NovelToon NovelToon

Menikahi Gelandangan Kaya

Jeritan Malam

"Tolooong.... Tolooooong....!" Mariana berteriak kencang, meski tahu tidak akan ada orang yang mendengarnya di malam selarut ini.

"Teriak! Teriak saja sekencang pita suaramu mampu. Tidak akan ada yang mendengarmu di sini dan di waktu selarut ini."

"Kau benar-benar brengsek, Galang. Aku pasti akan membunuhmu!" teriak Mariana, memelotot pada laki-laki yang menyeringai jahat di atasnya.

"Kau mau apa, Sayang?" Galang merunduk, telunjuknya menarik dagu Mariana hingga mendongak menatapnya. "Membunuhku?" tanyanya dengan nada mengejek.

Mariana membuang muka.

"Jangan menolakku, Gundik!" Galang menarik kasar dagu Mariana hingga kembali menatapnya.

"Sekarang katakan padaku bagaimana caramu membunuhku dengan tangan dan kaki terikat seperti ini, Cantik."

Galang terbahak, disusul derai tawa anak buahnya yang berdiri mengelilingi ruangan.

Cuih! Mariana meludah tepat di wajah Galang. Tidak siap dengan reaksi nekat Mariana, Galang reflek memejamkan mata.

"Jilat!" teriaknya murka, menatap Mariana dengan galak sambil mendekatkan wajahnya yang terkena ludah Mariana.

Mariana memelotot.

"Jilat aku bilang!" geram Galang, memaksa bibir Mariana agar mendekat.

Mariana sekali lagi membuang muka.

"Baiklah. Kurasa permainan ini sudah cukup. Pelacur ini harus diberi pelajaran. Saatnya menikmati hidangan utamanya." Galang berdiri, melap wajahnya dengan handuk kecil yang disodorkan salah satu pengawalnya.

"Perhatikan baik-baik bagaimana dia akan meronta dan merengek di bawahku. Kalian boleh menikmatinya bersama-sama setelah aku puas."

"Betulkah, Boss?" tanya anak buah Galang yang berada paling dekat dengan Mariana.

"Ya. Sekarang lucuti semua bajunya tanpa menyentuh kulitnya sedikitpun. Kalau kau berani menyentuhnya maka aku akan membunuhmu."

"Tunggu! Ap-apa yang akan kau lakukan, Galang?" tanya Mariana. Wajahnya yang sedari tadi terlihat menantang, tiba-tiba saja memucat.

"Hahahaha... Kau pikir untuk apa aku membawamu kesini, Mariana. Untuk memberimu makan dan pakaian yang indah."

"L-lepaskan aku, Galang. Ku mohon lepaskan aku." Mariana mulai merengek.

"Ya. Aku akan melepasmu, tapi setelah kau memuaskanku. Itu pun kalau kau masih sanggup berdiri setelah kami semua menikmati liang surgamu yang kau jaga melebihi nyawamu itu."

"Kau benar-benar brengsek!" Maria berteriak sekali lagi.

"Hahaha... Sayang sekali kau baru menyadarinya. Kemana saja kau selama 7 tahun ini, sampai kau baru menyadarinya sekarang, pria brengsek seperti apakah kekasihmu ini," jawab Galang santai sambil mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.

"Buka!" perintah Galang.

Dua laki-laki segera menyergap Mariana, membuka bajunya dengan kasar hingga seluruh kancing kemejanya terlepas. Mariana berusaha memberontak dan berteriak, tetapi keadaannya yang terikat sama sekali tidak membantu. Dalam waktu kurang dari lima menit, Mariana sudah dalam keadaan telanjang bulat dan terikat di atas ranjang.

"Tubuhmu memang sangat indah, Mariana. Sekarang mari kita buktikan apakah nafsumu sepemberani sikapmu selama ini."

"Lepas. Ku mohon lepaskan ku, Galang. Jangan lakukan ini."

Galang merayap ke atas tubuh Mariana yang terlentang.

"Perhatikan baik-baik kalian semua, bagaimana cara pria dewasa menikmati buruannya."

Galang menarik lepas ikatan kaki Mariana, melepas ****** ***** wanita itu dengan kasar dan menyumpalkannya di mulut Mariana.

"Ikat kakinya di kanan dan kiri ranjang."

Di sisi lain, seorang pria berjalan di sepanjang jalan kecil, kepalanya menoleh beberapa rumah yang jaraknya puluhan meter dengan rumah yang lain. Tempat itu benar-benar masih sangat sepi. Sejak Bima memasuki desa kecil itu, jumlah rumah yang bisa dia temui bisa dihitung dengan jari. Sisanya berupa lahan kosong dan ladang yang membentang memisahkan rumah satu dengan yang lainnya.

"Kemana mereka membawa wanita malang itu," gumam Bima sambil terus berjalan menyusuri jalan bebatuan. Bima sama sekali tidak menyerah, hingga dia menemukan jejak ban mobil di tanah basah, keluar dari jalan berbatu.

Bima berlari mengikuti arah jejak ban mobil yang berhenti di sebuah rumah yang bisa dibilang cukup besar. Berada di antara rumah-rumah dengan gaya pedesaan lama, rumah ini tampak megah seperti sebuah villa.

Hanam menajamkan telinga, kakinya melangkah perlahan mendekati pintu rumah. Tepat hanam mengintip ke dalam jendela yang berkaca gelap, dia bisa mendengar jerit kesakitan seorang wanita dan tawa rendah beberapa orang pria.

"Aaaaahh. Itu sakit sekali. Jangan, sakit. Tolong... Tolong aku. Sakit."

Wanita Malang

Bima meraih tusuk konde neneknya yang selalu dibawanya di dalam saku celana, dan mulai mengutak-atik lubang kunci hingga berbunyi ceklek.

Bima tersenyum puas. Tangannya mengantongi kembali tusuk konde neneknya, sebelum membuka pintu dengan sangat perlahan.

Agak terlalu gelap. Cahaya yang ada hanya didapat dari lampu yang menyala terang dari salah satu kamar, tempat dimana suara tawa rendah itu masih terdengar.

Bima berjalan mendekat.

"Aaah... Kau sungguh luar biasa, Sayang." Sebuah suara dari dalam ruangan membuat Bima membeku di tempatnya. Bima behenti, kmbali mendengarkan.

Sunyi. Tidak terdengar lagi teriakan kesakitan yang tadi tertangkap telinganya, hanya desisan-desisan panjang.

Sepuluh menit menunggu, kesunyian yang tiba-tiba membuat Bima ragu apakah yang dilakukannya ini benar.

Perlahan Bima berjalan mundur, bersiap kembali ke arah pintu keluar, saat telinganya menangkap suara pria lain.

"Bos, apa kami sudah boleh melakukannya?"

"Tidak! Jangan. Biarkan dia siuman dulu. Aku belum selesai dengannya."

"Aaah..." Seruan kecewa terdengar rendah.

Bima kembali terdiam. Dia berbalik, melangkah lagi mendekati pintu kamar.

"Bos, apa kau tidak ingin membangunkannya?"

"Kalau kau sudah tidak tahan, lakukan saja dengan cerek."

"Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya takut dia mati, Bos."

"Jangan bodoh! Dia masih bernafas."

"Tapi bos..."

"Aku mau menghisap dulu. Jangan sentuh dia!"

Bima melompat berdiri, melihat kesana kemari mencari tempat bersembunyi. Tepat pintu kamar terbuka, Bima berhasil menyelipkan tubuhnya diantara sapu dan kaleng di sudut gelap ruangan.

Seorang pria jangkung dengan postur tegap dan dada bidang berjalan keluar dengan langkah tenang. Bima mengintip dari balik klambu tipis yang menutupi ruang sapu, memperhatikan pria itu dengan mata menyipit tajam.

Pria itu keluar melalui pintu belakang, lalu kembali menutupnya.

Lima belas menit menunggu dengan jantung berdebar, akhirnya pria itu kembali memasuki kamar dan menguncinya.

"Hei, Gundik! Bangun!"

Dari hardikan itu, Bima seketika tahu wanita di dalam sana itu pasti melakukannya tidak dengan senang hati.

"Bagus. Kau sudah beristirahat cukup lama, jadi sekarang bersiaplah untuk sesi berikutnya."

"Jangan, Galang. Tolong, jangan lakukan ini padaku, ku mohon."

"Aah sudahlah. Jangan berisik."

Terdengar isak parau seorang wanita.

Bima mengeratkan gigi menahan amarah. Buku-buku jarinya memutih.

"Berbalik, Gundik!"

"Jangan. Sakit..."

"Naik!"

"Jangan. Ku mohon sudah, Galang. Aku akan menuruti apa pun yang kau inginkan tapi tolong berhenti," rengekan suara wanita terdengar begitu memilukan. Bima ragu-ragu sejenak di depan pintu.

"NAIK kubilang! Apa kau tuli, hah!" bentak pria itu lagi.

"Lakukan!"

Bima menahan diri agar tidak lepas kendali. Jari-jemarinnya mencengkeram tembok.

"Aaaah...!"

Bukan erangan, tapi jeritan pilu kesakitan.

"Bergerak!"

"Sakit."

Plak! Bunyi tamparan nyaring disambut suara wanita itu mengerang.

"Ya, seperti itu. Bagus. Teruskan."

"Sakit."

"Teruskan, Manis."

"Sudah. Ku mohon sudah."

"Terus saja mengeluh maka aku akan menambah rasa sakitmu!"

"J-jangan. Ku mohon jangan, aaah..."

"Suka?"

Entah wanita itu mengangguk atau menggeleng, Bima hanya bisa menebak.

"Ya. Benar begitu, Manis. Seperti itu."

"Sudah. Ku mohon sudah."

"Jangan banyak bicara. Nikmati saja!"

"Cukup. Ku mohon."

"Jangan bacot!"

"Aku lelaaaah!" Wanita itu menjerit.

"Aaah... ****! Berani kau rupanya."

Suara erang kesakitan lain.

"Hei, kau!"

"Saya, Bos?"

"Ya. Beri dia pelajaran lebih."

"Denganmu, Bos?"

"Lakukan saja, Goblok!"

"Baik. Siap, Bos. Dengan senang hati."

"Lakukan di belakang."

"Kau, Bos?" tanya suara pria itu bingung.

"Tentu saja aku akan tetap di tempatku. Apa kau belum pernah melihat yang seperti itu, hah?!"

"B-baik, Bos. Sudah. Tentu saja sudah."

"Kalau begitu cepat!"

"T-tunggu. Kau mau apa?" tanya wanita itu lemah.

"Bersiaplah, Nona..."

"Aaaaaaaa....."

Brak!

Pintu menjebalak terbuka.

Mariana masih sempat melihat wajah murka di balik kaus lusuh berwarna coklat dengan jaket biru tua berdiri di balik pintu, sebelum dia tak sadarkan diri.

Dewa Penolong

"Siapa kau!" Galang melempar tubuh pingsan Mariana ke samping. Dia segera berdiri, begitupun Gori yang sudah menanggalkan celana dan ****** ********. Pria itu berlari ke sudut ruangan, dengan cepat mengenakan kembali celananya.

Bruk Bruk Bruk... Dalam satu tendangan panjang tiga pria kekar berbadan hitam yang berdiri paling dekat dengan pintu, tak sadarkan diri.

"Hei!" Seru pria yang baru saja mengenakan celana seraya berlari mendekat.

Buk buk buk. Dua pukulan telak dan satu tendangan berhasil merobohkan tiga yang tersisa. Tinggal satu orang yang berdiri mematung dengan bertelanjang bulat.

"Desa ini tidak menerima bajingan-bajingan macam kalian," kata Bima dengan suara dingin.

"Siapa kau?"

"Tidak perlu tahu siapa aku. Yang perlu kau lakukan sekarang adalah pergi dari sini dan bawa anak buahmu secepat kau bisa, sebelum aku berubah pikiran." Suaranya rendah mengancam.

Seperti seorang pengecut, Galang meraih pakaiannya di atas nakas, mengenakannya asal lalu menarik tubuh pingsan Mariana.

"Tinggalkan dia."

"T-tapi dia kekasihku."

"Tinggalkan dia." Bima mengulangi dengan nada sedingin es di kutub utara.

Galang berbalik ketakutan, menjejak kaki anak buahnya satu persatu hingga siuman dan berlari keluar.

Keenam anak buahnya bangkit tertatih dan segera mengikuti keluar.

Bima menatap tubuh telanjang di atas ranjang dengan tatapan iba. Dia benar-benar marah pada pria-pria brengsek tadi, tapi dia harus bisa mengendalikan diri demi menolong gadis ini terlebih dahulu.

Bima mengangkat perlahan tubuh Mariana, memperbaiki posisinya seolah wanita itu sedang tidur.

Bima mengambil baju wanita itu. Sayang tak mungkin bagi wanita itu mengenakan kembali bajunya karena seluruhnya telah koyak. Sepertinya habis dilepas paksa.

Bima mendesah panjang. Ingin sekali dia memburu bajingan-bajingan itu dan membunuhnya, tetapi Bima teringat janjinya pada kakek dan almarhum adiknya.

Bima melepas jaket, menutupkannya pada tubuh Mariana sebelum menutup seluruh tubuh wanita itu dengan selimut.

"Jangan! Jangan lakukan. Cukup ku mohon cukup..."

Bima menatap kaget saat Mariana tiba-tiba saja beraksi.

"Tenang. Tenang. Aku tidak akan menyakitimu. Mereka sudah pergi. Tenanglah."

Mariana terus mundur sambil meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, hingga punggungnya menyentuh kepala ranjang.

"Tenang. Tenanglah. Aku yang menolongmu."

Mariana menggeleng ketakutan.

"Lihat. Lihatlah aku. Apa aku terlihat seperti seorang bajingan?" tanya Bima, masih berdiri di tepi ranjang,mencoba menenangkan Mariana.

Mariana menatap Bima dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas,mengulanginya hingga empat kali sebelum akhirnya menggeleng.

"Nah. Jadi sekarang tenanglah. Ku mohon. Aku akan menolongmu."

"S-siapa kau?" tanya Mariana tergagap.

Bima mengulurkan tangan. "Aku Bima. Pemuda di dusun ini."

Mariana menatap tangan Bima ragu-ragu, tidak balas memberi salam.

"Baiklah. Tidak apa-apa. Aku tahu kau masih trauma."

"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanya Mariana.

"Aku... Aku mendengar teriakanmu dari luar sana." Bima memutuskan berbohong.

Mariana mengerutkan kening. Rupanya meski sedang trauma, otak wanita ini tidak kemudian mati begitu saja.

"Aku tidak sedang tidur di rumah. Aku sedang berburu di hutan seberang sana malam tadi dan saat aku keluar dari jalan setapak aku mendengarmu berteriak."

"Dan kau memutuskan harus menolongku?"

"Tentu saja. Kau berteriak meminta tolong."

Mariana mengerutkan kening.

"Aku mendengarmu meminta tolong dari jalan setapak di hutan sana. Lalu aku berjalan keluar dari jalan setapak, melewati rumah ini dan bisa mendengarmu berkali-kali berteriak kesakitan."

Mariana diam, nafasnya terlihat lebih teratur dan tubuhnya tidak lagi gemetar.

"Apa, apa kau menolongku sendirian? Apa kau mengusir mereka semua sendirian?"

Bima terdiam. Dia menatap mata Maria lekat-lekat sebelum menjawab.

"Tidak. Aku tidak mengusir mereka. Mereka sepertinya sudah selesai denganmu dan pergi meninggalkanmu begitu saja, lalu aku masuk."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!