Seorang wanita yang sudah bisa di bilang sangat dewasa masih fokus menatap layar komputernya meski jam kerjanya sudah selesai. Sesekali dia menaikkan kacamatanya yang sedikit turun dari pangkal hidungnya. Kacamata dengan bingkai yang kekinian semakin mempercantik penampilan wanita itu.
Wanita yang hanya fokus pada pekerjaannya itu tidak peduli apapun yang berada di sekitarnya selain membantu pasiennya untuk sembuh dari penyakitnya.
Ya, wanita itu adalah seorang Dokter spesialis kulit lulusan dari salah satu universitas di negeri ginseng. Sebuah negara yang terkenal akan ilmu spesialis kulit dan bedah plastiknya.
Saat ini wanita ini pun masih berada di negara itu untuk mengabdi pada klinik yang di telah dirintisnya dari nol itu.
Dialah Viola, putri bungsu dari pasangan konglomerat Indonesia namun memilih jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan kedua orang tuanya.
"Dokter, ada yang ingin bertemu"
Seorang wanita berpakaian senada dengan milik Viola, ciri khas dari kliniknya, namun bedanya wanita itu tidak memakai jas putih seperti milik Viola.
"Siapa Beca?? Bukanya pasiennya sudah habis ya??"
Wanita bernama Beca tadi tak menjawab, namun sedikit menyingkir dari pintu karena desakan dari seseorang yang ingin masuk ke dalam ruangan Viola.
Tidak ada raut terkejut sama sekali dari wajah Viola. Hanya tatapan datar dan tak bersahabat mendapati tamu tak di undang itu berada dalam ruangannya. Viola melepas kacamatanya agar tidak ada penghalang satupun untuk menatap pria itu dengan jelas.
Beca yang tau suasana dalam ruangan itu tidak kondusif, lebih memilih keluar dan menutup pintu ruangan bertuliskan dokter spesialis kulit itu.
"Mau apa lo kesini??" Tatapan permusuhan jelas terlihat dari mata Viola.
Orang yang pernah menjadi pusat dunia Viola itu hanya berdiri dengan senyum miringnya. Menatap wanita yang sudah tiga tahun tidak ditemuinya itu.
"Aku ingin minta anak dari kamu"
Jawabnya dengan santai tanpa beban dan rasa bersalah sekalipun.
"Cihh...gue nggak sudi!!" Viola membuang wajahnya jengah menatap pria yang semakin bertambah umur semakin matang itu.
Pria itu menarik kursi di depan meja Viola, mendudukkan tubuhnya yang tinggi itu tepat di depan Viola.
"Sopan sedikit kalau bicara sama suami!!" Tekan pria itu pada Viola yang ternyata adalah istrinya sendiri.
"Gue nggak pernah setuju nikah sama lo!!" Balas Viola dengan sengit. Seperti tak ada lagi kata damai dalam setiap kata dan tatapannya itu. Penuh kebencian, muak, dan sakit hati semuanya menjadi satu.
"Jangan munafik kamu Vi, nggak ingat siapa yang buat kamu akhirnya bertahan bertahun-tahun di negara ini??" Pria itu tersenyum penuh kemenangan melihat Viola yang diam tanpa tanggapan.
TIGA BELAS TAHUN YANG LALU...
"Apa sih yang buat Abang nggak percaya sama cinta Vio??"
Gadis berusia 17 tahun itu terus meyakinkan pria yang menjadi pujaan hatinya. Sahabat dari Kakaknya sendiri, Erland Sebastian.
"Abang bukan nggak percaya Vio, tapi Abang benar-benar nggak bisa sama kamu"
Sudah berkali-kali pula Erland menolak pernyataan cinta dari Viola. Tapi gadis itu sama sekali tak peduli, dia terus saja menjadi anak itik yang ikut kemana saja induknya pergi.
"Tapi apa alasannya bang?? Kalau maslah umur kita yang berjarak 5 tahun itu nggak ada salahnya kan Bang?? Atau karena Abang sahabat Bang Vino, kalau masalah itu Abang tenang aja. Vio yang bakal ngomong sama Bang Vino. Ya??" Tak ada rasa malu lagi pada diri Viola untuk terus membujuk Erland agar mau menerima cintanya.
"Bukan itu Vio" Erland sudah jengah dengan sikap Vio selama ini. Gadis kecil yang bebal dan tak malu mengutarakan perasaannya dengan gamblang. Erland juga bingung harus dengan apalagi dia mencoba untuk membuat Vio menjauh darinya.
Sedangkan Erland sendiri memang tidak pernah ada perasaan apapun pada Vio selain menganggapnya seperti adiknya sendiri, karena Vio adalah sahabat Endah, adik kandungnya.
"Lalu apa, katakan!! Biar Vio tau apa yang Abang nggak suka dari Vio" Seandainya di taman itu tidak ada orang pasti Erland sudah meneriaki gadis kecil itu.
"Oke akan aku jelaskan. Tapi jangan pernah sakit hati dengan yang akan aku katakan, karena sudah ku peringati dengan cara yang lebih halus tapi kamu begitu keras kepala" Vio mengangguk setuju.
"Kamu tau sendiri Vio, status sosial kita jelas berbeda. Aku hanyalah anak dari pegawai Papi mu. Aku hidup sebagai tulang punggung keluarga sejak meninggalnya Ayah. Aku masih punya dua adik yang menjadi tanggung jawabku. Aku masih harus mengejar cita-citaku. Membanggakan ibuku, membiayai adik-adikku hingga lulus kuliah. Jujur aku belum memikirkan untuk menjalin hubungan dengan wanita. Tapi jika itu memang harus, aku kana memilih wanita yang mandiri, pekerja keras, tidak kekanakan seperti mu. Sementara dirimu hanyalah gadis manja yang terus mengandalkan uang keluargamu yang kaya raya. Aku tidak suka itu Vio. Aku ingin wanita yang mengimbangi ku. Jadi tolong mengertilah itu. Lagipula aku yakin kata cinta yang selalu kamu ucapkan itu tidaklah serius Vio, itu hanya cinta anak remaja SMA saja"
Untuk masalah Erland menjadi tulang punggung keluarganya Vio sama sekali tidak masalah. Tapi kalimat akhir dari Erland itu mampu meluluhlantahkan perasaan Vio saat itu juga. Hancur rasanya mengetahui jika dirinya sama sekali tidak termasuk kriteria wanita yang disukai oleh Erland.
"Tapi Bang, Vio bisa berubah. Vio bisa menjadi wanita yang Abang inginkan. Vio akan bekerja sendiri untuk membuktikan kalau Vio pantas untuk Abang. Jadi beri Vio kesempatan Bang. Vio juga yakin kalau cinta Vio ini bukan cinta main-main"
Erland salah, kata-kata menyakitkan darinya ternyata tidak mampu mematahkan keyakinan Vio pada dirinya. Gadis cantik itu justru semakin gencar membujuk Erland.
"Dengan apa kamu membuktikannya??" Kali ini Erland menatap Vio begitu dalam tang membuat gadis yang baru saja lulus SMA itu gelagapan.
"A-aku akan..."
"Aku dengar dari Endah katanya kamu dapat beasiswa ke korea kan??" Potong Erland karena Vio tak mampu menjawab pertanyaannya.
"Iya Bang" Jawab Vio dengan mata berbinar. Dia ingin menunjukkan kalau di balik sifatnya yang kekanakan itu, otaknya termasuk encer.
"Buktikan dengan itu!!" Suara Erland yang tegas membuat Vio melongo menatap pria tampan pekerja keras itu.
"Hah??" Vio tak mengerti.
"Berangkatlah ke sana. Timba ilmu sebanyak-banyaknya. Buktikan kalau kamu bisa mandiri tanpa bantuan orang tua kamu sama sekali. Buktikan kalau kamu memang layak menjadi pendampingku yang bisa mengimbangi ku"
"Apa setelah itu Abang mau menerima cintaku??" Tatap Vio dengan mata bersinarnya.
"Tergantung" Jawaban ambigu dari Erland.
"Baiklah Vio akan mengambil beasiswa itu. Asalkan setelah Vio kembali, Abang harus menikahi Vio. Bagaimana??" Tawar Vio dengan cerdik.
Erland tampak berpikir tapi kemudian dia mengangguk setuju.
"Tapi ada syaratnya" Harapan yang baru saja membuat Vio terbang melayang kini harus berhenti di awang-awang karena Erland memberikan syarat yang artinya Vio belum berhasil mendapatkan Erland sepenuhnya.
"Apa Bang, katakan!!" Desak Vio sudah tak sabar.
"Selama kamu di sana jangan pernah menghubungiku atau mencari tau tentang ku. Mari sama-sama kita uji diri kita masing-masing. Saling meyakinkan hati. Setelah kamu bisa sukses di sana dan berdiri dengan kakimu sendiri tanpa bantuan Vino atau kedua orang tuamu, kembalilah. Aku akan tepati janjiku. Asalkan dalam hati kamu masih ada namaku"
Vio terkejut dengan syarat yang amat berat dari Erland itu. Tapi hadiah yang di janjikan teramat menggiurkan untuk Vio. Tibalah di saat Vio dalam fase kebingungan saat ini.
"Bagaimana?? Setuju??"
Vio memainkan kuku jarinya, masih bingung dengan apa yang akan dia ambil. Tawaran itu begitu menggiurkan, terlebih menikah dengan Erland. Tapi apa Vio sanggup berpisah begitu lama dari Erland tanpa boleh menghubunginya sama sekali.
"Kamu tidak sanggup?? Ya sudah ka..."
"Sanggup, Vio sanggup Bang" Vio melihat senyuman miring dari Erland tapi Vio belum.bisa mengartikan arti dari senyuman itu.
"Anak pintar" Erland menepuk umbu-umbun Vio dengan pelan.
"Tapi apa jaminannya Abang benar-benar akan menikahi Vio saat Vio kembali nanti. Minimal harus ada yang mengikat kita berdua agar Vio bisa tenang saat jauh dari Abang"
Erland tidak berpikir jika gadis kecil di hadapannya itu begitu cerdik. Erland berpikir beberapa detik tentang apa yang akan membuat Vio puas dengan permintaannya itu. Hingga Erland melirik tangannya yang sebelah kiri. Sebuah gelang kepang dari tali berwarna merah.
Vio melihat Erland melepas gelang yang sudah Vio lihat sejak berkenalan pertama kali dengan Erland.
Vio belum tau apa yang akan di lakukan Erland pada gelang itu. Erland menarik tangan kiri Vio dan memasangkan gelang yang sudah di lepas kepangannya itu pada jari manis Vio. Melingkarinya beberapa kali hingga tali itu berubah menjadi bentuk cincin. Tak lupa Erland mengikat pada ujung talinya.
"Anggap saja itu cincin dariku. Anggap saja cincin pertunangan kita. Aku akan menggantinya saat kamu sudah membuktikan semuanya kepada ku"
Senyum sumringah keluar dari bibir Vio. Seolah gelang tali yang berubah fungsi jadi cincin ala-ala itu adalah cincin sungguhan.
"Pasti Bang, Vio pasti akan buktikan sama Abang" Tatapan berbinar itu berubah menjadi tatapan penuh haru. Akhirnya setelah tiga tahun mengejar Erland Kakak dari Endah sahabatnya, dan juga sahabat dari Abangnya sendiri, Vio bisa mendapatkan pria yang pintar dan begitu mandiri itu.
-
-
"Bagaimana, sudah ingat kamu??" Lagi-lagi senyuman miring itu membuat Vio muak.
"Itu dulu, sekarang udah beda!!" Vio yang dulu selalu lembut pada Erland kini sudah berubah menjadi Vio si wanita red flag.
"Oh ya?? Tapi biar bagaimanapun, kamu tetap istriku Vio. Tujuanku datang kesini tentu saja untuk menjemputmu pulang. Karena aku ingin anak darimu"
Vio tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan Erland padanya itu.
"Apa istri lo nggak bisa hamil sampai lo minta anak dari gue?? Berarti kutukan gue beneran berhasil dong??"
Wajah Erland yang tadinya berusaha tenang menghadapi wanita yang sikapnya berubah drastis itu kini mulai menahan gemuruh dalam dadanya.
To be continued....
-
-
-
-
-
Hay readers.. Ketemu lagi di novel baru otor...
Kali ini nggak jauh-jauh dari yang namanya bucin-bucin ya..
Jadi minta dukungan yang banyak untuk novel kali ini..
Tapi maaf kalau ada yang nggak suka sama karakter masing-masing tokohnya, karena semua gang ada di dalam sini adalah murni imaginasi belaka yang jauh dari kata kehidupan nyata... Hehe
Selamat membaca...
"Apa istri lo nggak bisa hamil sampai lo minta anak dari gue?? Berarti kutukan gue beneran berhasil dong??"
Wajah Erland yang tadinya berusaha tenang menghadapi wanita yang sikapnya berubah drastis itu kini mulai menahan gemuruh dalam dadanya.
"Jaga bicara kamu Vio!!" Geram Erland. Tapi Vio hanya terkekeh melihat Pria yang katanya berstatus sebagai suaminya itu mulai kesal dengan tingkahnya.
"Kenapa harus marah?? Itu juga akibat dari kelakuan b****sek lo sendiri. Kena karma kan sekarang??" Senyum meremehkan kini di berikan Vio untuk Erland.
Tiga tahun yang lalu...
Wanita cantik berusia 27 tahun itu menarik kopernya menuju sebuah rumah yang menjadi tujuan pertamanya saat baru saja menginjakkan kakinya di tanah air tercintanya.
Setelah 10 tahun dia berada di negara orang, kini saatnya dia pulang. Menagih janji yang diberikan sorang pria kepadanya. Sebuah tas juga terampir di pundaknya, berisi beberapa dokumen berisi bukti-bukti kerja kerasnya selama ini.
Gadis kecil yang dulu membuat perjanjian dengan pria yang dicintainya kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa. Anggun, cantik, dan pintar serta bergelar sebagai Dokter spesialis kulit itu siap menjemput kebahagiaannya.
"Kok sepi banget Vi??"
Tanya Beca sahabat satu-satunya yang di miliki Vio saat tiba di negara yang beribukota Seoul itu.
"Nggak tau" Viola mengedikkan bahunya.
"Permisi!!" Teriak Vio dari luar pagar, rumah yang dulu terlihat sederhana dengan halaman yang luas kini sudah berbeda jauh. Rumah yang mewah sudah merubah gaya bangunan rumah itu.
"Cari siapa Non??" Seorang pria berlari dari dalam dengan seragam satpamnya.
"Cari yang tinggal di rumah ini Pak. Benar kan ini rumahnya Erland dan Endah??" Beca hanya mendengarkan Vio yang berbicara dengan satpam itu walau masih terhalang pagar rumah yang tinggi.
"Benar Non, tapi mereka semua sedang pergi ke tempat pernikahan"
"Pernikahan??" Vio sempat di buat terkejut.
"Apa Endah yang menikah??" Batinya.
"Benar, sebentar saya kasih alamatnya. Silahkan Nona datang ke sana sendiri" Sebelum Vio bertanya, satpam itu sudah berlari lagi ke dalam posnya. Terlihat satpam itu menulis di sebuah kertas kecil. Mungkin itu alamat yang di maksud tadi.
"Ini Non, maaf ya saya sudah kebelet. Saya tinggal dulu" Beca menahan tawanya.
"Pantesan dia tadi lari-lari, ternyata mulezzzz" Ucap Beca.
Viola membaca alamat yang di berikan satpam tadi berkali-kali.
"Ini bukan di gedung deh kayaknya, gue kayaknya masih inget jalan daerah sini" Gumam Vio.
"Jadi mau ke sana nggak??"
"Iya dong, mana tau yang nikah itu Endah. Dia juga sahabat gue sebelum gue pergi ke korea"
Akhirnya mereka pergi ke alamat yang tertera pada selembar kertas kecil hasil robekan buku tulis yang di berikan satpam di rumah Erland tadi.
Vio dan Beca sempat terperangah melihat banyaknya bunga yang di rangkai rapi di luar rumah besar itu. Rangkaian bunga ucapan selamat juga berjejer rapi di sepanjang halaman rumah yang begitu luas.
Hingga Vio menyadari ada yang aneh di bunga-bunga itu. Tapi Viola dan Beca tetap melangkah memasuki halaman rumah. Hingga Viola semakin menyadari keanehan itu ketika melihat foto yang di pajang di depan tempat berlangsungnya pernikahan itu. Matanya mulai memanas, menahan sesuatu yang ingin menyeruak dari dalam sana.
"Tunggu Nyonya, bisa kami lihat undangannya??" Cegah seorang yang berpakaian sama dengan beberapa orang di sana. Sepertinya dari orang WO.
"Maaf kami tidak membawa, tapi kami adalah kerabat dari salah satu mempelai di dalam sana" Dusta Beca karena dia sama sekali tidak tau siapa yang menikah di dalam sana. Beca hanya melihat Viola yang bergeming dengan tangannya yang mengepal kuat membuatnya mengambil alih untuk menjawab mewakili Viola.
"Maaf, kalian tidak bisa masuk tanpa menunjukkan undangan kalian" Ucap Pria itu dengan tegas.
"Tapi kita itu.." Tangan Viola menahan Beca. Dia diam sedari tadi dengan tatapannya yang terus menatap foto pasangan yang begitu terlihat mesra itu, tapi telinganya masih mendengarkan dengan jelas.
Viola mengedarkan pandangannya hingga melihat seseorang yang dia kenal. Meski orang itu sudah berbeda jauh dari 10 tahun yang lalu, kini badannya yang semakin tinggi dan wajahnya yang tak berbeda jauh dari Kakaknya membuat Viola yakin jika itu adalah Edgar, adik Erland.
"Edgar!!" Panggil Viola pada Edgar hang berjas hitam dan berjalan agak jauh dari Viola.
Viola melambaikan tangannya pada Edgar. Begitupun Edgar yang tak lupa dengan wajah dari sahabat Kakaknya yang dulu sering datang ke rumah, langsung menghampiri Viola dengan sedikit berlari.
"Kak Vio??"
"Kamu ingat Gar??"
"Ingat dong Kak, Kakak kapan pulangnya??" Adik kecil yang dulu sering di ejek Vio kini sudah berubah menjadi pria tampan dan terlihat dewasa.
"Baru saja sampai. Oh ya Gar, bisakah kamu membawaku masuk ke dalam?? Aku tidak bawa undangan jadi tidak bisa masuk" Vio mencoba menetralkan jantungnya yang sudah berdetak tak tenang. Sesuatu yang buruk sudah terjadi di dalam sana dan Viola menyadari itu.
"Tentu bisa, Kak Vio kan sahabatnya Kak Endah. Jadi bisa masuk tanpa undangan sekalipun. Ayo ikut aku Kak"
Akhirnya Vio dan Beca benar-benar masuk ke dalam ruangan yang sudah di sulap menjadi tempat pernikahan dengan berbagai hiasan dan ratusan bunga di dalamnya.
Masih dengan menyeret kopernya, Viola terus menuju ke depan membelah puluhan manusia yang menjadi temu kehormatan di pesta pernikahan itu.
Beca masih setia mendampingi sahabatnya itu meski tak tau yang mana namanya Endah atau Erland yang sering di ceritakan oleh Viola kepadanya. Karena selama ini Vio tidak pernah menunjukkan wajah pria yang bernama Erland kepadanya.
Hingga kaki Beca merasakan terbentur sesuatu di depannya karena tidak fokus pada jalannya. Di hanya terus melihat ke sekelilingnya, yang memperlihatkan betapa meriahnya pesta itu.
"Hey kenapa berhenti Vi??" Protes Beca langsung berdiri di samping Vio.
Tapi pertanyaan Beca tak terjawab karena mata Vio sudah berkaca-kaca melihat sesuatu di depan sana.
Beca mengikuti arah pandang Vio. Sahabatnya itu sedang melihat pasangan pengantin yang tampak bahagia di depan sana, bergaya dengan mesra di depan kamera.
Beca masih mengira jika wanita bergaun pengantin itu adalah Endah sahabat Viola, hingga membuat Viola terharu seperti itu, tanpa tau kenyataan yang sebenarnya.
"ABANG!!" Teriak Viola dari kejauhan namun berhasil menarik perhatian banyak orang di dalam sana, termasuk pasangan pengantin itu.
"Vio??" Gumam si pengantin Pria.
"Apa-apaan semua ini??" Viola melihat ke sekelilingnya. Bahkan dia juga melihat kedua orang taunya termasuk Vino, Kakak kandungnya berada di sana.
To be continued..
"ABANG!!" Teriak Viola dari kejauhan namun berhasil menarik perhatian banyak orang di dalam sana, termasuk pasangan pengantin itu.
"Vio??" Gumam si pengantin Pria.
"Apa-apaan semua ini??" Viola melihat ke sekelilingnya. Bahkan dia juga melihat kedua orang taunya termasuk Vino, Kakak kandungnya berada di sana.
Viola mendekati Erland dan wanita yang sudah pasti istrinya itu.
"Apa maksud semua ini Bang??" Suara Viola sudah bergetar, lehernya bahkan rasanya sakit untuk mengeluarkan suaranya.
"Vio, kamu kembali??" Erland masih dalam keterkejutannya.
Semua orang terdiam, bahkan suara alunan musik dari penyanyi yang menghibur mereka juga memilih berhenti.
"Iya, aku kembali untuk menagih janjimu, tapi apa maksud semua ini JELASKAN!!" Teriak Viola menggema di ruangan itu.
"Vio tenanglah" Vino dan kedua orang tua Viola mendekati Viola. Mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Viola.
"Aku akan jelaskan tapi aku mohon kamu tenang dulu" Erland tentu saja masih tidak percaya jika saat ini Viola ada di depannya setelah sepuluh tahun yang lalu Erland menyuruhnya pergi.
"Siapa dia Mas??" Tanya wanita bergaun pengantin itu.
"Aku Viola, wanita yang seharusnya berdiri di sampingnya saat ini. Bukannya dirimu" Viola menyerobot begitu saja.
"A-apa??" Kaget wanita itu.
"Viola, ada apa ini sebenarnya. Kenapa kamu datang kesini marah-marah begini?? Erland apa yang sebenarnya terjadi??" Tanya Dito Papinya Vio.
Melihat anak gadisnya yang bertahun-tahun tidak pulang ke tanah air, dan sekalinya pulang membuat keributan di pernikahan orang tentu saja membuat Dito merasa malu.
"Er, gue bener-bener nggak ngerti. Tolong jelasin sama gue!!" Vino menatap sahabatnya dengan tajam.
Mau tak mau Erland harus mengatakan yang sejujurnya di hadapan orang sebanyak itu. Dia tidak mau membuat istrinya salah paham, dan juga Vio yang larut dalam permainan yang di buat Erland waktu itu.
"Vio maafkan Abang sebelumnya. Abang sama sekali tidak menyangka jika kamu benar-benar akan kembali. Abang kira waktu 10 tahun cukup bagi kamu untuk melupakan perasaan kamu waktu itu"
Dari penjelasan singkat yang belum sepenuhnya menjawab kebingungan orang-orang di sana, hanya Vio sendiri yang sudah sedikit mengerti maksud dari pengantin pria itu.
"Jadi Abang menyuruhku pergi keluar negeri hanyalah alasan Abang saja untuk menyingkirkan aku dari hidup Abang begitu??" Viola sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.
Vino sekarang baru mengerti kenapa adiknya itu bersikeras mengambil beasiswa ke luar negeri waktu itu. Padahal keluarganya sangat mampu untuk sekedar membiayai Viola.
"Bukan begitu maksud Abang Vi"
"Lalu apa?? Katakan dengan jelas, karena sekarang aku terlalu bodoh untuk memahami situasi saat ini" Beca berdiri di samping Viola, menguatkan sahabatnya yang sedang hancur itu.
Endah yang sejak tadi tak tau dimana juga sudah berada di samping Viola saat ini meski dalam benaknya juga masih penuh tanda tanya.
"Viola, Sekali lagi maafkan aku. Sejak dulu aku tidak pernah mencintaimu. Aku sudah berulang kali mengatakannya padamu kalau aku tidak bisa menerima cintamu. Tapi kamu terus saja menyatakan perasaanmu. Aku sampai tidak tau lagi bagaimana caranya menjauh darimu. Saat ini aku risih Vi, aku bahkan tidak bisa berbuat kasar padamu karena kamu sudah aku anggap seperti Endah"
Endah membekap mulutnya, dia tidak menyangka jika sahabatnya mencintai Kakaknya. Dan bodohnya selama ini Endah tidak tau sama sekali.
Viola menarik nafas ya panjang, tak peduli semua orang di sana menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang prihatin ada pula yang melihat Viola dengan tatapan aneh.
"Lalu kenapa Abang harus membuat perjanjian itu?? Kenapa Abang harus menyetujui permintaanku untuk menikahi ku saat aku kembali kesini?? Tidakkah Abang merasa begitu jahat kepadaku??"
Kali ini ucapan Viola mampu membuat orang tuanya terkejut, begitu pula dengan ibunya Erland.
"Karena saat itu, aku yakin kamu akan melupakan perasaan mu itu Vi. Saat itu aku yakin kamu hanya menyukai ku seperti kamu menyayangi Vino saja. Aku sama sekali tidak menyangka jika kamu masih membawa perasaan kamu sampai saat ini Vi. Sekali lagi maaf, aku memang jahat"
Wanita di sebelah Erland itu juga masih belum percaya jika suaminya telah berjanji ingin menikahi wanita lain selain dirinya.
"B****sek kamu Bang!!" Geram Viola di tengah isak tangisnya.
Viola semakin mendekat ke arah Erland, melirik sekilas wanita yang sudah di poles make up tebal itu. Viola sedikit menyipitkan matanya ketika melihat wanita itu, seperti sedang mengingat sesuatu.
Tapi setelah itu Viola kembali menatap Erland yang sudah begitu dekat dengannya itu.
"Kamu pikir aku anak TK yang akan berhenti menangis saat di berikan janji-janji manis mu?? Aku sudah dewasa waktu itu!! Aku sudah mengatakan jika perasanku ini nyata, tapi kenapa sampai tega mempermainkan aku seperti ini Bang?? Kalau kamu benar-benar tidak pernah menginginkanku setidaknya jangan pernah memberikan aku harapan seperti ini!! Dan ini"
Viola melepas cincin yang terbuat dari gelang tali waktu itu. Dulu yang berwarna merah terang kini sudah kusam di makan waktu yang begitu lama.
Viola melempar tali itu begitu saja hingga tepat mengenai wajah Erlan.
"Ambil saja tali busuk itu. Bodohnya aku sampai seperti orang gila karena di anggap aneh memakai cincin dari tali seperti itu selama sepuluh tahun lamanya"
Erland melihat ke bawah tempat tali usang itu jatuh setelah di lempar Viola. Dia ingat betul saat memasangkan tali itu di jari Viola. Ada rasa bersalah yang amat besar saat mengetahui jika Viola masih menyimpannya sampai sekarang.
Erland melihat Vio yang membuka tasnya, mencari sesuatu di dalam sana.
"Satu lagi, ini kan yang kamu minta dulu Bang?? Bukti kalau aku memang benar-benar mencintaimu. Bukti yang kamu minta untuk pembuktian cintaku. Aku mampu berdiri dengan kakiku sendiri tanpa bantuan dari siapapun, dan itu hanya demi kamu. Kamu laki-laki yang dengan teganya mempermainkan perasaanku. Dasar pria tak berperasaan!!" Dengan berapi-api Viola menyuarakan isi hatinya. Di ikuti dengan air matanya yang terus saja lolos dari tempatnya.
Viola melemparkan lagi kertas-kertas yang dia bawa. Semua itu adalah sertifikat kepemilikan kliniknya yang berada di Korea.
Lagi-lagi Erland tercengang karena Viola benar-benar mampu membuktikan ucapannya waktu itu.
"Aku melakukan semua itu, hanya agar bisa menjadi wanita yang bisa mengimbangi mu. Tapi semua itu kini hanya sia-sia saja, karena nyatanya kamu susah bersanding dengan wanita lain Bang!!" Viola menggeleng dengan cepat, mengusir rasa kecewa pada dirinya sendiri.
"Tidakkah kamu merasa begitu jahat Bang??"
Tangisan Viola menjadi tontonan gratis bagi tamu undangan di sana. Mungkin jika orang yang sudah termakan opini publik, mengira jika ini hanyalah setingan belaka untuk memberikan kejutan bagi salah satu mempelai. Tapi ini nyata, kisah nyata bagi hidup Viola, bukan lagi setingan atau prank yang tidak jelas.
"Maafkan aku Viola" Hanya itu yang mampu Erland ucapkan untuk wanita yang susah berhasil dia hancurkan hatinya itu.
"Tidak!! Aku tidak akan pernah memaafkan mu!!"
Semua mata tercengang melihat begitu dalam kemarahan Viola. Orang gua Viola, Vino dan yang lainnya juga tidak bisa menjadi penengah karena masih belum paham betul kejadian yang sebenarnya.
"Vio, Abang mohon jangan begini. Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan Abang??" Erland sadar jika dirinya salah. Gegabah mengambil keputusan waktu itu ternyata berbuntut panjang saat ini.
Viola meraih tangan kanan Erland, mengangkatnya hingga telapak tangannya menempel pada kepala Viola.
"Aku bersumpah, atas namamu Erland Sebastian!!"
"Vio hentikan sayang" Mami Via mencoba menghentikan Viola.
"Nak Vio, Ibu mohon Nak. Maafkan Erland" Ibu Erland sudah menangis melihat Viola yang sudah seperti putrinya sendiri.
Viola tak peduli, dia seakan tuli dengan suara-suara yang mencoba menghentikannya.
"Demi rasa sakit yang telah kamu berikan, dan demi sepuluh tahun yang tak ada artinya lagi. Aku mengutuk kamu dan istrimu ini, kalian tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan kalian tanpa hadirnya seorang anak!!" Erland langsung melepaskan tangannya dari kepala Viola dengan cepat.
"Viola, tarik kembali kata-katamu itu!! Jangan bicara sembarangan!!" Ucap Erland dengan gemetar, dia ketakutan dengan sumpah yang sudah di ucapkan Viola itu.
"Tidak akan pernah!!" Tatap Viola dengan sengit.
Wanita yang sudah terlampau kecewa itu berbalik meninggalkan Erland membawa hatinya telah remuk redam.
"Papi, Mami, Abang. Maafkan Vio karena selama ini Vio lebih mementingkan pria b****sek itu daripada kalian. Sekali lagi maafkan Vio" Setelah mengucapkan itu kepada kedua orang tua dan Kakaknya Viola berlari keluar dari tempat yang mulai riuh itu.
"Vio tunggu!!" Kejar Beca dan Endah. Begitupun Vino yang begitu khawatir dengan keadaan adiknya.
Viola kecewa, kesal, marah dan begitu sakit dalam hatinya. Saat ini benar-benar titik terendah dalam hidupnya. Hancur sehancur-hancurnya, perjuangannya semala ini, penantiannya, serta kesabarannya ternyata tidak pernah ada harganya di mata Erland.
Viola terus berlari dengan tangisannya yang pilu. Hingga Viola berdiri di tepi jalan. Melihat ke kiri dan kanan, memperhatikan mobil yang datang dari arah kanan dengan kecepatan tinggi.
Namun di saat mobil itu mulai mendekat, Viola justru melangkahkan kakinya dengan cepat hingga merasakan tubuhnya mulai melayang.
"VIO!!"
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!