NovelToon NovelToon

Ayah Untuk Aisyah

PoV Abu Miftah.

Namaku Abu Miftah. Umurku 26 tahun, mempunyai usaha apoteker, bekerja sama dengan dua teman dari kampung halaman. Yakni Rembulan, Komaruddin, dan aku sendiri.

Saat ini kami tinggal di kota Jakarta, di tempat inilah kami mengais rezeki.

Ingat kampung halaman kadang aku geli sendiri, masa sih... masyarakat sekitar selalu memanggilku Ustadz.

Heee... tapi aku bukan Ustadz sungguhan loh... hanya setiap shalat selalu ke masjid mengapa tetangga ku selalu memanggilku demikian. Ada-ada saja... tetangga itu.

Aamiin... bantu aminkan ya gais... siapa sih... yang tidak ingin menjadi remaja sholeh?

Masalah agama aku tidak pintar-pintar banget kok, tetapi alhamdulillah, aku tidak pernah meninggalkan shalat, puasa, dan Zakat, tetapi aku belum haji loh... sudah daftar sih, alhamdulillah... tapi masih harus menunggu.

Kriing... kriing... kriing..

Telepon aku bunyi gais... oh, ternyata Ayah dari kampung yang telepon. Bentar ya, aku angkat dulu.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

"Ab... bagaimana kabar kamu?"

"Alhamdulillah... baik Yah. Ayah sendiri bagaimana?" Jika mendapat telepon dari kampung, aku selalu deg deg, khawatir ada apa-apa dengan keluarga.

"Ayah sehat Ab, tapi Ayah minta, besok kamu harus pulang" kata Ayah dengan nada memaksa.

"Ada apa Yah... apotek sedang ramai ini, hari minggu saja ya"

"Pokoknya... besok kamu harus berangkat pulang Ab, Ayah tunggu"

Tut.

Nah-nah, ada apa ini? Aku pandangi handphone, jika Ayah memaksa begini sudah pasti ada hal yang penting. Tapi apa ya? Ya sudahlah... mendingan aku pesan tiket pesawat sekarang, daripada menunggu besok. Ya... kalau ada. Kalau tidak ada, sudah pasti aku akan mengecewakan Ayah dan Ibu.

"Ada apa Kak Abu?" tanya Komaruddin, Dia ini tetanggaku di kampung yang sudah aku sebut di atas.

"Ayah telepon Din, katanya aku di suruh pulang besok"

"Loh memang ada apa Kak? Pak Ramli sama Bu Ifah sehat kan?" Udin tampak kaget.

Ya, Ramli Umar dan juga Ifah itu nama orang tua aku gais.

"Mudah-mudahan... beliau sehat Din. Menurutmu... kira-kira aku harus bagaimana Din... kalau aku tinggal, sekarang kan apotek kita sedang ramai," walaupun rezeki Allah yang atur, tetapi aku tentu tidak mau mengecewakan para pelanggan.

"Pulang saja Kak Abu, kan masih ada Novi yang membantu" ujar Udin. Anak itu memang selalu santai dan memang benar.

Oh iya, Novi itu tetangga aku juga, dan Dialah karyawan kami. Awalnya... Novi art nya Rembulan, tetapi Dia menggantikan Rembulan membantu kami melayani pembeli. Karena alhamdulillah... seiring berjalannya waktu, usaha kami semakin lancar.

"Kalau begitu aku pulang dulu ya Din"

"Iya Kak, besok kalau pulang hati-hati," pesan Udin.

Dengan mengendarai motor aku pulang ke rumah, aku tinggal di salah satu komplek tidak mewah sih... hanya rumah kecil yang aku cicil tiap bulan. Tetapi alhamdulillah... yang penting bisa untuk berteduh. Siapa tahu aku segera mempunyai jodoh dan mengajak istriku nanti tinggal di tempat ini. Hehehe... boleh ya aku berdoa, semoga mendapat jodoh wanita sholehah.

Aku segera bersiap-siap memasukkan baju beberapa setel. Malam ini aku akan istirahat biar besok pagi-pgi sekali badanku segar.

...**********...

Keesokan harinya sebelum adzan subuh aku sudah bersiap-siap ke masjid tentu mandi dulu. Aku kenakan baju koko, sarung, dan yang terakhir kopiah.

Ngaca dulu aahh... aku menatap penampilan aku sendiri di depan cermin, kata orang sih, aku diberi oleh Allah wajah tampan... Hehehe... kok aku jadi gr ya di puji orang.

Aku berangkat ke masjid dulu ya gais...

Pulang dari masjid aku membuat sarapan, beginilah kegiatan aku sebelum ke apotek. Bukan masakan mewah, hanya orek tempe dan telur ceplok tapi bagi aku makanan ini sudah enak.

Aku makan dulu ya...

Aku ambil setengah centong nasi hangat telur ceplok dan orek tempe. Allahhumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa adzan bannaar.

Aku makan hanya sedikit loh... masih ingat nasehat Ayah. "Berhentilah makan sebelum kenyang"

Selesai sarapan aku mencuci piring, setelah ini aku akan berangkat. Katanya sih, Udin mau mengantarkan aku ke bandara sebelum membuka apotek.

Tok tok tok.

Rupanya ada tamu... aku buka pintu dulu gais... mungkin Udin sudah datang menjemput, tapi kok tumben sih... anak itu tidak mengucap salam.

Ceklak.

"Assalamualaikum..."

Aku diam di tempat, tentu terkejut wanita tomboy pagi-pagi begini sudah tiba di rumah. Sudah sering sih Dia datang, tetapi bukan ke rumah, melainkan ke apotek sering mengantarkan aku makanan.

Wanita ini bekerja sebagai pengasuh anaknya Rembulan. Dia ini sepertinya suka padaku, tetapi bagi aku tidak ada istilah pacaran.

Tapi bukan munafik loh, aku ini pria normal, pernah mencintai seorang wanita yang tak lain adik kelasku sendiri, yang bernama Rembulan. Namun cintaku bertepuk sebelah tangan karena Rembulan menikah dengan anak tajir melintir dari kota ini yang bernama Tara.

"A'a kok bengong...nggak menjawab salam saya..."

"Waalaikumsalam..."

Nahlo, baru saja aku menggerutu kenapa tamu nya tidak mengucap salam, tetapi mengapa justru aku sendiri yang melongo karena kaget akan kehadiran wanita yang selalu memanggilku A'a ini jadi mengabaikan salam.

"Kamu kok pagi-pagi kesini? Lalu kamu tahu alamat aku darimana?" aku cecar dia dengan pertanyaan.

"Kemarin sore, aku kan ke apotek A, tetapi kata Bang Udin, A'a mau pulang kampung, terus aku minta alamat sama Dia," ujarnya. Tergambar kekecewaan di wajah wanita ini.

"Duduk Midah" aku menunjuk kursi di teras, kami ngobrol sebentar dengan gadis yang bernama Sumidah ini. Tentu aku memilih mengajak nya duduk di luar agar tidak menjadi fitnah.

"Saya memang mau pulang pagi ini Midah, ada apa..."

"Tapi A'a disana nggak mau menikah kan?" ujarnya menunduk, mungkin karena malu akan pertanyaan nya.

"Hehehe... kok kamu bertanya begitu... sejauh ini aku belum ada niatan untuk menikah," jawabku, memang benar adanya.

"Benarkah?" Wajahnya seketika berbinar-binar.

Dud dud dud.

Ada motor masuk halaman ternyata Udin sudah datang menjemput.

"Cieee... cieee... yang lagi berduaan..." Udin meledek.

Aku perhatikan wajah Midah tersipu malu, dengan begitu terjawab sudah jika gadis ini memang mencintai aku.

"Kak... sudah jam berapa ini? Kakak tidak takut ketinggalan pesawat? Mentang-mentang di apelin cewek sampai lupa waktu,"

Astagfirrullah... ternyata Udin benar, aku segera ke dalam ambil tas. Tidak banyak yang aku bawa, selain benda tersebut.

"Midah... saya pamit dulu" ucapku sambil mengunci pintu.

"Ya sudah A, aku pulang. A'a hati-hati di jalan,"

***********

Hayo, hayoo... Siapa yang ingat ketiga tokoh ini? Jika mengikuti Takdir Cinta Rembulan. Pasti ingat mereka.

Semoga ada yang mau mampir. ❤❤❤.

Aslihah.

PoV Abu Miftah

"Midah... saya berangkat," aku berdiri di depan Sumidah, memandangi gadis itu, walaupun tomboy sebenarnya cantik dan baik pula. Hehe... lucu juga ya kalau di pikir, aku jadi terasa pamit kepada istri saja.

"Hati-hati Kak Abu..." ujarnya terasa berat melepas kepergianku. Aku tersenyum sebelum akhirnya dibonceng Udin.

"Midah... kamu nggak cium tangan Papa dulu," Udin nyengir maksud nya meledek kami. Langsung ku toyor kepalanya. Dasar Udin malah terbahak-bahak.

Aku akhirnya meninggalkan rumah dan Sumidah, yang masih tertegun di depan pagar,memandangi motor yang kami tumpangi.

************

Di depan gundukan tanah, seorang wanita berusia 24 tahun sedang komat kamit berdoa. Kendati usianya masih terlalu muda namun wanita yang bernama Aslihah itu bukan seorang gadis, melainkan sudah mempunyai satu anak.

Kebahagian bersama suami tercinta hanya bertahan selama 4 tahun, suaminya harus pergi meninggalkan dia dan putrinya satu tahun yang lalu karena virus yang sedang melanda dunia.

Aslihah usap air bening itu agar jangan sampai jatuh menimpa gundukan tanah. Bukan meratapi nasib buruk yang sudah menimpa dirinya karena kepergian suami. Namun menjalani hidup menjadi single parent, bukan perkara mudah. Segala beban yang awalnya dibagi, kini Aslihah harus tanggung sendiri.

Dari mulai urusan finansial, mencari sesuap nasi, tanggung jawab merawat, membesarkan putri kecilnya, mendidik, mau tak mau harus ia lakukan sendiri.

Berat pasti, karena Aslihah harus menjadi ayah sekaligus Ibu, untuk Aisyah. Di tinggal Amroni almarhum suami dengan mendadak menjadi pukulan berat baginya.

Berjualan kue menjunjung tampah sambil menggendong Aisyah di belakang tentu bukan hal mudah baginya. Tidak ada pilihan lain bagi Aslihah selain menuruti kata ibu di kampung. "Lebih baik kamu pulang saja Nak, di kampung kamu bisa berjualan kue tanpa harus menggendong Aisyah, Ibu yang akan mengasuh anakmu ketika kamu berjualan" Aslihah ingat nasehat ibunya.

Aslihah kembali menangis entah kapan lagi ia bisa ziarah ke makam ini. Mungkin jangka waktu yang cukup lama. Jarak daerah A dengan kota Jakarta di tempuh pesawat hingga 2 jam lebih tentu bukan hal mudah untuk membeli tiket bolak balik ke tempat ini bagi Aslihah. Untuk membeli tiket ini pun Aslihah harus menyisihkan hasil jualan kue selama kurang lebih satu tahun.

"Umma..." panggil anak kecil yang sedang bermain tanah di sebelahnya, rupanya anak imut itu lelah menunggu Aslihah lama termenung.

"Oh iya sayang... cape? Kita pulang yuk... tapi... Ais harus berdoa dulu untuk Abi" Aslihah mendudukkan Aisyah di pangkuan, sebelum akhirnya memegang kedua tangan putrinya. "Sekarang ikuti Umma berdoa"

Ya Allah... berikanlah ampunan, kasih sayang afiat, dan maaf untuk mereka. Ya Allah... turunkanlah rahmat, ampunan syafa'at bagi ahli kubur bagi penganut dua kalimat syahadat. Setelah membimbing putrinya berdoa Aslihah menggendongnya pulang.

Aslihah berjalan cepat ia sampai lupa jika saat ini harus berangkat pulang ke kampung halaman. Memang begitu kebiasaan Aslihah jika sudah ziarah ke makam almarhum suami kadang lupa waktu. Maklum selama ini nama Imron belum bergeser dari hati nya.

Aslihah tiba di rumah kontrakan yang ia tinggali bersama suami sebelum meninggal dunia. Ia buka pintu, memindai sekeliling, banyak kenangan yang indah bersama Imron di tempat ini. Sungguh berat bagi Aslihah untuk meningalkan kontrakan yang mereka huni selama tiga tahun. Namun ia harus melanjutkan hidup, kuat demi buah cinta nya dengan Imron yakni membesarkan Ais.

"Sekarang Ais bermain dulu ya... Umma mau siap-siap, kita pulang ke rumah Nenek," Aslihah menurunkan putrinya kemudian memberikan mainan.

"Pulang umah Nenek?" tanya Ais dengan bahasa cadel. Anak itu mendongak menatap Ibu nya. Aslihah mengangguk tersenyum, memberikan kecupan kecil di pipi putrinya, kemudian ke kamar. Di dalam kamar sempit ini bayangan indah bersama Imron kembali hadir. Ia menarik napas berat. Sunguh ini tidak benar berlarut-larut dalam duka. Aslihah sebenarnya tidak ingin seperti ini, ia sadar bahwa harus menerima takdir yang sudah di gariskan oleh Allah, tetapi mengapa sulit sekali bagi Aslihah.

"Umma... pulang kampung" Ais berdiri di depan pintu menggaruk kepalanya yang gatal karena berkeringat. Anak itu merasa umma nya dari tadi selalu mengabaikan. Padahal ia senang ketika umma berjanji mengajaknya pergi jalan-jalan, namun belum juga berangkat. Wajar, Aisyah tidak pernah merasakan itu.

"Iya sayang... sudah kok" Aslihah menarik koper yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.

Tidak lupa memasukan bekal kedalam tas kecil, perjalanan membawa anak kecil harus menyiapkan susu, snek, dan juga nasi ke dalam tromol.

"Sekarang kita pamit Ibu Eli dulu yuk" Aslihah menuntun putrinya keluar dari kontrakan. Tentu menemui sang pemilik.

"Assalamualaikum..." Aslihah mengucap salam di depan rumah besar dibandingkan rumah sekitar.

"Waalaikumsalam..." Wanita paruh baya membuka pintu. "Aslihah..." sapa wanita yang Aslihah cari menyambutnya ramah.

"Bu Eli, terimakasih sudah memberikan tempat untuk keluarga kami berteduh. Saya minta maaf jika ada salah kata selama tinggal bersama Ibu" tulus Aslihah. Selama ini bu Eli sudah seperti orang tua sendiri.

"Sama-sama Nak, jam berapa kamu berangkat?" bu Eli mengusap pucuk kepala Ais lembut. Di gendongnya anak bertubuh mungil yang sudah bu Eli agap seperti cucu itu.

"Sekarang bu... saya sudah siap berangkat," Aslihah memandangi putrinya yang di hujani ciuman oleh bu Eli terharu.

"Lihah... biar saya antar," kata pemuda yang tak lain putra pemilik kost keluar dari kamar sudah siap kunci mobil.

"Terimakasih Bang, saya pesan taksi saja," tolak Aslihah halus, kepada pria yang sudah beberapa kali bermaksud melamar Lihah. Namun Lihah menolak dengan berbagai alasan.

"Benar kata Rezza, Liha... biar kamu diantar" bu Eli menambahkan. "Sayang kan uangnya, daripada untuk naik taksi mendingan buat jajan Ais," nasehat bu Eli.

Aslihah berpikir sebenarnya bu Eli ada benarnya, tetapi Leha seorang J tentu harus menjaga jarak kepada pria. Salah melangkah sedikit saja akan menjadi gosip.

"Terimakasih Bu... saya permisi..." Aslihah menggendong Ais.

"Tunggu sebentar Liha..." bu Eli masuk ke dalam, tidak lama kemudian kembali. "Liha... ini ada titipan dari Ibu pengajian untuk jajan Ais" bu Eli menyerahkan tiga amplop, selain santunan dari ibu pengajian, dari rt, dan yang terakhir bu Eli sendiri.

"Tetapi Bu..." Aslihah mengamati amplop selama ini walaupun susah tidak pernah minta belas kasihan.

"Jangan menolak Liha... ini bukan untuk kamu, tetapi untuk Ais" bu Eli memberikan kepada Ais.

"Telimakasih..." ucap Ais. Anak itu menggemaskan.

"Terimakasih Bu" tidak mau buang waktu lagi Aslihah kembali pulang di ikuti bu Eli. Ibu muda cantik itu mengeluarkan koper dan dua tas lainya, kemudian mengembalikan kunci kontrakan.

"Dada..." Ais melambaikan kepada bu Eli ketika hendak menunggu taksi, mobil Rezza sudah berhenti di depanya.

"Masuk Liha" tidak mau dibantah, Rezza memasukan tas dan koper ke bagasi. Aslihah menarik napas panjang. Apa boleh buat ia tidak ada waktu lagi untuk berdebat agar tidak ketinggalan pesawat.

Tidak banyak yang dibicarakan di dalam mobil 30 menit kemudian tiba di bandara. Rezza membantu mengeluarkan koper meletakan ke atas troli.

"Terimakasih Bang..."

"Sama-sama Liha..."

Telimakasih Om," bocah pintar itupun salim tangan Rezza sebelum akhirnya di gendong Aslihah masuk akan segera chek in.

...BERSAMBUNG....

Tiba di kampung halaman

Setelah menunjukan tiket pesawat ke petugas gerbang, Aslihah masuk ke konter Chek in. Ibu muda dan cantik itu antri di belakang membuka tas slempang kemudian ambil ktp. Ia menunjukan ktp setelah diminta oleh petugas, sebelum akhirnya menggendong Aisyah ke ruang tunggu.

"Umma... kok kita duduk disini? Katanya mau naik pesawat?" polos Aisyah.

"Iya... tapi kita harus menunggu dulu sayang..." Diciumnya pipi yang tidak montok dan tidak juga kurus itu sayang.

"Oh... kok nunggunya di dalam telus... pesawatnya nanti menjemput kita dimana Umma? Disini kan nggak ada lapangan?" cecar Ais.

"Hehehe... kamu lucu..." Aslihah tertawa kecil, anaknya ini memang selalu ingin tahu. Kadang ia bingung akan menjawab apa.

"Kok Umma malah tertawa?" Ais yang duduk di pangkuan Liha, mendongak menatap sang Ibu.

"Pesawatnya... nunggunya diluar sana, terus... nanti dikasih tau sama operator" Aslihah menunjuk pintu.

"Oh..." Ais hanya manggut-manggut saja.

"Umma, Ais main bental ya" pintanya.

"Eehh... mau main kemana? Nggak boleh, nanti kesasar," cegah Aslihah, mana mungkin mengijinkan anaknya main kalau sampai diculik? Astagfirrullah.... batin Aslihah tidak bisa membayangkan.

"Cuma disitu saja Umma... dalipada duduk telus, nggak betah," rengeknya.

"Ya sudah... Nggak boleh jauh-jauh ya, terus nggak boleh lama-lama," Aslihah menyerah juga walaupun akhirnya mewanti-wanti cemas.

"Iya Ma" begitu lolos dari pangkuan Aslihah, Aisyah tidak mau diam pindah kursi satu ke kursi yang lain. Kadang berjingkrak-jingkrak pegang ini itu Aisyah memang terlalu aktif kadang membuat Liha kewalahan.

Kadang bernyanyi-nyanyi kecil hingga akhirnya melewati seorang pemuda tampan yang sedang memainkan ponsel.

Prak!

Tidak sengaja tanganya menyenggol handphone milik pemuda. Hingga handphone pemuda itu mental ke lantai.

"Maaf Om, Ais nggak sengaja" Ais berdiri di depan pemuda yang sedang memungut benda pipih itu. Mengecek nya jika ada yang retak.

Pemuda itu menatap mata Ais berair tidak tega. "Jangan sedih cantik... hp ini nggak apa-apa kok" pemuda menunjukan hp memang tidak ada masalah.

"Telimakasih Om" ucap Ais tampak lega lalu tangan mungil itu menyusut air mata nya.

"Sama-sama... hati-hati jalanya, Om juga minta maaf, duduknya yang salah" hibur pemuda itu walaupun ucapanya hanya untuk menghibur bocah di depanya.

"Nggak Om, Ais nggak hati-hati," Aisyah menyalahkan diri sendiri takut pria itu marah.

"Oh... nama kamu Ais?" Pemuda gemas melihat bocah imut itu. "Sini, duduk disini." Pemuda menuntun Ais mengajak nya duduk.

"Nama saya Aisyah Om,"

"Wow... nama yang bagus, kenalkan... nama saya, Abu," ternyata pria itu adalah Abu Miftah.

"Nama Om juga bagus..." Aisyah tersenyum. "Om ada jenggok dikit" Ais menunjuk dagu Abu. Membuat sang pemilik tertawa.

"Kalau punya Abi Imlon banyak... segini" Ais menunjukan genggaman tangan sering lihat abi nya di foto. Saat Imron meninggal, usia Ais masih dua tahun tentu belum mengingat abi nya.

"Kamu kesini sama siapa?" Abu tidak habis pikir anak ini dibiarkan main sendiri.

"Sama Umma Om, tuh Umma" tunjuk Ais. Abu menatap dimana Ais menunjuk. Netranya menangkap dua orang wanita paruh baya dan masih muda tetapi tidak terlihat wajahnya dengan jelas. Keduanya sedang asik ngobrol. Namun, Abu tidak mau tahu yang mana ibu si anak ini.

"PESAWAT TUJUAN DAERAH A. NOMOR 0123 AKAN SEGERA LEPAS LANDAS"

"Om mau berangkat sekarang kamu kembali ke Umma kamu ya..." kata Abu. Ia tidak tahu jika mereka satu jurusan.

"Iya Om" Aisyah segera menyusul Aslihah yang sedang kebingungan mencarinya.

"Aku disini," Ais meledek Liha.

"Ya Allah... Umma cari-cari tahu nggak?" Liha mengait lengan putrinya "Ayo sayang, kita berangkat"

"Kita berangkat Umma?" Ais kegirangan dituntun Aslihah. "Iya" Aslihah mengangguk melirik putrinya di sebelahnya yang mendongak menatapnya.

**********

4 jam kemudian di depan kecamatan daerah A tampak taksi berhenti. Tidak jauh dari situ dimana Ramli Umar yang biasa dipanggil Pak Umar tinggal. Seperti yang sudah diketahui Pak Umar adalah ayah Abu.

Dengan menenteng koper dan oleh-oleh, Abu Miftah berjalan gontai menuju kediamannya. Sejenak ia berhenti ketika tiba disalah satu gubuk pedagang kopi. Gubuk itu masih seperti dua tahun yang lalu ketika Abu meninggalkan daerah ini.

Masih segar dalam ingatan ketika menolong Rembulan saat diganggu Udin. Yah, Udin karena cinta nya kepada Rembulan ditolak, lantas ia menghalalkan segala cara. Tetapi Abu bersyukur adik kelasnya yang kini menjadi rekan bisnis itu sudah di jalan yang benar.

Walaupun saat itu dia pun salah satu pria yang mencintai Rembulan. Namun Abu sadar. Jodoh, rezeki, dan maut, Allah yang atur. Allah subhanallahu wa ta'ala berfirman. "dan tidak ada makhluk yang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezeki.

Abu melanjutkan langkahnya hanya waktu lima menit pria berkulit kuning langsat itu pun tiba di salah satu rumah adat. Rumah orang tuanya tidak ada bedanya dengan rumah warga lain. Tetapi lahan pertanian agak luas. Tidak heran ayah nya selain petani juga sebagai pemborong hingga kini jasa Ramli Umar masih dipakai oleh masyarakat, tidak hanya penduduk setempat tetapi hingga ke daerah lain.

"Assalamualaikum..." Setelah menapaki rumah panggung Abu Miftah mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam..."

Gredeeekk...

Begitulah bunyi pintu rumah Abu ketika membuka bukan didorong ke dalam, melainkan di tarik ke samping.

"Abu..." binar bahagia tertangkap di mata Syarifah sang Ibu.

"Ibu..." Abu menyandak telapak tangan bu Ifah menciumnya dengan mata terpejam. Kemudian mengangkat kepala mengedarkan pandangan seperti ada yang dicari. "Ayah kemana Bu?"

"Ayah kamu ke sawah, Masuk dulu kita ngobrol di dalam,"

"Apa kabar Bu? Ibu sehat?" cecar Abu ketika bu Ifah mengajak putranya masuk dan membantu membawa salah satu tas.

"Alhamdulillah..." Syarifah menjawab singkat. "Sebaiknya... kamu istirahat Ab, ibu mau melanjutkan memasak," sambung Ifah.

Ibu dan anak itupun berpisah Ifah kembali ke dapur. Sementara Abu ke kamar mandi membersihkan diri baru kemudian ke kamar.

Gredeeekk... ia tarik pintu ke samping tampak singgasana nya yang sudah ditiduri selama 20 tahunan keadanya tidak berubah masih rapi dan nyaman. Abu merebahkan tubuhnya hingga tertidur.

Malam harinya semua keluarga Umar berkumpul di depan televisi lebih tetapnya bagi-bagi oleh-oleh sambil berbincang-bincang.

"Ini buat Kakak" Abu memberikan mukena untuk Bariah sang kakak satu-satunya.

"Terimakasih... bisa buat shalat tarawih nanti," Bariah membentang mukena berwarna putih.

"Ini untuk kakak ipar," Baju koko berwarna senada sudah diterima oleh Irfan suami Bariah.

"Terimakasih Ab," Irfan pun merasa senang.

"Untuk Zulfa mana?" potong bocah kecil sepantar Ais, yang sedang bermain. Mendengar Om nya membagi oleh-oleh segera berlari meninggalkan mainan. Membuat gelak tawa bu Ifah dan juga Umar sang kakek nenek.

"Ada dong..." Abu ambil baju terusan berwarna pink cocok untuk seusia Zulfa.

"Yeee... aku dapat..." Zulfa kegirangan.

"Terimakasih dong sama Om..." nasehat Irfan.

"Terimakasih Om,"

"Sama-sama"

Setelah Abu membagi kado, Irfan beserta anak istrinya pamit pulang karena waktu semakin malam..

"Yah... tidak mungkin Ayah minta aku pulang cepat, jika tidak ada masalah penting" tebak Abu. "Apa masalah nya Yah?" sambung Abu.

Umar menarik napas sebelum menjawab. "Kamu pasti ingat anaknya almarhum Rochman teman Ayah?" tanya pak Umar.

"Ingat sih Yah... ada apa? Dia bukanya dulu menikah dengan orang Jakarta asli?" cecar Abu.

"Iya... tapi sayangnya suaminya meninggal setahun yang lalu karena terserang virus," Umar menceritakan.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un..." Abu turut berduka cita.

"Nah untuk itulah Ab, pasti kamu sudah bisa menebak kan? Apa maksud Ayah?"

...Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!