...Halo Semua👋 Terimakasih banyak untuk kalian yang sudah menyempatkan diri membaca cerita karangan Mimin 🙏...
...Sebenarnya ini adalah karya pertama Mimin yang baru saja di update... 🥰...
...Jika kalian suka, harap like, vote, & komen sebanyak-banyaknya!! Biar Mimin tambah semangat dalam update... 💪🤗...
...Oh ya, jangan lupa follow Mimin yaa...😁...
...Beri respon yang positif...⭐ 🥰...
...Jika ada kekurangan atau kesalahan kata dalam penuturan kalimat, harap beri saran di komen yaa!!!...
...Karna setiap komentar dari pembaca sangatlah penting untuk menumbuhkan rasa semangat Mimin untuk merevisi cerita menjadi lebih baik dan nyaman bagi para pembaca... 🙏😊...
...Terimakasih banyak.......
...Selamat membaca... 🥰...
...----------------------------------------------------...
...Pada tahun 2014....
...Pagi hari yang cerah di kota dengan jalan yang di penuhi keramaian para pengendara dan para pejalan kaki. Di sebuah rumah yang tepatnya di pinggir jalan....
Cerita di awali dengan seorang gadis bernama Gia yang sedang tertidur pulas di kamarnya sambil mengenakan masker wajah dan dua potong timun di kelopak matanya.
Drriririringggg. (suara telepon berbunyi).
"Ckktt, siapa lagi sih? Ganggu banget!" Gumam Gia sembari mendengus kesal.
Ia langsung meraba-raba meja di sampingnya, berusaha mencari ponselnya dengan posisi tubuh yang masih terlentang tanpa menggerakkan wajah sedikitpun.
"Halo... Ini siapa?" Tanya Gia yang masih tetap berbaring.
^^^"Gia ini aku."^^^
Mendengar suaranya. Ia mengenali suara laki-laki yang meneleponnya yaitu kekasihnya bernama Ben.
Gia langsung beranjak dari kasurnya dan melepas dua potong timun di matanya.
"Ben. Kamu telpon aku?" Celetuk Gia kegirangan.
^^^"Iya."^^^
Gia langsung menganga tak percaya lalu ia menepuk-nepuk kedua pipinya memastikan ini mimpi atau tidak? Karna selama ini kekasihnya sudah tiga bulan tak mengabarinya.
"Sayang. Kamu kemana saja sih? Kok kamu baru telpon aku. Kamu tau gak? Aku tuh kangen banget sama kamu!" Ucap Gia dengan manja.
^^^"Aku pengen ketemu sama kamu sekarang! Ada sesuatu yang pengen aku omongin sama kamu."^^^
"Ketemu? Segitu kangennya kamu sama aku sampai ngajak ketemu. Kira-kira kapan kita ketemu? Dimana?" Tanya Gia penasaran sembari menggigit kuku jarinya.
^^^"Sekarang di cafe xxx! Tempat waktu pas kita jadian dulu. Temui aku di sana jam 9 tepat. Oke? Kamu harus sudah ada di sana."^^^
"Baik siap pak bos! Jam 9 aku bakal sudah ada di sana! Mungkin sebelum jam 9 aku bakal sudah datang." Ucap Gia menjanjikan. Ben langsung menutup teleponnya.
Gia langsung bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan wajahnya. Kemudian ia memilih pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Ia memilih memakai dress berwarna merah muda.
Setelah itu ia merias wajahnya.
Pertama yang Gia lakukan adalah memberi lipstik pada bibirnya.
"Waduh lipstik Gue sudah habis! Gue harus pakai apa ya?"
Kemudian Gia melihat spidol berwarna merah lalu memakaikannya di bibirnya dengan spidol.
"Bagus! Gak ada lipstik pakai spidol saja gapapa. Sama-sama merah. Dulu juga waktu pas zaman gak punya lipstik pakai spidol."
kemudian ia bergaya di depan cermin. Lalu ia memperhatikan wajahnya.
"Muka Gue kok kusam ya? Bedak? Gue lupa gak pakai bedak! Harusnya pakai bedak dulu baru pakai lipstik! Haduh bodohnya Gue!" Gia langsung menepuk kepalanya.
Kemudian ia mencari bedak, namun ia kehabisan bedak. Ide konyol Gia mulai muncul. Ia langsung pergi ke dapur dan meraup sejumput tepung lalu membalurkannya pada wajahnya.
"Pakai tepung saja! Dulu waktu gak ada bedak pakai tepung. Memakai bedak gak harus melihat cermin. Gue sudah cantik walaupun gak lihat cermin." Gumam Gia sambil membalur beberapa jumput tepung ke wajahnya.
Setelah bersiap-siap. Gia langsung turun ke bawah.
Di bawah, ibunya Gia sedang bersiap-siap untuk pergi keluar sembari menenteng tasnya.
"Gia sayang. Kamu mau kemana pakai baju sebagus itu?" Tanya sang ibu.
"Gia mau ketemu Ben mah." Jawab Gia sembari berbalik menatap ke arah ibunya. Tiba-tiba...
"**AAAKKKHHHH." Teriak ibunya. Gia pun ikut berteriak.
"Kenapa mah?"
"Kamu ini kok mukanya jelek gitu kayak hantu!" Celetuk sang ibu ketakutan sambil menutupi wajahnya.
"Jelek gimana mah? Orang cantik begini dibilang kayak hantu!"
"Kalau gak percaya, kamu lihat saja sendiri di cermin!"
Gia langsung melihat ke arah cermin besar yang berada di sudut rumah. Setelah memandangi dirinya di cermin, Gia langsung berteriak histeris sama seperti ibunya tadi.
Kemudian ibunya membawa Gia ke kamarnya lalu merias putrinya dengan rapih.
"Kamu ini kalau dandan yang benar! Kamu ini sudah besar bukan anak kecil lagi. Kamu ini dandan pakai apa sih? sampai mukanya kayak hantu gitu." Tanya ibunya sambil membersihkan wajah Gia menggunakan tisu dan Micellar water.
"Bedak sama Lipstik Gia sudah habis mah. Jadi Gia terpaksa deh pakai tepung sama pakai spidol." Jawab Gia sembari menyunggingkan bibir.
"Masa pakai spidol sama tepung? Konyol banget sih kamu! Jangan biasakan kelakuan kamu yang dulu sama yang sekarang! Kenapa kamu gak beli saja kemarin? kalau lipstik dan bedak kamu sudah habis. Kita ini sudah kaya! Bukan miskin lagi! Jangan kelihatan bodoh di hadapan orang lain! Harus jaga image." Tegas ibunya.
"Gia lupa mah! Tadinya Gia gak akan kemana-mana. Tapi, tadi Ben telepon Gia. Dia pengen ketemu sama Gia."
"Ben? Bukannya sudah lama ya dia gak ngabarin kamu? Kok sekarang tumben dia telepon kamu dan ngajak kamu ketemu?" Tanya ibunya penasaran.
"Gia gak tau mah!" Jawab Gia bingung.
"Pokoknya nanti kalau sudah ketemu Ben. Jaga sikap kamu! Jangan malu-maluin!"
Gia menghela nafas panjang.
"Iya mah."
"Kalau begitu sekarang pakai lipstik sama bedak mama dulu. Besok kamu harus beli! Kalau ketemu Ben itu kamu harus cantik! Jangan kayak tadi nyeremin kayak hantu. Mamah juga takut lihat muka kamu tadi. Apalagi Ben, bisa-bisa dia kabur!" Ejek ibunya sambil merias wajah putrinya yang terbilang masih polos.
"Mah. Kok Gia merasa muka Gia menor ya! Muka Gia jadi kayak tante-tante!" Ucap Gia setelah memperhatikan wajahnya yang sudah di dandani ibunya.
"Oh jadi kamu lebih suka dandanan kamu yang kayak hantu tadi? Dari pada yang ini." Ibunya mulai emosi.
"Ah enggak mah!" Ucap Gia sambil cengengesan.
"Tante-tante dari mana? Nih mama kasih tau ya. Semakin banyak wanita berdandan, semakin kelihatan aura kecantikannya!" Ujar ibunya sembari membereskan peralatan makeup.
"Oh gitu ya mah?"
"Iya. Makanya kamu harus nurut sama mama! Dan harus banyak berdandan."
"Oke mah, kalau gitu... Mulai sekarang, Gia bakal banyak berdandan biar Ben makin naksir sama Gia."
"Iya dong, harus!" Seru ibunya. Kemudian ibunya menyuruh Gia untuk mengganti bajunya dengan mini dress.
Setelah selesai ganti baju dengan dress pilihan ibunya.
"Sudah selesai! Sekarang kamu sudah bisa pergi. Tuh kan lihat! Muka kamu sekarang sudah cantik kayak mama." Lanjut sang ibu memuji.
"Beneran mah?" Tanya Gia sambil tersenyum kegirangan.
"Iya, Ben pasti bangga punya pacar secantik kamu." Ucapan sang ibu membuat Gia semakin tambah semangat untuk bertemu Ben.
"Kalau begitu Gia pergi dulu ya mah. Ben sudah nunggu." Pamit Gia.
"Iya hati-hati ya!" Ucap sang ibu.
"Tapi mah, Gia boleh gak perginya naik mobil sama supir?" Pinta Gia.
"Apa? Kenapa harus bawa-bawa supir segala sih?"
"Ya sudah kalau mama gak izinin gapapa. Tapi boleh gak Gia pinjam mobilnya sebentar saja? Gia mau coba menyetir sendiri." Pinta Gia dengan mata berbinar-binar.
"Gak boleh!" Tolak ibunya dengan sorot matanya yang tajam.
"Kenapa mah??" Tanya Gia kesal.
"Itu mobil mau mama pakai buat ketemu teman-teman mama di mall. Kamu naik taksi saja!"
"Loh kok pakai mobil? Mama saja yang naik taksi! Jangan naik mobil! Itu mobil mau Gia pakai dulu!" Gerutu Gia.
Ibu dan anakpun mulai berdebat tak mau kalah.
"Pokoknya gak boleh! Masa mama naik taksi. Entar apa kata teman-teman mama nanti? Kalau mereka lihat mama naik taksi? Nanti bisa-bisa image mama sebagai orang kaya gak akan kelihatan!"
"Ih mama ini, banyak gaya banget sih!" Cibir Gia.
"Ya iyalah harus! Hidup itu harus banyak gaya agar orang-orang di sekitar menghargai kita dan gak merendahkan kita!" Ujar sang ibu.
"Mama juga mau belanja banyak hari ini. Kalau mama gak bawa mobil, entar belanjaan mama mau di taruh di mana?" Lanjutnya.
"Ya sudah kalau begitu, Gia mau pergi naik taksi saja." Gia pun mengalah.
Gia langsung pergi setelah diberi ongkos ibunya untuk naik taksi.
*****
Dalam perjalanan, sialnya Gia terjebak macet.
"Duh pak. Bisa cepetan gak pak? Sat set sat set gitu! Pacar saya sudah nunggu nih!" Desak Gia.
"Sabar neng! Gak lihat tuh? Di depan lagi macet." Ucap pak supir penuh kesabaran.
"Duh. Gak bisa selap-selip gitu pak? Susah banget sih kalau pakai mobil banyak diamnya. Harusnya bapak pakai motor jangan pakai mobil biar bisa selap-selip gak kena macet!" Sewot Gia menyalahkan.
"Loh! kok Eneng jadi menyalahkan saya? Ini kan sudah profesi saya sebagai supir taksi! Ya salah Eneng sendiri kenapa gak naik ojek saja? Malah pilih naik taksi? Padahal ojek tadi banyak." Ucap pak supir berdenyit heran.
"Kalau saya naik ojek, bisa-bisa image saya sebagai anak orang kaya gak akan kelihatan pak!" Tegas Gia dengan nada tinggi.
"Nah tuh kan! Salah Eneng sendiri! Eneng gengsinya terlalu tinggi sih. Makanya jangan menyalahkan saya itu kan sudah keinginan Eneng sendiri maunya naik taksi! Ya emang sudah resikonya kalau naik taksi ke jebak macet kayak gini. Ya mau bagaimana lagi?"
"Bapak ini cerewet banget sih! Baru kali ini saya dapat supir secerewet bapak!" Ketus Gia dengan nada kesal.
"Saya juga, baru kali ini saya dapat penumpang senyebelin Eneng!" Ucap pak Supir tak mau kalah.
"Sudah ah! Saya turun di sini saja. Saya males dengar ocehan bapak!" Ketus Gia dengan penuh kekesalan lalu keluar dari mobil.
"Eh, neng bayar dulu!" Panggil pak supir. Gia berjalan cepat pura-pura tak mendengar panggilannya.
Kemudian ia menyebrang. Baru beberapa detik kemudian, jalan kembali tak macet lagi. Kendaraan mulai kembali berjalan dengan normal.
"Lohh! Kok gak macet lagi?"
Gia langsung melambaikan tangannya mencoba memberhentikan taksi, namun beberapa taksi tak ada yang mau berhenti, karna Gia berada di arus jalan yang salah.
"Duh sialan! Giliran jalan kaki. Jalan gak macet lagi. Apa jalan di sini senang ya lihat Gue jalan kaki!" Gia emosi lalu berteriak.
"AAAKKKHHH."
******
Pukul 9 pagi.
Setelah sampai di cafe.
Gia menunggu Ben yang belum kunjung datang sambil senyum-senyum sendiri.
"Ben di mana ya? Katanya jam 9 harus sudah ada di sini. Tapi ini sudah jam 9, kok Ben belum datang juga ya? Apa dia ke jebak macet?" Pikir Gia.
"Permisi mba?" Panggil Gia pada seorang pelayan.
Pelayan itu langsung menghampirinya sambil membawa buku dan pulpen untuk menuliskan pesanan.
"Mba, saya mau pesan makanan yang paling enak di cafe ini." Lanjut Gia memesan.
"Makanan apa ya mba? Soalnya makanan di sini enak-enak semua." Tanya pelayan sambil memuji makanan di cafe ini.
"Ah, maksud saya. Saya pesan 2 porsi makanan yang paling enak banget dan yang paling mahal di sini. Yang paling enak banget pokoknya! Gak peduli berapa harganya, saya ini anak orang kaya mampu bayar! Yang penting makanannya enak!" Ucap Gia membuat pelayan sedikit kebingungan.
"Baik mba, makan di sini apa di bungkus?"
"Makan di sini saja!"
"Baik mba." Saat pelayan akan pergi Gia memanggilnya lagi.
"Mba sama minumannya ya! Apple juice dan orange juice." Pinta Gia.
"Baik mba." Ucap pelayan sembari menuliskan pesanan lalu saat akan beranjak pergi, Gia lagi-lagi memanggilnya.
"Mba tunggu! Tolong pastikan buahnya import ya mba! Higienis dan steril!" Pinta Gia banyak menawar. Pelayan langsung menghela nafas dan mengangguk pelan.
"Baik mba, ada lagi?" Tanya pelayan itu dengan posisinya yang masih penuh kesabaran menghadapi pelanggan yang menjengkelkan yang terus saja memanggilnya tiap kali beranjak pergi.
"Gak ada mba!" Jawab Gia. Pelayan langsung pergi menyiapkan pesanan.
Gia langsung pungak-pinguk, lalu ia kembali senyum-senyum sendiri seperti orang aneh sembari terus menghubungi Ben. Namun Ben belum meresponnya sama sekali.
"Kok Ben gak angkat telepon Gue sih? Padahal dia lagi aktif. Apa jangan-jangan? Ben mau kasih Gue kejutan? Apa jangan-jangan dia mau melamar Gue?"
Gia mulai berkhayal dan membayangkan Ben sudah datang menghampirinya sambil membawa buket bunga lalu berjalan ke arahnya dan berlutut di hadapannya.
"Gia! I Love You."
Gia pun langsung memperlihatkan senyumannya yang merekah sambil menerima tangan Ben lalu mereka saling tersenyum. Gia berkata...
"I love you too. Ben."
Sontak! Tiba-tiba Gia tersadar dari khayalannya saat seorang pelayan pria berhasil menyadarkannya dari khayalannya dengan terus memanggil-manggilnya.
"Mbaa!! Lepasin tangan saya mba! Saya bukan Ben. Saya Sutisno!"
Gia kaget dan langsung melepas tangannya.
"Kamu? Kurang ajar! Beraninya kamu pegang-pegang tangan saya hah!" Bentak Gia.
"Kan mba sendiri yang pegang-pegang tangan saya duluan! Pas saya lagi menghantarkan makanan ke meja mba." Ucap pelayan pria itu membela diri sembari berdenyit heran, kemudian pergi.
"Dasar pelayan gak sopan! Kalau cafe ini punya Gue, sudah Gue pecat dia!" Gumam Gia sembari mendengus kesal dan mengelap-elap tangannya dengan tisu basah lalu mengibaskan rambutnya.
1 jam berlalu.
Ben belum kunjung datang. Gia terus menunggunya sambil menatap makanan di meja yang ia pesan sudah dingin.
"Hmm.. Kok Ben lama banget ya? Makanan sudah dingin lagi." Gumam Gia sedih sambil terus menghubungi Ben dan terus mengirimkannya pesan. Namun, Ben tak kunjung meresponnya meskipun WhatsApp nya sedang aktif.
"Lapar! Dari pagi belum makan!" Gumam Gia lagi sambil memegangi perutnya yang mulai keroncongan.
Kemudian Gia memutuskan untuk makan duluan, ia bingung harus memilih makanan yang mana? Karna makanan yang datang berbeda. Kemudian Gia mengambil sepiring yang berupa steak dan salad. Ia langsung memakannya dengan lahap. Saat asik makan, Gia melirik makanan satunya lagi yang tadinya untuk Ben yang berupa Daging dengan toping keju, kentang, dan parsey. Gia langsung mencomotnya sedikit.
"Mmm... Enak..." Gumam Gia sambil makan dan terus mencomot makanan yang tadinya untuk Ben hingga menyisakan setengahnya.
Pukul 1 siang.
Makanan yang Gia pesan sudah habis tinggal menyisakan setengah makanan untuk Ben.
Ben masih belum kunjung datang. Gia sangat bosan menunggunya terus, hingga tanpa sadar ia pun tertidur lelap.
Setengah jam kemudian.
Akhirnya Ben datang.
Ia melihat Gia yang tertidur pulas dan banyak orang di cafe yang memperhatikannya yang tertidur sambil mangap dan mengeluarkan banyak air liur, hingga tak sedikitnya orang di sana yang melihatnya menertawakannya. Ben merasa malu melihat Gia yang tertidur seperti itu, kemudian Ben menghampirinya dan membangunkannya.
"Gia! Giaa! Giaaaa."
"Giaa banguunn."
Perlahan-lahan Gia mulai membuka matanya dan bangun sembari mengelap air liurnya yang keluar, setelah itu ia melihat Ben yang sudah ada tepat di depan mata.
"Beennn." Seru Gia senang.
Gia langsung berdiri dan akan memeluknya.
Saat akan memeluk, Ben mencegahnya. Gia langsung kaget tapi ia tak pikir panjang.
"Kamu kok lama banget? Aku sudah nunggu kamu lama dari jam 9. Aku pikir aku yang telat, ternyata kamu yang paling telat." Ucap Gia sambil tetap tersenyum merekah.
"Aku..."
Belum selesai Ben bicara. Gia sudah menaruh telunjuknya di bibirnya.
"Sutttt! Sudah jangan bicara! Aku tau kamu mau bilang apa? Pasti kamu mau minta maaf kan? Karna sudah datang terlambat. Iya kan?"
Ben hanya terdiam kaku sembari menatap Gia.
"Sudah, jangan minta maaf! Aku sudah maafkan kamu kok. Sesama pasangan kan harus saling memaafkan." Tutur Gia. Ben terus terdiam.
"Kalau begitu, ayo duduk! Aku sudah pesankan makanan buat kamu." Sambung Gia.
"Enggak! Aku di sini cuman sebentar kok gak akan lama." Ucap Ben.
Gia langsung bingung dengan ucapan Ben sekaligus terkejut melihat tangan Ben yang tak membawa bunga atau apapun, tak sesuai harapan Gia.
"Gia! Ada sesuatu yang mau aku bicarakan sama kamu. Ini penting!" Ucap lagi Ben.
"Ini sesuatu yang sangat penting dari kenyataan yang belum pernah kamu tau." Ben memperlambat ucapannya hingga Gia di buat penasaran.
"Tapi aku gak yakin kamu siap menerima ini atau enggak?" Sambungnya sambil menunduk malu.
"Kalau ada yang mau kamu bicarakan. Bicarakan saja!" Ucap Gia yang masih menahan senyumannya.
"Gia. Aku ingin kita putus!" Ucap Ben dengan lantang.
Jleebbbb.
...----------------...
...Bersambung....
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
Gia langsung terkejut dengan pernyataan Ben yang memintanya putus. Senyuman yang sejak pagi terukir kini mulai berkerut.
"Putus? Tapi kenapa?"
"Sebenarnya selama ini... Aku gak cinta sama kamu!"
Gia tak percaya dengan perkataannya, kemudian ia mulai menertawakannya.
“Ckk.”
“Hahaha...”
"Kamu ini bisa saja bercandanya. Selama 3 bulan loh kamu gak ada kabar ke aku. Aku nunggu kamu lama banget, tapi sekarang kamu malah ajak aku ketemu cuman buat bercanda doang? Hahahaha!!" Gia terus tertawa meledek.
“Haha.. lucu banget! Tapi sebenarnya itu gak lucu. Lelucon kamu itu garing malah bikin orang sedih bukan ketawa.” Ucapnya lagi sembari menyeka air matanya yang sedikit keluar akibat tertawa.
“Enggak Gia, aku gak bercanda! Aku serius!”
Gia yang tadinya tertawa seketika langsung berhenti mendengar pernyataan dari Ben.
“Aku serius Gia! Aku gak cinta sama kamu! Dari awal jadian sampai sekarang. Aku gak ada perasaan sama kamu! Aku ingin kita putus!” Tegas Ben.
Perlahan air mata mulai keluar dari pelipis matanya.
“Maafkan aku Gia! Aku merasa bersalah. Selama ini aku cuman manfaatin kamu doang buat jadi teman kesepian aku. Dulu waktu pas aku nerima kamu, karna saat itu aku baru saja putus sama pacarku dan aku sangat kesepian. Jadi aku terpaksa menerima kamu dan pura-pura cinta sama kamu, supaya aku gak kesepian lagi dan bisa bikin mantan aku cemburu lihat kita berdua.” Lanjut Ben sambil tertunduk.
“Tapi ada yang harus kamu tau. Alasan aku gak kasih kabar ke kamu selama 3 bulan, karna sebenarnya mantan aku ngajak aku balikan. Aku senang sekali, akhirnya dari bikin dia cemburu, sekarang dia jadi sadar betapa pentingnya dan berharganya aku dalam hidup dia.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum senang. Gia langsung di buat emosi.
“Waktu itu aku langsung menerima dia dan kita balikan, dalam seminggu kami bertunangan. Itu sebabnya aku gak ngabarin kamu. Karna aku sengaja menyibukkan diri agar aku punya lebih banyak waktu sama dia.” Sambungnya sembari tersenyum menatap ke arah Gia.
Bagai di tusuk ribuan jarum, Gia yang sudah kelewat geram dan emosi, langsung tak segan-segan menampar Ben di hadapan semua orang.
PLAAAKKKK...
Tamparan keras Gia pada Ben langsung menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di cafe.
“Jadi selama ini kamu bohong sama aku? Kamu gak cinta sama aku? Terus selama ini kamu anggap aku apa hah?” Pekik Gia. Ben hanya bisa diam sembari mengusap pipinya yang memerah akibat di tampar.
“Jadi kamu cuman manfaatin aku kan supaya kamu bisa balikan lagi sama mantan kamu, gitu?” Ucap Gia lagi dengan nada sedikit pelan sambil menangis tersedu-sedu. Ben hanya bisa menundukkan kepala.
“Gak nyangka! Tadinya aku senang banget, saat kamu meneleponku dan ngajak aku ketemu. Aku ke sini sampai bela-belain gak makan demi bisa secepatnya ketemu sama kamu. Tapi sekarang? Aku pikir kamu ajak aku ketemu, kamu mau bikin kejutan buat aku. Aku pikir kamu mau melamar aku. Ternyata kamu mengajakku ke sini cuman buat kasih kabar buruk. Sia-sia aku menunggu kamu lama selama berjam-jam di sini! Tau begini, lebih baik aku pulang saja.” Lanjutnya dengan emosi yang menggebu-gebu.
“Enggak Gia! Aku tau aku salah. Tapi, aku membawa kabar baik juga buat kamu.” Ucap Ben sembari mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam saku jasnya.
“Ini undangan pernikahanku bersama kekasihku. Sebenarnya pernikahanku 10 bulan lagi. Tapi aku sengaja merancang khusus undangan ini buat kamu, agar kamu jadi orang pertama yang menerima undangan ini.” Ucap Ben tanpa rasa bersalah sambil memberikan undangannya. Gia menerimanya dengan berat hati.
“Aku sangat berterima kasih sama kamu. Berkat kamu, akhirnya aku jadi bisa balikan lagi sama mantan aku yang aku cintai. Aku harap kamu datang ke pernikahanku. Ada banyak sekali teman kuliahku yang akan datang, siapa tau teman kuliahku ada yang berjodoh sama kamu.” Lanjutnya.
“Apa kamu bilang? Kamu pengen aku datang? Enggak! Aku gak akan datang ke pernikahan pembohong keji dan penipu kayak kamu! Kamu itu cowok gak benar! Brengseekkk!!!” Bentak Gia sambil menunjuk-nunjuknya.
“Meskipun kamu mengirimiku undangan hingga berkali-kali, aku gak akan pernah datang ke pernikahan kamu!” Lanjutnya membentak dengan nada yang lebih tinggi.
Lalu ia merobek-robek undangan tersebut dengan tangan dan giginya, lalu melempar potongan-potongan undangan tersebut ke wajah kekasihnya yang kini sudah menjadi mantan.
Tingkah Gia membuat semua orang yang ada di cafe terus memperhatikan mereka berdua.
“Tega ya kamu sama aku! Aku benci sama kamu! Aku jijik sama kamu! Dasar penipu! Kurang ajar! Brengsek!” Lanjutnya sambil memukul-mukul dadanya Ben.
Kemudian ia mengusap air matanya yang dari tadi terus mengalir dari pelipis matanya.
"Aku tau! Aku salah... Maafkan aku!" Ucap Ben sambil memegang pipi Gia dengan cepat Gia langsung menepisnya.
"Aku tau kesalahanku gak bisa kamu maafkan. Meskipun aku sudah minta maaf hingga berulang kali. Tapi aku berdoa semoga kamu segera menemukan jodoh yang terbaik. Jodoh yang bisa mencintai kamu, membahagiakan kamu, dan menerima kamu apa adanya. Gia, kamu ini gadis yang paling baik yang pernah aku kenal. Kamu masih muda, kamu masih SMA, umur kamu masih terbilang masih kecil. Kamu itu ibarat batang pohon yang baru saja tumbuh. Kamu masih punya banyak waktu untuk memilih. Aku harap yang terbaik buat kamu."
Perkataan Ben menjadi yang terakhir yang ia ucapkan pada Gia, lalu ia pergi meninggalkan Gia begitu saja.
Gia hanya bisa menangis tersedu-sedu sembari memandangi kepergian Ben.
Setelah berlama-lama menangis. Gia memutuskan untuk pulang. Tapi, pelayan mencegatnya.
"Mba, jangan pergi! Bayar dulu makanannya!"
Gia langsung melototi pelayan itu hingga membuat pelayan itu gemetar sembari menelan salivanya.
Tapi apalah daya, Gia yang sudah memesan makanan yang tadinya untuk seseorang yang ia cintai, walaupun orang yang ia cintai tak memakannya dan memilih pergi meninggalkannya. Tetap saja ia harus membayarnya.
Setelah membayar, Gia pergi dengan penuh kecewa.
*****
Di Taman.
Gia sedang duduk termenung sendiri di tepi air mancur sambil melamun dan mengingat kejadian saat Ben memutuskannya dan pergi meninggalkannya.
"Dasar laki-laki bodoh! Gatau diri!" Gia emosi sambil menghapus air matanya.
"Tunggu dulu! Kenapa Gue harus menangis ya mikirin cowok kayak gitu? Lagi pula Gue kan bisa memilih lagi cowok yang lain. Cowok di dunia ini kan banyak! Kenapa Gue harus berharap sama dia? Lagian Gue ini kan cantik dan tajir. Akan ada banyak cowok ganteng yang bakal naksir sama Gue!" Gumamnya.
"Gue harus buka lagi dating apps (Aplikasi Kencan). Gue bakal pilih cowok yang paling ganteng dan yang paling kaya yang pantas buat Gue pacari!" Gumamnya lagi sambil membuka ponselnya.
"Oiya! Di sini kan ada WiFi. Kenapa Gue harus nyalain data Gue yaa? Mending pakai WiFi saja biar irit kuota." Gumamnya lagi sembari terkekeh.
Saat sedang asik mencari teman kencan di ponselnya. Tiba-tiba hujan turun. Semua orang berlarian.
"Hujan! Gimana nih?"
Gia langsung lari terbirit-birit menuju halte bus.
Sesampainya di sana.
Ia berteduh sembari ngos-ngosan karna kecapekan habis berlari tadi, ia langsung melihat ponselnya.
"Hp Gue? Yah hp Gue? Hp Gue kehujanan, jadi mati begini! Dasar Hp jelek! Lain kali Gue bakal beli hp yang kedap air! Biar gak mudah rusak." Gia berbicara sendiri sambil menepuk-nepuk ponselnya.
Beberapa menit kemudian...
Hujan semakin deras. Langit semakin gelap padahal ini masih siang. Gia menggigil kedinginan. Sebagian orang yang berteduh bersamanya sudah pulang dengan bus dan supir mereka yang menjemput mereka masing-masing.
Gia terus menggigil kedinginan. Tiba-tiba ada seorang ibu yang merasa iba melihat Gia yang kedinginan.
"Neng, dingin ya? Ini pakai dulu jaket punya ibu." Ucap ibu itu sambil menawarkan jaketnya.
"Tidak usah Bu! Nanti ibu kedinginan."
"Tidak apa-apa! Tidak usah sungkan! Ibu bisa nahan dingin kok gak separah kayak Eneng. Ayo pakailah!" Ucap ibu itu. Gia langsung menerimanya.
"Terima kasih bu."
"Sama-sama."
"Eneng rumahnya di mana?" Lanjut ibu itu bertanya.
"Rumah saya di 'Jln menuju bahagia 28'." Jawab Gia yang masih menggigil.
"Wah berarti gak terlalu jauh ya dari sini?" Tanya ibu itu lagi.
"Bagi saya jauh banget bu. Apalagi jalannya gak ada bus yang jurusan ke situ." Jawab Gia.
"Iya setau ibu, karna jalannya berkelok jadi gak ada bus yang ke sana." Tebak ibu itu. Gia hanya mengangguk sembari terus menggigil.
"Kenapa gak minta saudara atau supir buat jemput Eneng? Kalo ibu lagi nunggu suami ibu jemput."
"Ponsel saya mati bu! saya mau nunggu taksi saja." Jawab Gia sambil memperlihatkan ponselnya yang mati.
"Bakal lama neng kalau nunggu taksi, apalagi di saat hujan begini. Lebih baik Eneng minta di jemput saja sama saudara atau supir." Ujar ibu itu.
"Kalau begitu hubungi keluarga Eneng pakai hp ibu saja." Lanjut Ibu itu meminjamkan ponselnya.
Gia langsung menerimanya dan menghubungi ibunya, untungnya Gia masih ingat nomor ponsel ibunya.
"Halo mah! Ini Gia."
^^^"Gia sayang, kamu kok belum pulang? Mama telpon kamu dari tadi kok gak di angkat? Ini kamu telpon mama pakai hp siapa nak?"^^^
"Ini ada orang baik yang pinjemin Gia hp mah. hp Gia lagi mati!"
^^^"Mama khawatir banget loh sama kamu! Dari pagi sampai sekarang kamu belum pulang-pulang. Mama takut kamu kehujanan."^^^
"Gia sudah kehujanan mah, sekarang Gia lagi berteduh dulu di halte."
^^^"Sama Ben?"^^^
"Sendiri mah!"
^^^"Loh kok sendiri? Ben gak sama kamu?"^^^
"Ceritanya panjang mah. Nanti Gia ceritain kalau sudah pulang. Sekarang kasih tau supir buat jemput Gia di halte bus yang jurusannya mau ke 'Jln Selalu Rindu 02'. Sekarang ya mah! Gia sudah kedinginan."
^^^"Iya iya! Nanti mama minta supir buat jemput kamu."^^^
Setelah menelpon ibunya, Gia mengembalikan ponselnya pada ibu itu, dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih.
Tak lama suami dari ibu itu menjemputnya lalu ibu itu pulang duluan bersama suaminya naik motor. Kini di halte Gia di temani beberapa ibu-ibu. Karna sebagian orang sudah pulang berurutan menggunakan supir mereka dan ada yang naik bus juga.
Tak lama kemudian...
Seorang pemuda berseragam SMA berlari kehujanan menuju halte dan berteduh di sampingnya. Gia di buat kaget karna Pemuda itu tiba-tiba sudah berdiri di sisinya sembari ngos-ngosan saking lelahnya, pemuda itu pun mengibaskan rambutnya yang basah.
Gia langsung menatap pemuda tinggi itu dari samping. Pemuda itu sangat tampan meskipun di lihat dari samping.
Pemuda itu kini menatap langit yang masih mengeluarkan air hujan, ia tidak menyadari kalau ada seseorang yang kini sedang menatapnya.
Gia terus menatapnya sampai ia lupa mengedipkan mata karna saking terpesonanya dengan ketampanan pemuda tinggi itu yang memiliki wajah yang tampan, berkulit putih, hidung mancung, bulu mata yang lentik, dan badan yang kekar dan juga sangat tinggi.
"Wah, ganteng banget." Batin Gia sambil mengelus dada lalu kembali melirik pemuda itu.
Tak lama, pemuda itu mulai menyadari kalau ada seseorang yang sedang menatapnya. Kemudian ia berbalik menatap Gia.
Gia langsung terpukau setelah di tatap balik pemuda itu yang menunjukkan pancaran aura full ketampanannya.
Perlahan siang hari yang tadinya terlihat gelap oleh awan hitam, kini berubah seketika menjadi cerah setelah pemuda itu berbalik menatapnya.
Sepertinya seolah-olah langit juga ikut terpukau dan bersorak menyinari ketampanan wajah pemuda itu.
Perlahan jantung Gia mulai berdebar. Tanpa ia sadari, tiba-tiba ia tersenyum merekah memperlihatkan gigi kelincinya pada pemuda itu.
Kini mereka saling bertatapan.
Pemuda itu mulai risih dengan senyuman Gia yang aneh.
Ia hanya menatap Gia dingin tanpa membalas senyuman anehnya.
Pemuda itu langsung memalingkan wajahnya lalu bergegas pindah posisi ke depan dekat jalan yang di penuhi genangan air.
Gia langsung kesal karna pemuda itu tak membalas senyumannya dan malah memilih pindah ke depan.
Pemuda itu berdiri di depan jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil melaju kencang dari sebelah kiri, melintas dengan kecepatan tinggi melewati genangan air, sehingga genangan air tersebut merambas dahsyat ke wajah beserta seragam pemuda itu. Semua orang di sana langsung menertawakannya termasuk Gia.
Serentak pemuda itu kaget sekaligus malu. Ia langsung menatap orang-orang yang kini sedang menertawakannya. Para ibu-ibu mulai mengatainya.
"Heh dek! Kenapa diam disitu?"
"Bukannya mundur pas ada mobil lewat! Malah diam di situ. Sudah tau jalan lagi banjir. Tuh kan jadi kecipratan."
"Sebaiknya kamu pindah ke belakang! Biar air di jalan gak merambas lagi ke baju kamu."
Pemuda itu berusaha menahan malu dengan pindah ke belakang dan kembali berdiri di dekat Gia.
"Ini lap muka kamu yang kotor!" Ucap Gia sembari memberikan sapu tangannya.
Pemuda itu langsung berbalik menatapnya.
...----------------...
...Bersambung....
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
"Gak usah! Terima kasih." Tolak pemuda itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah Gia.
"Kalau muka kamu gak segera di lap, kotoran bekas genangan air tadi akan menimbulkan bakteri. Karna air hujan itu sudah terkontaminasi sama tanah dan bebatuan dijalan. Kamu tau gak?"
Pemuda itu langsung berdenyit heran.
"Jentik-jentik suka diam di genangan air. Kita gak tau genangan air di muka kamu itu ada jentik-jentiknya atau enggak? Bisa jadi jentik-jentiknya masih bayi jadi gak kelihatan. Kalau muka kamu gak segera di bersihin, maka jentik-jentik yang ada di muka kamu akan berkembang biak kemudian bersarang di muka kamu, sehingga muka kamu yang ganteng ini akan tertutupi dan menjadi sarang jentik-jentik." Ucapnya lagi sembari bergidik ngeri.
Mendengar ucapan Gia yang terdengar menakutkan. Pemuda itu langsung mengambil sapu tangannya dan mengelap wajahnya. Gia langsung tersenyum sembari memperhatikannya.
Sambil mengelap wajahnya pemuda itu menghirup aroma sapu tangan Gia yang super wangi.
"Kamu pulang naik bus?" Tanya Gia.
"Iya!" Jawabnya sembari mengelap wajahnya.
"Rumah kamu di mana?" Tanya Gia lagi.
"Di 'Jln Selalu Rindu 02'. Aku baru pindah dari luar kota." Jawab pemuda itu.
"Oh, jadi kamu orang baru di sini?" Tanya Gia lagi sambil mangap.
"Iya!" Jawab pemuda itu yang mulai sedikit tersenyum padanya.
"Ini sapu tangannya! Terima kasih." Ucap pemuda itu sambil memberikan sapu tangannya.
"Lap lagi telinga sama rambut kamu masih kotor." Ucap Gia sambil menunjuk telinga dan rambutnya yang masih kotor.
"Oh, iya." Ucapnya sambil melanjutkan mengelap telinga dan rambutnya.
Tak lama kemudian...
Bus datang.
Semua orang langsung berdesakan naik ke dalam bus, termasuk pemuda itu.
"Gila ganteng banget." Batin Gia
Gia mulai mengikuti pemuda itu setelah pemuda itu masuk, Gia pun ikutan masuk ke dalam bus.
Pemuda itu duduk di posisi ketiga dekat jendela sebelah kanan.
Gia berniat akan duduk di samping pemuda itu, namun seorang ibu-ibu gemuk berhasil mendahuluinya.
Gia langsung kesal lalu memilih duduk di barisan ketiga sebelah kiri di samping bapak-bapak.
"Neng?" Sapa bapak-bapak yang duduk di sampingnya.
Gia mengangguk sopan lalu kembali menatap pemuda itu yang kini sedang memandangi pemandangan dari jendela. Gia mulai memikirkan cara agar ibu ini pindah ke tempat yang ia duduki.
"Permisi Bu, saya lihat sepertinya ada uang 100 ribu yang ibu duduki di kursi itu." Ucap Gia penuh kebohongan agar ibu itu berdiri.
"Mana?"
"Coba ibu berdiri!" Ucap Gia memberi aba-aba. Ibu itu langsung berdiri.
"Mana? Gak ada!" Gumam ibu itu sambil mencari-cari.
"Ada kok Bu. Tadi saya lihat!"
Gia langsung berjalan menghampiri, lalu dengan sengaja ia pura-pura terjatuh hingga kepalanya menimpa paha pemuda itu.
Seketika pemuda itu langsung kaget, Gia membalas tatapannya yang kaget dengan senyuman anehnya lagi.
"Mana uangnya ada?" Tanya ibu itu.
"Gak ada Bu! Sepertinya saya salah lihat." Jawab Gia cengar-cengir sambil duduk tegak di kursi itu.
"Ya sudah sana! Saya mau duduk lagi."
"Aduh bu kaki saya sedang sakit Bu gara-gara tersandung tadi, sebaiknya ibu duduk di situ saja ya sama bapak itu." Ucap Gia sambil cengengesan. Ibu itu langsung duduk di tempat bekas Gia tadi dengan raut wajah yang agak sedikit kesal.
Bus mulai berjalan.
Tak lama supir Gia datang untuk menjemputnya. Tapi sayangnya, pak supir tak menemukan anak majikannya di halte karna sudah pergi naik bus.
*****
Di dalam bus.
Gia sangat senang akhirnya bisa duduk bersebelahan dengan pemuda itu.
Sepanjang perjalanan pemuda itu terus menatap ke arah jendela memandangi pemandangan sekitar.
Sementara Gia terus menatap ke arah pemuda itu. Saat melewati polisi jalan, busnya berlonjakan sehingga tanpa sengaja kepala Gia membentur bahu pemuda itu.
Pemuda itu langsung menatap Gia dengan tatapan kaget. Begitupun juga Gia.
"Ma-maaf!" Ucap Gia malu-malu padahal dalam hatinya ia senang.
"Gak apa-apa!" Ucap pemuda itu lalu kembali memandangi pemandangan.
Sementara Gia kembali dengan posisi cengar-cengir sendiri sembari menatap pemuda itu.
Kemudian bus berhenti di halte kedua menurunkan sebagian penumpang setelah itu halte berikutnya dan berikutnya hingga semua penumpang turun semua dan hanya menyisakan Gia dan pemuda itu berdua di dalam bus.
Kemudian bus kembali berjalan.
Gia senang kini di dalam bus hanya ada dirinya dan pemuda itu berduaan saja di sana.
Di dalam bus begitu hening, suasana terasa seperti canggung.
"Rumah kamu masih jauh?" Tanya Gia mencairkan keheningan yang ada.
"Sebentar lagi sampai." Jawab pemuda itu.
Tak lama kemudian bus berhenti.
Pemuda itu langsung beranjak dari kursi.
"Aku duluan ya!" Pamit pemuda itu pada Gia.
"Hati-hati ya!"
Pemuda itu pun turun. Gia melihatnya dari jendela. Kebetulan hujan sudah reda.
Setelah turun, pemuda itu melihat ke arahnya. Dengan cepat Gia langsung melambaikan tangannya dari balik jendela.
Pemuda itu langsung tersenyum dan membalas lambaian tangannya hingga membuat Gia kegirangan.
Kemudian bus kembali berjalan.
Pemuda itu berbalik badan dan berjalan pulang. Kemudian ia berhenti melangkahkan kakinya setelah melihat sapu tangan milik Gia masih ia genggam di tangannya.
Pemuda itu langsung berbalik melihat bus yang sudah pergi jauh.
"Aku lupa! Sapu tangannya masih di tanganku, belum aku balikin. Kenapa aku gak balikin ya? Padahal tadi dia duduk di samping aku?" Gumam pemuda itu.
"Tidak apa-apa! Sebaiknya aku simpan saja dulu. Siapa tau nanti aku ketemu dia lagi." Lanjutnya sambil kembali berjalan pulang.
*****
Malam hari tiba...
Tak terasa hari sudah malam.
Di dalam bus.
Gia terus saja cengar-cengir sendiri sambil terus mengingat kejadian saat ia jatuh menimpa kaki pemuda itu dan bersandar di bahu pemuda itu saat bus melewati polisi tidur. Tanpa sadar, Ia sama sekali tak menyadari jika hari sudah malam. Kemudian bus berhenti.
"Berhenti di sini neng? Ini sudah di halte terakhir." Tanya supir.
"Di 'Jln menuju bahagia 28' pak." Ucap Gia. Supir langsung terkejut.
"Waduh! Sepertinya Eneng salah naik bus."
"Maksud bapak apa?" Sewot Gia.
"Jalan itu kan berada di jalur kanan sebelum melewati halte pertama. Setau saya, gak ada bus yang menuju ke jalan itu. Kalau mau ke sana dari halte awal tinggal naik taksi atau angkot ke jalur kanan yang mau ke jalan itu. Kenapa Eneng malah naik bus yang jurusan ke 'Jln Selalu Rindu 02'?"
"Ah iya, kayaknya saya salah jalan pak!" Ucapnya beralasan.
"Bisa balik lagi gak pak?" Pinta Gia sambil cengengesan.
"Gak bisa neng! Kalau begitu eneng turun di sini saja dan tunggu bus satu lagi di terminal sebelah kanan yang akan mengarah ke jurusan halte awal."
"Oh baiklah... Berarti saya gak perlu membayar ya pak?"
"Harus bayar neng! Kan Eneng sudah naik bus dan eneng sudah melewati beberapa jalan yang sudah jauh banget."
"Ah, tapi pak... Saya kan salah naik bus! Apa bapak bisa memutar balikan kembali busnya antar saya ke Halte yang semula? Nanti saya bayar dua kali lipat deh." Pinta Gia kekeh.
"Gak bisa neng! Jam kerja saya sudah habis. Saya harus pulang!"
Gia hanya bisa diam dan pasrah. Lalu ia turun dan membayar supir itu.
Setelah itu Gia naik bus yang menuju ke arah jalan yang mau ke halte semula. Setelah sampai di halte Gia melihat supirnya sudah menunggunya lama di halte.
"Non, syukurlah non di sini. Non dari mana saja? Saya kira non hilang atau di culik." Tanya supir khawatir.
"Ih apaan sih pak? Jangan ngomong kayak gitu gak sopan banget ke anak majikan! Mau nyumpahin ya??" Tegur Gia.
"Bukan, soalnya saya khawatir banget, dari tadi saya menghubungi non tapi teleponnya gak aktif. Saya pikir non kenapa-napa. Itu sebabnya saya menunggu non di sini. Tadinya kalau non gak ada lebih dari 24 jam, mau saya lapor ke polisi."
"Pakai lapor polisi segala, emangnya saya ini buronan hah? Sudah cepat anterin saya pulang!" Ketus Gia dengan nada galak.
"Baik non."
*****
Sesampainya di rumah.
Gia langsung di wawancarai ibunya.
"Gia, kok kamu pulangnya jam segini? Gak di anterin Ben? Biasanya kalau kamu ketemu Ben suka di anterin pulang sampai rumah."
"Gia sudah putus sama Ben mah." Jawab Gia kalem.
"Apa? Putus dari Ben? Secepat itu? Tapi kenapa? Kok bisa? Kamu ngomong apa saja sama Ben sampai kalian bisa putus?" Tanya ibunya yang mulai syok.
"Gia gak ngomong apa-apa mah! Ben sengaja pengen ketemu Gia cuman mau bilang putus, karna Ben sudah balikan sama mantannya, itu sebabnya Ben gak kasih kabar ke Gia selama 3 bulan, karna Ben sedang asik pacaran sama mantannya itu mah. Dan dia juga bilang ke Gia kalau dia bakal nikah sama mantannya itu. Dia kasih undangan ke Gia padahal nikahannya 10 bulan lagi." Jelas Gia dengan nada kesal.
"Apa? Setega itukah Ben sama kamu? Mama gak percaya! Setau mama Ben itu anak yang baik, ganteng...." Ibunya mulai nyerocos. Gia hanya terdiam mendengarkan.
"Mah, jangan di lihat dari baik, kalem, dan gantengnya mah. Sifat orang kan beda-beda, kita kan gak ada yang tau. Kalau mama gak percaya, mama tanyakan saja langsung ke Ben! Sudah ah, Gia mau ganti baju dulu, baju Gia basah. Tadi Gia kehujanan." Ucap Gia sambil berjalan pergi menuju kamarnya.
"Mama masih gak percaya Undangannya mana? Coba mama lihat!" Pinta ibunya.
"Undangannya sudah Gia sobek-sobek." Ucap Gia sembari berjalan menaiki anak tangga.
"Apa! Kamu ini main sobek-sobek saja! Kenapa sih kamu....." Ibunya langsung ngomel-ngomel di bawah.
*****
Di Kamar.
Setelah ganti baju. Gia langsung merebahkan dirinya di kasur sambil senyum-senyum sendiri dan membayangkan betapa gantengnya pemuda itu yang tadi duduk bersamanya di dalam bus.
"Wahh... Gilaa!! Gantenggg bangeettt!! Belum pernah Gue lihat cowok secakep itu." Gumamnya sembari masih merebahkan tubuhnya.
Kemudian Gia mengambil buku gambar dan mulai melukis wajah pemuda itu menggunakan pensil. Gia melukis dengan teliti sesuai dengan apa yang ia lihat dan apa yang ia bayangkan.
Gia adalah seorang gadis yang jago melukis dan senang menggambar sedari kecil. Biasanya ia lebih sering melukis dan menggambar pemandangan. Tapi baru kali ini ia menggambar wajah seseorang dengan sempurna mirip seperti wajah aslinya.
Setelah selesai. Gia langsung memandangi wajah tampan pemuda itu yang baru selesai ia lukis.
"Ganteng bangett! Andai Gue bisa ketemu lagi cowok seganteng ini." Gumam Gia berharap sambil senyum-senyum sendiri.
*****
Keesokan paginya.
Gia masih tertidur cantik. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Seharusnya jam segitu, Gia harus sudah berangkat ke sekolah.
Tak lama kemudian Gio sang adik yang sudah mengenakan seragam SMP masuk ke dalam kamar Gia dan berniat untuk membangunkannya dengan cara jahilnya, ia mendekatkan bulu ayam ke lubang hidung kakaknya yang mancung sambil menggelitiknya membuat Gia merasa geli dan terganggu.
Gia langsung terbangun dari tidurnya dan melihat adiknya yang sudah berada di depannya yang telah menggelitik hidungnya.
"Gioooooo..." Teriak Gia. Gio langsung tertawa sambil menjulurkan lidahnya.
"Hahaha... Bleeee..."
"Kurang ajar anak gatau diri. Awas ya!!"
Gia langsung mengejar Gio yang kabur ke bawah, ia berusaha menangkap adiknya yang berlari mengelilingi sofa.
"Sini kamu anak nakal!!"
"Bleeee..."
Gia terus mengejar dan berusaha menangkap adiknya. Dan akhirnya dengan segala cara ia berhasil menangkapnya dan mengambil bulu ayam dari tangannya dan mencoba menggelitik wajah sang adik.
"Kakak lihat jam!" Celetuk Gio sambil menunjuk jam yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
"Ya Tuhan... Kesiangan lagi!"
Gia langsung bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dengan satu gayung air, dengan cepat ia memakai seragam dan jas sekolahnya.
Setelah sudah beres siap-siap. Gia langsung mengenakan sepatu hitamnya dengan terburu-buru. Tapi tiba-tiba ibunya berteriak memanggilnya.
"Giaa!!! Giaaa!! Giaaaaaaa..."
...----------------...
...Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!