Pepohonan yang rindang mengelilingiku dan di sampingku juga terdapat danau yang sangat luas yang telah ada begitu aku membuka mata.
Ku lihat sekelilingku dengan kebingungan. "Ini dimana? Perasaan aku lagi dikamar tadi," tanyaku kebingungan. Ku perhatikan gaun tidur yang ku kenakan, gaun berwarna peach itu terasa sedikit kebesaran padahal seingat ku aku membeli gaun itu dengan ukuran yang pas pasan. Selain itu kenyataan bahwa aku ada di hutan membuatku sedikit bingung karena seingat ku aku sedang berada di kamar membaca novel yang ku tulis 5 tahun lalu.
Aku beranjak dari tempatku dan menarik tali leher yang mengelilingi leherku "kenapa rasanya badanku mengecil, ya?" Gumamku heran.
Aku berjalan mencoba mencari jalan keluar dari tempat itu.
"Aku kok bisa disini? Apa aku diculik? Atau ini mimpi? Tapi kok kayak nyata? Dan sejak kapan di kota ada hu...eh?" Seketika aku terdiam saat melihat sebuah permukiman, rumah rumah kayu dan rumah bata yang sebelumnya tak pernah kulihat serta delman dan kuda yang melintas di jalanan sungguh membuatku bingung.
Ku perhatikan kebaya yang dikenakan oleh gadis gadis yang melintas di depanku yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Putra mahkota akan diangkat menjadi raja setelah masa berkabung, aku tidak sabar menghadiri acara penobatannya," kata seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dariku.
"Aku juga. Senangnya yang mulia putra mahkota akan menjadi raja di kerajaan Insantaraina Tapi...yang mulia pasti sedih ditinggal oleh almarhum raja," sahut perempuan lain yang berdiri disana.
Nama kerajaan Insantaraina yang ku dengar sekilas dari pembicaraan mereka membuatku tertegun. Karena nama itu sama dengan nama kerajaan yang ada di novelku, kerajaan Insantaraina adalah kerajaan terbesar di negeri sihir dalam novelku.
"Mungkin...ini hanya kebetulan. Tapi...sejak kapan ada nama kerajaan Insantaraina?" Tanyaku dalam hati. Ku lanjutkan langkahku menelusuri jalanan yang tanpa aspal itu.
Udara di permukiman ini sangat segar dan asri tanpa asap kendaraan bermotor, walaupun terdapat asap dari warung yang menjual ikan bakar.
Langkahku mendadak terhenti saat melihat sebuah taman bunga yang sangat indah, kupu-kupu dan serangga beterbangan di sekitar bunga bunga itu serta beberapa kelopak bunga yang beterbangan mengikuti arah angin.
"Bunganya sangat indah," pujiku yang duduk di tengah taman bunga. Jari jemariku menyentuh mahkota bunga tulip, aroma bunga bunga di taman itu memanjakan indra penciumanku.
Tempat ini jauh lebih indah dibanding taman kota dan tempat tempat yang kulihat di drama TV sebelumnya "ini taman bunga terindah yang pernah kulihat," gumamku.
"Apa yang kau lakukan?" Sebuah suara berat terdengar dari belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat seorang pria yang memakai pakaian khas raja nusantara sedang berdiri dengan gagahnya.
Ku perhatikan rambutnya yang berwarna putih keperakan dengan mata berwarna emas yang bersinar, wajahnya memiliki ciri-ciri yang sama dengan tokoh utama pria dalam novelku.
Pandanganku melirik luka sayatan di mata kirinya "a-apa dia Yasa? Aku harus apa?" Batinku kebingungan.
Perlahan-lahan aku mulai berdiri dan membungkuk, mulutku kesulitan untuk terbuka saking takutnya dengan pria yang berdiri di hadapanku.
Yasa Mahariwijaya adalah tokoh utama yang memiliki sifat dingin, kejam, dan tak kenal ampun. Jadi, mungkin karena itu mulutku bungkam.
"Jawab!!!" Bentaknya mengagetkanku.
"I-iya, pak...eh?...tuan...eh?... Tuanku...eh?... Rajaku...eh...yang mulia... Iya. Ma-maafkan saya yang mulia," ucapku kemudian berlari meninggalkannya.
Aku duduk di pinggir danau tempatku tiba sebelumnya. Ku tatap bayanganku yang dipantulkan di air danau, wajah kecil yang lugu dan polos bagai anak berumur belasan tahun.
Setelah melihat berbagai keanehan, aku menyadari satu hal. Walau sulit dipercaya, tapi tak ada lagi yang dapat menjelaskan semua ini selain aku yang masuk ke dalam novelku.
Tubuhku yang menyusut menjadi anak belasan tahun sepertinya dikarenakan novel itu adalah novel ku 5 tahun lalu, ini artinya umurku 17 tahun. Dan orang yang mirip dengan ciri-ciri pemeran utama dalam novelku yang aku jumpai di taman kerajaan, dan penduduk yang memakai kebaya dan celana cawat. Sudah cukup menjelaskan itu semua.
"Jika ini novel...kenapa aku gak jadi pemeran utama wanita saja? Kenapa masih tetap diriku? Dan bagaimana aku bisa keluar dari sini?!!!" Teriakku lalu berdiri dan melihat ke sekeliling.
Kurasakan gelombang suara dari perutku, menandakan kalau para cacing telah kelaparan. Aku pun berjalan menyusuri jalan setapak sembari mencari buah-buahan di pepohonan, namun sepanjang jalan tidak ada satupun buah yang terdapat di pohon.
"Apa aku harus beli makanan dengan tenaga?" Gumamku bertanya saat tiba di desa. "Tidak ada pilihan lain, mari lakukan." Ucapku dengan penuh semangat lalu berjalan menuju warung makan.
Ku tawari tenagaku pada mereka tapi tak satupun dari mereka yang menerima tenagaku. Entah karena pakaianku yang membuat mereka ragu atau ada alasan lain, yang pasti aku sudah terlalu lelah sehingga mulai merasakan sakit di kelapaku.
Saat melanjutkan jalan mencari warung lain, terdengar suara teriakan dari belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang wanita tua yang terjatuh di tanah.
"Tolong, jangan!!!" Teriak wanita tua itu.
Secara reflek aku berlari ke arahnya dan membantunya berdiri. "Hei!!! Apa yang kalian lakukan?!!!" Tanyaku dengan nada tinggi berusaha menutupi ketakutanku.
Para ksatria itu berjalan ke hadapanku sambil tertawa cekikikan. "Hei, nona kecil. Kenapa anda marah? Kami hanya memberinya sedikit pelajaran," ucap salah seorang dari ksatria itu. Mereka kemudian kembali menghancurkan barang-barang di warung itu.
"Tuan!!!" Kutarik tangan salah seorang pemuda itu kemudian mendorongnya. "Anda tak bisa seenaknya saja!" Pekikku. Kulihat wajah mereka yang tampak kesal, mereka mengarahkan tombaknya ke depanku dan mengancam.
Aku menghela nafas kemudian melirik ke sekitar. "Ada apa, nona kecil? Bukankah wajar jika kami minta makanan gratis? Kami melindungi mereka semua dan berkorban nyawa," kata salah seorang ksatria yang mengarahkan tombaknya ke depan wajahku.
"Anda mungkin melindungi para sudra (rakyat jelata) dan para walyan (pedagang) tapi bukankah dengan ini anda juga seperti penjahat?" Tanyaku mencoba untuk tetap bertahan walau kaki ku telah gemetaran. Pemuda itu maju lebih dekat ke hadapanku lalu melirik ke orang-orang yang mulai menatap sinis mereka, ia kemudian mundur.
"Saya tak tahu siapa anda, tapi sepertinya...anda bukan berasal dari sini," katanya lalu pergi bersama yang lainnya. Perkataannya itu seolah ingin membuat orang-orang mencurigai ku dan melupakan yang mereka perbuat.
Aku melirik wanita tua yang berdiri di sana sambil memegangi pinggangnya. "Anda tidak apa-apa?" Tanyaku padanya sambil menopang tubuhnya menuju bangku kayu di dekatnya.
"Tidak apa-apa, nak." Ucapnya kemudian memegangi kepalanya. "Duh, Gusti. Bagaimana bisa saya memperbaiki semuanya…" keluhnya bergumam.
Aku yang masih berdiri di depannya berinisiatif untuk membantunya membereskan warung itu, wanita itu memegang tangan ku dan mengusapnya. "Terimakasih, nak. Maaf jika tadi saya tidak menolak anda," ucapnya pelan.
"Tidak perlu minta maaf, mbak. Saya paham kok," kataku.
Kami mulai membereskan warung itu dan membuang beberapa perabotan dan meja yang telah hancur. Telah beberapa menit berlalu, akhirnya kami selesai membereskan semuanya.
Aku duduk di atas bangku dengan wajah lesu sambil menahan lapar, walau tadi sudah makan gorengan tapi tetap saja cacing di perutku masih murka.
"Terimakasih banyak ya, nak. Nih mbak buatkan nasi uduk untukmu," kata wanita tua itu sambil meletakkan piring dan gelas di depanku. "Makanlah," sambungnya dengan suara yang lembut.
Kutatap sepiring nasi uduk itu dengan tatapan berbinar-binar, ku ucapkan terima kasih lalu melahap sepiring nasi uduk itu.
Wanita itu menatapku dengan sorot mata yang lembut, "nak, kamu sepertinya tidak berasal dari sini. Busanamu juga terlihat aneh," perkataannya membuat mataku terbelalak.
"Aaahhhh...iya, mbak. Saya bukan berasal dari sini, saya dari daerah lain," jawabku pelan. "Eeemmm...apa saya bisa bekerja disini, mbak? Anda bisa bayar saya dengan makanan saja," pintaku yang menatapnya dengan penuh harap.
Ia mengangguk kemudian mengelus rambut ku, kutatap wanita itu yang sangat ramah dengan mata berbinar. "Tentu saja, nak," ucapnya.
Aku tersenyum lebar, kurasa ini pertama kalinya rambutku dielus. Pipiku mulai merona akibat sensasi sentuhannya yang sangat lembut, mungkin begini perasaan seorang anak yang dielus kepalanya.
"Terimakasih, mbak. Saya akan ke sini pagi-pagi sekali," ujarku dengan penuh semangat. Ia tersenyum lembut lalu mengambil piringku dan membawanya ke dapur.
Dia kemudian kembali dengan bungkusan daun pisang di tangannya yang kemudian ia masukkan ke dalam kain batik yang dibentuk seperti tas. "Ini, nak. Untukmu. Saya sudah membungkus kan wajik dan lalapan sebagai rasa terima kasih saya," ucapnya dengan lembut. "Nama saya mbak sengi. Ngomong-ngomong, nak. Siapa namamu?" Tanyanya.
Aku menerima tas kain itu lalu menggantungkannya di pundakku. "Terimakasih, mbak." Ucapku. "Chahna Dhipa, mbak." jawabku kemudian pamit.
Ku langkahkan kakiku sambil menatap tas kain itu, perasaan haru mulai timbul di hatiku saat ku melangkah menuju danau.
Chahna tertidur di bawah pohon besar yang tidak jauh dari danau tempat dia tiba. Saat matahari mulai menyinari seluruh hutan, gadis itu terbangun saat sinar mentari mulai menyilaukan matanya.
Perlahan-lahan ia membuka mata biru kristalnya dan meregangkan tubuhnya. "Selamat pagiii...Chahna," ucapnya sebagai semangat untuk dirinya. Ketika hendak bangkit, sebuah suara geraman terdengar dari belakangnya. Ia menoleh sedikit dan melihat seekor harimau yang tengah berjalan menuju danau.
"Ha-harimau..." Perlahan kaki gadis itu melangkah ke balik pohon, ia menahan perasaannya yang mulai tak terkendali serta tangan yang gemetar.
Karena takut, gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat itu sambil sesekali menoleh kebelakang. Untungnya harimau itu tidak mengejarnya.
"Untunglah..." Ucapnya dengan nafas terengah-engah. Ia kemudian berjalan menuju warung tempat ia akan bekerja, saat berjalan ia perhatikan dari kejauhan mbak Sengi yang hendak masuk.
"Mbak!" Teriak Chahna lalu berlari ke arah perempuan itu.
Perempuan itu menoleh kebelakang dengan mata yang terbelalak, "eh? Chahna? Untung saya tiba lebih dulu...kalau tidak, anda pasti menunggu saya disini," ujarnya bercanda.
Mbak Sengi memperhatikan pakaian Chahna yang tampak kotor serta rambutnya yang kusut seolah belum disisir. "Kenapa busanamu kotor sekali?...seperti baru bangun dari hutan," tanyanya sedikit bergurau.
"Hehehe...memang dari hutan, mbak," ucap Chahna cengengesan.
Perempuan itu terkejut kemudian memegang erat kedua lengan bagian atas gadis itu. "Sungguh? Dari hutan? Kamu tidur disana?" Tanya mbak Sengi dengan raut wajah yang panik.
Gadis itu mengangguk dan menatap heran wanita paruh baya di depannya yang menatapnya seolah-olah bocah yang baru mencuri mainan.
Tiba-tiba saja mbak Sengi menarik tangan Chahna dan membawanya mengikutinya, gadis itu terdiam sambil terus mengikuti wanita itu dengan pasrah.
Langkahnya akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kayu kecil yang terletak lumayan jauh dari warung makan, "kenapa tidak bilang kalau kamu belum dapat tempat tinggal?" Tanya wanita itu sambil membuka pintu kayu dan mempersilahkan Chahna masuk.
"Saya...tidak enak mbak. Anda sudah mengizinkan saya bekerja di warung anda, saya tak enak jika bilang tentang itu juga," jawab Chahna pelan.
"Tidak masalah, nak. Lagipula anda sudah membantu saya kemarin. Dan anda juga bisa bantu saya di sini," ucapnya bercanda. Wanita itu masuk ke sebuah ruangan, lalu keluar dengan kain dan selendang di tangannya. "Ini busana bisa kamu kenakan, selagi busanamu itu dicuci," katanya sambil memberikan kain itu pada Chahna.
Gadis itu memperhatikan kain yang ada ditangannya kemudian kembali melihat ke mbak Sengi dengan tatapan tidak enak, "anu mbak...saya...tak terbiasa pakai busana begini. Apa mbak ada kain yang tidak terpakai?" Tanya Chahna dengan suara pelan dan bergetar.
"Ada, nak. Sebentar ya," katanya lalu kembali masuk keruangan itu dan keluar dengan kain berwarna hitam bercorak bunga bunga Kamboja yang sepanjang sekitaran setengah meter. "Ini, nak," ia memberikan kain itu pada Chahna.
"Terimakasih, mbak," ucap gadis itu sambil tersenyum lebar. Ia kemudian pergi ke kamar mandi di belakang rumah mbak Sengi yang tertutup. "Syukurlah...dapat tempat tinggal yang punya kamar mandi tertutup. Kukira nanti aku harus bab di semak-semak," syukur gadis itu dengan wajah yang sedikit sedih.
Setelah selesai mandi dan beberes, ia pun keluar dengan busana yang merupakan kain yang dililitkan di tubuhnya dan selendang yang diikat di pinggang. Karena tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu, ia menyulap kain yang ia minta pada mbak Sengi menjadi jubah tanpa lengan untuk menutupi pundaknya.
Mbak Sengi yang berdiri di ruang tamu memperhatikan gadis itu yang tampak sangat cantik dan menawan, ia melangkah menuju Chahna dan memegang wajah gadis itu. "Gusti...koe ayu tenan..." Pujinya dengan bahasa Jawa nya.
Wanita itu menyanggul rambut Chahna yang panjang sehingga terlihat lebih cantik. "Nah...sekarang sudah lebih cantik. Ayo pergi sekarang." Seru mbak Sengi sambil mengangkat cething (tempat nasi jaman dulu). "Chahna, tolong bawa tampah itu. Jangan menjatuhkan bahan-bahannya ya," ucapnya lembut lalu berjalan diikuti dengan Chahna yang membawa tampah berisi rempah-rempah dan daun pisang itu dengan hati-hati.
Setibanya di warung, mereka mulai bersiap-siap untuk menjamu pelanggan dengan makanan lezat. Satu-persatu orang mulai datang dimulai dari para walyan yang beristirahat sejenak sebelum berjualan serta orang-orang yang membutuhkan nutrisi sebelum bekerja.
Hari sudah mulai siang, ketika Chahna sedang membereskan meja dan mengangkat dulang yang telah kosong, mendadak beberapa pemuda dengan bilah ditangannya datang dan mengobrak-abrik isi warung.
Chahna dan mbak Sengi melihat ke arah para pemuda itu, "hei...apa yang kalian lakukan?" Tanya mbak Sengi saat melihat pelanggannya yang tengah makan terganggu.
"Wanita tua, berikan seluruh emasmu." Kata salah seorang pemuda.
Chahna menatap tajam pemuda itu lalu dengan berani menghadapinya. "Untuk apa? Anda mau merampok?" Tanya Chahna sehingga membuat mereka kesal.
"Hei, nona. Jangan ikut campur," ujarnya pelan dengan nada mengancam.
Gadis itu hanya diam sambil terus menatap mata pemuda itu dengan tajam "kalau saya tidak mau?!!!"pekiknya kesal. Pemuda itu menatap wajah Chahna yang cantik, ia kemudian mengelus rambut gadis kecil itu. Karena kesal rambutnya disentuh oleh pemuda itu, gadis itu mendorong kuat lelaki itu hingga hampir terjatuh. "Pergi kalian dari sini!!!" Bentaknya lagi.
"Aku kehilangan kesabaranku," geram pemuda itu kemudian mengayunkan bilahnya ke arah Chahna.
Gadis itu menghindar, tiba-tiba saja ia terjatuh akibat tersandung oleh kakinya sendiri. "Tamat riwayatmu," saat bilah itu hampir mengenai Chahna, tiba-tiba saja bilah itu terpental jauh.
Gadis itu mendongakkan kepalanya dan melihat sesosok pria berbadan kekar dengan berambut cokelat panjang seleher berdiri di hadapannya. "Neng tidak apa-apa?" Tanya pemuda itu sambil membantu Chahna berdiri. Gadis itu meraih tangan pemuda itu, ia perhatikan mata coklat terangnya serta rambutnya yang di ikat dengan kain (totopong).
"Pergi kalian dari sini!!!" Gertak pemuda itu.
Seluruh perampok itu terbahak-bahak mendengar pemuda itu yang bersikap sok berani. "Hei, anak muda. Menyingkir lah," kata salah seorang dari mereka sambil berjalan mendekati pemuda itu.
Mendadak pemuda itu menarik tangan perampok itu dan memukul kuat bagian perutnya. "Jika kubilang pergi...maka pergi." Ujarnya dengan nada dingin.
"Dasar bocah kurang ajar! Serang dia!" Para perampok itu mulai mengepung pemuda itu.
Perampok yang berjumlah 5 orang itu mulai menyerang pemuda itu secara bersamaan. Perkelahian mulai terjadi di hadapan Chahna dan mbak Sengi, mereka perhatikan lelaki itu dengan sorot mata khawatir.
Namun tak membutuhkan waktu lama seluruh perampok itu babak belur dihajar sang pemuda. "Pergi dari sini!" Pekik pemuda itu sehingga membuat mereka semua lari.
"Bima..." Mbak Sengi berjalan mendekati pemuda itu kemudian memeluknya. "Syukurlah kamu ada disini, nak," ucapnya lagi.
"Hah? Bima?" Batin Chahna kebingungan. Ia melihat pemuda yang bernama Bima itu. Paras rupawan layaknya seorang protagonis yang berperan menjadi rakyat jelata serta keahlian beladiri yang melebihi perkiraan. Ternyata ia adalah Bima yang didalam novel Chahna merupakan orang yang dijadikan kambing hitam oleh protagonis wanita.
"Iya, ibuk. Lebih baik kita bereskan ini," ucap pemuda itu sambil melepas pelukan ibunya dengan lembut. Ia kemudian berjalan ke dekat Chahna yang tengah melamun, memikirkan alur ceritanya.
"Permisi, neng," ucapnya membuyarkan lamunan gadis itu. "Lebih baik...neng pulang. Karena warung sedikit berantakan. Maaf atas ketidaknyamanan nya, kami akan mengganti rugi," sambung pemuda itu dengan tangan yang disatukan dan badan yang sedikit membungkuk.
"Aahhh...Bima, ini Chahna. Dia mulai hari ini tinggal dengan kita," kata mbak Sengi menengahi.
"Apa?"
"Ibu ingin membalas jasanya karena telah menolong ibu kemarin," ucap wanita itu sambil menatap putranya.
Pemuda itu mengangguk pelan lalu kembali menatap Chahna. "Kalau begitu...maaf ya neng. Saya kira neng kesini untuk beli makanan, juga terima kasih karena telah menolong ibu saya," ucapnya lembut.
"Iya. Salam kenal, Chahna Dhipa," kata gadis itu sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
"Salam kenal, neng Chahna. Saya Bima Gasendra, panggil saja kang Bima," katanya lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
perhatian!
Novel ini memakai budaya budaya di Indonesia, secara bercampuran. Jadi tidak mesti dia memakai bahasa Jawa tapi dia juga memakai adat Jawa. Karena novel ini berkisah tentang kerajaan sihir Insantaraina yang bertema Nusantara.
Sekian penjelasan dari saya, terimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!