"Hey!" Shasa menyenggol pinggang sahabatnya. Queen. Wanita mungil itu tidak berkedip saat melihat rombongan para jajaran pengurus rumah sakit ini, tempat dimana Shasa dan Queen bekerja.
Shasa menepok jidatnya saat melihat Queen masih terpaku meski rombongan itu sudah berlalu.
"Hellooo ...." Shasa menggerakkan telapak tangannya tepat di depan wajah Queen. Mata sahabatnya itu masih menatap tanpa berkedip.
"Sha ... bawa stetoskop gak? dadaku, Sha."
"Napa dadanya? montok?"
"Jantungku ... kenapa berdetak tidak beraturan. Apa ini salah satu gejala gagal jantung?"
"Ngaco! kenapa sih? kamu kok kaya liat hantu aja. Liat siapa sih?"
"Sha ...." Queen membalik tubuhnya yang sedari tadi terpaku. Dia menatap lekat sahabatnya. "Kamu lihat yang tadi paling belakang gak? dia siapa? kenapa pas dia lewat, aku seperti beku tersihir ratu es di film Narnia."
Shasa mengerutkan dahi. Dia meneliti lebih dalam mata Queen. Lalu wajahnya seperti orang yang mendapat pencerahan saat kang panci nagih hutang diakhir bulan.
"Queen ... kamu suka ya?"
"Aaapa?" tanya Queen bingung.
"Iya. Kamu suka sama cowok yang tadi berjalan paling belakang. Dia salah satu dokter di rumah sakit ini. Kamu gak tau?"
Queen menggeleng cepat. Dengan pipinya yang menggelembung seperti ikan buntal.
"Ya ampun! ngapain aja nih anak di rumah sakit?"
"Kerjalah!" ketus Queen saat mendengar Shasa berbisik. "Aku seperti sendiri saat dia lewat. Entahlah, aku hanya melihat dia diantara banyaknya rombongan yang lewat. Jantungku seperti berhenti untuk sesaat. Lalu tiba-tiba berdetak tidak karuan. Sha ...." Queen menggenggam jemari tangan Shasa. "Kenapa begini? ini pertama kalinya aku rasakan. Rasanya sesak dan sakit."
"Hadeuhhhhh ... udahlah! ayo kita kerja. Kamu itu lebaynya gak ketulungan. Bilang aja kamu nyindir aku kan? karena aku yang kamu anggap terlalu bucin sama Leon."
Queen tertawa kencang, dia tidak sadar sedang berada di mana.
"Sasst. Malu di lihat banyak orang. Tar pasien pada syok denger suara kuntilanak siang bolong gini."
Queen menutup mulutnya, "Sialan!" dia menepuk jidat Shasa. "Ayo, kita ke ruangan. Para makhluk kecil itu mungkin lapar. Jangan sampai mereka kena maag."
"Mana mungkin, woy!" teriak Shasa sambil mengikuti langkah Queen yang sudah beberapa langkah di depannya. Gadis itu hanya tertawa senang.
Hanya itu yang bisa Queen lakukan untuk melupakan kemarahannya. Emosi yang tidak terkendali saat melihat sahabatnya dibentak di tempat kerja oleh kekasihnya, tadi.
Ya. Leon datang ke rumah sakit hanya untuk memarahi Shasa. Alasannya sangat tidak masuk akal karena Shasa tidak menjawab telepon kemarin malam.
"Maaf, sayang. Kemarin aku ketiduran, aku lelah karena harus masuk kerja dua shif. Aku tukeran jadwal sama temen Minggu lalu, dia gantiin shif aku karena saat itu aku harus datang ke rumah kamu buat bersihin rumah."
"Alasan! bilang saja kalau ingin menghindar."
"Untuk apa aku menghindar? aku bahkan tidak ingin jauh meski hanya dalam mimpi. Kamu tahu itu."
"Denger, ya. Aku tidak suka diabaikan. Kamu tahu sendiri akibatnya apa, hah?" suara Leon meninggi. "Permainanku akan sangat menyakitkan untukmu dan sangat menyenangkan untukku." Laki-laki bejad itu menyeringai.
"Aku tahu, sayang ... aku ...."
Leon menakup kedua pipi Shasa. "Awas kalau kamu mengabaikan aku lagi!"
Shasa mengangguk kesakitan saat wajahnya begitu kuat dipegang tangan Leon.
"Woiii. Banci mah gitu ... berani sama yang lemah. Cih!"
Queen tiba-tiba datang. Leon melirik dengan kesal. Lalu menghempaskan wajah Shasa.
"Sampah!"
Leon berlalu.
"Woii ... bencong! awas Lo ya! dasar laki-laki terong goreng! letoy! berani sama cewek doang. Berantem noh sama banteng."
"Udah, Queen. Ayo, kita sebaiknya segera masuk. Malu di lihat banyak orang."
Queen melepaskan cengkraman tangan Shasa. Dia melotot sambil berkacak pinggang.
"Sha! bego tuh jangan dimakan sendiri. Kasih aja sebagian atau semuanya sama tetangga kita yang tukang gosip itu."
"Queen ... udah, ya. Ayo kita masuk aja."
"Hadeuuh! bisa gila lama-lama. Kamu yang pacaran, tapi aku yang stresnya. Begini amat punya temen. Untung sayang."
Queen berlalu meninggalkan Shasa. Gadis manis itu hanya bisa menundukkan kepala, berharap beban di kepalanya bisa jatuh ke tanah. Namun, hanya air matanya yang menetes.
"Ck! udaaah... jangan mewek lagi. Ayo!" Queen menyeret tangan Shasa. Kedua sahabat itu berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang perinatologi—tempat mereka bekerja.
Sesekali Queen melontarkan candaan agar Shasa tidak bersedih lagi, meski hasilnya nihil.
Queen pun mencoba menggelitik pinggang Shasa, tapi dia hanya sedikit menghindar tanpa senyuman apa lagi tawa.
Dari kejauhan, ada para petinggi rumah sakit ini bersama jajarannya. Sebagian dari mereka memakai jas putih kedokteran dan hanya ada tiga orang saja yang memakai jas resmi berwarna hitam dan abu-abu.
Hari ini adalah hari dimana direktur utama yang baru masuk.
Begitu mereka melewati Shasa dan Queen, mata Queen tertuju pada seseorang yang sedang asik main ponsel. Dia berjalan paling belakang, menyendiri dari rombongan.
Mata Queen seperti kesulitan untuk berkedip dan hanya fokus pada laki-laki itu.
🌺🌺🌺🌺🌺
...Hai readers .......
...Cerita ini mengalami banyak perubahan, banyak yang harus aku edit karena terlalu banyak kekurangan dan keanehan dari alurnya pun dengan penulisannya. ...
...Meski begitu, inti ceritanya masih tetap sama yaaa ... gak ada yang aku rubah. Hanya segi bahasa dan penulisannya aja agar lebih enak di baca....
...Happy reading guys 😍...
Queena berdiri seperti anak yang sedang di marahi oleh ibunya. Menautkan kedua jari telunjuk dan memainkannya. Bibir tipisnya maju beberapa senti. Sangat lucu.
"Queena! saya tuh kesel dan sangat marah sama kamu."
"Saya tau, Bu."
"Gak usah jawab!"
"Iya, Bu."
"Aduuhh, kamu itu kenapa harus muntah kaya tadi sih? kamu masuk angin? apa hamil?"
"Etttt ... si Ibu."
"Eh, iya. Saya lupa kalau kamu jomlo. Maaf, ya mblo."
"Gak usah di perjelas, Bu. Kain kasa, stetoskop, tampon tang, pinset, betadine, alkohol di ruangan ini tau, kalau saya itu jomlo."
"Ya sudah, saya gak jadi marah. Kasian kalau nangis gak ada sandaran." Lalu Bu Hani berlalu.
"Dasar kepala ruangan akhlakless."
"Sebenarnya kita itu harus bersyukur apa gimana ya karena punya kepala ruangan seperti itu?"
"Dia itu baik. Meski rada kurang satu sendok."
"Queen, ke kantin yuk. Aku mau beli minum dingin."
"Itu bayi ada yang urus gak?"
"Ada Mba Mika sama Mba Yuyun."
"Ya udah. Yuk!"
Queena dan Shasa pergi ke kantin. Diperjalanan mereka bertemu dengan direktur baru yang sedang berjalan sendirian. Queena dan Shasa berjalan lebih ke pinggir untuk memberi direktur baru itu jalan. Mereka berdua mengangguk saat berpapasan. Namun, baru beberapa langkah, mereka mendengar suara panggilan.
"Kamu yang di ruangan peri itu bukan?" tanyanya saat kedua sahabat itu membalikkan badan.
"Iya, Pak." jawab Shasa.
"Sudah tidak mual lagi?"
Queena dan Shasa saling pandang. "Tidak, Pak." kali ini Queena yang menjawab, karena pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya.
"Lain kali, sarapan dulu sebelum kerja."
"I-iya, Pak."
"Halo, Pak." Sapa seseorang yang datang dari arah belakang Shasa dan Queena.
"Eh, Dokter Fathur."
Fathur melirik Queena lalu tersenyum mengejek. Queena mendelik kesal.
"Kami duluan, Pak." ucap Queena.
"Saya enggak di sapa?" tanya Fathur yang jelas menggoda Queena.
"Duluan ya ... Dok."
Lalu Queena segera berlalu meninggalkan Shasa sendirian. Shasa berpamitan pada Fathur dan direktur baru itu. Tentu saja lebih sopan dari yang Queena lakukan.
"Heh, heh, tunggu dulu. Kamu itu kenapa sih?" tanya Shasa sambil mengejar langkah Queena.
"Aku berharap gak ketemu dokter itu lagi hari ini."
"Queena, kamu kenapa?"
"Sha, bagaimanapun juga aku tidak ingin bertemu dia lagi hari ini."
"Ya udah, tapi kita udah melewati kantin, loh."
Queena menghentikan langkahnya. Lalu dia celingukan.
"He he he. Maaf."
Mereka berjalan kembali memutar arah, membeli beberapa minuman lalu segera kembali ke ruangan.
"Astaaaa ...."
"Kenapa, Queen?" tanya Shasa pada sahabatnya saat mereka membuka pintu ruang perinatologi.
"Bau ini. Apa jangan-jangan dia ada di sini? doaku tidak terkabul ternyata."
"Jelas gak dikabulin, kamu itu hamba paling malam ibadah. Lagian bau apa sih? maksudnya siapa yang ada di sini?"
"Tiang listrik, Sha."
"Hah? apa sih Queen? gak ngerti deh!" Shasa yang bingung dengan sikap sahabatnya memilih segera masuk dan meninggalkan Queena yang masih berdiri ambang pintu.
Tidak lama kemudian, Shasa segera kembali dengan sedikit berlari.
"Queen, di dalam a-a-ada dokter Fathur."
"Tauuu!"
Kali ini Queena berjalan meninggalkan Shasa yang masih berdiri melongo.
"Kenapa jadi aku yang ditinggal?"
Queena meletakkan minumannya di meja dengan wajah kesal.
"Nah, itu Queena, Dok. Dia yang akan menemani anda visit hari ini."
Queena menelan ludah sendiri seperti orang yang menelan biji salak. Seret dan susah. Kata-kata yang keluar dari mulut kepala ruangan tempat dia bekerja membuatnya kesal dan kaget bersamaan. Ditambah dengan seringai penuh kelicikan dari dr.Fathur–menurut Queena. Meski jika orang lain melihat senyuman Fathur, maka akan menilai lain. Manis.
"Oh, begitu. Baiklah. Hey! kemarilah." Fathur menggerakkan jarinya untuk Queena segera mendekat.
Mau tidak mau, gadis cantik itu menurut. Ya, bagaimanapun juga, kedudukan mereka memang mengharuskan Queena menuruti apa yang diperintahkan Fathur sebagai dokter.
"Silakan, Dok." Queena mempersilakan Fathur untuk mengikuti langkahnya. Tidak lupa Queena mengambil buku besar. Buku catatan laporan kondisi tiap pasien.
Dengan detail, Queena menjelaskan kondisi para bayi mungil itu. Sementara Fathur, dia hanya fokus memperhatikan Queena dari atas sampai bawah.
"Ck! kenapa kamu sangat pendek?"
"Ya?"
"Tubuh kamu."
"Kenapa dengan tubuh saya?" Queena celingukan melihat tubuhnya sendiri.
"Pendek."
Queena melongo. "Hey, Dok. Antara saya yang terlalu tinggi dan Anda yang menjulang terlalu tinggi itu, hampir tidak ada bedanya. Kepentok pintu, baru nyaho!"
"Yang penting tampan!"
"Saya juga cantik! kenapa?"
"Pas dong, ya."
"Apanya?" Queena masih ngotot.
"Serasi."
"Ganti huruf S-nya dengan T. Permisi."
Selesai memberi resep pada beberapa bayi yang memerlukan obat, Fathur pergi. Queena menghela nafas, lega.
*****
Masuk ke dalam ruangan, Fathur tersenyum sendiri saat membayangkan wajah Queena. Gadis yang selama ini selalu dia perhatikan diam-diam.
Kesan pertama saat melihat Queena, membuat Fathur tidak bisa lupa. Meskipun dia lama belajar di luar negeri.
Saat itu. Siang hari dengan sangat panasnya membuat semua orang tidak ingin berlama-lama di bawah langit tanpa atap. Semua mencari tempat berteduh jika bisa. Fathur dan ibunya mengunjungi kakaknya yang sedang bekerja di rumah sakit yang sekarang.
Queena, gadis manis yang galak itu tengah bertengkar dengan seorang laki-laki, keluarga pasien yang ngeyel karena bayinya yang membutuhkan penanganan khusus untuk segera dibawa pulang.
"Pak, ini rumah sakit milik pribadi. Milik seseorang yang sudah tidak lagi membutuhkan uang. Kalau Bapak merasa sangat miskin, Bapak ajukan surat permohonan keringanan biaya atau gratis sekalian. Jika itu masalahnya."
"Tapi saya tidak ingin mengemis belas kasih orang dengan menyatakan bahwa saya adalah orang miskin."
"Kalau Bapak merasa orang kaya, ya sudah, bayar!"
"Saya tidak mau."
"Kenapa? gak ada uangnya? ya ampuuun ... kenapa ada orang tua macam ini. Enak bikinnya doang tapi gak mau tanggung jawab."
"Queen. Tau dari mana kalau bikin anak itu enak? udah pernah?" tanya Shasa.
"Astaga! tepat, ya nanya kaya gitu?"
"Ya ... habisnya."
"Heh! Anda. Ambil sendiri gih, bawa sana anaknya. Lepas sendiri alat yang menempel di tubuh anak Bapak!"
"Ya mana saya bisa, saya bukan dokter."
"Karena dokter di sini pada gak mau."
Bapak-bapak yang sedari tadi emosi itu, tiba-tiba menangis. Dia histeris dan tampak putus asa. Shasa dan Queena kaget dibuatnya. Terlebih ini adalah rumah sakit. Banyak orang yang memperhatikan.
"Saya harus bagaimana, suster? setiap saya melihat anak itu, saya selalu emosi. Dia yang bahkan bukan darah daging saya harus saya urus. Bagaimana bisa, saya menghabiskan harta saya hanya untuk bayi hasil dari perselingkuhan istri saya sendiri."
Semua diam. Hanya suara Isak tangis Bapak itu yang terdengar. Penuh emosi dan menyayat hati. Dia berlutut dengan memgang erat kepalanya. Perlahan menjambak rambutnya sendiri.
"Kalau begitu, Bapak seharusnya menghajar istri Bapak. Bagaimana bisa seorang istri berani berselingkuh sampai menghasilkan anak."
"Kemarin, setelah dia pulang dari rumah sakit. Dia kabur bersama selingkuhannya. Penanggung jawab perawatan atas nama saya, jadi saya yang ketempuan."
"Hey, Pak. Waktu nikah, Bapak gak sadar bahwa yang Bapak nikahi itu seorang iblis betina?"
"Quuena." Shasa menyenggol pinggang sahabatnya. Dia hanya melirik kesal.
"Begini, Pak. Sekarang, Bapak tenang saja dulu. Nanti kami akan bantu supaya biayan ank itu gratis. Jika Bapak tidak ingin merawat bayinya, masukan saja ke panti asuhan yang masih satu naungan dengan rumah sakit ini. Gimana?"
Bapak itu mendongak. Matanya seperti memiliki harapan.
"Tapi Bapak harus mengurus semua berkasnya. Gimana? nanti saya akan bantu, Kok," bujuk Shasa. Bapak itu mengangguk.
Fokus Fathur hanya pada Queena yang terus saja bergumam. Merutuki wanita yang merupakan Ibu dari bayi tak berdosa itu.
Ketukan pintu membuatnya kembali tersadar dari nostalgia masa lalunya. Masa pertama dia melihat Queena.
"Masuk."
"Maaf, Dok. Pasien di poliklinik sudah menunggu."
"Ya, baiklah. Kita ke sana sekarang."
🌺🌺🌺🌺🌺
Pukul 21.30, dengan terpaksa Shasa pulang sendirian. Queena–sahabatnya–harus melanjutkan dinasnya. Pekan kemarin dia minta tolong Rani untuk menggantikan shift nya, dan sekarang Queena harus gantian. Mengganti shift Rani.
Semakin larut, suasana di rumah sakit semakin sepi. Ingar-bingar siang hari sudah hilang bersama dengan lelahnya mata setiap insan. Tubuh yang selalu bergerak, meminta untuk beristirahat. Namun, tidak dengan Queena yang harus melanjutkan shift siangnya berlanjut shift malam.
Bagi beberapa pasien lain, malam hari digunakan untuk tidur, tapi tidak untuk para bayi di ruang perinatologi. Tidak ada siang ataupun malam untuk para makhluk kecil itu. Bagi mereka, semuanya sama.
Malam sudah mendekati puncaknya saat Queena keluar dari ruang nifas. Wanita mungil itu membawa beberapa botol dengan nama masing-masing bayi. Botol itu berisi ASI dari masing-masing bayi yang sedang dalam pantauan Queena.
Langkah Queena sedikit melambat saat dia mencium aroma yang sangat dia kenal. Aroma maskulin yang membuat dia kesal belakangan ini. Semakin lama, wangi itu semakin menusuk hidungnya. Itu artinya seseorang yang tidak ingin dia temui berada semakin dekat dengannya.
"Gak usah buru-buru. Meski aku hantu, aku itu tampan."
"Tampan endas mu!" Queena berbisik.
"Jika bisa barengan, kenapa harus masing-masing?"
"Jika bisa sendiri-sendiri, kenapa harus berdua?"
"Kita itu manusia. Makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri."
"Memang benar, tapi bukan berarti saya tidak bisa hidup tanpa Anda. Dokter!"
"Yakin?"
"Iyalah! Sejak kapan juga saya bergantung hidup sama orang? ngadi-ngadi."
"Kalau begitu, mulailah bergantung padaku mulai malam ini."
"Ish. Jangan ngarep!"
"Ya sudah, urus sendiri, ya, bayi-bayinya. Jangan panggil saya kalau ada keadaan darurat."
"Loh?" Queena menghentikan langkahnya. Dia memutar badan untuk bisa menatap Fathur yang berada di belakangnya. "Ya gak bisa gitu, Dok. Saya mana ngerti kalau ada pasien gawat."
"Katanya tidak ingin bergantung pada saya?"
"Bukan masalah itu maksudnya."
"Lalu?" tanya Fathur penuh intimidasi. Matanya menatap tajam membuat Queena terpaku. "Apa kamu mengharapkan hal lain?"
"Ti-tidak. Bukan itu maksud saya." Queena gelagapan. Tubuhnya semakin salah tingkah saat Fathur berjalan mendekat. Queena mundur mengikuti irama kaki Fathur yang semakin maju mendekat.
"Ini rumah sakit, Dok. Anda mau apa?"
"Kamu pikir?" tanya Fathur sembari mengambil botol susu dari tangan Queena. "Bayi-bayi itu kelaparan dan kamu sudah melewati pintu ruang perinatologi," bisiknya tepat di hadapan Queena. Fathur yang memang jauh lebih tinggi dari Queena, membungkukkan badan.
Fathur kembali berdiri tegak dengan senyum jenaka menghias wajahnya. Dia terlihat begitu puas karena telah membuat Queena tersipu.
"Sialan! Hupf!"
Queena segera masuk begitu dia sadar dan mendengar suara tangisan dari beberapa bayi.
"Tolong pantau terus bayi ini. Tanda-tanda vitalnya tidak bisa dibilang bagus. Kita harus bersiap untuk hal terburuknya," ucap Fathur pada Aida. Queena hanya sedikit melirik pada mereka yang ada di belakangnya.
"Baik, Dok. Sebaiknya dokter kembali saja keruangan. Hanya ada satu bayi yang gawat, yang lainnya sehat semua. Nanti saya panggil kalau ada apa-apa."
"Tidak perlu. Saya merasa senang ada di sini. Kita bisa ngobrol bareng. Kalau di ruangan saya, saya hanya sendirian."
"Kenapa gak bawa istrinya aja ke sini, Dok?"
"Pacar saja saya tidak punya."
"Masa? saya gak percaya, loh."
"Dia tidak mau saya dekati." Fathur melirik Queena.
"Dia siapa?" tanya Aida memastikan. Dia sedikit penasaran saat mata Fathur melihat Queena yang sedang sibuk memberi susu pada bayi.
"Ada lah. Nanti juga tau sendiri pas saya menyebar surat undangan."
"Baiklah. O, iya. Saya mau ke kantin, mau beli minuman. Mau nitip apa, Dok? barang kali haus."
"Tidak. Saya tidak ingin apa-apa."
"Mba Aida, aku titip minum rasa jeruk, ya. Yang dingin. Ruangan ini ada AC nya tapi panas banget," tandas Queena.
Fathur hanya tersenyum mendengar ocehan Queena yang dia tahu bahwa itu sindiran untuk dirinya.
"Ya udah, aku ke kantin dulu. Gak apa-apa, ya, aku agak lama. Pengen makan mie rebus dulu."
"Jangan lama-lama, Mba."
"Tidak apa-apa. Nanti saya yang jagain bayi-bayi ini. Makanlah dengan tenang," timpal Fathur.
Aida hanya tersenyum canggung melihat perbedaan sikap Queena dan Fathur.
Queena kembali memberi ASI pada bayi yang lainnya. Sementara Fathur hanya berdiri di tempat yang sama. Matanya tidak teralihkan dari punggung Queena. Hingga dia memutuskan untuk mendekat.
"Kamu itu kenapa bisa begitu lembut pada mereka, tidak pada saya."
"Jadilah bayi dulu."
"Kalau begitu, bersikaplah lembut pada bayi kita."
Uhuk! Queena tersedak meski dia sedang tidak memakan atau meminum apa-apa. Suaranya yang keras membuat salah satu bayi terbangun dan menangis. Bayi yang sedang diberi ASI tampak tertidur. Setelan meletakkan botol susu, Queena segera mendekat pada box bayi yang menangis tadi. Namun, bayi itu sudah berada di gendongan Fathur.
Dengan lembut Fathur mengayunkan tubuh bayi yang sedang dia dekap. Bayi itu berhenti menangis dengan mulut yang masih terbuka. Sesekali lidahnya keluar. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri.
"Dia lapar. Saya ambil botol susunya dulu." Queena segera berlari menuju tempat penyimpanan susu. Lalu dia segera kembali. Queena memberikan susu itu pada bayi yang sedang Fathur gendong. Masih dengan gerakan mengayun.
"Ya ampun! kalian terlihat seperti pasangan orang tua baru," ucap Aida yang tiba-tiba datang.
Queena dan Fathur menoleh bersamaan.
"Baiklah. Lanjutkan saja, saya kembali ke kantin." Aida kembali keluar ruangan.
Hening.
Fathur tidak hentinya menatap Queena. Gadis yang selama ini dia perhatikan diam-diam, ada tepat di depannya. Hanya dengan jarak satu sikut tangan saja. Jantungnya berdegup kencang. Semakin lama dia menatap, semakin tidak karuan ritme jantungnya.
Queena menyadari hal itu. Namun, dia tidak memiliki rasa apapun pada sosok Dokter yang kini tengah menatapnya tanpa jeda. Dia merasa risih tapi tidak membuatnya canggung atau salah tingkah. Masih fokus dengan kegiatannya memberi susu pada bayi yang ada di dekapan Fathur.
"Sudah selesai. Susunya sudah habis dan bayinya sudah terlelap. Anda mau tetap menggendong atau menidurkan bayi ini, Dok?" tanya Queena. Membuat Fathur tersadar dari hipnotis wajah cantik Queena.
"Ya. Saya akan segera menaruhnya kembali." Fathur berusaha bersikap biasa saja.
Malam semakin larut. Jam tangan Queena menunjukkan pukul tiga dini hari. Menyusun laporan dan mengisi rekam medis sudah selesai semua. Satu orang dari tiga teman yang berjaga sudah terlelap. Dia meminta ijin untuk istirahat karena rasa sakit akibat haid hari pertama. Yang lainnya ada yang masih memeriksa bayi satu per satu. Ada juga yang sibuk dengan ponselnya sambil rebahan.
"Mba Aida, aku izin ke kantin, ya. Mau beli kopi dulu. Ngantuk banget."
"Iya. Mau di temenin gak? ini udah hampir pagi, gak banyak orang di luar."
"Gak usah, aku bisa sendiri."
"Ya sudah. Hati-hati."
"Ish. Kaya aku mau ke mana aja. Cuma kantin doang."
"Siapa tau mau ke hati dia."
"Dia siapa? jangan ngaco, deh."
"Dia dokter ...." Aida mengehentikan ucapannya setelah melihat seseorang masuk. Queena refleks ikut menoleh mengikuti arah pandang Aida.
"Kalian pasti mengantuk. Ini saya bawakan kopi dan cemilan."
"Makasih, Dok." Aida menimpali. "Dokter gak pulang? gak biasanya ada dokter spesialis jaga malam. Betah yaaa ...." Aida menggoda.
"Mungkin." Fathur tersenyum genit. "Nah, ini kopi dan cemilannya." Fathur menyimpan dua kantong keresek di meja. Tepat di hadapan Queena.
"Saya pamit pulang," ucapnya sambil menatap Queena.
Aida dan yang lainnya hanya cengengesan sambil saling pandang.
"Saya pamit semuanya. Selamat bertugas." Fathur kembali berucap sambil menyapu pandang pada semua orang.
"Gak cipika cipiki dulu, Dok?" Aida kembali menggoda.
"Tar kalian mau, gimana? ya sudah. Saya pamit. Selamat malam."
Fathur berlalu meninggalkan semua orang di dalam ruangan ini termasuk Queena dengan wajah kesalnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!