Zia mengayuh sepedanya menuju sekolah, dengan Maryam di boncengannya. Sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh pagi, itu berarti sepuluh menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi.
Ini hari kedua putri kecilnya itu bersekolah TK, tidak ada drama atau tangisan seperti anak kecil yang baru pertama sekolah, karena Maryam sangat suka bersekolah.
"Umma, kok cepet banget kayuh sepedanya, nanti capek loh," ujar Maryam.
"Biar cepat sampai nak, nanti kalau ga cepat, Maryam bisa telat masuk sekolahnya," sahut Zia. Dan Maryam hanya manggut-manggut mengerti.
Akhirnya mereka sampai juga di sekolah Maryam. Maryam bersekolah di TK plus yang selain diajarkan pelajaran umum juga diajarkan pelajaran Diniyah seperti akidah akhlak, fikih ibadah, membaca iqro, dan hafalan Alquran. Memang SPPnya lumayan, namun akan Zia perjuangkan agar Maryam bisa mendapatkan pendidikan agama sejak dini. Bagaimanapun juga menuntut ilmu agama itu wajib bagi setiap muslim.
"Maryam masuk dulu Umma," pamit Maryam. Zia mengambil uang dua ribuan dari dompet kecilnya dan memasukkan ke dalam saku gamis Maryam.
"Ini uang sakunya, jangan beli es ya sayang, kan sudah bawa air minum," pesan Zia.
"Iya Umma," Maryam lalu mencium punggung tangan Zia.
"Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumussalam," sahut Zia. Setelah melihat Maryam masuk ke dalam kelas, Zia duduk di dekat tempat parkir menyapa teman-temannya. Zia memiliki banyak teman di sana karena di sana tidak hanya ada sekolah TK, namun juga ada SD plus, dan Masjid besar tempat dia mengaji.
"Mba Zia, ini aku mau motongin gamis, baru beli tapi kepanjangan nih, tolong dipotong jadi panjangnya 135cm ya," ucap Ummu Kahfi seraya menyerahkan plastik kresek berisi gamis itu.
"Oke, siap Umm, kalau sudah in syaa Allah saya kabari," ucap Zia.
"Saya juga Mba Zia, ini cadarnya diubah aja bisa? Jadi cadar karet gitu," kata Ummu Fathir.
"Mba, Zia bikinin sprei ya, yang ukuran nomor satu, bahan katun Jepang ya, warna biru, motif kainnya terserah Mba Zia aja, ini uang mukanya," tutur Ummu Wildan.
"Ma syaa Allah Ummahat, iya semuanya saya terima, kalau sudah jadi saya kabarin in syaa Allah, dan kita ketemu lagi di sini ya..." ucap Zia. Begitulah ketika Allah memberikan rezeki melalui teman-teman shalihatnya.
Zia dengan semangat pulang mengayuh sepedanya, yang keranjang depannya penuh pesanan teman-temannya.
Sampai di pertigaan dekat kontrakannya ada kedai ayam goreng yang baru buka sekitar satu pekan lalu, ketika melintas aroma sedap ayam yang digoreng tercium menggoda hidungnya dan mulutnya yang hendak ngiler, namun ia tutup dengan cadar.
"Hmm... Maryam pasti suka ini ayam goreng, semoga Allah mudahkan untuk membelikannya, aamiin," batin Zia penuh harap.
Sampai di kontrakan, ia menjemur baju yang tadi subuh sudah ia cuci, kemudian memasak dan bersih-bersih. Lanjut menjahit pesanan teman. Begitulah kesehariannya setahun ini setelah ditinggal meninggal oleh suaminya karena kecelakaan.
Di sela waktunya sambil menunggu dhuhur, ia sholat Dhuha, sedapat mungkin ia usahakan beribadah dengan baik, karena ia sadar tidak ada lagi pertolongan untuknya kecuali dari Allah semata.
Selepas sholat Dhuha ia kembali menjahit sembari menunggu adzan dhuhur. Baginya begitulah kita hidup, hanya menunggu waktu sholat. Dan setelah sholat dhuhur ia pergi menjemput Maryam di sekolah TK. Maryam pulang sekolah pukul dua belas lebih tiga puluh menit. Di sekolah Maryam sekalian diajari sholat dhuhur dan makan bersama.
Zia menaikkan Maryam di boncengan dan memasang sabuk pengaman. Zia sengaja memasang boncengan dengan sandaran dan sabuk pengaman agar Maryam tidak jatuh sewaktu-waktu karena mengantuk.
"Maryam kita mampir dulu ke toko alat jahit ya," ucap Zia.
"Iya Umma, tapi aku tunggu di luar toko ya," sahut Maryam.
"Boleh, tapi tidak boleh kemana-mana ya, jalannya ramai sayang ga boleh turun ke jalan ya," pesan Zia.
"Baik Umma," sahut Maryam.
"Maryam da daaa..." ucap seorang anak laki-laki kecil teman sekelas Maryam yang pulang terlebih dahulu dijemput ayahnya.
"Da daa..." sahut Maryam sembari melambaikan tangan ke arah anak lelaki itu.
"Itu teman kamu nak? Siapa namanya?" tanya Zia.
"Iya Umma teman sekelas Maryam, namanya mas Sulaiman," sahut Maryam.
"Oh .." Zia hanya ber oh saja, saat ia akan menaiki sepedanya, tetiba Maryam memanggil.
"Umma," panggil Maryam.
"Iya sayang," sahut Zia.
"Aku juga pengen dijemput Abi seperti Sulaiman," cicit gadis kecil itu. Seketika Zia ingin menangis dan berteriak. Hatinya terasa teriris mendengar keinginan putri kecilnya itu. Namun ia menahan semuanya, Zia tidak ingin menampakkan kesedihan di depan Maryam.
"Maryam... Maryam kangen ya sama Abi?" tanya Zia. Maryam mengangguk.
"Kalau kangen doakan Abi ya, baca doa untuk kedua orang tua," ucap Zia.
"Iya Umma," jawab Maryam singkat, ia pun tidak ingin Zia bersedih dengan pertanyaannya. Setelah itu Zia mengayuh sepedanya ke toko jahit.
"Tunggu di sini ya sayang," ucap Najma yang mendudukan Maryam di bangku panjang di depan toko jahit.
"Umma mau belanja banyak?" tanya Maryam.
"Nggak sayang cuma beli kain vislin sama resleting Jepang aja, Maryam tunggu di sini ya,"
Maryam hanya mengangguk. Dengan sabar gadis kecil itu menunggu sang ibu berbelanja, sambil menghirup aroma ayam goreng dari kedai dekat situ.
Sepuluh menit kemudian Zia keluar dari toko..
"Udah yuk pulang," ajak Zia.
"Umma .." panggil Maryam.
"Iya sayang," sahut Zia sebelum naik sepedanya.
"Umma, kalau nanti Umma punya uang, aku boleh minta ayam goreng itu?" tanya Maryam. Zia terdiam sejenak, benar saja Maryam minta ayam goreng, dari sini tercium wangi ayam goreng kedai baru itu.
"Iya sayang, in syaa Allah Umma belikan," jawab Zia. Kemudian mengayuh sepedanya setelah Maryam naik ke boncengan.
Dan dia berhenti di depan kedai ayam goreng itu. Menurunkan Maryam, dan memesan ayam goreng.
"Assalamualaikum, mau pesan apa?" tanya penjual ayam goreng, yang juga bercadar seperti dirinya.
"Waalaikumussalam, sebentar saya lihat-lihat menunya dulu," sahut Zia.
Zia melihat-lihat menu di depannya, dan melihat juga isi dompetnya, ada selembar uang sepuluh ribuan, selembar lima ribuan, dan selembar dua ribuan.
"Yang ini aja Umm, paket nasi, sayap ayam dan es teh,"
"Maryam!!" panggil seorang bocah kecil yang keluar dari ruko di belakang kedai ayam goreng itu.
"Sulaiman," sahut Maryam. Zia menoleh ke arah anak lelaki itu yang keluar bersama ayahnya. Zia terpesona dengan lelaki gagah dan tinggi itu, berjenggot, memakai kurta, dan sirwal di atas mata kaki, idaman dia banget.
'Eh... astaghfirullah Ziaaa.... itu suami orang...," batinnya kemudian menunduk.
Sang ayah kemudian masuk ke kedai, membantu istrinya menggoreng ayam. Dan sang istri keluar menyapa Zia, ibu dari teman putranya.
"Ini teman Sulaiman? Namanya siapa?" tanya Ummu Sulaiman pada Maryam.
"Maryam," sahutnya.
"Ma syaa Allah nama yang cantik, boleh kok main sama Sulaiman dulu sambil nunggu ayamnya digoreng," ucap sang ibu.
Maryam mengangguk, kemudian mengikuti Sulaiman bermain di teras ruko, di belakang mobil.
Sedangkan Zia duduk di bangku dekat kedai menunggu pesanannya siap. Dan ibunya Sulaiman menemaninya dengan duduk di sebelahnya. Kedai itu memang tidak menyediakan tempat makan, hanya khusus melayani pesanan yang dibawa pulang, jadi tidak ada meja kursi untuk makan.
"Anty namanya siapa?" tanya ibunya Sulaiman.
"Ana Zia, Risqo Fauziah, kalau anty siapa?" tanya Zia kembali.
"Alfina, panggil aja Al, anty usia berapa? Sepertinya lebih muda dari saya,"
"Saya dua tujuh," sahut Zia.
"Tuh kan bener, saya tiga puluh, anty tinggal dimana? Deket ya pake sepeda?"
"Di perumahan sebelah, Mba tinggal di sini juga?" tanya Zia balik.
"Oh, nggak, kami juga sewa di ruko ini, rumah kami di daerah pinggiran kota, aga jauh, jadi tiap hari antar jemput anak sekolah, kan lumayan ya, jadi kami sewa ruko buat istirahat, dan dari pada saya diam aja pagi sampai sore, jadi sengaja jualan ayam goreng buat ngisi waktu, suami kan juga ada bisnis properti, itu pengembang perumahan, jam kerja juga bebas, karena kantornya sendiri, makanya sering di sini juga temenin saya, kalau anty ada kesibukan apa? Suami kerja juga?" tanya Al.
"Saya menjahit di rumah, kalau suami sudah meninggal setahun lalu," jawab Zia.
"Ah maaf, ana ga tau.." ucap Al.
"Ga papa Mba, eh boleh ya saya panggil Mba," ucap Zia.
"Iya ga papa, malah lebih enak aja, eh iya Dek, eh jadi panggil dek,"
"Ga papa Mba, saya senang malahan, berasa punya saudara, saya anak tunggal," ujar Zia.
"Ah iya, sebentar ya, sepertinya sudah selesai pesanannya," ucap Alfina kemudian menuju dalam kedai.
Alfina mengambil beberapa potong ayam goreng dan memasukkannya dalam box.
"Mas, es nya tambahin satu cup lagi buat umminya," kata Alfina pada suaminya.
"Nambah pesanannya?" tanya sang suami sambil mengerjakan apa yang diminta sang istri.
"Aku pengen kasih aja, ternyata Maryam teman Sulaiman itu anak yatim," sahut Alfina.
"Ehm, tapi hati-hati memberikannya, jangan sampai menyinggung," pesan sang suami seraya memberikan pesanan
"Iya Mas," Alfina kemudian membawa pesanan Zia ditambah satu kotak ayam goreng dan ekstra satu cup es teh kepada Zia.
"Ini pesanannya Dek Zia," ucap Alfina. Zia terkejut dengan apa yang ada di tangan Alfina, terlihat banyak sekali isi dari plastik bening itu.
"Mba, aku cuma pesan satu paket aja," kata Zia.
"Iya, sengaja aku lebihin biar kalian bisa makan berdua," ucap Alfina.
"Tapi Mba,"
"Udah kamu ambil, ini rezeki dari Allah," tukas Alfina.
"Oh Alhamdulillah, jazaakillaahu khayran Mba," ucap Zia.
"Wa jazaakillaahu khayran Dek Zia," jawab Alfina.
"Ini uangnya yang tadi aku pesan, sepuluh ribu ya," ucap Zia sambil menyerahkan sepuluh ribuan terakhir dari dompet kecilnya.
Alfina hendak menolak uang Zia, namun ragu karena takut Zia merasa tidak enak hati. Kemudian ia menerimanya. Dan ia punya cara lain untuk memberi sesuatu pada Zia.
"Iya, sepuluh ribu," sahut Alfina.
Setelah melakukan pembayaran dan bertukar nomor ponsel dengan Alfina, Zia pun pamit pulang bersama Maryam.
.
.
Sore harinya setelah putri kedua mereka Aisyah pulang sekolah, Alfina dan suaminya juga anak-anak pulang ke rumah mereka, sebelumnya Alfina minta mampir dulu ke rumah kontrakan Zia dan Maryam.
"Mau ngapain sih?" tanya sang suami ketika mendengar Alfina minta mampir rumah Zia.
"Ini mau jahitin gamis buat kamu Mas, udah lama beli kain, belum sempat jahitin, kan umminya Maryam tukang jahit, pumpung ingat, dan sekalian membantu mereka," sahut Alfina.
"Ah iya,"
Setibanya di rumah Zia, Alfina turun sendiri, karena Aisyah dan Sulaiman, serta si bungsu Fatimah, mulai mengantuk dan memilih untuk istirahat di mobil ditemani ayah mereka.
"Tok...tok...tok ..." Alfina mengetuk pintu rumah Zia.
"Assalamualaikum Dek Zia," ucapnya kemudian menunggu dibukakan pintu.
"Waalaikumussalam," sahut Zia dari dalam.
"Kreek.." suara decitan pintu dibuka, Zia membuka sedikit pintunya agar Alfina bisa masuk.
"Masuk Mba," ucap Zia.
Alfina masuk dan terperangah melihat Zia yang tidak memakai cadar. 'Ma syaa Allah cantik juga dek Zia ini,' batin Alfina.
"Saya tutup lagi ya Mba," ucap Zia kemudian menutup pintu.
"Duduk Mba, tapi maaf ga ada kursi, lesehan aja di karpet ya," ucap Zia mempersilahkan Alfina duduk.
"Ga papa aku cuma sebentar kok," ucap Alfina sambil membuka cadarnya juga, ia juga ingin Zia melihat wajahnya.
"Oh Mba, ma syaa Allah cantiknya," puji Zia.
"Kamu juga cantik, ma syaa Allah," balas Alfina.
"Ada apa nih Mba? Ada yang bisa dibantu?" tanya Zia.
"Ini tadi pumpung ingat, aku punya kain udah lama, minta tolong jahitin ya, yang ini buat gamis mas Rayhan," tutur Alfina.
"Mas Rayhan?" tanya Zia karena tidak tahu Rayhan itu siapa.
"Ah maaf kamu belum tahu, mas Rayhan itu abinya Sulaiman," sahut Alfina.
"Ah iya...,"
"Ini contoh gamisnya, dan ini ada kain juga buat gamisku, tapi ukurannya pakai ukuran kamu aja Dek, sepertinya ukuran kita sama, lalu minta tolong belikan kain untuk Khimar dan cadarnya sekalian, terserah kamu aja model dan kainnya,"
"Iya Mba," sahut Zia, namun ada kekhawatiran di hatinya, sekarang dia belum memiliki uang untuk membeli kain, namun sungkan meminta bayaran terlebih dahulu.
"Dan ini ongkos jahit, beli kain dan buat naik taksi ke toko kain," ucap Alfina menyerahkan beberapa lembar uang merah.
Zia menerimanya, dan lagi-lagi terkejut dengan apa yang diberikan Alfina. Ada tujuh lembar uang berwarna merah itu.
"Mba ini banyak sekali, kelebihan banyak," ucap Zia merasa sungkan.
"Iya ga papa, kalau ada lebihnya buat Maryam, tolong diterima, ini rezeki dari Allah," lagi-lagi Alfina mencoba meyakinkan Zia.
"Baiklah Mba, jazaakillaahu khayran," tidak ada yang bisa Zia ucapkan lagi, kecuali berharap biar Allah yang membalasnya dengan kebaikan.
Malam harinya di kediaman Rayhan dan Alfina...
Keduanya telah bersiap di pembaringan, seperti biasa, Alfina tidur di lengan kiri Rayhan. Mereka mengobrol ke sana kemari. Sampai pada pembicaraan yang serius tentang rumah tangga mereka.
"Mas, beberapa bulan lalu mas minta izin mau nikah lagi, udah ada calonnya?" tanya Alfina.
"Kamu dulu ga nanggapin dengan serius, ya aku ga pengen lagi, takut menyakiti kamu," jawab Rayhan.
"Tapi aku ada calon Mas, buat jadi istri kedua kamu," ucap Alfina.
"Cantik gak?" tanya Rayhan menanggapi pernyataan Alfina dengan candaan.
"Cantik lah, masih muda lagi," sahut Alfina.
"Zaujati... berbohong walaupun hanya bercanda itu tidak boleh sayang," Rayhan masih mengira jika Alfina sedang bercanda.
"Lhoh aku serius lho Mas,"
"Kamu beneran sudah siap? Berbagi suami dengan adik madumu,"
"Siap ga siap Mas, tapi aku merasa tergerak untuk menolongnya, apalagi anaknya masih kecil, butuh teman untuk bicara tentang semuanya, seperti kita saat ini," tutur Alfina.
"Anaknya masih kecil kah? Dia bercerai dengan suaminya?" tanya Rayhan.
"Iya, anaknya baru enam tahun, suaminya meninggal," jawab Alfina. Rayhan terdiam sejenak, ikut tergerak juga hatinya, ingin menyayangi anak yatim itu, namun masih takut akan menyakiti Alfina dan istri keduanya nanti, anak-anaknya bagaimana mereka apakah menerima keputusannya atau tidak.
"Gimana Mas?" tanya Alfina.
"Aku juga ingin menyayangi dan merawat anak itu, tapi anak-anak kita bagaimana? Apa bisa menerima bila nanti mereka punya saudara tiri?" Ucap Rayhan.
"Besok Khadijah liburan pondok, kita bicarakan dengan dia dan adik-adiknya,"
"Kenapa bisa kamu tiba-tiba ingin aku menikah lagi?" tanya Rayhan.
"Mas juga tahu kan poligami bukan tujuan, tapi solusi, dengan menikahi seorang janda, Mas berkesempatan merawat anak yatim, kita juga bisa latihan bersabar, dan semakin menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah milik Allah, jangankan suami, tubuh kita sendiri ini hanya dipinjamkan oleh Allah," tutur Alfina. Rayhan mengecup kening Alfina.
"Ma syaa Allah, bagaimana bisa kamu seperti itu sayang?"
"Allah Yang Maha membolak-balikkan hati manusia Mas, eh hujannya deres banget ya," ucap Alfina yang memandang jendela kaca besar di sisinya.
"Iya sayang, deres banget, semoga semua dalam lindungan Allah," ucap Rayhan juga.
"Eh iya, memang siapa yang mau kamu jadikan adik madumu?" tanya Rayhan.
"Umminya Maryam, temannya Sulaiman," sahut Alfina.
"Hah... yang tadi? Kenapa bisa dia?" tanya Rayhan.
"Ya sudah masuk kriteria aku aja, dan semoga dia mau, soalnya aku juga belum tanya dia,"
"Lha dia belum tentu mau kok sudah ditawarkan ke aku Dek," ucap Rayhan.
"Iya kalau tanya Dek Zia dulu, dek Zia nya mau, eh Mas Rayhan ga mau, udah gitu anak-anak ga mau nerima, kan kasian dianya, makanya itu, aku pengen tanya Mas Rayhan dulu, kalau iya, aku tanya anak-anak, kalau iya, baru deh tanya Dek Zia," tutur Alfina.
"Oh Zia namanya," ucap Rayhan.
"Cie...Uda jatuh cinta Mas dengar namanya," goda Alfina.
"Apaan sih, kamu ini mencintai aku ga sih, kok malah becandain aku kaya gitu,"
"Iya cintalah, cinta karena Allah, kalau ga cinta apa iya jadi empat anak? Hahaha," kekeh Alfina.
"Jadi mau ga nih Mas?" tanya Alfina.
"Aku pikir dulu," jawab Rayhan.
.
.
.
Keesokan harinya seperti biasa, Rayhan dan Alfina berangkat ke ruko bersama Aisyah, Sulaiman, dan Fatimah yang berangkat sekolah juga.
Alfina memeriksa ponselnya dan melihat wa dari grup kelas TK, ternyata ada Zia yang meminta izin untuk Maryam yang tidak masuk sekolah karena rumahnya kebanjiran.
"Subhanallah..." ucap Alfina setelah mengetahui bahwa rumah Zia dan Maryam kebanjiran.
"Kenapa sayang?" tanya Rayhan.
"Rumah Dek Zia kebanjiran, habis antar anak-anak kita ke sana yuk Mas," pinta Alfina.
"Baik," sahut Rayhan. Sebenarnya Rayhan masih enggan untuk bertemu Zia, karena tahu Zia sangat disukai Alfina bahkan mau dijadikan adik madu, takut Rayhan merasakan sesuatu yang belum dibolehkan sebelum adanya ikatan pernikahan. Tapi kembali lagi, ini karena Zia mendapat musibah rumahnya kebanjiran, maka dia setuju untuk mendatangi Zia dan anaknya.
Setelah menurunkan Aisyah dan Sulaiman di sekolah. Rayhan membawa mobilnya menuju perumahan dimana kontrakan Zia berada. Dari jalan raya perumahan mereka tidak bisa masuk lagi karena banyak juga mobil bantuan berdatangan.
"Sepertinya kita harus jalan Dek," ucap Rayhan.
"Iya ga papa," Alfina turun menggendong si bungsu Fatimah yang masih berumur kurang dari tiga tahun.
"Aku saja yang gendong Fatimah Dek, kamu jalan hati-hati jalannya licin," ucap Rayhan yang mengambil Fatimah dari pelukan Alfina.
Di sepanjang jalan, mereka melihat para korban membersihkan rumah mereka dari lumpur sisa banjir semalam. Banjir itu tidak terlalu parah karena air tidak terlalu tinggi dan semalam saja sudah surut, namun cukup membuat rumah kotor. Dan merepotkan untuk membersihkannya.
Di depan rumah Zia terlihat Zia sedang menyemprot lantai teras menggunakan selang air, dan Maryam memegangi bagian belakang gamisnya, mengikuti kemanapun Zia melangkah, dan agak menyulitkan pergerakan Zia.
"Assalamualaikum," sapa Alfina. Zia menoleh ke sumber suara, dan dia terkejut ada Alfina dan suaminya datang.
"Waalaikumussalam, Mba, Mba Al," sahut Zia sampai dia tak bisa berkata-kata.
"Gimana rumah kamu?" tanya Al mendekati Zia, dan Rayhan berdiri agak jauh dari sana menggendong Fatimah.
"Alhamdulillah sudah lumayan bersih, tapi ya masih perlu jemur barang-barang yang basah," sahut Zia.
"Mba Al kok bisa di sini?" tanya Zia.
"Iya, tadi buka chat di grup kelas TK, terus langsung ke sini setelah antar Aisyah dan Sulaiman," jawab Alfina.
"Kamu dan Maryam ga papa?" tanya Alfina. Zia menggeleng namun pecahlah tangisnya setelah ditanya Alfina, Alfina memeluk Zia dan menepuk punggungnya pelan. Terlihat ini semua begitu berat untuk Zia, akan lebih mudah di lalui jika ada lelaki dalam keluarganya. Dan semakin mantap untuk Al menjadikan Zia sebagai adik madunya. Rayhan pun melihatnya dan tergerak hatinya untuk menikahi Zia.
"Umma, makan.. Maryam laper," rengek Maryam yang masih menempel di gamis ibunya.
"Iya, sebentar sayang, Umma mau jemur kasur sama nyuci seragam kamu dulu, biar besok bisa sekolah lagi," sahut Zia membujuk anaknya.
Alfina yang mendengar dan melihat percakapan ibu dan anak itu jadi terenyuh hatinya.
"Maryam lapar?" tanya Alfina. Maryam mengangguk.
"Mau makan sama abinya Sulaiman dan adik Fatimah?" tanya Alfina lagi. Terlihat gadis kecil itu berpikir dan melihat ke arah Rahyan dan Fatimah. Kemudian mengangguk.
"Oke, Dek Zia, biar Maryam makan sama mas Rayhan ya aku bantuin kamu bersih-bersih,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!