"Hubungan kita cukup sampai di sini saja, Athena."
Aku terkesiap mendengar ucapan lelaki yang duduk tepat di sampingku, yang saat ini bahunya sedang kugunakan untuk bersandar.
Aku pun langsung mengangkat kepala dan mengubah posisi hingga menghadap ke arahnya.
"Kenapa?" gumamku pelan, sembari menatap lekat wajah tampannya di antara keremangan malam.
Sesaat tak kudengar jawaban apa pun darinya, sekadar embusan napas panjang yang menyatu dengan desir angin malam.
"Karena sebenarnya ... aku sudah punya istri dan sekarang dia sedang hamil."
Seperti halilintar yang menyambar, pengakuannya sungguh membuatku tersentak. Sampai kemudian merasa sakit dan perih yang menjalar ke semua ruang dalam hati.
Alexandre Kendrick Demitry, lelaki yang dalam setahun terakhir menjalin hubungan denganku, yang kupikir masih lajang dan hanya mencintaiku seorang, ternyata ... ah, ini sungguh di luar bayangan.
Tanpa kupinta air mata menggenang dan menetes di kedua pipi, dan tak berselang lama isak tangisku memecah keheningan di antara kami.
"Maafkan aku, Athena."
Suaranya masih terdengar merdu dan menenangkan, meski kini mengandung ribuan jarum yang menusuk setiap inci perasaanku. Tangannya pun masih sama hangat, mengusap lembut pipiku yang dibasahi air mata. Ah, aku sekacau ini di hadapannya. Tapi, lidah masih kelu juga untuk memaki atau sekadar meminta penjelasan yang lebih.
"Sebenarnya aku juga tidak mau ini terjadi. Aku sangat mencintai kamu, tapi di sisi lain aku juga mencintai dia. Aku tidak bisa mengorbankan pernikahan demi hubungan kita. Sudah ada janji suci yang pernah kuucap atas dirinya, jadi___"
"Cukup!" Aku berteriak lantang meski dengan gemetaran.
Apa lagi yang bisa kudengar, dia hanya menyanjung dan membela istrinya, demi membenarkan sikapnya yang saat ini mencampakkan aku. Apa di matanya aku ini hanya patung yang tidak punya hati?
"Athena."
"Jika memang dia yang kamu cintai, lalu kenapa dulu mendekatiku? Bilang cinta dan berjanji ini itu? Apa aku hanya tempat pelampiasanmu saja, hah?" jawabku masih dengan nada tinggi.
Semua yang dia ucapkan sangat menguras emosi, dan aku tidak bisa mengendalikan diri. Aku terlalu mencintai dia, itulah kenapa sekarang rasa sakitnya teramat dalam. Tapi, seperti ini pun dia masih tak mengerti. Kejam sekali.
"Dulu dia sangat mencintai kariernya. Sama sekali tidak peduli denganku yang ingin punya anak, padahal pernikahan kami sudah berjalan tujuh tahun lebih. Lima tahun aku sabar menunggu, tapi dia tetap pada keegoisannya. Maka dari itu, aku sampai terpikir untuk selingkuh. Hingga akhirnya mengenal kamu dan menjalin hubungan denganmu. Tapi, dua bulan lalu dia memutuskan untuk berhenti dari semua pekerjaannya. Dia juga bersedia punya anak. Dan ... sekarang dia hamil, itu sebabnya kita harus berakhir, Athena."
Penjelasan panjang lebar yang lagi-lagi mengandung sebilah pisau, makin mengiris hati yang kini tak terbentuk lagi. Remuk redam, hancur lebur tak karuan. Entah bagaimana nanti aku bisa membuatnya utuh kembali, kurasa luka ini terlalu dalam untuk disembuhkan.
"Oke, kita berakhir, Kendrick!" Aku mengatakan kalimat itu sambil berdiri, dan dengan tangis yang berderai tentunya.
Marah, kecewa, dan entah perasaan apa lagi yang bercampur, yang jelas dadaku sampai sesak, bahkan napas saja seakan tersengal. Hingga dengan berani aku memanggilnya 'Kendrick' dan menghapus sebutan 'Papa' yang selama ini selalu kusematkan untuknya, sebagai panggilan sayang.
Perbedaan usia kami memang cukup jauh, dia sudah 35 tahun, sedangkan aku masih 22 tahun. Tapi meski begitu, aku sangat mencintainya, sangat terpesona dengan ketampanannya yang tak kalah dengan lelaki sebayaku.
"Athena! Maafkan aku." Dia menyusulku berdiri.
"Cukup! Jangan panggil namaku dan jangan sentuh aku! Kita sudah berakhir, seperti maumu. Kita sekarang hanya orang asing yang tidak terikat perasaan apa pun. Jadi, simpan kata maafmu yang palsu itu! Aku tidak butuh!" bentakku sambil menepis tangannya yang hampir meraih wajahku. Mungkin, dia mengerti jika saat ini aku sedang kacau.
Namun, sepertinya Kendrick tak ingin menyerah. Buktinya, sekarang dia tidak hanya menyentuh, tapi juga merangkul tubuhku dengan erat, sampai tak ada ruang untuk bergerak.
"Lepas!" teriakku sembari meronta, berusaha lepas darinya. Aku tak mau lagi dipeluk olehnya, meski kuakui itu masih kurindukan.
"Tenangkan dirimu, Athena, bukan seperti ini yang aku mau," bisiknya sambil menahan tengkukku.
Aku kemudian diam. Meronta, tenagaku kalah jauh, sedangkan menanggapi dengan ramah, aku tak mau lagi. Kekecewaan ini sudah mencapai batas maksimal, tak mudah bagiku untuk beramah tamah lagi dengannya.
"Maafkan aku, Athena. Aku masih mencintaimu, tapi keadaan yang memaksaku untuk meninggalkan kamu. Tolong kamu jangan seperti ini, aku tidak sanggup melihatnya. Aku ingin kamu selalu tersenyum, Athena."
Bisikan Kendrick membuat air mataku mengalir lebih deras. Masih cinta katanya? Ingin aku selalu tersenyum dia bilang? Apa dia lupa siapa yang membuatku begini?
"Cukup! Berhenti bicara omong kosong, aku muak mendengarnya!"
Dengan sekali sentakan, akhirnya aku bisa melepaskan pelukan Kendrick.
Tanpa ragu aku pun melangkah mundur, menjauhi dia yang masih terpaku sambil menatapku.
Tak ingin berkata apa-apa lagi, aku langsung berbalik dan pergi meninggalkannya. Namun, belum jauh kakiku melangkah, dia kembali bicara.
"Yang kukatakan barusan bukan omong kosong, Athena. Aku memang mencintaimu, tapi___"
Aku langsung memotong ucapannya, "Tapi keadaan yang memaksa? Heh, konyol sekali. Sejak awal seharusnya kamu sudah sadar jika hari ini akan terjadi, tapi kamu memilih maju. Artinya, memang tidak ada ketulusan dalam dirimu, baik untukku, maupun istrimu."
"Aku tidak akan memaksamu untuk percaya dengan cintaku ini, karena buktinya aku hanya bisa menyakitimu. Tapi, Athena, satu hal yang harus kamu tahu, aku sering meminta pada Tuhan untuk menyatukan kita tanpa menyakiti istriku. Dan ya ... aku berharap waktu itu benar-benar ada."
Bersambung...
Aku tak peduli lagi dengan ucapan Kendrick, yang kuyakini hanya manis di mulut saja.
Dari pada berlama-lama dengannya dan pasti akan membuat sakit hati lebih dalam lagi, aku memilih pergi dengan langkah cepat. Menyusuri pasir di sepanjang pantai, menembus dekapan angin malam yang serasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin, karena sekarang tidak ada lagi yang memeluk hatiku. Ahh!
Dengan tangan yang masih merapat di dada, aku meneruskan perjalanan menuju Cahaya Fashion—salah satu toko pakaian yang ada di sekitaran Pantai Kuta. Beberapa menit kemudian, aku tiba di sana dan bergegas ke kamar belakang yang ada di sebelah gudang, tempat yang selama dua tahun terakhir menjadi saksi lelahku.
Tiba di sana, kudapati pintu masih terkunci. Rupanya dua temanku yang tadi keluar masih belum pulang.
Tak ingin menebak mereka ke mana dan sedang apa, aku langsung mengambil kunci di bawah pot bunga dan membuka pintu tersebut.
"Ahhh!" teriakku cukup kencang ketika sudah masuk ke kamar dan pintu kembali kututup.
"Kenapa harus berakhir kayak gini?" sambungku masih dalam isak tangis.
Sakit? Tentu saja. Kendrick adalah cinta sekaligus pacar pertamaku. Di saat gadis-gadis lain sudah mengenal cinta sejak remaja, tapi aku tidak, walau hanya sekadar cinta monyet. Teman sekolah, tetangga, atau juga lelaki lain yang pernah aku kenal. Tidak ada yang menarik, kecuali Kendrick. Dialah satu-satunya pemilik hatiku yang utuh. Tapi, sesakit ini luka yang dia berikan.
Dengan air mata yang tidak kutahu kapan akan berhenti, aku melangkah lagi dan berhenti di depan cermin. Kutatap keadaanku yang kacau. Mata merah dan sembap, rambut kusut dan berantakan, juga lipstik yang setengah luntur karena terlalu sering menggigit bibir.
"Memangnya siapa aku, berani berharap orang seperti Kendrick akan tulus. Sadar, Athena, kamu sama sekali nggak sebanding dengannya!" ucapku pada bayangan di dalam cermin.
Sosok yang tampak kacau itu membuatku teringat dengan perbedaan, baik dari status sosial maupun keadaan fisik. Kendrick punya bisnis penginapan yang cukup besar.
Hotel miliknya tersebar di seluruh bagian pulau ini, menjadi rekomendasi penginapan mewah untuk orang-orang kelas atas. Uang yang masuk perharinya bernilai puluhan juta. Sedangkan aku, hanya pekerja di sebuah toko pakaian. Dengan posisi yang sering di belakang karena tidak mahir Bahasa Inggris. Upah yang kuterima dalam setiap bulan, tidak ada separuh dari upah yang Kendrick terima perhari.
Itu dari segi materi. Dari segi fisik, kami juga jauh berbeda. Kendrick adalah lelaki berdarah Prancis, ketampanannya tidak diragukan lagi. Tubuhnya tegap tinggi dengan kulit cerah dan bulu yang kecokelatan, sepadan dengan rambutnya yang berwarna cokelat terang. Hidung mancung dan mata hijau cerah, sangat memikat.
Sementara aku, hanya gadis desa yang kebetulan dianugerahi kulit putih. Tidak ada hidung mancung atau perawakan yang tinggi. Wajahku biasa-biasa saja, hidung minimalis, bibir tipis, serta pipi chubby. Sangat bertolak belakang dengan namaku yang mirip keturunan Yunani, memang semua ini hanya obsesi Ibu atas dewa-dewi Yunani yang konon katanya luar biasa menawan. Hingga terciptalah nama Athena Orisha untukku dan Abercio Damaresh untuk Mas.
"Harusnya dari awal aku nggak pernah nerima dia. Aku memang bodoh." Lagi, tangisku pecah. Bahkan, kini air mata yang keluar lebih deras dari sebelumnya.
Makin mengingat perbedaan, hatiku kian hancur, seakan kenyataan menampar dan menegaskan bahwa aku memang tidak pantas untuknya. Dia memilih istrinya bukan hanya karena pernikahan, melainkan juga karena aku tidak layak dipertahankan.
"Argghhh!"
Aku terjatuh ke lantai. Menunduk dan mencengkeram rambut dengan kuat. Aku benci, sangat benci dengan keadaan ini. Aku sakit dan kecewa, tapi cinta itu masih jelas terasa. Ah, sial!
Cukup lama aku melampiaskan kesedihan dengan tangis. Sampai akhirnya, aku mengangkat wajah dan menghentikan semuanya karena dering ponsel yang cukup nyaring. Satu nama yang terpampang—Ibu. Mendadak jantungku berdetak cepat, ada apa? Mengapa Ibu telepon malam-malam?
"Ibu," ucapku dengan suara yang setenang mungkin. Aku tak ingin Ibu mendengarku menangis.
"Athena, ini aku. Kamu bisa izin pulang, nggak? Ibu___"
Bersambung...
"Ibu kenapa, Mas?"
Aku berteriak cukup keras karena Mas Abercio mendadak diam, menggantungkan kalimatnya begitu saja. Mau tidak mau, pikiranku jadi menerawang ke mana-mana.
"Ibu lagi di rumah sakit kota, keadaannya kritis."
"Kenapa bisa, Mas? Tadi pagi Ibu masih baik-baik aja, kan? Aku sempat telfon kok sama Ibu," ucapku dengan cepat. Sungguh, aku sangat kaget mendengar kabar ini.
"Iya. Mulai siang tadi Ibu ngeluh dadanya sakit, tapi nggak mau kubawa ke rumah sakit, katanya cuma efek batuk. Terus sekitar jam tujuh tadi tiba-tiba Ibu pingsan, pas kubawa ke rumah sakit udah kritis. Kata dokter ... jantung Ibu tersumbat."
Tubuhku makin gemetar saat mendengar penuturan Mas Abercio. Jantung tersumbat, bukan hal sepele. Jika tidak mendapat penangangan yang tepat, nyawa taruhannya. Tidak! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Ibu. Sudah cukup aku kehilangan Ayah. Aku tidak akan sanggup jika Ibu pergi juga.
"Lalu gimana menurut dokter, Mas? Ibu bisa sembuh, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata yang terus saja menetes. Sungguh, ini merupakan kabar terburuk.
"Bisa, meski tidak sembuh total. Hanya saja Ibu harus rutin mengonsumsi obat, tidak boleh kelelahan, dan tidak boleh berpikir terlalu keras. Kita juga harus rutin memeriksakan kondisi Ibu, karena jika memburuk, maka harus dilakukan pemasangan ring."
"Kenapa Ibu harus mengalami ini, Mas?" Kupegangi dadaku yang terasa sakit. Apa yang terjadi pada Ibu kali ini mengingatkanku pada waktu dulu, Ayah juga meninggal dengan penyakit yang sama.
"Sudah jangan nangis, ini adalah ujian. Dengan usaha dan doa, Ibu pasti baik-baik aja. Percayalah!"
Aku hanya menggeleng-geleng, meski kutahu Mas Abercio tidak akan melihatnya.
"Athena, kamu bisa pulang, kan? Mungkin nanti pikiran Ibu bisa lebih tenang kalau udah siuman dan melihatmu di sini."
"Bisa, Mas. Aku akan pulang secepatnya." Aku menjawab tanpa ragu karena kondisi Ibu adalah yang paling penting bagiku. Andaipun Mas Abercio tidak memintanya, aku akan tetap pulang.
"Iya, tapi jangan lupa hati-hati."
"Iya, Mas."
Sesaat kemudian, sambungan telepon kami terputus. Lalu aku bangkit dan duduk di tepi kasur, mencari nomor kontak atasan yang kuharap belum tidur.
Nasib baik, teleponku langsung diangkat. Lantas tanpa basa-basi kuceritakan apa yang terjadi pada Ibu.
"Baik, Athena, kamu boleh pulang. Gajianmu bulan ini akan kukirim sekarang. Kamu naiklah pesawat agar cepat tiba di sana," jawab atasanku—Bu Naya.
Hatiku lega seketika. Benar-benar beruntung dipertemukan dengan majikan sebaik beliau. Itulah mengapa aku betah bekerja di sini, sampai empat tahun.
Setelah mengucap banyak-banyak terima kasih, aku mengakhiri sambungan telepon dan bergegas mencari tiket pesawat tercepat. Memang, jarak Denpasar dengan tempat asalku—Turen, Malang, cukup jauh. Jika lewat darat, butuh waktu seharian untuk tiba di sana.
Usai mencari tiket dan mendapat penerbangan jam 08.00 pagi, aku langsung mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa besok. Tidak banyak, hanya charger, alat mandi, dan beberapa kosmetik.
Ketika aku masih sibuk mempersiapkan semua itu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Tampak di sana Mbak Karin dan Nadia sedang melangkah masuk sambil menenteng beberapa camilan.
"Loh, kok kamu kayak mau bepergian gitu, Na?" Mbak Karin bertanya sambil mendekat. Dia adalah seseorang yang mengajakku ke sini. Kami termasuk tetangga di kampung, hanya beda desa.
"Iya, Mbak, besok aku mau pulang. Ibu sakit, sekarang dirawat di rumah sakit kota," jawabku dengan sedikit serak karena terlalu banyak menangis.
"Ya ampun, sakit apa Tante Arum, kok sampai di bawa ke rumah sakit?" tanya Mbak Karin. Dia cukup mengenal ibuku karena dulu kami juga berteman.
"Jantung, Mbak."
"Duh, Athena, yang sabar ya kamu. Cuma bisa bantu doa, mudah-mudahan Tante cepat sembuh." Nadia ikut menimpali. Gadis asal Blitar itu memang cukup dekat denganku, wajar, kami sudah empat tahun menjadi rekan.
"Makasih banyak ya, Nad, doa juga cukup penting." Aku tak bisa menahan air mata ketika menjawab ucapan Nadia, pikiranku kembali dihantui dugaan-dugaan buruk.
Setelah aku meneteskan banyak air mata, Mbak Karin dan Nadia memelukku dari samping, memberikan kekuatan pada diriku yang sedang rapuh. Tapi, mereka tidak tahu jika rapuhnya hati ini bukan hanya karena Ibu, melainkan ada Kendrick yang sebelumnya turut ambil peran.
Ah, entah mengapa ujian datang bertubi-tubi.
__________
Sekitar jam setengah sepuluh, aku tiba di rumah sakit tempat Ibu dirawat. Dengan langkah cepat, aku menyusuri halaman rumah sakit dan menuju ICU.
Namun, tidak kutemukan keberadaan Mas Abercio di sana, yang ada malah lelaki lain yang selama ini selalu kuhindari—Alfarezza Samudra.
"Ngapain dia di sini?" batinku tanpa menghentikan langkah, dan mungkin itu terdengar nyaring di telinganya, sehingga kepala yang semula menunduk perlahan mendongak dan menatap ke arahku.
"Athena!"
Aku tersenyum tipis, guna menanggapi sapaannya yang terlihat antusias.
"Tante Arum pasti baik-baik aja, kamu jangan terlalu sedih ya." Dia beranjak dan berjalan ke arahku, sambil menyunggingkan senyum yang mungkin menawan menurutnya, tapi tidak bagiku.
Aku pun sekadar mengangguk. Kurasa itu sudah cukup untuk menanggapi ucapannya.
"Bagaimana kabarmu, Athena? Sudah lama aku nggak bisa menghubungi," ucapnya masih dengan senyuman yang sama.
"Aku ... baik," jawabku agak canggung.
Karena bukan tanpa alasan dia tidak bisa menghubungi, melainkan karena semua akses tentangnya sudah kublokir.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!