🌸 Visual Aurora 🌸
Source: Instagram_Aom Sushar Manaying
Aurora adalah gadis berusia 18 tahun yang dilahirkan dari latar belakang keluarga yang kurang mampu. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh swasta hanya bisa mencukupi untuk makan sehari-hari. Ibunya kini bekerja sebagai buruh cuci di sekitar tempat tinggalnya, ibunya bekerja untuk mencari tambahan penghasilan guna membantu sang suami mencari uang tambahan untuk membayar biaya sekolah ketiga adik-adik Aurora.
Kini Aurora bekerja di sebuah toko kue, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Pada suatu hari saat Aurora tiba di rumah selepas pulang bekerja, tiba-tiba ia mendengar suara ribut dari dalam kamar ayah dan ibunya. Ia mendengarkan percakapan kedua orang tuanya yang saat itu sedang bertengkar hebat. Air matanya tak terbendung dan mengucur deras, ia tak menyangka ayah yang selama ini ia banggakan berubah menjadi laki-laki yang sangat ia benci.
Betapa tidak, ia menguping pengakuan ayahnya bahwa saat ini ia memiliki janin dari rahim wanita lain. Hatinya berkecamuk, ingin rasanya ia memaki dan meluapkan kekecewaan pada ayahnya itu. Hatinya pedih bagaikan tersayat saat mendengar tangisan sang ibu.
Amarahnya tak tertahan lagi, dengan segera Aurora masuk dan menghampiri sang ibu.
"Sudah bu, ibu gak perlu khawatir dengan biaya sekolah adik-adik, aku akan bantu ibu membiaya mereka hingga mereka besar nanti," Aurora pun memeluk sang ibu yang tengah menangis di atas ranjangnya.
"Aku gak pernah nyangka ayah tega khianati ibu seperti ini," Aurora mengusap air matanya di kedua pipinya.
"Ayah tau ayah salah, ayah minta maaf sama kalian,"
Aurora yang tidak menghiraukan permohonan maaf ayahnya, hanya memalingkan wajah sambil mengusap bahu ibunya yang masih amat terpukul atas pengakuan mengejutkan itu.
"Bukan maksud Aurora bersikap jahat dan tega sama ayah, tapi ini untuk kebaikan kita semua jadi Aurora minta ayah untuk tinggalkan kami semua!" ucap Aurora dengan derai air mata saat mengucapkannya. Hatinya begitu berat mengatakan kalimat itu, tetapi ia yakin bahwa keputusan yang ia ambil akan membuat sang ibu lebih mudah melupakan kenangan pahit hari itu.
"Apakah kalian tidak ingin memaafkan ayah?" tanya ayahnya dengan begitu besar pengharapan atas penyesalan yang ia rasakan.
"Aku dan ibu sudah memaafkan ayah, tapi tidak untuk bersama lagi," raut wajah Aurora tampak serius sangat mengatakan itu.
"Aku minta ayah kemasi semua barang-barang ayah dan tinggalkan kami saat ini juga!" ucap Aurora sambil terus mengusap bahu sang ibu, sementara ibunya hanya terdiam dan tak mengucap sepatah katapun. Tatapannya begitu kosong, kelopak matanya membengkak setelah menangis saat perdebatan terjadi.
"Baik kalau memang itu terbaik untuk kalian, ayah akan pergi dari rumah ini! tapi kalian harus tahu bahwa ayah begitu menyayangi kalian," ucap ayah Aurora menghampiri istri dan putri pertamanya.
Aurora yang mendengarkan perkataan ayahnya, hanya bisa menahan tangis dari balik wajahnya. Ia tak ingin menambah kesedihan sang ibu saat melihatnya ikut menangis. Ayahnya pun segera mengemasi barang-barang miliknya, ia memasukan baju dan beberapa barang keperluannya bekerja.
"Ayah mau kemana yah? aku ikut ayah ya!" ucap salah seorang adik Aurora yang masih berumur 4 tahun, ia merengek untuk ikut bersama ayahnya saat itu yang tengah mengemas pakaiannya pada kantong plastik berwarna hitam.
"Dika sini sama kakak, ayah kan mau bekerja cari uang untuk jajan Dika," ucap Aurora membujuk adiknya agar tidak menangis melihat kepergian ayahnya. Dika pun menghampiri Aurora dan terduduk di pangkuannya.
"Kak, Dika mau dibelikan mainan pesawat yang bisa terbang, kaya teman Dika di rumah depan sana kak," Aurora yang mendengar permintaan adik bungsunya itu, tentu saja membuatnya sedih. Ia tak menyangka bahwa adiknya kini harus hidup tanpa kedua orang tua yang hidup harmonis seperti biasanya.
"Iya, nanti kakak belikan kamu mainan saat kakak sudah gajian ya," ucap Aurora menenangkan adiknya. Tak berapa lama, ayahnya menghampiri Aurora dan ibunya. dengan membawa satu tas besar dan 2 kantong plastik hitam yang ia letakan di atas lantai.
"Ayah pamit, ayah minta maaf atas semua ini," wajah ayahnya hanya tertunduk saat mengucapkan itu, ia tak berani menatap putri dan istrinya yang berada tepat dihadapannya. "Ayah berharap kita bisa bersama dan berkumpul lagi seperti dulu," ucap sang ayah penuh harap.
"Itu gak mungkin yah, ayah sekarang memiliki calon anak dari perempuan lain, aku gak bisa terima itu karena itu akan sangat menyakitkan bagi kami terutama ibu," ucap Aurora sambil menatap tajam wajah ayahnya. Ia tak ingin hidup dengan ayah yang telah menyakiti hati ibunya, apalagi harus menerima anak itu sebagai adik tirinya.
"Sekarang ayah boleh pergi tinggalkan kami!" Aurora pun memalingkan wajah dari ayahnya, namun di balik ketegasan dan amarahnya saat itu, hatinya hancur. Ia harus mengatakan itu pada ayahnya sendiri.
"Baiklah, ayah pergi! tolong jaga ibu dan adik-adikmu," ayahnya kemudian pergi dan membawa barang yang telah ia kemasi. Sementara ibunya terus meneteskan air matanya dengan wajah yang amat sedih.
"Ayah... ayah jangan lupa belikan aku mainan pesawat yang bisa terbang ya," teriak Dika yang berlari menghampiri ayahnya.
Mendengar permintaan Dika, ayahnya kemudian berbalik dan memeluk Dika dengan erat. Sangat terlihat bahwa ayahnya begitu enggan untuk meninggalkan keluarga yang ia cintai selama ini. Entah apa yang membuat ayahnya melakukan kesalahan itu hingga menyisakan sakit yang mendalam bagi Aurora dan keluarganya.
"Ayah akan kembali dan belikan mainan itu untuk Dika ya, tolong Dika jaga ibu dan kakak ya, jangan buat mereka sedih! kalau Dika bisa jaga mereka untuk ayah, nanti ayah akan kembali dan belikan mainan yang banyak untuk Dika," ucap sang ayah pada Dika yang berada dalam pelukannya. Tentu pemandangan itu membuat Aurora kembali meneteskan air mata. Ia tak ingin terus menerus melihat Dika dengan harapan besarnya agar ayahnya kembali, Aurora kemudian memanggil Dika dan memintanya untuk membiarkan ayahnya pergi.
"Dika sini sama kakak, biarkan ayah pergi! kan Dika mau kakak belikan mainan jadi Dika harus dengar kata kakak," Dika yang mendengar panggilan Aurora, kemudian melepaskan pelukan dari ayahnya dan menghampiri Aurora. " Kak, Dika mau punya dua ya mainannya," pinta Dika pada Aurora dengan menunjukan kedua jari tangannya.
"Iya, kakak belikan satu-satu ya untuk Dika, nanti kalau kakak belikan banyak Dika jadi gak mau belajar!"
Melihat putra bungsunya sudah tenang, akhirnya ayah Aurora mengangkat dan menggendong tasnya. Ia berjalan keluar dan meninggalkan rumah yang sudah ia tempati bersama keluarganya kurang lebih 19 tahun. Semakin lama, ayahnya tak terlihat dari pandangannya. Aurora melepaskan tangisnya sambil memeluk ibu dan adik bungsunya, sementara sang ibu hanya terdiam saat Aurora memeluknya.
Tiba-tiba kedua adik Aurora yang lain yaitu Nova dan Bintang tiba di rumah setelah bermain dengan teman-temannya. Nova adalah adik pertama Aurora yang berusia 15 tahun dan sedang duduk di bangku SMA, sedangkan Bintang adalah kakak dari Dika yang berusia 11 tahun, kini Bintang duduk di kelas 6 yang sebentar lagi menamatkan pendidikannya di sekolah dasar.
"Kak, ayah dimana kak? aku mau minta ayah untuk membantuku membuat tugas prakarya," tanya Nova pada Aurora saat itu. Aurora yang mendengar pertanyaan adiknya bingung harus menjawab apa, ia tak ingin adiknya ikut bersedih mengetahui kenyataan bahwa ayahnya kini sudah tidak tinggal bersamanya lagi.
Dengan berat hati Aurora memutuskan untuk berkata jujur pada adiknya tentang keadaan keluarganya saat itu, Aurora berpikir bahwa adiknya sudah cukup dewasa untuk mengetahui permasalahan kedua orang tuanya.
"Nov, nanti malam ada yang mau kakak bicarakan sama kamu," ucap Aurora sambil mendekati Nova yang sedang berdiri persis di depan kamar ibunya.
"Kakak habis menangis ya, ada apa kak?" tanya Nova dengan penasaran pada kakaknya.
"Nanti malam kakak jelaskan semua sama kamu, sekarang kamu bantu mandikan Dika ya karena kakak mau masak makan malam untuk kita," Aurora pun bergegas kembali ke kamar ibunya setelah menghampiri Nova.
"Bu, sekarang ibu istirahat ya! biar aku yang masak makan malam untuk kita," ucap Aurora sambil membaringkan tubuh ibunya yang masih terduduk di atas ranjangnya. Aurora kemudian menarik selimut dan membentangkannya perlahan.
"Ibu gak pernah membayangkan ini sebelumnya, ibu juga gak menyangka ayah kamu melakukan ini pada ibu," ucap sang ibu dengan air mata yang tak terbendung.
"Ibu harus apa Ra sekarang?" tanya ibu sambil menatap Aurora yang berdiri disampingnya.
"Ibu hanya perlu kuat dan melupakan semuanya, aku akan berusaha mencari pekerjaan tambahan agar adik-adik bisa melanjutkan sekolahnya, walaupun tanpa bantuan biaya dari ayah," ucap Aurora dengan penuh keyakinan. Tatapan dan senyuman yang terpancar dari wajah Aurora, cukup untuk membuat ibunya tenang.
Senja pun menampakan wajahnya kala itu, namun Aurora masih setia menemani di samping ibunya yang tengah terlelap. Wajah ibunya merupakan semangat bagi Aurora untuk tetap bekerja keras mencari nafkah bagi ketiga adiknya.
"Ibu yang tenang ya bu, aku gak akan biarkan adik-adik putus sekolah karena ketiadaan ayah saat ini, aku juga gak akan biarkan ibu terus membanting tulang menjadi buruh cuci di rumah tetangga," ucap Aurora sambil mengusap kening ibunya.
"Kak aku mau makan, tapi di dapur nasinya habis," teriak Bintang, salah satu adik Aurora dari arah dapur.
Mendengar teriakan adiknya, Aurora pun terbangun dari duduknya. "Sebentar de, kakak masak dulu ya," Aurora pun bergegas keluar dari kamar sang ibu dan menuju dapur.
Setelah Aurora memasak nasi, ia pun membuka keranjang tempat sang ibu biasa menyimpan bahan makanan untuk di masak.
"Yah semua persediaan bahan sudah habis, bagaimana kami makan malam ini," ucap Aurora dengan wajah sedih dan bingung. Ia pun merogoh semua saku celananya, namun tak selembar pun ia temukan.
Bibirnya gemetar menahan tangis, ia tak kuasa apabila melihat adiknya harus makan nasi hanya dengan taburan garam. Hatinya tak goyah, asa pun begitu besar ia miliki saat melihat tas selempangnya yang menggantung di samping lemari baju.
"Bismillah, semoga saja masih ada sisa uang yang terselip di sini," ucap Aurora dengan penuh harap. Setelah merogoh resleting tasnya, Aurora menemukan satu lembar uang kertas dengan nominal sepuluh ribu rupiah. Senyum bahagia Aurora pun melebar, matanya berbinar sambil memegangi selembar uang tersebut.
"Alhamdulillah, akhirnya aku dan adik-adik bisa membeli lauk makan untuk malam ini," ucap Aurora tersenyum lebar.
"Bintang.... Bintang... tolong kakak dong, tolong belikan telur Ayam di warung depan ya!" panggil Aurora pada Bintang sore itu. Bintang pun menghampiri kakaknya yang tengah memasak di dapur.
"Beli telurnya berapa banyak kak?" tanya Bintang pada Aurora sambil mengambil selembar uang yang diberikan Aurora.
"Beli satu perempat saja, karena uangnya gak cukup untuk membeli lebih dari itu," jawab Aurora pada Bintang.
Bintang kemudian lari dan bergegas membeli telur yang diminta oleh kakaknya. Tak berapa lama Bintang kembali membawa empat butir telur yang dibungkus di dalam plastik.
"Ini kak telurnya, oh iya uang kembalinya boleh untuk Bintang gak kak?" tanya Bintang dengan tatapan memelas.
"Bintang, saat ini kakak sudah tidak punya uang simpanan lagi untuk kita, makanya kakak minta kita tetap menghemat agar bisa tetap makan," ungkap Aurora pada adiknya.
"Iya kak, Bintang ngerti,"
"Nah gitu dong, ini baru Bintangnya kakak," Aurora mengusap-ngusap kepala Bintang lalu mencubit pipinya.
"Sekarang kamu tunggu di kamar ya, nanti kalau sudah siap kakak panggil kamu untuk makan," Bintang hanya mengangguk pada kakaknya dan kembali ke kamarnya.
Aurora pun melanjutkan kembali masaknya, ia mengambil dua butir telur dan menggorengnya untuk mereka makan sama-sama. Ya, dua butir sisanya dia sisihkan untuk sarapan adik-adiknya esok hari.
"Kamu masak apa Ra? maafkan ibu ya, kamu jadi harus masak setelah lelah sepulang kerja," ucap ibu sambil menghampiri Aurora yang sedang mendadar dua butir telur.
"Ibu gak perlu bilang begitu bu, aku senang kok bisa bantu ibu," ucap Aurora sambil tersenyum pada ibunya.
"Ibu benar-benar beruntung Ra punya anak seperti kamu," mata sang ibu menatap penuh haru pada putri tercintanya.
"Semoga kita semua bisa melewati semua ini ya nak," ucap sang ibu sambil memeluk tubuh Aurora.
"Iya bu, kita semua pasti bisa kok melewati semuanya karena kita punya ibu yang hebat," ucap Aurora sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
"Kamu memang paling bisa ambil hati ibu," ucap ibu menimpali.
Selesai mendadar telur, Aurora memanggil ketiga adiknya. "Nova... Bintang... Dika... ayo makan dulu, kakak sudah siapkan makan malam untuk kita!" panggil Aurora pada ketiga adiknya.
"Iya kak, kami akan segera makan" sahut salah satu adiknya.
Sambil menunggu adik-adiknya, Aurora menyiapkan alat makan yang di perlukan dengan di bantu sang ibu.
"Sudah bu, biar aku saja yang siapkan!"
"Kamu sudah lelah bekerja di toko, ibu gak mau anak ibu sampai sakit karena kelelahan," ucap sang ibu penuh khawatir.
"Aku akan baik-baik saja bu, selama ibu juga tetap berada di samping aku dan adik-adik," sahut Aurora.
"Kak, kita mau makan apa?" tanya Dika dengan wajah polosnya.
"Dika, kita makan apa adanya ya sayang, kakak gorengin telur dadar untuk Dika.
"Aku gak mau telur lagi kak, bosen telur terus! aku mau makan ikan kaya Rafa, kayanya enak kak," rengek Dika pada kakaknya. Rafa merupakan tetangga depan rumah Aurora, yang seusia dengan Dika. Keluarga Rafa merupakan keluarga dengan ekonomi yang cukup. Tak aneh bagi kami, saat Dika bermain bersama Rafa selalu saja Dika merengek meminta sesuatu yang dimiliki Rafa.
Mendengar rengekan Dika, Aurora dan ibunya saling tatap, bukan tak ingin memberikan makanan yang terbaik dan bergizi bagi keluarga mereka, namun keadaan ekonomi yang rendah membuat mereka terpaksa memberikan makanan seadanya bagi putra-putrinya.
"Dika, sekarang Dika makan sama telur dulu ya, nanti lain kali kakak belikan ikan untuk Dika.
"Dika gak mau makan sama telur, maunya sama ikan," Dika pun berteriak sambil menangis.
"Dika... dengar kakak nak! Kakak janji besok akan belikan ikan untuk Dika, tapi malam ini Dika harus makan dulu dengan telur ya," Aurora pun membujuk adik bungsunya untuk mau makan.
"Benar besok Dika bisa makan dengan ikan kak?" tanya Dika kembali pada sang kakak.
"Iya, asal malam ini Dika makan ya!"
Mendengar ucapan Aurora, ibu kemudian berbisik padanya. "Ra, kamu besok akan membeli ikan dengan uang dari mana? ibu tahu kamu sudah tidak ada simpanan uang lagi," bisik sang ibu.
"Ibu jangan khawatir, aku punya banyak teman di toko, nanti aku coba pinjam sama mereka," Bisik Aurora pada sang ibu.
Betapa senangnya hati ibu dan Aurora melihat si bungsu Dika makan dengan lahap. Ia begitu yakin dengan janji sang kakak, akan membelikannya ikan sebagai lauk makan esok hari. Padahal Aurora sendiri masih bingung, kepada teman yang mana ia akan meminta pertolongannya.
Selesai adik-adiknya makan, Aurora menatap sangku nasi yang berada di depannya. Ia melihat hanya sepiring nasi yang tersisia, sedangkan ia dan ibunya belum makan malam itu. Dengan segera ia mengambil sebuah piring dan mengisinya dengan nasi yang tersisa di dalam sangku.
"Bu, ini nasi untuk ibu! di makan ya bu," ucap Aurora memberikan sebuah piring yang telah terisi dengan nasi.
"Ibu sudah makan Ra tadi sore, ini untuk kamu saja!" ibu menolak piring yang diberikan Aurora.
"Ibu ga usah bohong sama aku bu, sepulang kerja tadi aku tida lihat ada nasi di dapur jadi mana mungkin ibu sudah makan,"
"Benar Ra ibu sudah makan, kamu kan lihat tempat nasi itu sudah habis dan kosong, ibu menghabiskannya sore tadi," ucap ibu beralasan, dengan penuh keyakinan pada Aurora.
"Ya sudah, kalau begitu kita makan berdua ya bu," ajak Aurora pada ibunya.
"Rasanya ibu masih cukup kenyang Ra, jadi kamu saja yang makan nasinya ya," tolak ibu kembali.
"Aku tahu ibu bohong, ini bukan pertama kalinya ibu berkorban untuk aku dan adik-adik agar kami bisa tetap makan," gumam Aurora sambil menatap sang ibu.
Bagi Aurora ibunya adalah sosok pertama yang ia banggakan, kelak ia ingin bisa menjadi ibu sebaik ibunya.
"Ra ayo makannya cepat dihabiskan, jangan melamun seperti itu!" tegur ibu yang melihat Aurora makan dengan melambat.
"Baik bu," balas Aurora dengan senyum pada sang ibu.
Aurora kembali melanjutkan santapan malamnya, sementara ketiga adiknya sudah kembali ke kamar tidur mereka. Tiba-tiba Nova kembali menghampiri Aurora dan ibu yang masih terduduk di lantai.
"Kak, sore tadi kakak bilang ada yang mau kakak ceritakan pada Nova, masalah apa itu kak?" tanya Nova penasaran dengan apa yang akan kakaknya ceritakan.
"Tunggu kakakmu selesaikan makannya ya Nov!" ucap ibu pada Nova.
Aurora pun telah menyelesaikan makannya, ia kemudian mencuci tangan dan kembali duduk di samping ibu dan adik pertamanya.
"Apa adik-adik sudah berada di kamarnya Nov?
"Sudah kak, Bintang sedang mengerjakan PR, sedangkan Dika asyik bermain robot-robotannya," sahut Nova.
"Begini Nov, kakak sudah mempertimbangkan ini dengan matang dan kakak rasa kamu sudah perlu mengetahui tentang keadaan keluarga kita saat ini jadi kakak putuskan untuk memberi tahu dan menjelaskan semuanya pada kamu," tatap Aurora pada adik pertamanya.
"Ra.... " ibu mengedipkan matanya pada Aurora sambil menggelengkan kepala. Ibu sepertinya tidak ingin Nova mengetahui semuanya, makanya ibu melarang Aurora untuk menceritakan masalah yang terjadi hari itu.
"Gak apa-apa bu, aku rasa Nova sudah cukup dewasa untuk mengetahui permasalahan keluarga kita," ucap Aurora sambil mengelus tangan sang ibu untuk menenangkannya. Nova yang semakin bingung dengan obrolan kakak dan ibunya, akhirnya bertanya penasaran.
"Kak, Nova jadi penasaran! sebenarnya apa yang kakak dan ibu mau ceritakan sama Nova?"
"Begini Nov, sore tadi kakak tidak sengaja dengar pembicaraan ayah dan ibu, kakak mendengar ibu meminta cerai pada ayah," ungkap Aurora pada adiknya.
Nova tersentak kaget mendengar penjelasan kakaknya, alisnya mengkerut dan matanya seakan penuh tanya pada apa yang dijelaskan Aurora.
"Cerai... kenapa bu? ibu ada masalah apa dengan ayah, kenapa sampai ibu meminta cerai sama ayah?" tanya Nova memberondong pada ibunya. Nova tentu kaget mendengar Aurora mengatakan itu, sebab semua anak-anak di keluarga itu hampir tidak pernah melihat ayah dan ibu mereka bertengkar apalagi sampai mengucap kata perpisahan.
Ibu Aurora tidak menjawab apapun atas pertanyaan Nova, ia terdiam dan melamun di samping Aurora.
"Kak, tolong kasih tau aku apa alasan ibu memutuskan itu pada ayah?" tanya Nova kembali dengan penasaran.
Aurora pun langsung menjawab Nova yang sedang menarik-narik lengan bajunya.
"Ayah berselingkuh dari ibu Nov, itu alasan ibu meminta cerai pada ayah," ungkap Aurora pada adiknya.
"Gak mungkin kak, aku salah dengar kan?" tanya Nova memastikan apa yang didengarnya dari kakaknya.
"Itu benar Nov, ayah memiliki wanita lain selain ibu," jawab ibu dengan suara lemah.
"Itu gak benar kan bu, ibu harus cari tahu dulu kebenarannya! aku percaya ayah gak mungkin lakuin itu sama kita bu," Nova begitu yakin pada ayahnya, ia tak percaya penjelasan kakak dan ibunya malam itu.
"Nov, dengar kakak! semua yang ibu katakan benar, karena ayah yang mengatakannya sendiri pada ibu di depan kakak, jadi berhenti untuk terus membela ayah di depan ibu dan kakak!" ucap Aurora yang sedikit kesal pada adiknya.
"Enggak kak, aku gak percaya kakak dan ibu! aku mau langsung dengar dari ayah," Nova kemudian bangun dari duduknya karena ingin mencari dan menanyakan kebenaran itu. Aurora yang melihat Nova terbangun, langsung menarik tangan Nova dan menahannya.
"Kamu mau kemana Nov?" tanya Aurora sambil memegangi tangan Nova yang hendak meninggalkan obrolan mereka.
"Lepasin tangan aku kak! aku mau tanya dan dengar langsung pengakuan dari ayah," ucap Nova dengan tegas pada kakaknya.
"Kamu gak perlu cari ayah, karena ayah sudah tidak lagi tinggal bersama kita saat ini," ucap Aurora sambil melepaskan genggamannya pada lengan Nova.
"Maksud kakak ayah pergi dari rumah ini?"
"Iya, kakak meminta ayah untuk pergi dan meninggalkan kita semua karena kakak tidak ingin terus mengingat rasa sakit yang ayah berikan pada ibu dan kita semua," ungkap Aurora.
Nova terperanjat mengetahui itu, air matanya membendung. Ia seolah menerima begitu banyak kepahitan malam itu.
"Kakak mengusir ayah? kenapa kak? kenapa kakak tega usir ayah dari rumah?" Nova setengah berteriak pada Aurora. Melihat keributan itu, sang ibu mencoba menenangkan kedua putrinya.
"Nova, dengar ibu nak! ibu butuh waktu untuk melupakan ayah dan kenangannya maka dari itu ibu hanya ingin sendiri tanpa ayah di sisi ibu," jelas sang ibu pada Nova. Ibunya berharap Nova dapat mengerti maksud kakaknya untuk meminta ayahnya meninggalkan rumah.
"Nova ngerti bu, tapi bukan dengan ngusir ayah juga kan bu! sekarang kita gak tahu ayah dimana dan bagaimana keadaanya," ucap Nova tersedu-sedu.
"Kamu masih sempat memikirkan ayah yang tega mengkhianati ibu? apa kamu tidak memikirkan perasaan ibu?" nada suara Aurora semakin tinggi, ia semakin kesal dengan adiknya itu.
"Ya tapi bukan begitu kak caranya, apa dengan mengusir ayah semua masalahnya akan selesai? aku juga gak tau apa yang kakak ceritakan itu benar atau enggak, sekarang aku benar-benar kehilangan ayah karena kakak!" teriak Nova sambil berjalan meninggalkan ibu dan kakaknya.
Melihat adiknya bersikap demikian, Aurora pun tersulut emosi, ia kemudian memanggil Nova untuk kembali ke ruang tadi.
"Nova.... Nov... kakak belum selesai berbicara! kenapa kamu langsung pergi begitu saja?" Aurora memanggil adiknya untuk kembali, namun sang ibu menggelengkan kepalanya pada Aurora.
"Sudahlah, ibu rasa dia belum bisa menerima kenyataan ini jadi biarkan dia tenang dulu ya," Aurora pun menganggukan kepala pada ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!