NovelToon NovelToon

Menjadi Sugar Baby Ayah Sahabatku

Bertemu Pria Asing

Kota New York adalah salah satu kota terbesar di dunia. Setiap kehidupan dari kota, setiap detak jantungnya diisi dengan kecepatan. Semua orang di New York selalu terburu-buru dalam segala hal. Selalu ingin menjadi yang terbaik dalam kegiatannya. Kota New York bukanlah kota yang baik untuk orang yang tidak bisa bersaing.

"Apa kamu mau jadi milik saya?" Seorang pria paruh baya bertanya pada Hazel Lynn. Perempuan berusia 20 tahun yang berkuliah di Universitas bergengsi di kota New York.

"Maaf Om, maksud Om apa ya?" Hazel masih belum mengerti apa yang dikatakan oleh pria di depannya itu.

"Saya akan membiayai kuliah kamu dan semua kebutuhan hidup kamu kalau kamu mau jadi milik saya. Tapi dengan satu syarat," ucap pria itu dengan tersenyum miring.

"Apa itu syaratnya?" tanya Hazel yang penasaran dengan apa yang diinginkan oleh pria tersebut.

"Kamu harus selalu ada di setiap saya membutuhkanmu. Kamu tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain selama kamu bersama saya. Bagaimana?" Pria tersebut menaikkan alisnya menunggu jawaban dari Hazel.

"Tidak, terima kasih," ucap Hazel dengan sopan lalu Hazel pergi dari hadapan pria tersebut.

Pagi harinya terasa aneh setelah ada pria asing yang menghampiri Hazel saat dia sedang mengantri untuk membeli sarapan di sebuah Cafe di dekat tempat tinggalnya. Hazel harus berjalan cepat menuju kampusnya karena takut dengan pria yang baru saja menghampirinya tadi. Hazel memakan sarapannya sambil menggerutu dan bertabrakan dengan sahabatnya, Mia Claire.

"Kalau makan itu sambil duduk, bukan sambil jalan dan mengoceh nggak jelas gitu," semprot Mia karena bajunya sedikit kotor terkena makanan dari tangan Hazel.

"Sorry, Beb. Aku lagi buru-buru tadi. Ada orang gila datang menghampiriku dan bilang dia menginginkanku" ucap Hazel sambil menghabiskan makanannya.

"Menginginkanmu bagaimana, Hazel? Kalau ngomong yang jelas dong." Mia sedikit kesal jika Hazel berbicara tidak jelas seperti kebiasaannya.

"Aku juga nggak tau, Mia. Sepertinya dia gila dan aku nggak mau bertemu dengannya lagi." Hazel kemudian menarik tangan Mia untuk masuk ke kelasnya.

Hazel Lynn, tinggal di kota New York seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai orang tua, bahkan saudara pun dia tidak mempunyainya. Hazel menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja paruh waktu di sebuah Bar malam sebagai waitress. Namun, terkadang ada orang-orang yang menganggapnya bisa dibayar untuk menemaninya di kamar. Hazel sudah terbiasa dengan hal itu dan dia tidak akan menanggapinya dengan serius.

"Kamu tahu, mungkin maksud ucapan orang itu adalah mau menjadikanmu sugar baby-nya. Kamu tahu kan, semacam simpanan?" ucap Mia dengan berbisik.

"Bukan simpanan, Sayang. Mereka hanya bekerja untuk sedikit menyenangkan orang yang menjadi sugar daddy-nya." Hazel terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Pekerjaan macam apa itu?" Mia menertawakan ucapan Hazel.

"Pekerjaan menyenangkan orang. Apa lagi?" Hazel menjawabnya dengan santai.

"Kenapa kamu nggak mau menerima tawaran orang itu, Hazel?" tanya Mia sambil mengerlingkan matanya menggoda Hazel.

"Oh, come on. Aku masih waras dan aku belum bisa menjalankan segala syarat yang akan mereka berikan padaku." Hazel menggeleng cepat untuk menyingkirkan pikirannya tentang orang yang tadi dia temui.

Gavin Rowan, seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah diumurnya yang menginjak 50 tahun. Dia adalah pengusaha kaya dan terkenal di kota New York. Gavin mempunyai kehidupan rumah tangga yang tidak pernah terlihat di berita mana pun meskipun dia adalah salah satu sosok terkenal di kota. Kehidupan pribadinya sangat tertutup dan banyak orang merasa penasaran dengan kehidupan pribadinya.

.

.

"Kamu mau langsung pulang atau mau ke Cafe dulu sebelum nanti malam bekerja?" tanya Mia pada sahabatnya, Hazel.

"Aku sedikit lapar, tapi malas untuk makan. Banyak hal yang harus aku pikirkan." Hazel menghela nafas lelah.

"Biasanya juga nggak dipikir, kenapa sekarang harus mikir?" Mia tersenyum geli melihat tingkah Hazel.

"Aku rasa aku lelah, Mia. Aku ingin terus kuliah tetapi kalau harus bekerja di malam harinya dan pagi aku akan kuliah lagi, aku nggak akan bisa istirahat."

"Makanya tadi aku bilang sama kamu, El. Kenapa nggak kamu terima aja tawaran dari pria itu. Kamu pasti akan bisa tetap kuliah tanpa harus bekerja berat." Mia tersenyum lebar mencoba memikirkan bagaimana keadaan Hazel ketika dia menjadi sugar baby.

"Tapi, Mia, masalahnya kebebasanku pasti akan dibatasi. Aku nggak mau itu terjadi. Kamu tahu sendiri bagaimana aku." Hazel menggelengkan kepalanya cepat.

"Coba aja dulu, siapa tahu kamu akan senang dan bisa seperti cewek lain yang tidak bekerja tapi masih bisa shopping." Mia mencoba menghasut Hazel.

"Itu kamu, Mia. Kamu nggak perlu kerja tapi tetap bisa foya-foya," ucap Hazel sambil terkekeh.

"Jangan samakan aku sama sugar baby dong. Aku punya orang tua yang kaya jadi aku nggak perlu bekerja." Mia membanggakan kekayaan orang tuanya. Hazel mengetahui itu. Dia juga tahu bahwa kedua orang tua Mia sangat menyayangi dan memanjakannya. Apa pun yang Mia mau pasti akan mereka berikan sesuai keinginan Mia.

"Iya deh yang anak orang kaya," sindir Hazel sambil tersenyum.

"Sorry, Beb. Bukan maksud aku begitu." Mia merasa tidak enak pada Hazel. Namun, Hazel memang tahu tabiat Mia yang terkadang bisa menyombongkan kekayaannya.

"It's oke, Bebeb. Kamu tahu kan aku nggak pernah menilai kamu jelek. Kamu udah mau jadi sahabatku aja aku udah berterima kasih. Cuma kamu yang mau berteman denganku." Hazel memeluk Mia dengan hangat. Mia tertawa mendapat perlakuan seperti itu dari Hazel.

"Oke, aku langsung pulang aja ya. Aku mau istirahat sebentar buat nanti kerja malam," pamit Hazel lalu mencium pipi Mia dan berjalan meninggalkan Mia di kampusnya. Mia menatap sahabatnya dengan sedikit rasa iba.

.

.

Malamnya, Hazel menuju Bar tempatnya bekerja dengan berjalan kaki. Dia biasa berjalan kaki ke mana pun dia pergi. Karena baginya itu akan menghemat biaya dan juga dia bisa menikmati setiap detik perjalanannya. Hazel sampai di Bar tepat pada saat jam kerjanya dimulai. Dia langsung menuju counter depan untuk menunggu pelanggan.

"Lynn, sini kamu," panggil sang Bartender yang bernama Jake. Hazel menggunakan nama belakangnya, Lynn, saat bekerja di Bar tersebut.

"Ada apa?" tanya Hazel dengan santai.

"Tolong bawakan minuman ini ke ruangan VVIP nomor dua," pinta Jake pada Hazel. Dengan senang hati Hazel menerima perintah dari Jake. Hazel tahu bahwa di ruangan VVIP banyak orang-orang kaya yang tidak akan segan mengeluarkan uangnya untuk memberikan tips pada seorang waitress sepertinya.

Hazel membawa minuman pesanan pelanggan VVIP-nya dengan wajah yang ceria. Dia mengetuk pintu ruangan lalu masuk ke dalam dengan menampilkan senyuman terbaiknya. Hazel merasa kaku di tempat saat dia melihat pria yang bertemu dengannya pagi tadi berada di dalam ruangan tersebut. Meskipun penerangan ruangannya sedikit, namun Hazel masih mempunyai mata yang bagus dan ingatan yang bagus. Pria paruh baya yang bernama Gavin itu  menatap intens ke arah Hazel. Gavin tersenyum miring saat Hazel berada di depannya dan sedang meletakkan minuman pesanannya di atas meja.

Terjebak

Gavin pergi ke Bar tersebut karena ajakan temannya. Ada acara kecil-kecilan yang diadakan oleh temannya yang baru saja mendapatkan proyek besar yang akan dikerjakan oleh perusahaan temannya itu. Gavin hanya ingin datang sebentar untuk sekedar menghargai undangan dari temannya itu. Tetapi saat dia melihat Hazel ada di sana, Gavin merasa akan lebih lama berada di sana.

"Hai Cantik, kita ketemu lagi," ucap Gavin tepat di samping telinga Hazel.

"Hari ini mungkin hari keberuntungan saya karena bisa terus bertemu dengan kamu meskipun kamu menolak saya tadi pagi." Gavin tersenyum mencibir Hazel.

"Silahkan minumannya, saya hanya bertugas mengantarkan saja." Hazel ingin segera keluar dari ruangan tersebut namun tangan Gavin mencengkeram tangannya.

"Maaf saya hanya waitress di sini. Kalau Anda memerlukan wanita, saya bisa memanggilkan untuk Anda dan Anda bisa memilihnya." Hazel berusaha tenang dan tetap sopan pada Gavin.

"Apa kamu menginginkan waitress itu, Gavin?" tanya salah satu temannya yang sedang dilayani oleh seorang perempuan muda.

"Ya, aku hanya menginginkan waitress ini. Apa kamu bisa memintanya pada pemilik Bar ini?" Gavin berkata pada temannya sambil terus memandangi wajah Hazel.

"Lepaskan saya, Tuan. Saya hanya seorang waitress di sini. Banyak perempuan cantik di sini yang akan dengan senang hati melayani Anda," ucap Hazel dengan sedikit gugup. Dia mulai kehilangan keberaniannya karena tatapan Gavin.

"Saya hanya menginginkan kamu, Cantik." Gavin tersenyum seringai sambil mengusap lembut dagu Hazel.

Terbesit keinginan kecil untuk mengikuti saran dari Mia supaya dia tidak susah payah bekerja lagi di Bar tersebut dan menjadi bahan godaan oleh para pria hidung belang, tetapi Hazel masih tidak ingin terikat dan dia juga masih mampu menjalani kehidupannya itu. Tanpa sadar Hazel tengah melamun di depan Gavin dan membuat Gavin tersenyum penuh arti.

"Apa kamu sedang memikirkan tawaran saya tadi pagi?" Suara Gavin membuat Hazel tersadar dan dihadapkan oleh kenyataan bahwa dia sedang disandera oleh pria gila yang dia temui tadi pagi.

"Tidak, terima kasih. Bisa tolong lepaskan saya," pinta Hazel masih dengan nada sopan.

"Saya bisa membuat kamu dipecat dari tempat ini sekarang juga. Jadi, jangan membantah apa yang saya inginkan." Perkataan Gavin membuat Hazel merasa sedikit takut. Orang kaya dan berkuasa seperti Gavin bisa berbuat apa saja sesuka hatinya.

"Kamu membuat perempuan cantik itu takut, Gavin. Kalau ingin memilikinya, kamu harus bersikap lembut padanya. Bukan seperti itu caranya." Teman Gavin yang lain memberi nasihat padanya sambil terkekeh geli.

"Aku bukan tipe pria yang lembut, Max. Kau tahu sendiri bagaimana aku." Gavin menimpali perkataan temannya yang bernama Max itu.

"Tuan, biarkan saya pergi. Saya masih harus bekerja. Saya takut Bos saya marah." Hazel terus mencoba melepaskan diri dari Gavin dengan berbagai alasan.

"Bagaimana, Jim? Kamu sudah menghubungi pemilik Bar untuk membuat perempuan ini melayani aku sekarang?" Gavin bertanya pada Jimmy yang diperintahnya untuk menanyakan pada pemilik Bar tersebut mengenai Hazel.

"Sebentar lagi pemiliknya datang ke sini, Vin. Tunggu saja," ucap Jimmy dengan tersenyum miring.

Hazel menggengam erat tangannya sendiri karena merasa sedikit takut. Dia bukan takut dengan orang-orang yang berada di sana, namun dia takut dengan pemilik Bar tersebut. Jika sang pemilik memecatnya hanya karena dia tidak mau melayani orang itu, bagaimana nasib Hazel. Dia masih butuh pekerjaannya untuk membayar kuliahnya dan makan sehari-hari.

"Apa yang kamu pikirkan, Cantik? Jangan takut dipecat dari sini, karena aku akan menghidupi kamu lebih dari kehidupan kamu dari tempat ini." Gavin terus memprovokasi Hazel untuk menerima tawaran dari dirinya.

Hazel terus memikirkan kata-kata Gavin dan sedikit memiliki kekuatan untuk menghadapi sang pemilik Bar. Hazel terdiam di hadapan Gavin sambil menundukkan kepalanya. Gavin menarik lembut dagu Hazel dan melihat mata Hazel yang berwarna sesuai dengan namanya. Gavin seketika terpesona dan hilang akal sehatnya. Gavin mencium bibir Hazel dengan cepat, tetapi masih terasa lembut.

"Astaga, Gavin. Kamu seperti anak muda yang tidak bisa menahan hasratmu. Perempuan cantik itu pasti akan takut padamu." Jimmy terkekeh melihat kelakuan temannya yang begitu menginginkan Hazel.

"Maafkan aku, Cantik. Kamu begitu menggoda. Aku mohon jadilah milikku dan aku akan mengikuti semua yang kamu mau." Gavin seakan putus asa dengan permohonannya pada Hazel. Tidak ada jawaban dari Hazel karena dia masih terkejut dengan apa yang telah dilakukan oleh Gavin padanya.

Pemilik Bar datang dan masuk ke dalam ruangan tempat Gavin berada. Jimmy langsung meminta pemilik Bar untuk mengijinkan Hazel menemani mereka di sana. Awalnya pemilik Bar menolak permintaan Jimmy karena Hazel bukan seorang perempuan penghibur. Hazel di sana hanya seorang waitress dan tidak pernah sekali pun pemilik Bar mempermasalahkannya. Pemilik Bar memperkerjakan semuanya dengan baik dan sesuai pekerjaan anak buahnya masing-masing.

"Jangan sampai teman saya marah, Bos. Karena kalau dia marah, mungkin dia akan membeli tempat ini beserta semua isinya." Jimmy mencoba menakuti pemilik Bar.

"Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin pekerja saya merasa tidak nyaman. Lynn hanya seorang waitress. Jika Tuan menginginkan seorang penghibur, saya akan siapkan yang terbaik dari tempat ini." Sang pemilik Bar masih memberikan pilihan untuk Jimmy dan yang lain.

"Ayolah, Cantik. Jangan sampai aku berbuat lebih daripada ini. Aku sudah memohon padamu dan kamu masih saja menolak. Apa aku harus menghancurkan tempat ini supaya kamu tidak mempunyai tempat lagi untuk bekerja?" Gavin tersenyum menyeringai.

"Lynn, saya mohon padamu pikirkan yang lain. Sekali saja tolong saya dan tempat ini." Sang pemilik Bar ikut memohon pada Hazel. Dia akan membiarkan Hazel menemani orang-orang itu jika Hazel sendiri menghendaki.

Hazel memikirkan bagaimana tempat itu membuat dirinya mempunyai penghasilan meskipun dia harus bekerja malam hari sampai pagi menjelang. Hazel melihat ke sekelilingnya dan berhenti di tempat sang pemilik Bar berdiri kaku. Hazel akhirnya menatap ke arah Gavin dan tanpa takut dia menatap ke dalam matanya dan sedikit menantangnya. Hazel mengangguk setuju atas permintaan Gavin. Sang pemilik Bar menghela nafas dengan lega.

"Terima kasih, Lynn. Saya permisi Tuan-tuan." Pemilik Bar itu segera keluar ruangan VVIP yang ditempati Gavin dan teman-temannya. Hazel menutup matanya sejenak dan merutuki keputusannya sendiri.

"Makasih, Cantik. Kamu udah memutuskan yang terbaik," ucap Gavin sambil mengusap lembut pipi Hazel.

"Saya hanya tidak ingin Anda berbuat yang buruk pada tempat ini dan teman-teman saya." Hazel berkata dengan nada rendah.

"Kamu begitu cantik jika sedang kesal seperti ini." Gavin menarik dagu Hazel dan menatapnya intens.

Bersenang-senang

Gavin mengangkat tubuh Hazel untuk duduk di pangkuannya dan dia memeluknya dengan lembut. Hazel merasakan tubuhnya sedikit bergetar seperti tersengat listrik. Dia memang belum pernah merasakan yang namanya berpacaran. Karena hidup Hazel sudah susah semenjak dia ditinggal pergi oleh semua anggota keluarganya. Orang tuanya meninggal dan saudaranya sama sekali tidak pernah memikirkan Hazel.

"Tolong jangan sentuh saya dan lakukan hal buruk pada saya, Tuan. Saya di sini hanya menemani Anda, sesuai permintaan Anda." Hazel mencoba membuat jarak di antara dia dan Gavin.

"Aku tidak akan menyentuh kamu kalau kamu tidak mengijinkan. Kamu tenang aja," bisik Gavin di telinga Hazel.

"Gimana, Vin? Apa kamu sekarang senang? Tadi saat aku ajak kamu ke sini, kamu menolaknya sampai aku harus menohon padamu. Sekarang sepertinya kamu yang paling senang dan menikmati." Max mengejek Gavin dengan celotehannya sambil tersenyum lebar. Gavin tidak menghiraukan ucapan Max dan hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.

"Kamu harus mempertimbangkan permintaanku, Cantik. Karena sekarang, aku akan kecanduan dengan bibir kamu ini." Gavin mengusap lembut bibir Hazel dan perlahan Hazel menggigitnya untuk membuat dirinya kuat. Gavin melihat Hazel melakukan hal itu dan merasa terpancing.

"Jangan gigit bibir kamu atau aku akan mencium kamu lagi." Gavin mengatakan hal itu dengan tegas dan dingin. Hazel langsung menutup mulutnya dengan spontan. Gavin tersenyum menyeringai.

Gavin dan teman-temannya masih bertahan sampai lewat tengah malam. Meskipun Gavin sudah banyak minum alkohol, tetapi dia masih bisa fokus dan sadar. Dua teman Gavin sudah setengah sadar dan sedang bermesraan dengan perempuan yang dibayarnya. Hazel sesekali melihat ke sekelilingnya dan menutup mata untuk menepis semua yang dilihatnya.

"Apa kamu mau minum, Cantik?" tanya Gavin sambil menempatkan gelas yang ada di tangannya ke depan bibir Hazel. Sedari tadi Hazel hanya melayani Gavin menuangkan minuman dan menyuapkan cemilan ke dalam mulutnya. Hazel masih dalam posisi duduk di pangkuan Gavin.

"Tidak Tuan, terima kasih. Saya harus pulang dalam keadaan sadar supaya bisa sampai rumah dengan selamat." Hazel mengatakan itu dengan menampilkan senyumannya. Gavin terpana mendengar jawaban Hazel.

"Mulai sekarang kamu akan jadi tanggung jawabku. Minumlah sedikit untuk menemani aku, Cantik." Gavin mendekatkan lagi gelas minumannya ke bibir Hazel. Dengan sedikit terpaksa, Hazel meminum minuman di tangan Gavin. Dia memejamkan matanya sesaat, menikmati kerasnya minuman yang masuk ke tenggorokannya. Hazel memang sesekali menikmati minuman beralkohol, tetapi kadarnya tidak sebesar yang dia minum sekarang. Hazel merasakan kepalanya sedikit berputar.

"Apa yang kamu kasih ke aku, Tua Bangka. Kenapa rasanya begitu panas? Aku butuh es batu," racau Hazel di depan Gavin dengan begitu berani. Max dan Jimmy yang mendengar Hazel menyebut Gavin tua bangka, menjadi tertawa terbahak karenanya.

"Kamu disebut tua bangka, Vin. Tapi memang kamu sudah terlihat tua," ujar Max yang memang selalu suka menggoda Gavin.

"Sialan kamu, Max. Aku nggak akan terlihat tua kalau ada yang mengurusku." Gavin mengatakan kenyataan tentang dirinya sendiri.

"Mohonlah sekali lagi pada anak itu. Siapa tahu dia mau mengurusmu," ucap Jimmy menimpali.

"Aku yakin dia akan segera menjadi milikku. Aku akan terus menanyakan itu padanya. Baru dikasih minuman seperti ini saja sudah mabuk." Gavin terkekeh geli.

"Kamu nggak sadar telah memberikan dia minuman dengan kadar alkohol besar? Mungkin dia pernah minum, tapi dengan kadar yang kecil, Gavin. Kamu telah merusak perempuan cantik itu." Max terus tertawa melihat kelakuan Gavin.

"Berisik kalian semua! Saya sudah menemani kalian di sini sampai hampir waktu kerja saya selesai. Saya akan meminta bayaran yang mahal. Hei Tuan, bayar saya dengan uangmu yang banyak." Hazel terus berucap dengan tidak sadar. Ucapannya terus membuat Gavin merasa terpancing.

"Kamu mau minta berapa, Cantik?" Gavin memancing Hazel untuk meminta uang padanya dan dia akan menunjukkan jika dia bisa memberikan apa yang dia minta.

"Sepuluh juta ... tunggu dulu, seratus juta?" ucap Hazel sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing.

"Aku akan kasih kamu tiga ratus juta asal kamu mau menemaniku tidur setelah pulang dari sini." Gavin menyeringai.

"Kenapa kamu jadi ngelunjak begitu, Tua Bangka? Aku sudah menemani kamu di sini dan kamu minta aku tidur denganmu? Apa aku benar-benar terjebak di dalam perangkapmu?" Hazel terus berceloteh di depan Gavin dan membuatnya semakin menginginkannya.

"Aku harus bagaimana dengan anak ini, Max?" tanya Gavin pada temannya.

"Langsung bawa aja ke kamar, Vin. Mereka harus ditaklukan." Max tersenyum lebar.

"Jangan, Vin. Kamu tidak akan pernah melakukan hal itu pada perempuan yang tidak sadarkan diri. Dia sudah tidak sadar, Vin." Jimmy, teman Gavin yang lebih waras, menasehati Gavin.

"Kamu benar, Jim. Aku harus mengantarnya pulang, tapi aku nggak tahu di mana rumahnya." Gavin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Nah apa aku bilang, bawa aja ke kamar, Vin." Max terus menghasut Gavin sambil tertawa.

"Panas, Tuan, pusing. Aku ingin pulang dan tidur," racau Hazel dan berhasil membuat Gavin tersadar. Gavin mencium bibir Hazel sekali lagi dan secara tak sadar Hazel membalas ciuman dari Gavin. Tubuhnya secara tak sadar mengikuti nalurinya.

"Kamu nakal sekali, Beby." Gavin mengusap lembut bibir Hazel yang telah diciumnya. Hazel terkekeh mendengar ucapan Gavin. Hazel sudah tidak sadar dengan apa yang telah dia lakukan karena di bawah pengaruh alkohol.

Gavin membawa Hazel ke apartemen yang telah disiapkannya untuk seseorang yang mau menjadi pasangannya. Gavin bukan laki-laki biasa dan dia harus bisa menyembunyikan segala urusan pribadinya dengan baik. Gavin tidak ingin apa yang dilakukannya diketahui oleh publik. Terkadang dia ingin menjadi orang biasa yang bisa melakukan apa saja tanpa adanya orang yang menilai.

Hazel sudah sepenuhnya tak sadarkan diri saat dia sampai di kamar yang disediakan Gavin. Dengan sedikit usaha, Gavin mengganti baju Hazel dengan menahan sesuatu di dalam dirinya. Tubuh Hazel yang begitu indah dan bagus, membuat Gavin menelan salivanya dengan susah payah. Gavin mengganti pakaian Hazel dengan gaun tidur yang telah disiapkan oleh orang kepercayaannya. Hazel sama sekali tidak bergerak. Dia benar-benar sudah tidak berdaya.

"Kalau aku melakukannya saat ini, mungkin aku akan mendapatkannya. Namun, aku bukan laki-laki seperti itu," ucap Gavin sambil tersenyum miring melihat tubuh indah di depannya.

"Berisik kau Tua Bangka, aku mau tidur." Hazel masih saja bisa meracau di dalam tidurnya.

"Aku harus bagaimana sama kamu, Kucing liar?" Gavin keluar ke balkon untuk menelepon seseorang.

"Aku malam ini tidak pulang, menginap di tempat Jimmy," ucap Gavin saat teleponnya tersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!