mas. Tapi, sudah menjadi kewajiban seorang laki-laki untuk mencintai perempuan yang dinikahinya."
Arsy memejamkan mata saat Haris menjawab pertanyaannya. Memang Haris pernah mengatakan bila ada wanita lain yang dicintai sebelum menikahi dirinya. Meski tidak pernah diberitahu siapa wanita itu, tapi Arsy yakin. Hingga saat ini, Haris masih mencintai wanita itu.
"Menikahlah mas. InsyaAllah aku ikhlas dan ridho."
Ayah..
Kapan kau akan pulang?
Mengapa kau pergi meninggalkan aku bersama ibu?
Padahal, kamu tahu segalanya.
Padahal, hanya kamu tempatku berlindung.
Ayah..
Pada akhirnya, aku merelakan dan mencoba ikhlas.
Mungkin, ini menjadi karma atas kesalahanku.
Ayah..
Aku rindu.
****
Sore itu, keluarga Prasetya berkumpul di taman belakang. Arsy tersenyum melihat keponakan-keponakan dari keluarga suaminya itu sedang kejar-kejaran. Ia juga melihat suaminya sedang berbincang bersama para sepupunya.
Helaan nafas panjang terdengar lirih. Semenjak usai makan siang bersama, ibu mertua dan ibu Arsy tidak menampakkan batang hidungnya. Ia tidak tahu kemana perginya mereka.
Matanya terpejam mengingat pembicaraannya dengan Haris malam tadi dan hari ini mereka langsung diundang makan bersama. Ia juga merasa ibu mertua dan ibunya terlihat ramah padanya. Apakah suaminya telah memberitahu bila dirinya telah memberi izin untuk menikah lagi?
Mata Arsy tertuju pada beberapa orang berjalan ke arah taman belakang tempat ia berada saat ini. Senyumannya merekah manakala kedua ibunya itu membawa seorang gadis yang dikenalnya.
Arsy beranjak menghampiri. "Laila," sapanya ramah memeluk teman sekolahnya dahulu. Lebih tepat, Laila adalah kakak kelasnya ketika SMA dan mereka berpisah karena Laila harus kuliah ke luar kota.
"MasyaAllah, Arsy. Kamu tambah cantik," puji Laila memeluk Arsy.
Arsy tersenyum dan membalas pelukan Laila. Selepas pelukan itu, ibu Rahma mengajak mereka untuk berkumpul di gazebo. Tumben sekali, tapi Arsy tetap diam dan bersyukur akhirnya sikap ibu Rahma kembali seperti awal-awal ia menjadi menantu di keluarga Prasetya.
Ibu Rahma dan Ibu Sandra tampak antusias yang semakin membuat Arsy terheran sekali. Bahkan semakin bingung ketika ibu Rahma mendekatinya.
"Arsy. Kata Haris, kamu sudah memberi izin agar menikah lagi 'kan?" Tanya ibu dari suaminya itu.
Arsy tersenyum getir mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya. Wanita mana yang suka rela cinta prianya terbagi? Istri mana akan memberikan izin suaminya menikah lagi?
Tidak. Arsy tidak merelakan Haris menikah lagi. Namun, ia harus melakukannya demi kebahagiaan bersama.
Kebahagiaan?
Satu kata itu hanya berlaku untuk mereka, tidak dengan Arsy.
"Mama sudah punya calon istri untuk Haris," kata ibu Rahma.
Bagai dihantam batu saat mendengar kalimat yang terucap dari mulut ibu Rahma. Arsy hanya diam membisu menahan buliran bening agar tidak mengalir membasahi pipinya. Ia tidak menyangka mereka tega dan tidak memikirkan perasaannya sama sekali.
"Si-siapa orang itu, ma?" Tanya Arsy terbata merasa teramat sakit dihatinya.
Ibu Rahma tidak menjawab. Beliau menoleh menatap Laila dan ibu Sandra sedang bercerita bahkan sesekali salah satu diantara mereka tertawa. Dahi Arsy mengerut melihat pemandangan itu.
Sudut hatinya tercubit melihat keakraban mereka yang tak pernah didapatnya jika sedang bersama ibu Sandra. Bibir bawah bagian dalam digigit Arsy sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Entah mengapa ketakutan dalam hatinya menjadi kenyataan.
"Laila. Dia gadis yang mama pilih sebagai istri Haris," ucap ibu Rahma tanpa perasaan.
Bagai di sayat-sayat belati tajam. Hati Arsy semakin hancur mendengarnya. "Laila sahabat Arsy, ma."
"Lebih bagus, kan? Kalian sudah saling mengenal, pasti akan seru melayani Haris secara bersamaan. Pasti kalian akan terus akur," bukan ibu Rahma yang memberi jawaban melainkan ibu Sandra, ibu Arsy sendiri.
Arsy menunduk, memejamkan mata menahan amarah dan kesedihan yang menimpanya. Mengapa mereka begitu mudah mengatakan seperti itu? Mengapa tidak ada yang memikirkan hatinya?
"Mama memilih Laila karena dia sama seperti kamu, Arsy. Dia cantik dan solehah persis sepertimu," tutur ibu Rahma.
Arsy sendiri hanya diam dan membiarkan ibu Sandra menggenggam tangannya seolah membenarkan ucapan ibu Rahma.
Selang beberapa saat kemudian. Arsy beranjak ketika melihat Haris tiba. Ia menyambut suaminya pulang bekerja. Mencium punggung tangan Haris dan ia akan mendapat kecupan pada pucuk kepalanya yang terbungkus hijab syar'i tersebut.
Lihatlah. Bagaimana Arsy tidak jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada Haris? Sementara perlakuan Haris sangat lembut padanya. Tak pernah sedikitpun Haris menyakiti hatinya.
"Maaf mas lama jemput kamu. Kita pulang sekarang?" Tanya Haris lembut dan Arsy menggeleng sebagai jawaban. Hal itu berhasil membuat Haris terheran.
"Kita masuk sebentar, yuk. Ada yang perlu kita bicarakan di dalam." Arsy mengajak Haris masuk ke dalam rumah ibu Rahma menuju ruang keluarga. Di ruangan itu sudah ada ibu Rahma, ibu Sandra, dan Laila.
Arsy menghentikan langkah ketika Haris berhenti melangkah. Ia mengikuti arah pandang suaminya itu bersitatao dengan tatapan mata Laila.
Cemburu?
Tentu saja. Hanya saling memandang saja membuat Arsy cemburu. Apalagi harus berbagi segalanya tentang Haris kepada Laila.
"Mas," tegur Arsy tak tahan tapi tetap saja suara lembutnya selalu menghiasi.
Haris tampak salah tingkah dipanggil oleh Arsy. Ia tidak menyangka bisa seperti ini. "Iya." Ia mengikuti Arsy duduk di sofa seberang ibu Rahma berada.
Sekali lagi Arsy berdoa dan meyakinkan hati agar selalu ikhlas atas takdir yang diberikan Sang Maha Segalanya.
"Laila. Kamu sudah tahu tujuan kamu diajak kerumah mama Rahma?" Tanya Arsy dan mendapat gelengan dari Laila.
Memang benar. Laila sudah mengenal ibu Rahma dan ibu Sandra sejak lama. Laila baru menyelesaikan wisuda Minggu lalu dan ibu Rahma langsung menelepon dan datang tempatnya. Begitu juga siang tadi, Laila dijemput langsung oleh mobil milik ibu Rahma tersebut.
"Mama memilihmu sebagai istri muda suamiku, Laila." Sakit. Hati Arsy benar-benar sakit mengatakan kalimat itu.
"Arsy," tegur Haris terkejut. Tatapan pria itu beralih menatap ibu Rahma.
Arsy memiringkan badan menghadap Haris. Ia memasang senyuman indah disana. "Kata mama. Alasan memilih Laila untuk menjadi istri kamu karena dia mirip aku, mas. Cantik dan solehah. Terus kata ibu, akan seru kalau Laila menjadi madu Arsy. Kami akan melayani mas bersama dengan suka cita," dada Arsy benar-benar sesak menghadapi ini semua.
Haris hanya diam terpaku mendengar Arsy bicara seperti itu barusan. Ia mengenal Arsy, dihadapannya sekarang adalah Arsy yang sedang menahan tangis.
Arsy menghela nafas dalam-dalam. Kemudian tatapannya beralih menatap Laila yang tampak diam saja.
"Laila," panggil Arsy sangat lembut membuat gadis bernama Laila itu menatap kearahnya.
"Kamu ingat. Mas Haris adalah lelaki yang aku kagumi sejak lama. Aku sangat bahagia ternyata kami dijodohkan," terang Arsy sedikit bercerita kepada Laila.
Laila tersenyum dan mengangguk. Melihat itu membuat Arsy juga tersenyum.
"Kamu ingat nggak. Saat beberapa hari lagi aku menikah dengan mas Haris. Aku bercerita kalau aku ragu dinikahi mam Haris karena takut gak bisa jadi istri yang sempurna bagi mas Haris. Tapi kamu yakinkan hatiku agar tetap melanjutkan pernikahan," lelehan buliran bening itu akhirnya lolos dan membasahi pipinya tetapi cepat-cepat ia usap pipi tersebut.
Entah apa arti tatapan Laila. Arsy tidak mengerti.
"Aku masih sangat ingat," itulah yang dikatakan Laila.
Arsy tersenyum. "Laila. Maukah kamu menjadi istri suamiku?"
Cinta ibarat angin
Tidak dapat digenggam
Tidak dapat pula didekap
Cinta hanya dapat dirasa oleh mereka yang peka
Perlakuan lemah lembut, perhatian, dan penuh kasih
Nyatanya tidak menjamin bila seseorang mencinta
Mahir membawa hati yang lemah terbang ke atas awan
Lebih mahir pula mendorongnya masuk hingga ke jurang
****
Arsy memukul dadanya terasa sangat sesak. Menangis ketika sholat, berdoa memohon ampun belum dapat meridhoi jalan takdir yang menimpanya. Sepanjang malam Arsy tidak dapat tidur demi mengadukan segala lara yang di rasa. Jika selama ini ia dapat menahan air mata di hadapan ciptaan Allah, tidak pula di hadapan Sang Pencipta. Arsy akan menumpahkan air matanya, mengadukan segala yang dirasanya.
Ini benar-benar sakit, ya Allah. Arsy gak sanggup.
Ya, benar.
Esok adalah hari dimana Arsy akan menyandang sebagai istri tua atau istri pertama.
Esok adalah hari dimana sahabatnya menjadi madunya.
Esok adalah hari dimana cinta suaminya akan terbagi kepada sahabatnya.
Arsy kembali menangis sesegukan mengingat sang ayah belum juga kembali. Ia merindukan pelukan hangat dari cinta pertamanya itu.
****
Arsy mengerjab mata ketika sinar mentari menerobos masuk melalui celah gorden menyilaukan matanya. Terkejut menyadari kalau dirinya tertidur di atas sajadah. Ia pun gegas melepas dan melipat sajadah lalu ditaruh ke tempat biasanya. Setelah itu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai mandi dan bersiap untuk menghadiri akad nikah suaminya. Ketika hendak keluar kamar, ia melihat Haris baru saja masuk ke dalam kamar masih dengan pakaian tadi malam. Arsy terkejut baru sadar bila suaminya juga tidak tidur di kamar malam tadi.
"Mas," sapa Arsy mengembangkan senyuman seperti tidak akan terjadi sesuatu yang menyakitkan diwaktu yang akan datang.
Dihampiri Haris yang masih berdiri mematung usai menutup pintu. "Kenapa belum siap-siap, mas? Acara akad sebentar lagi dimulai," tutur Arsy lembut sekali. Seperti tidak ada permasalahan apapun meski sebenarnya hatinya telah hancur berkeping-keping.
Haris menatap Arsy penuh arti yang sulit diungkapkan. "Kamu yakin memberi izin mas menikah lagi, Arsy?"
Arsy tersenyum lagi. Manis sekali. "Insya Allah yakin, mas. Aku mengenal Laila. Dia gadis pintar, baik, dan sholehah. Kamu pasti gak akan menyesal menikahi Laila, mas. Semoga saja setelah kalian menikah, akan segera hamil."
Demi Allah. Hati Arsy bagai di remas-remas mengucapkan kalimat yang menjelaskan bahwa sahabatnya itu adalah wanita idaman. Ia sungguh cemburu memiliki madu yang lebih baik darinya.
Arsy kembali tersenyum dan mengusap punggung tangan Haris demi meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Matanya terpejam saat Haris memberinya sebuah pelukan hangat yang selalu membuatnya lebih tenang. Namun, setelah beberapa jam lagi. Pelukan itu akan terbagi, bukan lagi menjadi milik Arsy seutuhnya.
"Mas mandi, ya. Arsy siapin baju mas," Arsy melepas pelukan hangat itu sesegera mungkin. Sebab, tidak ingin menangis di hadapan Haris.
Haris hanya mengangguk menuruti ucapan Arsy barusan. Pria itu pun masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Arsy membuka lemari milik Haris. Diambilnya jas hitam baru yang digantungnya semalam. Jas itu ia dapat atas pemberian ibu Rahma khusus dikenakan Haris untuk akad nikah pagi ini.
Diusap pipinya yang telah dialiri buliran bening dari matanya. Ingatannya berputar beberapa tahun silam ketika ia telah baru saja dinikahi Haris. Betapa bahagia hatinya saat itu, ia merasa hidupnya sempurna ketika doa yang ia langitkan terkabul. Kini, ia harus menerima takdir bahwa keadaannya bukan lagi menjadi satu-satunya.
"Tolong katakan kalau kamu gak setuju mas menikah lagi, Arsy. Mas gak mau buat kamu sedih," ungkap Haris baru saja keluar kamar mandi melihat Arsy membekap mulut, punggung bergetar, dan memeluk erat jas yang akan dikenakannya.
Gegas Arsy mengusap pipinya, menengadah agar air mata itu tak lagi mengalir. Memang, posisi Arsy saat ini memunggungi pintu kamar mandi sehingga harus hanya dapat melihatnya dari belakang saja.
"Arsy," cicit Haris pelan.
Arsya balik badan ke arah Haris dengan senyum manis yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Ah, wanita ini sangat pandai sekali menyembunyikan duka. Lihai sekali menarik kedua sudut bibir agar berbentuk senyuman.
Arsy berjalan mendekati Haris dan memberi pelukan sejenak. "Arsy ikhlas, mas." Ia menyerahkan jas dan lainnya kepada Haris. "Cepatlah bersiap, mas. Akad kamu dan Laila akan segera dimulai satu jam lagi."
Haris menghela nafas panjang kemudian segera berlalu dari hadapan Arsy.
Mata Arsy berkaca-kaca melihat Haris dan ia terus memohon pada Allah agar membuat jarum jam jalannya sangat lambat sebab ia belum rela Haris harus menikah lagi.
****
"Selamat, Laila." Ucap Arsy begitu tabah dihadapan Haris dan Laila yang baru saja melakukan akad nikah.
Laila tampak kikuk menerima ucapan Arsy. Sungguh, ia sangat heran dengan kakak madunya. Mengapa rela?
Sementara Haris menatap Arsy begitu pias. Ia langsung mendekap istri pertamanya kala telah berdiri dihadapannya. Tapi lihatlah, Arsy tidak menangis sama sekali.
"Selamat atas pernikahan, mas. Semoga pernikahan ini membawa berkah dan menjadi ladang pahala untuk kita," ucap Arsy tulus dan tabah.
Arsy menatap Haris penuh cinta. "Aku kesana dulu ya, mas. Aku sangat lapar," kata Arsy gegas menjauh sebab tak dapat membendung air matanya.
Ia masuk ke dalam dapur. Setelah akad nikah di ruang tamu, ibu Rahma membuat acara makan bersama di halaman belakang. Dari dalam dapur, Arsy melihat orang-orang tampak bersuka cita termasuk ibu kandungnya sendiri.
Sembari memandang keluar, Arsy meremas gamidnya tepat di dada sebab merasa sangat sesak. Mengapa tidak ada yang menyadari dirinya sedang tidak baik-baik saja? Hati Arsy terluka. Hati Arsy telah hancur lebur.
Telah tiba waktunya makan siang. Arsy membantu ART menyajikan menu makan siang di meja panjang yang telah disusun di halaman belakang. Arsy menunjukkan diri tidak ada kesedihan dari raut wajahnya.
"Biarkan Laila belajar melayani Haris juga, Arsy. Apalagi hari ini adalah hari pertama Laila menjadi istri Haris," tegur ibu Sandra mengejutkan Arsy yang hendak mengambilkan makanan buat Haris seperti biasa. Ia menggenggam erat piring yang dipegangnya. Arsy lupa jika sudah ada Laila di antara ia dan Haris.
Arsy memejamkan mata sejenak. Mengapa harus ibu kandungnya sendiri yang menegur? Sementara ibu Laila sedari tadi hanya diam saja. Mengapa sesakit ini? Bukankah seharusnya ibunya juga ikut sedih atas nasib yang menimpa anaknya?
"Astaghfirullah. Arsy lupa, maaf ya Laila. Ini piring mas Haris. Kamu ambilkan, ya."
Laila menerima dan terlihat kikuk.
Arsy hanya diam memperhatikan Laila mengambilkan makanan untuk Haris. Kerutan di keningnya setelah merasakan sesuatu. Namun, ia tepis sebab tidak ingin berburuk sangka.
****
Arsy dan Laila membersihkan piring kotor bekas makan malam bersama. Haris telah membawa kedua istrinya pulang ke rumah mereka. Awalnya Arsy tidak ingin ikut dan memilih tinggal di rumah ibu Sandra beberapa hari untuk memberi waktu ruang bagi Haris dan Laila. Sebab, yang ia ketahui suaminya itu belum mengenal Laila. Namun, Haris tetap keukeuh mengajak Arsy pulang bersama.
"Arsy. Apa kamu marah karena aku dinikahi mas Haris?" Tanya Laila pelan.
Untuk sesaat Arsy diam sejenak menatap Laila kemudian menyunggingkan senyuman. "Seharusnya aku yang bertanya begitu, Laila. Apa kamu marah aku memintamu menjadi maduku?"
Tidak ada jawaban dari Laila dan Arsy enggan untuk menunggu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Bukan maksud tidak sopan, hanya saja Arsy sudah menduga bila mendengar jawaban Laila akan menyakiti hatinya yang telah lebur.
"Susullah mas Haris di kamar kalian, Laila. Aku akan segera tidur," kata Arsy dan Laila menurut.
Namun, Arsy teringat sesuatu dan hendak memanggil Laila. Sayangnya, Laila sudah tak nampak. Akhirnya Arsy memutuskan membuat teh hijau yang selalu diminum Haris sebelum tidur. Ia sendiri yang akan mengantar ke kamar mereka. Semoga, pengantin baru itu belum melakukan apapun, pikirnya.
Dengan hati-hati Arsy membawa segelas teh hijau menuju kamar pengantin Haris dan Laila. Ketika tangannya sudah mengayun hendak mengetuk pintu, tanpa sengaja Arsy mendengar sesuatu yang membuat tubuhnya luruh ke lantai. Tangisnya kembali pecah.
Ternyata sesakit ini, ya Allah. Kenapa tidak jujur dari awal? Ya Allah…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!