BAB 1
“Aduh jam berapa ini? Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” Panik Ajeng, wanita berambut panjang serta struktur wajah nyaris sempurna seperti Dewi Venus itu langsung beranjak dari ranjang, dengan kecepatan kilat Ajeng menyambar handuk dan masuk kamar mandi.
“Maaf Ajeng, aku tadi masak di dapur. Aku bantu rapikan baju kerja kamu ya.” Suara lemah lembut Aksa, begitu menyayangi istri. Sebenarnya bukan karena masak membuat seorang Aksara lupa menjadi alarm berjalan istrinya, melainkan hal lain yang harus ia kerjakan.
“AKSA. AKSA KAMU DIMANA? AKSA CEPAT KE SINI!” seru seseorang, suara yang sangat Aksa hapal. Untung pendengarannya masih baik-baik saja. Bayangkan setiap pagi Aksa harus mendengar teriakan dari seluruh penghuni rumah termasuk istri yang dicintai.
Aksa pun menghampiri sumber suara itu, setelah dia sampai di meja makan betapa terkejutnya melihat tempe goreng, tahu goreng dan perkedel bertebaran di atas lantai.
Sebelum mulai bertanya, Aksa menarik napas dan menghembuskan perlahan. Dia tidak habis pikir, memang apa salah tahu, dan kawan-kawannya itu? Semua makanan harus disyukuri, tapi entah berapa kali masakannya harus berakhir di lantai.
“Heh, menantu. Katanya kamu sudah selesai masak, mana? Makanan kaya gini kamu simpan di meja makan.” Sinis Maya, wanita paruh baya yang selalu membuat hati dan telinga Aksara panas setiap pagi, siang, sore bahkan malam.
Belum Aksa bertanya dan baru membuka mulutnya, Maya kembali marah membuka penutup mangkuk besar berisi balado telur. Seketika itu juga Maya membawa mangkuk ke dapur, menumpahkan semua isinya ke dalam tempat sampah.
Aksa yang mengikuti ibu mertua, hanya mengelus dada, lagi-lagi menu sarapan tidak sesuai dengan keinginan Nyonya Besar di rumah ini.
“Apa-apaan, kamu ini masak telur lagi telur lagi, saya kan bilang kalau pagi untuk sarapan makanannya harus bergizi tinggi. Jangan-jangan kamu makan semua ya? Dasar menantu gembel tidak tahu balas budi.” Berang Maya, mendorong tubuh kekar Aksa yang berdiri di depan lemari pendingin.
Aksa tidak bergerak sama sekali dengan dorongan lemah Maya, tapi ia memilih menyingkir melihat tatapan sengit ibu mertuanya.
Wanita itu tercengang melihat isi kulkas kosong, bahkan buah-buahan yang biasanya terisi penuh tidak ada. Di rumah besar seluas 400 meter ini tidak ada asisten rumah tangga satu orang pun. Maya dan Danang memecat semua asisten dan melimpahkan semua tugas pada Aksa.
Apalagi urusan perut, menjadi nomor satu. Sebab Aksara bekerja sebagai pelayan restoran, pasti mengetahui seluk beluk makanan serta kebutuhan dapur.
Ingat kebutuhan dapur, iya semua Aska yang membeli, dia harus meluangkan waktu untuk belanja kebutuhan rumah. Semua tanpa terlewat satupun termasuk penyedap rasa, lidah Maya begitu sensitif, tidak menerima cita rasa yang kurang berbumbu.
“Bu, ibu. Di mana sarapannya?” teriak pria yang pagi ini membuat Aksa kelelahan. Bagaimana tidak lelah, pukul empat pagi ayah mertua menyeret Aksa ke garasi untuk mencuci mobil, tidak hanya satu melainkan dua.
“Aksa di mana sarapan aku? Cepat ke sini!” suara wanita yang tidak lain kakak ipar Aksara. Wanita ini hidup di desa tetapi pola makannya mengikuti orang-orang dari benua lain. Selalu minta menu di luar nalar dengan bahan terbatas.
“Sarapan kita dibuang sama ibu.” Jawab Aksa dengan nada sedikit tinggi, tapi sikap Aksa kembali melemah setelah melihat istrinya berdiri tepat di belakang ayah mertua.
Keributan pun terjadi di meja makan karena tidak ada sarapan, meja kotor dan Aksa terpaksa harus memberitahukan semua. Dia juga harus kembali masak, akhirnya mulut mereka semua bungkam setelah Aksa membawa nasi goreng.
“Ini untuk kamu Ajeng, sarapan yang banyak, hari ini ambil lembur lagi?” Aksa menyerahkan piring bersisi nasi goreng berhias hati untuk istrinya.
Tanpa ucapan terima kasih, Ajeng langsung makan. Ia tidak peduli suaminya mendapat jatah sarapan atau tidak. Bisa dilihat sendiri mangkuk berisi nasi goreng sudah ludes tak bersisa.
Aksa tersenyum kecut, pagi ini dia sarapan air mineral lagi selama tiga hari berturut-turut, tapi sudahlah cukup untuk mengganjal perut sampai ke restoran.
“Ajeng, kamu tahu rumah di ujung jalan sana? Kamu kenal kan sama Nina? Dia teman sekolah kamu.” Ibu mertua mulai berceloteh seperti biasa, dan Aksa harus bisa menahan diri mendengar semua kalimat pedas itu.
“Iya kenapa bu? Dia baru nikah satu bulan yang lalu.” Jawab Ajeng malas.
“Lihat itu Nina, baru satu bulan nikah sama suaminya dikasih rumah besar dan mewah, kamu tahu Ajeng sekarang dia pergi kemana-mana naik mobil mewah, bukan motor jelek yang selalu mogok.” Sindir Maya melirik kepada Aksa.
“Punya suami hanya modal tampang, mana kenyang Jeng. Hidup itu perlu uang, harta yang banyak. Makan dan membeli pulsa saja mengandalkan istri, benar-benar menantu tidak berguna kamu Aksa.” Ucap Danang melempar kuning telur ke hadapan menantunya.
“Kamu itu sial nasibnya, punya suami tapi hidupnya susah, gaji kamu habis terus. Kasihan sekali anak ibu menikahi gembel.” Maya meninggalkan meja makan lebih dulu, diikuti Rayana kaka ipar Aksa dan terakhir Danang.
Tersisa Aksa dan Ajeng di ruang makan, suasana pagi yang tidak menguntungkan bagi Aksa.
Tanpa pamit dan sepatah kata apapun, istrinya itu pergi ke tempat kerja. Sedangkan Aksa harus membersihkan piring kotor serta dapur sebelum keluar rumah.
Pria tampan dengan iris abu-abu ini menghela napas melihat pakaian kotor menumpuk di keranjang. Padahal mertuanya orang berada, bahkan sanggup membayar lima atau sepuluh orang asisten rumah tangga, tapi pekerjaan rumah di kerjakan oleh Aksa.
Selesai mencuci piring, Aksa bergegas mengeluarkan motornya. Hanya kendaraan ini yang menjadi saksi beratnya hidup seorang Aksara Kaisar selama lima tahun belakangan. Ia menatap penuh arti bangunan megah paling mewah di blok ini.
Tinggal di rumah mertua bukan keinginan Aksa, semula setelah menikah ia ingin membawa istrinya pergi dari rumah besar ini. Tapi Ajeng tidak mau, karena rumah yang disewa sangat kecil, panas dan susah air bersih. Aksa pun tidak tega membawa istrinya hidup susah, biarlah ia mengalah sembari mengumpulkan uang.
Tapi mengumpulkan uang hanya angan-angan sebab gajinya selalu habis tak tersisa satu rupiah pun.
Aksa tersadar dari lamunannya setelah mendapat cipratan genangan air dari pengendara mobil yang lewat.
“Argh sial jadi kotor.” Keluh Aksa melihat seragam kerjanya. Pria ini pun langsung menyalakan mesin motor, tapi beberapa kali dicoba tetap tidak bisa. Terpaksa Aksa mendorong kendaraannya sampai ujung jalan, tujuan utamanya sekarang bengkel.
Di tengah perjalanan, telinga Aksa kembali terbakar mendengar percakapan sekelompok ibu serta pemuda.
“Kasihan ya Ajeng, punya suami tidak modal. Masa motor jelek masih dipelihara. Kalau saya punya menantu seperti itu pasti sudah dipaksa cerai dari anak saya, hidupnya jadi beban istri.” Cibir penghuni komplek perumahan.
Aksa kembali mendorong motor, enggan meladeni orang-orang pengangguran seperti itu, hanya membuang waktu.
Belum juga roda kendaraan berputar ia kembali mendapat halangan, benar-benar naas hidupnya pagi ini.
TBC
BAB 2
Sekelompok pemuda menghadang jalan, menatap penuh intimidasi. Apa harus Aksa memberi pukulan lagi pada mereka?
Pemuda ini tidak jera mencari masalah dengannya. Padahal dua minggu yang lalu Aksa berhasil merontokkan gigi salah satunya. Terlalu lancang menurut Aksa, turut campur dalam kehidupan pribadi, apalagi menyinggung gaji. Bagi pria hal itu adalah harga dirinya.
Salah satu pemuda dengan angkuh berjalan mengitari Aksa, memandang rendah pria yang tengah memegang motor usang.
“Tinggalkan Ajeng, ceraikan dia sekarang juga. Kau tidak pantas bersanding dengannya. Pria miskin sepertimu cocok hidup sendiri sampai mati.” Sindir pemuda itu, menendang kendaraan roda dua milik Aksa. Sampai suara retak terdengar jelas.
Tawa saling bersahutan, melihat apa yang dilakukan piminan mereka. Aji namannya, pria itu sangat terobsesi memiliki Ajeng, tapi sayang cintanya di tolak mentah-mentah dan gadis pujaannya lebih memilih lelaki miskin bernama Aksara.
Aksa patut bangga karena akhirnya dia yang memiliki Rahajeng Prameswari, kembang desa incaran para pemuda kampung dan kota. Kecantikan dan kelembutan hati Ajeng mampu memikat siapa saja, termasuk Aksara Kaisar. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Ajeng.
Namun pernikahannya bukan atas dasar cinta melainkan, keterpaksaan. Sebab warga tanpa sengaja memergoki Aksa sedang memeluk Ajeng di depan rumah kosong. Padahal Aksa hanya menolong Ajeng yang pingsan karena kelelahan bekerja.
“Lihat kan dia tidak bisa menjawab.” Ujar Aji bersikap angkuh ke teman-temannya, kemudian melayangkan pukulan kepada Aksara.
Tapi tubuh kering kerontang Aji tersapu angin, sebab Aksa hanya menggeser sedikit ke sisi kiri, menghindar dari pukulan pria congkak ini. Hingga Aji tersungkur mencium kerasnya aspal.
Teman-teman Aji yang lain langsung bersiap menyerang Aksa, tapi pria itu cukup tahu, menahan semua temannya.
“Dengar kau Aksa, aku yang akan menggantikan posisi mu sebagai suami Ajeng. Jadi sekarang kamu bersiap sebelum ditendang oleh mertua pengusaha itu.” Seru Aji tertawa menang, ia akan terang-terangan merebut kekasih hati dari tangan suaminya.
Tentu saja Aksara tidak terima, baginya Ajeng adalah pelabuhan terkahir seorang Aksara Kaisar. Tidak ada yang boleh merebut Ajeng.
Aksa langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi di rahang rapuh Aji, tersenyum kecil menanggap remeh aji. Bisa-bisanya berani menabuh genderang perang, sudah jelas statusnya sebagai suami sah dari Rahajeng.
“Sebaiknya kalian pergi. Ajeng istriku, kami menikah dan sah tercatat di negara.” Suara dingin dan menusuk seorang Aksa, mengusir Aji dari hadapannya.
“Heh kamu jangan sombong Aksa, aku pastikan mimpi buruk segera datang.” Ancam Aji, pemuda yang hanya bisa menghabiskan uang orangtua.
Aji berusaha bangkit dan melawan Aksa, tidak peduli darah mengalir dari sudut bibir yang pecah. Tapi lagi-lagi ia hanya memukul angin. Aksara memiliki kemampuan bela diri di atas rata-rata tidak sembarang orang bisa melawannya, apalagi pria seperti Aji.
Keributan di tengah jalan ini menjadi perhatian warga sekitar, beberapa tetangga merekam dan mengirimnya ke Maya, mereka bergosip menjatuhkan Aksa. Bahkan ada beberapa yang sengaja mencemooh Aksa.
“Zaman sekarang hati-hati pilih menantu, bisa jadi muka ganteng tapi perilakunya jelek, seperti itu.” Suara keras yang nyaring di gendang telinga Aksa, sudah pasti objek dari pembicaraan mereka semua adalah Aksa.
“Iya. Hati-hati, nanti harta mertua diambil menantu yang modal tampang. Kasihan sekali Ajeng, itu hukuman untuk perempuan yang berani menolak pemuda desa kita.” Sahut ibu lain.
Mereka semua kesal karena Ajeng berani menolak pinangan salah satu putranya, dengan alasan tidak cocok dan pemuda itu bukanlah pria yang baik, sampai para pemuja Ajeng patah hati mendapati gadis itu menikah dengan Aksa, orang asing yang tidak jelas asal usulnya.
Aksa memilih pergi dari pada telinganya rusak mendengar kata-kata menjijikan itu. Ia mengabaikan Aji yang merintih kesakitan di atas aspal.
Dia terus mendorong motornya, melewati hamparan hijau sawah yang begitu luas dan memanjakan mata. Pepohonan rindang di sisi jalan cukup melindungi tubuh dari sorot sinar mentari pagi yang begitu menyilaukan mata.
Akhirnya setelah berjalan selama lebih dari lima belas menit, Aksa tiba di bengkel. Ia harus menghela napas melihat antrian, ada yang sekedar mengganti oli, roda bahkan servis.
Tidak lama seorang montir datang membantu Aksa, memeriksa secara menyeluruh kondisi motor. Sangat disayangkan ada beberapa sparepart yang harus diganti, agar kendaraan roda dua miliknya bisa berfungsi kembali. Aksa pun mengunjungi pemilik bengkel dan bertanya rinciannya, kalau bisa dia akan membayar sore nanti.
“Berapa Pak totalnya? Apa saya bisa bayar nanti sore setelah dapat gaji?” Tanya Aksa ragu-ragu. Sebab sebelumnya mengintip isi dompet, hanya ada tiga puluh ribu rupiah di dalamnya.
“Maaf tidak terima hutang dalam bentuk apapun, totalnya 300 ribu rupiah. Kita tahan motor kamu, seenaknya saja pergi tanpa membayar.”
Aksa menelan saliva yang begitu sakit terasa di kerongkongan, ia melirik jam di ponsel. Sudah terlambat tiga puluh menit dan bagaimana caranya agar motor bisa terbayar? Dengan pertimbangan matang, dia menghubungi Ajeng. Hanya istri cantiknya yang bisa membantu untuk sekarang.
“Halo Ajeng. Sayang maaf, aku mau pinjam uang 300 ribu. Motorku mogok lagi, bisa transfer langsung ke pemilik bengkel? Aku sudah terlambat kerja.” Ucap Aksa panjang kali lebar.
“Apa? Mogok lagi? Aduh Aksa, motor kaya gitu kenapa masih dipakai? Uang gaji kamu selalu habis dasar menyusahkan.”
Gerutu Ajeng, terdengar sekali suaranya tidak senang mendapat telepon dari Aksa.
“Kamu boros Aksa. Selama dua tahun menikah aku tidak pernah hidup senang, selalu aku yang memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, di mana peran kamu sebagai suami? Untuk bayar servis motor harus mengemis ke istri.”
Lanjut Ajeng masih berat hati mengirim uang yang jumlahnya cukup berarti di kehidupan mereka.
“Maaf Ajeng, aku janji sayang nanti sore setelah gajian semua aku ganti, sama hutangku yang kemarin ya jadi totalnya 400 ribu, benar kan?” suara Aksa selembut mungkin. Tidak pernah selama menjalani pernikahan membentak atau marah kepada istrinya.
“Kamu kerja hanya sampai sore, bisa kan malamnya cari sampingan. Aku lelah Aksa, uang gajiku habis terus, kapan aku bisa seperti teman-teman yang lain? Fungsi kamu sebagai suami apa? Bukan memberi malah minta terus menerus.”
Ajeng memang tidak pernah memberi cuma-cuma, semua uang yang digunakan Aksa harus dibayar secepatnya. Pria ini juga mengerti, karena ia sadar selama dua tahun tidak pernah memberi apapun untuk istrinya selain uang gaji yang tidak seberapa.
“Sore aku ganti Ajeng. Jangan cemas. Boleh kirim sekarang uangnya? Aku sudah terlambat kerja.” Pinta Aksa berharap kali ini sang istri menolongnya.
“Berikan nomor rekeningnya, aku kirim sekarang juga. Jangan lupa harus kamu bayar semua hutang. Aku mau beli sepatu baru. Ck menyebalkan, untuk beli sepatu saja suamiku tidak mampu.”
Cibir Ajeng sebelum mengakhiri sambungan telepon.
Akhirnya motor bisa dibayar lunas, bagi Aksa Ajeng memang benar-benar dewi penolongnya. Walaupun harus menebalkan telinga lebih dulu.
Tepat Aksa menyalakan kendaraan, suara ponsel dalam tas mengalihkan fokusnya. Dia periksa siapa yang menelepon, seketika Aksa menghela napas melihat nama yang tertera di layar.
TBC
BAB 3
Aksa menghela napas, melihat ponselnya terus berdering tanpa henti. Tahu siapa? Dia kakak iparnya, Rayana selalu minta Aksa mengirim makan siang ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Bukan hanya itu, tapi Rayana seolah sengaja menunjukkan pada rekan kerja Ajeng, bahwa Aksa hanyalah seorang pelayan rendahan di restoran. Tidak jarang Ajeng pulang dalam keadaan menangis sebab mendapat hinaan dari temannya.
“Aku minta Rudi saja yang mengantarnya nanti. Pasti dia mau mempermalukan aku lagi, dasar kakak ipar tidak berpendidikan.” Aksa menolak panggilan telepon, ia segera melaju ke restoran dengan motornya.
Sepanjang perjalanan menuju restoran, Aksa terus menarik napas. Otaknya berusaha berpikir mencari alasan datang terlambat, pasalnya ia sering masuk kesiangan.
“Semoga manager hari ini ada kunjungan ke tempat lain.” Aksa berharap dalam hati. Dia terlambat bukan karena bangun siang tapi ada saja perkara di rumah yang membuat Aksa kehilangan waktunya. Seperti pagi ini Danang dan Maya terus membuat ulah, tidak pernah mengizinkan Aksa hidup tenang menjalani rumah tangganya.
Tiba di restoran, harum bumbu, masakan lezat menyeruak memenuhi indra penciuman. Detik itu juga perut kosong Aksa memberontak ingin segera diisi, ia pun masuk ke ruang khusus istirahat karyawan, jatah makan siangnya diambil sebelum waktunya. Chef utama pun tahu pasti Aksa tidak sarapan di rumah.
Namun baru juga menikmati dua sendok makanan, suara bariton dari luar mengusik ketenangan Aksa. Terpaksa ia menunda sarapan yang kesiangan dan menemui manager restoran.
Aksara bekerja di restoran ini sudah tiga tahun, sebelumnya dia hanya kerja serabutan untuk menyambung hidup agar tidak mati sia-sia tanpa makanan. Semua dilakukan dengan terpaksa sebab Aksa pergi jauh dari negara asalnya karena kakek yang ia sayangi meninggal dunia, usia muda membuatnya terlarut sangat dalam pada kesedihan.
“Aksara kamu dengar apa yang saya sampaikan tadi? Jawab Aksara!” suara manager bertegangan tinggi adalah hal biasa bagi Aksa.
Ia yang tengah melamun pun tersadar mendengar namanya dipanggil. Aksa langsung mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Ini surat peringatan kedua untuk kamu, sekali lagi masuk kesiangan, tidak ada toleransi lagi Aksa. Saya sudah cukup berbaik hati menyembunyikan kesalahan kamu ke pemilik restoran. Ini tempat kerja bukan untuk bermain, jadi serius lah kalau memang kamu membutuhkan uang. Lihat teman kamu yang lain bisa masuk lebih awal, karena mereka memerlukan uang. Ingat itu Aksa.” Kata Manager restoran dengan gaya arogannya.
Teman kerja Aksa banyak yang tidak menyukainya, sebab perlakuan berbeda diberikan kepada Aksa yang jelas-jelas sering masuk terlambat.
Selesai mendengar semuanya, Aksa segera bekerja. Tugas utamanya menunggu tamu di bagian depan, mempunyai paras tampan membuat Aksa memiliki posisi tertentu di restoran ini, sebagai pelayan yang menyambut tamu. Tapi sering kali berakhir dengan caci maki wanita, mereka sakit hati karena Aksa menolak pernyataan cintanya.
Setiap pekerjaan ia lakoni dengan baik tanpa lelah hilir mudik dari depan, ke belakang lalu membantu menurunkan persediaan makanan. Sampai tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Artinya ia bisa pulang ke rumah berduri yang menjadi tempatnya bernaung.
Sebelum pulang, para karyawan berjejer rapi menunggu gaji mereka, termasuk Aksa. Semua pegawai shift satu telah pulang tersisa dirinya yang menanti dengan harap cemas. Senyum manis Ajeng memenuhi kepala Aksa, ia rindu akan sikap lembut dan manja istrinya. Aksa akan memberi semua gajinya untuk sang istri.
“Aksa, ini gaji kamu. Hanya sebagian ya, sesuai peraturan kalau datang terlambat maka gaji dipotong.” Manager menyerahkan amplop berisi uang satu juta rupiah.
“Terima kasih Pak.” Aksara menerima amplop itu, dan ini semua hak untuk Ajeng. Ia pulang dengan hati senang sekaligus was-was membawa pulang uang.
Sebelum masuk komplek perumahan, Aksa menggunakan sisa uang di dompet untuk membeli buah tangan kesukaan Ajeng, martabak telur spesial.
Baginya, Ajeng adalah bidadari cantik yang mampu mengalihkan perhatian dan menyentuh sisi hati dingin seorang Aksara, hingga luka di dalam dada pria ini menghilang.
Aksa menunggu sepuluh menit, dan martabak untuk istri tercinta siap diberikan. Sebelum pulang ia lebih dulu memeriksa status sosial media istrinya dan benar saja Ajeng tidak lembur, karena tidak enak badan.
Sampai di depan rumah, senyum lebar mengembang di bibir Aksa, melihat siluet istrinya di lantai dua. Perlahan ia membuka pintu pagar, masuk tanpa suara sebab mengkhawatirkan sesuatu.
Belum kakinya melangkah, mertua Aksa sudah menengadah tangan meminta uang listrik, air dan biaya keamanan.
“Pulang juga kamu. Hari ini gajian kan? Mana untuk bayar listrik? Kamu tega kalau Ajeng harus bayar listrik sendiri? Ingat Aksa, saya sudah baik hati mengizinkan kamu tinggal di rumah ini. Balas budi kamu ini tidak seberapa dengan hidup di rumah mewah.” Sarkas Maya, masih terus membuka tangan tanpa tahu malu.
“Bu, ini hak Ajeng. Bulan lalu semua saya berikan. Apa itu kurang hanya untuk bayar listrik, air dan keamanan? Saya hitung, cukup untuk tiga bulan ke depan.” Balas Aksa geram akan ibu mertua yang selalu kelewatan.
“Dengar ya Aksa, kalau bukan karena Ajeng, Saya pastikan kamu keluar dan bercerai, susah payah anak itu dibesarkan tapi mencintai pria benalu seperti kamu. 600 ribu untuk listrik, bayar sekarang juga” Ucap Maya, tanpa pikir panjang.
Enggan tertahan diluar rumah, Aksa memberi ibu mertuanya uang sesuai permintaan, dan parahnya lagi Maya menyambar martabak telur di tangan Aksa.
“Bu jangan itu untuk Ajeng.” Teriak Aksa, tapi percuma karena Maya melenggang masuk sembari menggigit martabak telur.
Akhirnya uang gaji tersisa beberapa ratus ribu yang akan Aksa bayar untuk pinjamannya ke Ajeng. Pria ini masuk kamar, mendapati istrinya selesai mandi dan bersin-bersin.
“Ajeng kamu sakit? Sudah berobat?” Aksa begitu khawatir akan kesehatan sang istri.
“Sudah, kamu lupa? Aku kan kerja di rumah sakit pasti berobat lah. Oh iya mana janji kamu, bukannya mau bayar hutang?” Ajeng memutar rekam suara suaminya sebagai bukti janji Aksa pagi ini.
“Ini sayang, terima kasih ya.” Aksa tersenyum sembari menyerahkan uang ke tangan istrinya. Sungguh manis wajah Ajeng malam ini. Membuat dada Aksara berdebar tidak menentu, tapi tidak berakhir begitu saja sebab Ajeng meminta uang jatahnya.
“Hutang kamu lunas ya Aksa. Terus uang untukku mana? Bulan kemarin alasan kamu semua untuk bayar keperluan rumah tangga, artinya sekarang ada jatah bulanan untukku, benar kan? Aku mau beli jam tangan baru seperti temanku. Dia dapat hadiah dari suaminya, sedangkan aku harus menambah kekurangannya dari gajiku sendiri.”ucap Ajeng berubah lemas tak bersemangat.
Ehem
“Maaf sayang, uangnya diambil ibu untuk bayar listrik dan biaya lainnya. Jadi aku hanya bisa bayar hutang ke kamu.” Tukas Aksara, merasa bersalah lagi-lagi Ajeng menjadi korbannya.
“APA? Kamu kasih ke ibu? Bulan lalu kan sudah. Atau jangan-jangan kamu punya wanita lain ya? Aku tidak mau Aksa, tabunganku menipis hanya untuk memenuhi kebutuhan harian kita. Kamu keterlaluan Aksa.” Ajeng menghentak kaki dan keluar dari kamar, dia tidak mau lagi harus menutupi semua kebutuhan hidup menggunakan gajinya sebagai perawat.
Namun Aksa lebih dulu menahannya. Tidak ingin masalah seperti ini sampai menjadi konsumsi satu penghuni rumah.
“Ajeng tidak ada wanita lain hanya kamu yang aku cinta ….” Jawab Aksa belum selesai dan istrinya kembali memotong pembicaraan.
“Cinta? Hidup kita tidak makan cinta Aksa, memang rumah dan semua yang kita pakai dibeli dengan cinta? Uang Aksa, uang. Malam ini kamu tidur di luar!” Ajeng mendorong tubuh kekar Aksa keluar kamar.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!